Skip to Content

Cerpen Kompas 2006

CERPEN KOMPAS 2006 “WENING” KARYA YANUSA NUGROHO

Diangkatnya lengannya perlahan-lahan. Lengkung-lekuk lengan dengan jari meruncing itu membentuk bayangan di tembok. Pergelangan tangan itu ngukel1, lalu telunjuknya menjentik. Dia tersenyum. Keindahan memang tak bisa diam, selalu ingin keluar dan mempertontonkan dirinya. Sekali lagi dia tersenyum, sambil tetap memandangi bayangannya sendiri di tembok.

CERPEN KOMPAS 2006 “TAMBO RADEN SUKMAKARTO” KARYA DWICIPTA

Di masa pemerintahan Gubernur Jenderal Idenburg, di Batavia beredar kisah konyol tentang Raden Sukmakarto, seorang bangsawan Jawa anak Bupati Blora, mahasiswa STOVIA yang tak menyelesaikan studinya karena asyik berpesiar ke Eropa. Bakatnya dalam bidang kesenian telah menggemparkan seluruh Hindia Belanda.

CERPEN KOMPAS 2006 “SELAKSA CELURIT MENGGANTUNG DI SEBALIK DINDING” KARYA MAHWI AIR TAWAR

Bulan, selaksa celurit menggantung di dinding, bilik-bilik kandang. Segaris cahaya menelusup, rebah di halaman. Bayang-bayang pohon siwalan memanjang. Terang, di belakang rumah serupa gubuk, tempat tinggal Madrusin, sepetak ladang rimbun ilalang pucuknya turut bergoyang diayun angin. Cericit tikus, decak cicak, krik-jangkrik, kecipak air dari padasan.

CERPEN KOMPAS 2006 “TUBA” KARYA DAMHURI MUHAMMAD

Tersiar kabar perihal bupati yang mati mendadak berselang beberapa saat setelah meresmikan peletakan batu pertama proyek pembangunan masjid di kecamatan Bulukasap. Saat ditemukan, mayatnya terkapar di lantai kamar dalam keadaan mulut berbusa, seperti korban overdosis, lidah terjulur hingga dagu dan mata terbelalak serupa orang mati setelah gantung diri. Amat menakutkan.

CERPEN KOMPAS 2006 “SUMUR” KARYA GUS TF SAKAI

Lima tahun setelah hari ini, gadis itu akan sering berada di depan televisi. Menatap kosong ke layar kaca yang hampir semua siarannya lima tahun lalu sangat ia benci. Tentu ia tak ingat nama-nama siarannya. Tetapi itulah tayangan yang saat ia lihat langsung membuatnya mual di detik pertama: darah, darah, selalu darah. Mengalir, dari perut yang belah. Menggenang dari kepala yang rengkah.

CERPEN KOMPAS 2006 “POHON KERAMAT” KARYA M DAWAM RAHARDJO

Desa Kalidoso yang terletak sepuluh kilometer dari jalan raya antara Solo dan Purwodadi itu bagaikan sebuah oase yang cukup luas. Sekelilingnya adalah perbukitan kapur yang tandus, tetapi subur bagi pohon jati, sehingga desa itu dilingkari oleh hutan jati.

CERPEN KOMPAS 2006 “RUMAH BERCERITA 460 WATT” KARYA AFRIZAL MALNA

Hampir dua minggu ini bayanganku sibuk dengan rumah kontrakan kami yang baru. Hampir tak ada waktu untuk istirahat. Memperbaiki talang yang bocor, menggali lubang untuk resapan, membuat pagar bambu, mengecat kamar mandi, memperbaiki engsel pintu dan jendela, memasang kabel-kabel listrik.

CERPEN KOMPAS 2006 “TELAGA ANGSA” KARYA DANARTO

Pemandangan panggung malam itu dipenuhi puluhan ekor angsa putih menyebar memenuhi telaga. Kaki-kaki jenjang putih para balerina meluncur ke sana kemari. Membentuk komposisi yang senantiasa berubah. Angsa-angsa putih menyelam, menyembul, dan mengepak beberapa saat di atas permukaan air, lalu mendarat kembali. Mereka saling memagut dan bercinta.

CERPEN KOMPAS 2006 “RETAKAN KISAH” KARYA PUTHUT EA

Aku bisa mengerti, tidak mudah baginya untuk mengingat. Tidak mudah baginya untuk memanggil masa lalu. Mengingat adalah kerja masa kini yang mungkin melelahkannya, sedangkan masa lalu adalah belukar lampau yang terus hidup, tumbuh, dengan cara rumit dan sedih, di sebuah tempat yang sulit dijangkau. Mengingat dan masa lalu adalah dua hal yang terpilin dan sama-sama berdebu.

CERPEN KOMPAS 2006 “MATA MUNGIL YANG MENYIMPAN DUNIA” KARYA AGUS NOOR

Selalu. Setiap pagi. Setiap Gustaf berangkat kerja dan terjebak rutin kemacetan perempatan jalan menjelang kantornya, ia selalu melihat bocah itu tengah bermain-main di kolong jalan layang. Kadang berloncatan, seperti menjolok sesuatu. Kadang hanya merunduk jongkok memandangi trotoar, seolah ada yang perlahan tumbuh dari celah conblock.

Sindikasi materi


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler