Skip to Content

Cerpen Kompas 2007

CERPEN KOMPAS 2007: “LEMBAYUNG PAGI, 30 TAHUN KEMUDIAN” KARYA FAKHRUNNAS MA JABBAR

Langit warna-warni berlalu begitu saja. Dari waktu ke waktu selalu saja begitu. Kupetik sehelai awan pagi ini. Lembayung warnanya. Dan setiap burung yang melintasi pagi yang sama, tiba-tiba warnanya jadi lembayung. Hujan turun pun berubah lembayung. Kusaksikan segenap alam yang mengepungku disesaki bayang-bayang lembayung.

CERPEN KOMPAS 2007: “SUKRO DAN SUKRA” KARYA ABA MARDJANI

Langit kelam dan senja lebam dalam guyuran hujan lebat. Kilat menjilat sambung-menyambung seperti ingin membakar langit. Halilintar bersahut-sahutan tiada henti bagai ingin membelah dunia. Kedinginan di halte bus senja itu aku merasa benar-benar kecil. Pasrah oleh jilatan tempias hujan atau sesekali cipratan air yang dilindas ban-ban mobil. Angin berkesiur liar kian kemari.

CERPEN KOMPAS 2007: “MIMPI UNTUK DRESDEN” KARYA FRANSISCA DEWI RIA UTARI

Buku kecil bersampul kertas krep warna ungu pucat. Ada tiga nama tertulis di dalamnya. Urutan pertama yang akan kutemui dalam waktu seperempat jam. Kubuka kembali buku di genggamanku. Ingin kupastikan namanya tak tertukar dengan nama lainnya. Ryan, 27 tahun.

CERPEN KOMPAS 2007: “MALING” KARYA PUTU WIJAYA

I.

Jambangan bunga porselen di rumah Pak Amat hilang. Amat ngamuk.

“Itu hadiah dari Gubernur. Barang kuno Cina dari dinasti Ming. Kalau dijual sekarang bisa lima milyar harganya!” teriak Amat mencak-mencak.

Dari pagi hingga malam Amat uring-uringan dan menyalahkan segala macam sebab yang dianggapnya sudah jadi biang kehilangan.

CERPEN KOMPAS 2007: “KISAH PILOT BEJO” KARYA BUDI DARMA

Barang siapa ingin menyaksikan pilot berwajah kocak, tengoklah Pilot Bejo. Kulitnya licin, wajahnya seperti terbuat dari karet, dan apakah dia sedang gemetar ketakutan, sedih, atau gembira, selalu memancarkan suasana sejuk. Karena itu, kendati dia suka menyendiri, dia sering dicari.

CERPEN KOMPAS 2007: “TANPA PELAYAT DAN MAWAR DUKA” KARYA MARTIN ALEIDA

Ke mana pun dia pergi, di benaknya terbayang sebuah lubang ancaman. Begitu besar dan menakutkan, siap menelannya, menyusul tumbangnya raja tiranis yang berkuasa lebih dari tiga puluh tahun. Dia sadar, di kalangan teman-teman, dia tak lebih dari seonggok daging yang hanya pantas untuk dirajam. Sekalipun begitu, kalau mati, dia menginginkan tempat yang pas untuk jasadnya.

CERPEN KOMPAS 2007: “LAMPU IBU” KARYA ADEK ALWI

Akhirnya bunda datang juga ke Jakarta, didampingi seorang cucu. Kami tidak bisa lagi menutup mata serta telinga beliau. Kasus dan sakitnya abangku, Palinggam, telah disiarkan koran dan televisi. Tak dapat lagi ditutup-tutupi dari bunda.

CERPEN KOMPAS 2007: “EMPAT PEREMPUAN DALAM PERUT BABI” KARYA S PRASETYO UTOMO

Mencapai pelataran rumah Sekar, termangu di bawah pohon kersen yang berbuah lebat, ranum-ranum kemerahan, mengapa yang kutemui malah wajah pucat perempuan itu? Ia tinggal di lingkungan rumah-rumah tua, yang kebanyakan belum lagi dipugar, dengan Eyang Putri, Ibu, dan adik perempuannya. Rupanya perempuan berumur tiga puluhan itu tak pernah menghiraukan datangnya siang dan malam.

CERPEN KOMPAS 2007: “MUSIBAH” KARYA JUJUR PRANANTO

Menjelang tengah malam. Ponsel dekat “bedlamp” bergetar. Terlalu lama untuk sebuah pesan pendek. Di perbatasan antara terjaga dan bermimpi, Budiman berdecak kesal sekaligus meraih ponselnya. Telepon dari Mbak Lita? Di malam selarut ini?

“Halo….” “Budiman? Cepat setel televisi! Laporan khusus!”

Lalu, terdengar suara tut pendek-pendek, pertanda telepon seberang ditutup.

CERPEN KOMPAS 2007: “LINTANG” KARYA RIEKE DIAH PITALOKA

Mengenang perempuan itu ibarat menonton cukilan-cukilan adegan yang diam-diam menyatu dalam sebuah film. Wajahnya seperti embun, matanya bening. Bibir mungilnya selalu tersenyum membuat setiap orang yang bertemu ingin menyapa. Ia seorang perempuan yang merancang sendiri kehidupannya.

Sindikasi materi


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler