Skip to Content

Cerpen Kompas 2007

CERPEN KOMPAS 2007: “TUKANG URUT DI TEPI DANAU” KARYA MARTIN ALEIDA

Sudah kusaksikan bagaimana Asikin dibunuh pensiunnya sendiri secara perlahan. Juga Asril. Beberapa bulan sebelum memasuki masa pensiun, mereka mulai berjuang melawan waswas dan perasaan tak berharga, disia-siakan. Perasaan yang terus menyiksa mereka sampai beberapa bulan setelah mereka sudah tidak lagi disambut dengan senang hati di kantor, kalau mereka singgah sekadar melepas rindu.

CERPEN KOMPAS 2007: “GERHANA MATA” KARYA DJENAR MAESA AYU

Malam selalu memberi ketenangan. Banyak kenangan yang begitu mudah dikais dalam ruang-ruang kegelapan. Kenangan yang memang hanya layak mendekam dalam gelap itu seolah mengacung-ngacungkan telunjuknya meminta waktu untuk diingat setiap kali malam bergulir, di atas pembaringan tanpa kekasih yang tak akan hadir.

CERPEN KOMPAS 2007: “CERMIN JIWA” KARYA S PRASETYO UTOMO

Wajah Ulfa jernih, tenang, dan penuh percaya diri. Sepasang lengkung alisnya serupa mantra. Menenteramkan siapa pun yang menatapnya. Ia keluar dari rumah kayu. Menampakkan sosok samar di kebun anggrek. Hangat matahari menyingkap kabut di rambutnya. Dari celah-celah bunga anggrek, ia menatapi Ismail, lelaki muda di seberang jalan. Lelaki itu menyusuri kesunyian ke kantor.

CERPEN KOMPAS 2007: “PERMEN” KARYA AGUS NOOR

Melihat mulut Iza yang terus cembetut, Neal tahu kalau anaknya itu masih kesal karena tak diperbolehkan membeli permen yang tadi sore dilihatnya dijajakan di perempatan jalan. Bukannya Neal tak memperbolehkan Iza makan permen. Anak-anak suka permen, itu biasa. Neal sendiri, sewaktu kanak-kanak, suka sekali permen.

CERPEN KOMPAS 2007: “SERDADU TUA DAN JIPNYA” KARYA WILSON NADEAK

Sudahlah! Kita hidup dengan gaji kita saja. Tidak perlu pikirkan macam-macam. Usia kepala tujuh bukanlah saat yang tepat untuk merawat mobil tua. Kuno lagi. Onderdil jip itu pun sukar dicari. Biarlah kami menikmati masa tua, Pak. Kulihat kau selalu risau dengan kendaraan itu. Sebentar-sebentar pergi ke tempat anak kita dan memintanya supaya memperbaikinya.

CERPEN KOMPAS 2007: “AYAH PULANG” KARYA RATNA INDRASWARI IBRAHIM

Mak Yem meneleponku malam ini, “Tadi siang, Ayah kena serangan jantung lagi, sekarang dirawat di rumah sakit. Nana, sebaiknya kau pulang, tengok ayahmu.”

“Saya besok masih ada pekerjaan, mengapa tidak Yu Ning saja?”

“Mbakmu bilang, Naya (anaknya) sebulan lagi akan ikut ujian SMP. Jadi, dia akan mengirimi kamu uang, agar bisa pulang melihat ayahmu.”

CERPEN KOMPAS 2007: “KOH SU” KARYA PUTHUT EA

Harus kuakui, seluruh gambaranku tentang Koh Su ada pada laki-laki itu. Selama hampir setengah jam aku berada di sini, tidak pernah kudengar suaranya. Tidak juga pernah kulihat ia menoleh ke arah para pemesan dan pengantre. Dingin. Suntuk dengan dunianya sendiri.

CERPEN KOMPAS 2007: “KETIKA MEREKA PULANG” KARYA SUSIALINE ADILIA

Jamal membetulkan sarungnya. Keluar kamar, mengambil senter di meja panjang, membuka pintu belakang, dan menghilang di kegelapan malam. Meninggalkan Imah, istrinya, yang menggigil di kamar sempit pengap. Menjemput Mus. Hanya itu yang bisa dilakukan Jamal jika penyakit Imah kambuh.

CERPEN KOMPAS 2007: “LUH SUMARATIH” KARYA SUNARYONO BASUKI KS

Delapan obor menyala bersama, sementara wajah-wajah berkeringat duduk membentuk lingkaran, mulut mereka berkeciap bak burung-burung kecil menanti jatah makan dari induknya. Suara gamelan bambu dan tiupan seruling sudah terdengar dan dari tadi pemuda-pemuda kampung mengalir ke arena tajen di banjar itu. Penerangan listrik sengaja dipadamkan dan suasana lebih romantis tumbuh dalam cahaya obor.

CERPEN KOMPAS 2007: “MATAHARI MUSIM DINGIN” KARYA TRIYANTO TRIWIKROMO

Jangan pernah percaya pada apa pun yang kau lihat di bawah matahari Melbourne. Mungkin kau pernah menganggap makhluk bersayap merah-biru yang bertengger di genteng rumah berarsitektur Yunani itu hanya sepasang burung Rosella yang menggigil kedinginan.

Sindikasi materi


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler