Tak hendak kuhitung waktu lewat. Begitu sempit jarak kini tercipta. Selarik napasmu
kudengar berat nian terbeban. Begitu banyak air mata menangisi nasib. Dan malam ini
Engkau berkenalan denganku ketika huruf jatuh dari lembaran
kitab kusam yang kau baca gemetar di tangan. Belum sempurna rasa
Seperti inilah diriku. Mengawang langit awan berarak tak jinak. Liar serupa pikirku
dalam alur arah tak berujung. Semesta sungguh luas, tapi hatiku kadang picik memetakan
Biarkan kucangkul ladang baru, pintaku padamu kala pagi enggan beranjak pergi. Dingin
membuatmu meringkuk di bawah selimut. Tak ada dekap manja seperti musim jumpa pertama
Beribu mil laut kau belah untuk sampai pada sebuah tujuan. Di situ kau mukim sementara
di sini kau tinggal selembar hati masih perawan: anak semata wayang kita kau beri nama
Kita pancung kalimat sepuas mau. Terpenggal jadi kata-kata mencari induk semang
dalam pikiran kita merenung, menyimpan diri sendiri. Inilah kita, kau, dan juga aku
Kusesap gurih teh dalam cangkir pagi hari. Legit di ujung lidah membetik selera sambilan
menerawangi semangat pemetiknya di lereng sejuk Jawa Barat. Di perkebunan milik PN itu
Di selasar negeri Serambi Mekkah kita bertukar pandang. Luas padang dan puing
menimbun para pendulang nyawa dalam sekejap. Merentet ke selatan bau amis memenuhi
Engkau mendengus sembari mengendus. Aromaku kental kencur sangat belia. Tetapi
jangan kau buang tatap dan menuding. Berbekal semangat dilahirkannya aku dari rahim
Tak ada suara. Senyap malam ini sejak kuusir kau dari bilik yang menyimpan nama
perempuan lain dalam sosok bukan dirimu. Merah bibirnya bergincu memicuku berlari
Komentar Terbaru