Di pendulum rasa masih tersimpan basin keringatmu. Menyihirku
menjadi kepompong di tepi kolam lebat ilalang. Di tempatmu berdiri
Pada remang
langit berarak sesak ke arah kita. Melambai ke penjuru
gerah mengusir udara. Tersayat aku oleh patahan kata-kata
Mematut diri dan bersolek lama cermin kau tatap. Sedikit merutuk dan bersungut
waktu serupa miang mencabar pikat. Gurat kusam itu serupa jejak kemarau meranggas
Di penghujung hari sepekan terakhir itu kita bersua. Binar rindu di matamu
meletup nyaliku hendak merangkul. Tapi urung. Selalu saja aku kehilangan
Pernah kita adu nyali memperdebatkan sebuah musabab. Adam pokok pencipta petaka
katamu menuding sengit. Urat lehermu tegang seumpama kawat tali jemuran. Penuh dengki
Berselonjor menatap kaki langit. Lidah ombak menjilati bibir pantai Busan menjelang
matahari turun sepenggala. Lalu lalang kapal barang menuju dermaga mengingatkan kita
Di penghujung pagi terang tanah embun menjuntai pada ujung dedaun. Berkilau dalam samar
cahaya fajar segera memupus. Ada yang terbata bangun dalam kesiap. Nanar menatap sekeliling
Ingin apa kuperbuat lagi. Acap jendela kau buka keluhmu tak berjeda. Awas tatapmu
enggan berpaling pada hijau rumput tetangga. Dari balik daun pintu kukunyah gemeretak
Di daun jendela selalu termenung. Bulan sepenggal membentuk sabit
pucat di lingkar mega menuju mati. Ada ketakutan saat kau masuki dini hari
Pada dada suamimu sering tak kau temui degup jantungnya kala kau susup
telinga peka itu mengurai tanya. Sesekali terabaikan. Seperti kau ingin menguak
Komentar Terbaru