Skip to Content

Cerpen Kompas 2006

CERPEN KOMPAS 2006 “SAFRIDA ASKARIYAH” KARYA ALIMUDDIN

Mereka berteriak girang, sementara Safrida hanya melongok kepala sekilas dari jendela kamar rumoh inong. Di keudee Tengku Banta Manyang ramai sekali yang tengah menonton televisi. Bangku kayu yang berjejer di luar warung sesak dengan orang kampung.

CERPEN KOMPAS 2006 “CERITA TENTANG ORANG MATI YANG TIDAK MAU MASUK KUBUR” KARYA GM SUDARTA

Hampir selama 30 tahun, sepasang mata yang seakan memancarkan api kebencian itu selalu mengikuti aku pergi. Selama itu pula membuatku nyaris menjadi gila. Dengan mengikuti bimbingan seorang kiai, akhirnya aku bisa menganggap tidak ada kehadiran sepasang mata itu, meskipun masih selalu mengikuti aku.

CERPEN KOMPAS 2006 “ALUN-ALUN SURYAKENCANA” KARYA F. RAHARDI

Seperti biasa, pagi itu Alun-alun Suryakencana di Taman Nasional Gede Pangrango sangat cerah. Langit begitu biru dan bersih. Tak ada awan, tak ada kabut, tak ada angin. Matahari putih dan silau, tetapi udara masih juga dingin. Semua sepi. Hanya sekali-sekali dipecah tawa, teriakan dan suara misting beradu dari arah tenda.

CERPEN KOMPAS 2006 “PEMBUNUH BERTOPENG” KARYA S PRASETYO UTOMO

Perempuan penyanyi kelab malam itu tak merasakan getar angin yang lamban di atas kuil emas Buddha tidur. Somsri senantiasa mencari makna ajal yang damai di wajah patung keemasan itu. Belum juga dimengertinya, mengapa kedamaian yang menenteramkan terpancar pada wajah Buddha menjelang wafat. Selalu saja ia menatap wajah kekasih gelapnya, Somjai, yang terperangkap kecemasan.

CERPEN KOMPAS 2006 “ABAK” KARYA FARIZAL SIKUMBANG

Abak kata orang kini seperti telah dibuang. Dibuang oleh mande serta Uni Ida. Memang abak tidak tinggal lagi di rumah kami, semenjak Uni Ida bertengkar dengan abak dua minggu yang lewat, abak kini sudah tidak pulang-pulang. Kata orang-orang di kampung, abak sering tidur di dalam surau, atau kadang kala menumpang di rumah saudaranya. Abak makan terpaksa diberi oleh teman-temannya.

CERPEN KOMPAS 2006 “AKU, IKAN YANG BERENANG” KARYA PUTU FAJAR ARCANA

Aku merasa kau menggamit tanganku ketika ombak ketiga menggulung kita. Waktu itu samar-samar kulihat kilau perahu terbalik di arah matahari. Tetapi semuanya sudah jauh sekali dari jangkauan. Karena itu, sudahlah, aku memilih jadi bagian dari laut. Kulepaskan gamitan tanganmu, dan aku meluncur ke dasar serupa terumbu.

CERPEN KOMPAS 2006 “PAROMPA SADUN KIRIMAN IBU” KARYA HASAN AL BANNA

Kembali rasa pedas itu membikin merah dan menggetarkan kedua matanya. Rasa itu pula yang kemudian menghimpun kesedihannya, lantas butir-butir air—hangat dan berasa garam—menghilir ke pipinya yang letih. Hembus napasnya berderak, dadanya sesak! Macam ada bongkahan bertaring yang kian detak kian membengkak. Oihdah, selalu ada pedih yang tak terkisahkan selain dengan lantak air mata.

CERPEN KOMPAS 2006 “SAMBAL KELUARGA” KARYA PUTHUT EA

Di keluargaku, ada satu jenis sambal yang nyaris tidak pernah absen dari meja makan kami, terutama saat makan pagi. Sambal itu sangat sederhana, baik bahan maupun cara pembuatannya. Beberapa butir cabai hijau, ditambah sepotong kecil bawang putih dengan garam secukupnya, lalu ditetesi minyak goreng panas sisa menggoreng sesuatu.

CERPEN KOMPAS 2006 “ANAK PANAH” KARYA HARRIS EFFENDI THAHAR

Untuk yang kesekian kalinya Nyonya Rakusni menanyakan tentang kemajuan studi Agus di Bandung, putra Anisah, ketika Anisah menerima beberapa liter beras untuk jasa mencuci pakaian. Anisah yang kelihatan lebih tua dari usianya itu tampak begitu gelisah.

CERPEN KOMPAS 2006 “ANAK IBU” KARYA REDA GAUDIAMO

1978

“Berapa?”

“Lima setengah.”

“Lima?”

“Lima setengah, Bu.”

“Lima setengah ya lima!”

“Tapi bisa jadi enam, Bu.”

“Siapa bilang? Kalau lima koma delapan atau sembilan bisa dibulatkan ke atas. Tapi lima setengah, tetap lima! Lima!”

“…”

Sindikasi materi


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler