Skip to Content

Kartini

KARTINI CAIRO

 

Lampu Kartini

Sosok bunda di malam hari

Menggenggam cahaya di tangan kanannya

Condongkan dagu bunda berdiri

Di belakangnya terangkul sekumpulan pemimpi

 

Surat Kartini kepada Nyonya Abendanon, Agustus 1900

Di sekolah pula Kartini mendapatkan bahan bekal perjuangannya buat pertama kalinya. Ia “masih ingat dengan baiknya masa sekolahnya” itu. Dan salah sebuah yang masih teringat jelas olehnya ialah suatu jam mengaso.

 

Nilai Sastra Menurut Kartini

Telah disebutkan sebelumnya, di dalam masa hidupnya Kartini telah menikmati kemasyhuran karena tulisan-tulisannya. Pada tahun 1901 “mereka telah menulis tentang kecakapan dan bakat kami, yang sebenarnya tidak kami miliki. Jadi terpaksa juga kami tertawa karena antusiasme mereka itu.”[1] Pada kesempatan lain Kartini menulis, bahwa ia :

            Telah getarkan hati orang-orang karena terharu, serta membasahi mata mereka dengan air mata.

Dan selanjutnya ia mengatakan, bahwa pernyataan itu bukanlah suatu kebanggaan diri semata, karena :

            Kukatakan itu untuk menyatakan kepadamu, untuk menunjukan, betapa nilai pena itu meningkat, kalau orang mempergunakan tinta daripada darah jantungnya sendiri.

                Beberapa bulan yang lalu tersedan-sedanlah seorang yang sama sekali tidak kukenal karena telah membaca beberapa buah kata dari tulisanku; ada dia rasai betapa jiwa terobek-robek, dan jantungku meletus, sewaktu kata-kata itu meluncur keluar dari penaku. Tulisan itu sedemikian mempengaruhinya, sehingga ia segera berkemas-kemas untuk menolong aku dari bencana itu.

                Boleh jadi orang berpikir akan menyenangkan hatiku kalau setiap waktu memastikan kepadaku, bahwa tulisanku “indah”. Apa peduliku tentang itu? Mauku, hendaknya tulisan-tulisanku meninggalkan kesan menetap, Stella, dan kedalamannya hanya bisa didapatkan dengan penggalian. Di dalam hatiku, jiwaku harus digali, dibongkar, dan apabila dari situ menyembur darah seperti sebuah air pancur, barulah tulisan itu mengandung nilai. Menyedihkan memang, tapi begitulah.[2]

            Sebagaimana biasa, Kartini tidak memberikan penjelasan lebih lanjut tentang karangan yang disebutkannya di atas. Tapi sudah pastilah, bahwa tulisan itu “belum” sebagaimana yang akan ditulisnya secara sungguh-sungguh, dan masih dalam golongan karangan yang “tidak penting”. Untuk itu kesempatan belum dan tidak akan tersedia baginya. Dalam pada itu ia telah dapat meraba sebelumnya, bila tulisannya yang tetap dalam keadaan “akan ditulis” itu, bila toh akan diterbitkan juga.

            Sudah pastilah, bahwa dunia pribumi akan menentang aku,..... orang akan menganggap aku gila. Namun, gagasan itu indah, yaitu dengan melalui pers memperjuangkan cita-cita.[3]

            Sekalipun tulisannya merupakan rangkaian penilaian, saran, kritik, dan penjelasan, sejalan dengan pandangannya, bahwa:

            Rakyat Jawa dalam beberapa hal lebih tinggi daripada bangsa-bangsa Barat, dalam beberapa hal lain sederajat, dalam beberapa hal selebihnya saja barangkali mereka menjadi bawahan.[4]

                Tetapi pembaca Pribumi, yang pada waktu itu belum mencapai tingkat keterpelajaran sebagai dirinya, mula-mula karena prasangka yang selalu dikecamnya itu, pastilah akan menolak tanpa sesuatu sebab atau alasan, paling sedikit karena ia hanya seorang gadis belum bersuami.

            Seluruh dunia Pribumi waktu itu akan dan sudah mulai menentangnya, termasuk keluarganya yang terdekat sendiri. Padahal ia sangat menbutuhkan “simpati dari dunia yang berpikir”,[5] artinya kaum intelektual terutama Pribumi, untuk mendukung dan memahami Rakyat Jawa dan keinginan-keinginannya. Dunia Pribumi tidak memahaminya, terkecuali dua orang adiknya, Rukmini dan Kardinah, apa lagi membantunya. “Dunia yang berpikir” juga menentangnya, karena hampir semua mereka tidak lain daripada orang-orang kolonial, terkecuali beberapa orang sahabatnya, yang bisa dihitung dengan kedua belah jari tangannya, dan itu pun masih terdapat yang meragukan pula ketulusannya seperti nampak kemudian. Dan bagi “yatim piatu jaman modern” ini memang tiada jalan lain daripada mengambil keputusan yang lebih banyak bersifat taktik politik:

            Juga kami akan bermain komedi sebagai tugas rasa bangga diri kami untuk tidak membiarkan dunia melihat luka-luka yang dideritakan oleh batin kami.[6]

                Dan permainan komedi ini bukan saja Kartini berhasil melolosakan karangan-karangannya untuk dipublikasi, tetapi juga telah menyebabkan ia mendapatkan gaya makna-kembar dalam tulisan-tulisannya, yang hanya dengan penelitian dan pengertian yang cukup akan sejarah hidupnya saja dapat dipahami.

            Beberapa contoh dari gaya makna-kembar Kartini dapat terlihat pada contoh-contoh di bawah ini:

            Terlampau banyak keindahan yang dapat diperbuat di Hindia, baik bagi orang Eropa maupun wanitanya. Dengan kemauan baik sedikit saja mereka dengan mudah bisa dikasihi Pribumi. Orang Jawa tidak mengenal terima kasih, kata orang. Duh! Kalau saja orang pernah dengar bagaimana “kaum mursal” ini menyatakan terima kasih dan cintanya yang mengharukan itu kepada orang-orang Eropa, yang memberikan cinta, tentu orang takkan bicara semacam itu.

                ......

                Hanya dengan pengetahuan salah sebuah bahasa Eropa, dan pertama-tama tentu saja bahasa Belanda, untuk sementara lapisan atas masyarakat Pribumi dapat dibawa ke arah kecerdasan, ke arah kebebasan jiwa!

                ......

                Hendaknya di Nederland orang belajar bertanya dan merenungkan: “Bagaimana nasib Neterland tanpa Hindia?” dan sebaliknya Nederland mengajarkan pada Hindia: “Bagaimana nasib Hindia tanpa Nederland?”[7]

            Apakah tulisan-tulisan Kartini bernilai, sesuai dengan teori yang didapatkannya dan dianutnya? Untuk menjawab itu hanya dibutuhkan pembacaan kembali dengan perhatian semua tulisannya, atau kutipan-kutipan dari tulisan-tulisannya yang dipergunakan dalam buku ini. Kesimpulan tentang bernilai-tidaknya sama sekali terserah pada para pembaca. Tanpa syarat-syarat sastra boleh dikata seluruhnya telah dipenuhinya: penguasaan atas bahasa, nilai ilmu pengetahuan, perikemanusiaan, dan patriotisme yang cukup tinggi. Bahwa ia menggunakan bahasa Belanda, tidak lain disebabkan karena faktor-faktor sosial dan politik di masa itu, serta audiensi yang dipilihnya. Dan tentang pemilihan ini siapapun akan mengakuinya sebagai haknya pribadi.

            Nilai tulisannya nampak semakin gilang-gemilang lagi, bila dipertentangkan dengan sastra atau tulisan-tulisan feodal jaman tengah yang sama sekali telah ditinggalkannya dan sekaligus memasuki jaman modern dengan modernismenya- juga dalam gaya memainkan penanya, dan juga dalam pengertiannya tentang tugas kepengarangannya bagi peningkatan masyarakat, negeri, bangsa, dan Rakyatnya. Sepanjang sejarah tugas kepengarangannya ini tidak pernah disadari sedemikian mendalamnya sebelumnya sampai di tangan Kartini. Sehingga dengan demikian tulisan-tulisannya, sekalipun masalah-masalahnya sudah merupakan bagian dari sejarah, toh masih bisa dibaca, dan membangunkan kekaguman orang pada wanita muda yang hidup dalam kegelapan jaman, seorang diri dalam kepungan para penghancurnya.

 

[1]  Surat, 11 Oktober 1901, kepada Estelle Zeehandelaar. Tidak jelas publikasi Kartini mana yang dimaksudkan.

[2]  Surat, 11 Oktober 1901, kepada Estella Zeehandelaar.

[3]  Surat, 31 Desember 1901, kepada Nyonya Abendanon.

[4]  Surat, 15 Agustus 1902, kepada Estelle Zeehandelaar. Penyusun belum berhasil menemukan publikasi di Alg. Handelsblad seperti disebut oleh K.

[5]  Surat, 29 November 1901, kepada Nyonya Abendanon

[6]  Ibid,

[7]  R.A. Kartini: Nota.

Sindikasi materi


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler