Skip to Content

Cerpen Kompas 2006

CERPEN KOMPAS 2006 “RAIBNYA SEORANG SUAMI” KARYA PAMUSUK ENESTE

Pakbitels sedang keluar negeri, kata orang. Pakbitels sedang menyingkir dari hiruk-pikuk kehidupan kota dan kini menyepi ke sebuah desa di lereng gunung, kata yang lain. Pakbitels diamankan yang berwajib, ujar yang lain. Pakbitels mungkin diculik orang tak dikenal, komentar yang lain lagi. Bermacam-macam lagi kata orang mengenai Pakbitels.

CERPEN KOMPAS 2006 “DOA NATAL” KARYA BRE REDANA

Natal akan segera tiba. Dada kami berbuncah-buncah dipenuhi kegembiraan. Pada Natal nanti, kakakku yang tinggal di Jakarta beserta istri, anak-anak, bahkan Mama yang tinggal di Bogor akan datang mengunjungi kami. Mereka akan natalan di sini.

“Mereka akan tinggal di sini?” tanya Pur, istriku.

CERPEN KOMPAS 2006 “DINDING MAWAR” KARYA YANUSA NUGROHO

Tingginya hampir tiga kali tinggiku. Membentang dari utara hingga selatan, selebar kira-kira 700 meter. Tebalnya aku tak tahu persis, karena, bahkan dari celah-celahnya saja, aku tak mampu menembus sisi lain dari bentangan ini. Dan percayalah ini memang sebuah dinding; dinding mawar.

CERPEN KOMPAS 2006 “DI SINI DINGIN SEKALI” KARYA PUTHUT EA

Ibu semakin jarang berbicara. Suaranya terbenam entah di mana. Tidak ada lagi dongeng, dan tidak ada lagi candanya. Semua lenyap. Hanya kini, suara-suara keluar dari tangannya. Apa saja yang dipegangnya selalu berisik. Kadang aku mengira, gempa susulan terjadi lagi. Terutama ketika ia sedang berada di dapur.

CERPEN KOMPAS 2006 “SURGA UNTUK PETANI” KARYA GDE ARYANTHA SOETHAMA

Seorang petani uzur, di desa kaki gunung, menghabiskan 90 tahun, seluruh hidup, untuk bercocok tanam. Ia lahir di gubuk tengah sawah, di sebelah lenguh sapi dan kotek ayam. Usia sembilan bulan ia diajak ke ladang oleh ibunya memetik cabai. Masa kanak-kanak, remaja, dewasa, kawin, beranak cucu dan bercicit, ia lakoni sebagai petani.

CERPEN KOMPAS 2006 “SEBUAH MAKAM DI PUCUK BUKIT” KARYA MARTIN ALEIDA

“Dul, bawalah aku pulang…,” sekonyong-konyong Ibu merajuk di seberang meja makan. “Kebun kelapaku…,” sambungnya menuai kata-kata. “Sudah sebulan kutinggalkan. Ilalang pasti sudah menyemak.” Bagai daun kekeringan, matanya benar-benar memohon.

CERPEN KOMPAS 2006 “ISTRI” KARYA WILSON NADEAK

“Satu tahun adalah waktu yang cukup untuk mencintai dan melupakan, Nak. Sudah saatnya engkau memikirkan janji pernikahanmu yang dahulu, ’sampai kematian memisahkan’ dan kematian itu sudah terjadi. Kini saatnya bagimu untuk melupakan dia yang sudah pergi dan memikirkan masa depan anak-anakmu. Rita dan Joko memerlukan seorang ibu untuk mengasuh mereka pada masa remaja mereka.

CERPEN KOMPAS 2006 “JAS, TONGKAT DAN KESUNYIAN” KARYA INDRA TRANGGONO

Laki-laki tua itu berjalan terbungkuk-bungkuk, diiringi derai suara batuk. Dengan tongkatnya, ia menyusuri jalanan desa Tawang Abang. Jas potongan kuno yang riuh dengan hiasan pangkat-pangkat telah lekat di badan karena cucuran keringat. Di dekat gedung sekolah, ia berhenti melepas lelah. Bagi anak-anak, kehadiran laki-laki itu selalu dianggap aneh dan merangsang untuk digoda.

CERPEN KOMPAS 2006 “MALAIKAT TANAH ASAL” KARYA TRIYANTO TRIWIKROMO

Ketika jendela surga dibuka, ketika pintu neraka ditutup, dan setan-setan dibelenggu, seorang malaikat yang lahir dan tumbuh dari doa serampangan perempuan kencur yang dianggap gila, sekali waktu akan merindukan tanah asal yang kabur. Tanpa sayap, dia akan menumpang kereta, menyusuri rel dan pelacur, menatap kabut dan maut, dan menceracau tentang hutan yang gaduh.

CERPEN KOMPAS 2006 “GEROBAK” KARYA SENO GUMIRA AJIDARMA

Kira-kira sepuluh hari sebelum Lebaran tiba, gerobak-gerobak berwarna putih itu akan muncul di berbagai sudut kota kami, seperti selalu terjadi dalam bulan puasa tahun-tahun belakangan ini. Gerobak itu tidak ada bedanya dengan gerobak pemulung, atau bahkan gerobak sampah lainnya, dengan roda karet dan pegangan kayu untuk dihela kedua lengan di depan.

Sindikasi materi


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler