Skip to Content

ANGKATAN 70-AN: KEMBALI KE TRADISI

Foto SIHALOHOLISTICK

(Konsep Estetik Abdul Hadi WM tentang Angkatan 70-an)*

Maman S Mahayana*

Dalam perjalanan sejarah kesusastraan Indonesia, kita mengenal adanya sejumlah penyebutan tentang penggolongan, periodesasi atau angkatan. Penyebutan itu tentu saja tidak serta-merta muncul begitu saja. Selalu ada usaha untuk merumuskan semangat yang melatarbelakanginya atau gerakan estetik yang mendasari karya-karya yang muncul sejalan dengan semangat zamannya. Dari sejumlah penamaan tentang angkatan atau periodesasi itu,[1] menurut hemat saya, hanya ada tiga angkatan yang melandasi penamaannya atas dasar semangat atau gerakan estetik, yaitu Pujangga Baru,[2] Angkatan 45,[3] dan sastrawan yang muncul pasca-Angkatan 66, [4] yaitu Angkatan 70-an.[5]

Sastrawan yang muncul pasca-Angkatan 66, seperti menghadapi kegelisahan yang sama tentang situasi kesusastraan—dan kebudayaan—pasca Tragedi 1965, yaitu adanya semangat kebebasan berekspresi. Semangat kebebasan berekspresi itu dimungkinkan oleh beberapa faktor berikut: (1) pudarnya pengaruh politik dalam kesenian, dan lebih khusus lagi, kesusastraan. Penolakan para seniman terhadap campur tangan politik dalam wilayah kesenian, telah menghilangkan tekanan-tekanan psikologis yang justru sangat penting bagi proses penciptaan karya seni, (2) penerbitan kembali sejumlah majalah dan suratkabar yang independen dan menyediakan rubrik sastra, memungkinkan sastrawan punya banyak pilihan untuk mengirimkan karya-karyanya ke berbagai media massa itu tanpa pretensi adanya faktor di luar sastra, (3) terbitnya majalah Horison, majalah Sastra –yang kemudian menghentikan penerbitannya akibat kasus cerpen “Langit Makin Mendung”—  dan Budaya Jaya yang memberi tempat bagi karya-karya eksperimental, ikut menciptakan suasana bagi lahirnya karya-karya yang lebih berbobot, sekaligus memungkinkan lahirnya sastrawan-sastrawan baru, (4) berdirinya Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) yang didukung sepenuhnya oleh Pemerintah DKI Jakarta, telah ikut mendorong lahirnya semangat berkreasi dan keberanian untuk melakukan eksperimentasi, (5) terjadinya pergeseran orientasi sastrawan dalam memandang tradisi budaya tempatan memberi kemungkinan yang lebih luas bagi para sastrawan dalam melakukan eksplorasi estetiknya.

Sejak tahun 1968, dan terutama paroh pertama tahun 1970-an, bermunculanlah karya sastra yang memperlihatkan semangat kebebasan berkreasi.[6] Pada masa itu, berbagai karya eksperimental seperti memperoleh lahan yang subur dan momentum yang baik. Karya-karya eksperimental itu mencakupi semua ragam sastra (puisi, novel dan cerpen, dan drama). Maka, di antara karya-karya yang konvensional yang terbit tahun 1970-an, tidak sedikit pula yang memperlihatkan semangat kebebasan itu yang diejawantahkan dalam bentuk karya-karya eksperimental. Sementara itu, nama-nama yang oleh H.B. Jassin dimasukkan ke dalam Angkatan 66, dalam tahun 1970-an itu, justru makin memperlihatkan kematangannya. Jika disederhanakan, sastrawan tahun 1970-an, berdasarkan karya-karya yang dihasilkannya, dapat dibagi ke dalam tiga kelompok.

Pertama, mereka yang termasuk Angkatan 66 atau yang telah berkarya pada dasawarsa tahun 1960-an, bahkan sudah sejak dasawarsa tahun 1950-an, tetapi mulai makin matang pada tahun 1970-an. Jadi, kelompok ini dapat disebut sebagai sastrawan senior mengingat kiprah mereka yang memang sudah dimulai tahun-tahun sebelumnya. Yang termasuk kelompok sastrawan dari golongan ini antara lain, Gerson Poyk, Goenawan Mohamad, Hartojo Andangdjaja, Husni Djamaludin, M. Fudoli Zaini, M. Poppy Hutagalung, Mahbub Djunaidi, Mohammad Diponegoro, Nasyah Djamin, N.H. Dini, Rachmat Djoko Pradopo, Rendra, Saini KM, Sapardi Djoko Damono, Satyagraha Hoerip, Slamet Sukirnanto, Sori Siregar, Subagio Sastrowardojo, Taufiq Ismail, Titis Basino, Umar Kayam, Wildam Yatim, dan Wing Kardjo.

Kedua, mereka yang karya-karyanya baru muncul tahun 1970-an. Yang termasuk sastrawan golongan ini, antara lain,  Abrar Yusra, Arswendo Atmowiloto, Aspar Paturusi, Budiman S. Hartoyo, D. Zawawi Imron, Darmanto Jatman, Diah Hadaning, Ediruslan PE Amanriza, Emha Ainun Nadjib, Frans Nadjira, Hamid Jabbar, Iman Budhi Santosa, Korrie Layun Rampan, Linus Suryadi AG, Marianne Katoppo, Putu Arya Tirtawirya, Ragil Suwarna Pragolapati, Rayani Sriwidodo, Sanento Yuliman, Seno Gumira Ajidarma, Sides Sudyarto DS, Th. Sri Rahayu Prihatmi, Toeti Herati Noerhadi, dan Wisran Hadi.

Ketiga, mereka yang menghasilkan karya dengan kecenderungan melakukan eksperimentasi. Di antaranya, ada yang sudah berkarya sejak tahun 1960-an, ada pula yang kemunculannya pada tahun 1970-an itu. Yang termasuk ke dalam golongan ini, antara lain, Iwan Simatupang, Arifin C. Noer, Danarto, Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi WM, Kuntowijoyo, Putu Wijaya, Ikranagara, Ibrahim Sattah, Leon Agusta, Akhudiat, Adri Darmadji Woko, Darmanto Jatman, dan Yudhistira ANM Massardi.

Dilihat dari kecenderungan karya-karya mereka, ada semangat yang sama yang menjadi landasan dan wawasan estetiknya, yaitu semacam kerinduan untuk menggali nilai-nilai tradisi masa lalu budaya leluhur. Menurut Abdul Hadi WM, corak pendekatan dan sikap terhadap tradisi itu dapat dibagi ke dalam tiga kelompok kecenderungan:

  1. Mereka yang mengambil unsur-unsur budaya tradisional untuk keperluan inovasi dalam pengucapan. Mereka melihat bahwa dalam tradisi terdapat unsur-unsur dan aspek-aspek yang relevan bagi pandangan hidup manusia mutakhir, khususnya irrasionalisme yang ternyata mendapat perhatian kaum eksistensialis dan penganut aliran sastra absurd;
  2. Mereka yang mengklaim menumpukan perhatian hanya terhadap satu budaya daerah saja seperti Jawa, Minangkabau, Melayu Riau, Sunda dan lain-lain. Para penulis kecenderungan ini berkarya dengan maksud memberi corak khas kedaerahan terhadap perkembangan kesusastraan Indonesia;
  3. Mereka yang mengambil tradisi langsung dari bentuk-bentuk spiritualitas dan agama tertentu dengan kesadaran bahwa tradisi dan budaya masyarakat Indonesia terbentuk berkat masuknya beberapa agama besar, seperti Hindu, Buddha, dan Islam.[7]

Berdasarkan ketiga kecenderungan itu, Abdul Hadi menyebutkan karya-karya dari sejumlah sastrawan sebagaimana yang terlihat dalam kutipan berikut ini:

Kecenderungan pertama, yang menyikapi tradisi dengan begitu kreatif untuk keperluan inovasi, dapat dilihat pada karya-karya Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Arifin C Noer, dan Sutardji Calzoum Bachri. Dalam seni tari dan teater tampak dalam karya Sardono W. Kusumo, Arifin C. Noer, W.S. Rendra, Putu Wijaya, dan Ikranagara. Mereka tidak berpretensi kedaerahan walaupun sadar mengambil unsur tradisi daerah.

Kecenderungan kedua dalam sastra dapat dilihat dalam karya-karya Nh. Dini, Umar Kayam, Ahmad Tohari,[8] Darmanto Jt., Linus Suryadi A.G., Wisran Hadi, Ibrahim Sattah, Subagio Sastrowardojo, dan lain-lain. … Kebanyakan dari mereka melihat tradisi sebagai produk sejarah yang bentuk-bentuknya sukar diubah dan merupakan ciri khas budaya masyarakat tertentu yang mungkin tak dimiliki suku bangsa lain.

Kecenderungan ketiga, yang menghubungkan diri dengan sumber-sumber agama dan bentuk-bentuk spiritualitas agama tampak dalam karya-karya Danarto, Abdul Hadi WM, Kuntowijoyo, M. Fudoli Zaini, Taufiq Ismail, Emha Ainun Nadjib, D. Zawawi Imron, juga Sutardji Calzoum Bachri (dalam tahap akhir perkembangan kepenyairannya).[9]

Bagi Abdul Hadi WM,[10] munculnya “kesadaran baru” dan “wawasan estetik baru” itu menunjukkan adanya perbedaan yang tajam dengan semangat dan wawasan estetik seperti yang terdapat pada karya-karya periode sebelumnya. Kecenderungan yang lain tampak dari kesadaran sastrawan tahun 1970-an itu yang mulai menolak realisme formal, dan mulai menerima improvisasi dan anti-rasionalisme. Danarto, bahkan menambahkan, selain anti-intelektualisme dan anti-rasionalisme, ada kecenderungan lain yang mencolok, yaitu adanya penjelajahan terhadap mistisisme dan tasawuf. Ciri lainnya, seperti dikatakan Dami N. Toda adalah anti-slogan. Pada karya-karya sastrawan tahun 1970-an itu, tak ada lagi semboyan seni untuk rakyat atau seni untuk seni, tak ada lagi slogan cinta tanah air, humanisme universal atau pertentangan Timur—Barat. Jadi, ada kesadaran dan semangat yang sama yang tampak dari karya-karya sastrawan tahun 1970-an itu berkenaan dengan wawasan estetik, pandangan, sikap hidup pengarang, semangat dan orientasi kebudayaannya. Atas dasar itulah, Abdul Hadi WM menamakan sastrawan periode itu sebagai Angkatan 70 dalam sastra Indonesia.[11]

Alasan utama yang menjadi pemikiran Abdul Hadi menyebut sastrawan periode itu sebagai Angkatan 70 didasari oleh adanya semacam gerakan sastra yang membawa ciri baru dan perbedaan yang mencolok dengan ciri gerakan sastra sebelumnya. “Jadi, pangkal-tolaknya adalah karya-karya yang merintis pembaharuan, yang kemudian melahirkan kemungkinan-kemungkinan baru sebagai hasil dari proses interaksi dengan kehidupan sosial, moral, intelektual, dan spiritual lingkungan dan zamannya.”

Ciri-ciri yang mencolok dari eksperimentasi yang diperlihatkan karya-karya yang muncul dasawarsa 1970-an itu, dapatlah disebutkan beberapa di antaranya. Untuk novel yang dapat diwakili oleh karya Iwan Simatupang, Putu Wijaya, Kuntowijoyo, dan Budi Darma,[12] memperlihatkan adanya kesamaan tema yang mengangkat masalah keterasingan manusia modern dan kehidupan yang absurd. Identitas tokoh menjadi tidak penting yang ditandai dengan penamaan Tokoh Kita (dalam novel-novel Iwan Simatupang) atau cukup disebutkan lelaki setengah baya, penjaga kuburan, buruh pabrik, walikota, pensiunan dan beberapa nama jabatan atau status sosial yang bisa berlaku untuk siapa saja. Latar tempat dan latar waktu juga tidak mengacu pada tempat dan waktu tertentu, sehingga dapat berlaku di mana dan kapan saja. Alur yang dalam novel konvensional selalu harus didasari pada rangkaian peristiwa yang mempunyai pertalian hubungan sebab-akibat (kausalitas), dalam novel-novel tahun 1970-an itu tidak lagi berlaku. Segala peristiwa bisa tumpang-tindih tak ada hubungan sebab-akibatnya (kausalitas). Peristiwa yang dihasilkan lakuan dan pikiran disajikan seketika secara serempak, seolah-olah peristiwa itu datang saling menyergap. Akibatnya, peristiwa itu seperti tidak jelas lagi juntrungannya. Model novel-novel yang seperti inilah yang kemudian disebut sebagai novel arus kesadaran (stream of conciousness), sebuah aliran dalam sastra (terutama prosa) yang menekankan cerita melalui pikiran, perasaan, dan alam bawah sadar tokoh-tokohnya.

Untuk cerpen, dapatlah kiranya diwakili oleh karya-karya Danarto, Putu Wijaya, Kuntowijoyo, Fudoli Zaini, dan Umar Kayam[13] Lebih khusus lagi pada cerpen-cerpen Danarto, tokoh-tokoh yang muncul bisa apa saja. Air, batu, hewan, tanaman, atau benda dan binatang apapun, bisa saja menjadi tokoh yang juga dapat berdialog dengan tokoh lain. Kumpulan cerpen Danarto, Godlob (1976) dan Adam Ma’Rifat (1982) memperlihatkan adanya penggalian mistisisme Jawa dan tasawuf, sedangkan kumpulan cerpen Kuntowijoyo dan Fudoli Zaini mengedepankan tema-tema sufistik. Yang sangat kuat mengungkapkan warna lokal budaya Jawa tampak pada cerpen-cerpen Umar Kayam, Sri Sumarah dan Bawuk, sementara karya-karya Putu Wijaya yang cenderung menampilkan serangkaian teror mengangkat tema-tema keterasingan manusia perkotaan. Begitulah, cerpen-cerpen Indonesia pada dasawarsa tahun 1970-an seperti sengaja melepaskan diri dari konvensi cerpen sebelumnya. Ada inovasi (pembaruan) dan pemberontakan terhadap wawasan estetik cerpen-cerpen periode sebelumnya. Itulah yang dimaksud dengan adanya kecenderungan baru, baik yang menyangkut tema cerita, tokoh yang ditampilkan, alur cerita, maupun cara penyajiannya.

Untuk bidang drama, dapat diwakili oleh karya-karya Arifin C. Noer (10 Maret 1941—28 Mei 1995), Putu Wijaya, Rendra, Danarto, dan Ikranagara.[14] Ciri khas yang menonjol dari karya mereka adalah terbukanya peluang bagi para pemain untuk melakukan improvisasi. Dalam hal ini, para pemain yang dalam konvensi drama sebelumnya harus tunduk dan setia pada teks naskah, kini para pemain itu dibolehkan melakukan improvisasi atau menyampaikan sesuatu di luar teks drama. Bahkan, ada pula naskah drama yang penulisannya bersamaan dengan proses latihan, sehingga begitu proses latihan selama beberapa minggu itu selesai, selesai pula penulisan naskahnya. Jadi, naskah diperlakukan hanya sebatas pegangan dasar, dan ketika pemain mempunyai kesempatan untuk mengembangkan ekspresinya, pemain boleh melakukan improvisasi. Dengan begitu, pemain juga dituntut kreatif memanfaatkan momen-momen tertentu untuk mengekspresikan potensi permainannya.

Selain itu, mengingat identitas tokoh sengaja dibuat tidak jelas, maka seorang pemain dimungkinkan dapat menjalankan peran lebih dari satu tokoh. Ciri khas lainnya menyangkut lepasnya keterikatan pada panggung. Dalam hal ini, naskah-naskah drama yang konvensional, lazimnya sangat terikat pada panggung. Artinya, naskah itu harus sangat mempertimbangkan tata letak panggung berikut properti lainnya. Jadi, jika dalam konvensi naskah-naskah drama sebelumnya, latar tempat dengan segala propertinya harus serba jelas dan konkret, maka dalam sebagian naskah drama yang muncul tahun 1970-an itu, panggung tidak lagi menjadi penting. Naskah drama itu ditulis dengan kesadaran bahwa pementasan itu dapat dilangsungkan di mana saja, di sembarang tempat. Jelas bahwa dramawan Indonesia pada dasawarsa tahun 1970-an itu, tidak hanya menyerap pengaruh drama kontemporer Barat, terutama drama-drama absurd, tetapi juga menyerap unsur drama tradisional yang banyak terdapat di Nusantara ini, seperti ketoprak (Jawa Timur), tanjidor dan lenong (Betawi). Demikian juga kostum pemain, tidak perlu sangat bergantung pada kostum tertentu. Bahkan, Rendra tampil pula dengan drama Bip-Bop, sebuah drama mini kata yang lebih mementingkan lakuan daripada dialog. Akibatnya, drama itu miskin sekali dialog, karena di sana yang dipentingkan adalah lakuan.[15]

Dalam bidang puisi, terjadi juga pemberontakan terhadap konvensi yang berlaku sebelumnya. Ikatan pada bait dan larik yang dalam puisi-puisi sebelumnya –terutama puisi zaman Pujangga Baru— sudah ditinggalkan Chairil Anwar, pada tahun 70-an itu tidak lagi dipersoalkan. Artinya, para penyair tidak merasa perlu memikirkan bait dan larik dalam puisinya itu. Puisi tahun 1970-an cenderung lebih mementingkan ekspresi untuk mendukung tema yang hendak disampaikan. Karena itu, ada puisi naratif yang panjang menyerupai bentuk prosa,[16] ada pula yang sengaja disusun pendek-pendek. Dalam hal ini, semakin tidak jelas batas tegas antara prosa dan puisi. Penyair boleh saja menuliskan puisinya seperti sebuah cerpen, jika si penyair hendak memanfaatkan narasi bagi kepentingan puisinya. Selain itu, gencar pula kecenderungan untuk menggali akar tradisi kultural tempat penyair itu lahir dan dibesarkan. Sutardji Calzoum Bachri, Ibrahim Sattah, Abdul Hadi WM, Adji Darmadji Woko, Linus Suryadi, Darmanto Jatman, D. Zawawi Imaron, Goenawan Mohamad, Emha Ainun Nadjib, Hamid Jabbar, adalah beberapa nama yang menonjol mengangkat tradisi kulturalnya.

Seperti posisi Chairil Anwar bagi Angkatan 45 dalam sastra Indonesia, kedudukan Sutardji Calzoum Bachri bagi Angkatan 70, juga tidak terpisahkan. Ia menjadi ikon bagi gerakan sastra pada dekade itu. Pemberontakan yang dilakukan Sutardji Calzoum Bachri tidak hanya berhenti pada tataran bentuk –yang tak lagi mempersoalkan bait dan larik atau rima persajakan—tetapi juga makna. Abdul Hadi menyebutnya sebagai penyair avant-garde dengan kredo puisinya yang kontroversial dan menghebohkan.[17] Penyair kelahiran Riau ini berhasil memanfaatkan mantera dari tradisi leluhurnya (Melayu) untuk kepentingan persajakannya yang tampak liar dan memukau. Di samping itu, renungannya yang mendalam tentang maut, kefanaan manusia, pencarian dan kerinduan pada Tuhan, memancarkan sebuah kesadaran transendental baru, yang dikatakan Abdul Hadi sebagai kesadaran sufistik.[18]

Kredo atau pernyataan sikap penyair Sutardji Calzoum Bachri, boleh dikatakan merupakan bentuk kesadaran itu dalam usahanya menawarkan pembaharuan. Kredo Sutardji Calzoum Bachri yang bertarikh 30 Maret 1973 dan kemudian dimuat dalam majalah Horison (No. 12, Th. 9, Desember 1974) merupakan wujud pernyataan sikap atas pendirian kepenyairannya. Berikut ini dikutip beberapa bagian dari Kredo Puisi tersebut.

Dalam (penciptaan) puisi saya, kata-kata saya biarkan bebas. Dalam gairahnya karena telah menemukan kebebasan, kata-kata meloncat-loncat dan menari-nari di atas kertas, mabuk dan menelanjangi dirinya sendiri, mondar-mandir berkali-kali menunjukkan muka dan belakangnya yang mungkin sama atau tak sama, ….

Sebagai penyair saya hanya menjaga –sepanjang tidak mengganggu kebebasannya– agar kehadirannya yang bebas sebagai pembentuk pengertiannya sendiri, bisa mendapatkan aksentuasi yang maksimal.

Menulis puisi bagi saya adalah membebaskan kata-kata yang berarti mengembalikan kata-kata pada awal-mulanya. Pada mulanya–adalah Kata. Dan Kata Pertama adalah Mantera. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantera.”[19]

Jika Sutardji Calzoum Bachri memanfaatkan mantera dari kultur Melayu[20] dan belakangan masuk pengaruh pemikiran tasawuf dalam karya-karyanya yang kemudian, Linus Suryadi AG (3 Maret 1951—30 Juli 1999) dan Darmanto Jatman menggunakan kultur Jawa sebagai unsur penting dalam mengungkapkan ekspresi puitiknya. Goenawan Mohamad  lebih khusus lagi mengangkat simbol-simbol dunia pewayangan, sedangkan Sapardi Djoko Damono –terutama pada awal-awal kepenyairannya— cenderung berorientasi pada filsafat Jawa. Dari kultur lain, muncul pula Abdul Hadi WM dan D. Zawawi Imron (Madura), meski Abdul Hadi banyak pula menyerap pengaruh karya-karya agung para sastrawan sufi.

Dinamika yang terjadi dalam sastra Indonesia tahun 1970-an sebenarnya jauh lebih semarak. Selain bermunculan karya-karya yang mengusung tema-tema yang berkaitan dengan tradisi budaya leluhur (Batak, Cirebon, Dayak, Jawa, Madura, Melayu, Minangkabau), tema-tema sufisme (tasawuf),[21] dan keterasingan manusia modern, juga muncul beberapa gerakan yang ikut menyemarakkan kehidupan kesusastraan Indonesia tahun 70-an itu. Ada tiga hal yang menandai terjadinya kesemarakan itu dan terus berlanjut pada periode berikutnya.

Pertama, terbitnya sejumlah majalah hiburan, seperti Vista, Selecta, Varia, Aktuil, Top, Flamboyan, Violeta, yang kemudian disusul majalah-majalah wanita –Kartini Grup, di satu sisi melahirklan penulis-penulis baru, dan terutama para penulis wanita, dan di sisi lain, ikut menyebarkan popularitas sastra hiburan. Meskipun yang disebut terakhir –sastra hiburan—yang kemudian lebih sering disebut sastra populer, sudah berkembang sejak zaman sebelum Balai Pustaka,[22] kemudian semarak kembali pada dasawarsa tahun 1950-an,[23] pada tahun 1970-an itu keberadaannya cukup banyak mengundang reaksi berbagai kalangan.[24] Beberapa novel Motinggo Boesje, Remy Sylado, menyusul Abdullah Harahap, Eddy D. Iskandar, Teguh Esha, Ashadi Siregar sampai ke novel yang ditulis para pengarang wanita, seperti Ike Soepomo, Marga T., Mira W. yang terbit tahun 1970-an itu adalah contoh novel populer.[25]  Dalam hal ini, seyogianya kita menempatkan posisi novel populer itu secara proporsional, sebab ada novel populer yang baik, ada pula yang buruk. Beberapa karya dari pengarang yang disebutkan itu, boleh dikatakan termasuk kategori novel populer yang baik. Bukankah novel-novel sastra yang serius juga ada yang masuk kategori baik, ada juga yang jelek?

Kedua, munculnya gerakan para penulis muda yang hendak memberontak pada kemapanan para penyair senior dan gugatan terhadap majalah Horison yang tidak dapat menampung karya-karya mereka.[26] Penganjur utama gerakan ini adalah Remy Sylado (= 23761, nama pena Japie Tambayong) yang kebetulan menjadi pengasuh majalah Aktuil (1972—1978). Dalam majalah itulah, karya-karya mereka itu dimuat dan kemudian diberi label “Puisi Mbeling.” Salah satu ciri utama puisi mbeling adalah kuatnya semangat berkelakar, kata-kata dipermainkan begitu rupa, dan bentuk tipografi dimanfaatkan untuk mencapai efek kelakar itu. Di balik kelakar itu, ada sesuatu yang hendak ditawarkan mereka, yaitu kritik sosial dan kritik atas dominasi etnis tertentu dalam perekonomian nasional.[27]

Ketiga, jika majalah Aktuil dan majalah Top menggugat kemapanan majalah Horison dan para penyair senior melalui rubrik “Puisi Mbeling” atau “Puisi Lugu” yang isinya terkesan berkelakar, maka hal yang sama juga dilakukan dalam sebuah forum yang disebut “Pengadilan Puisi”. Forum yang pada mulanya terkesan bermain-main itu diselenggarakan di Universitas Parahyangan, Bandung, 8 September 1974. Bagaimana mungkin sebuah puisi diadili dengan menampilkan Sanento Yuliman sebagai Hakim Ketua, Darmanto Jatman sebagai Hakim Anggota, Slamet Kirnanto sebagai Jaksa, Taufiq Ismail sebagai Pembela dan sejumlah sastrawan Indonesia sebagai saksi-saksi? Saksi yang memberatkan antara lain, Sutardji Calzoum Bachri, Sides Sudyarto, Abdul Hadi WM, dan Pamusuk Eneste, sedangkan Saini KM, Wing Kardjo, Adri Darmadji, dan Yudistira A.N. bertindak sebagai saksi yang meringankan. Sesungguhnya, di balik kesan main-main itu, di dalamnya ada semangat pemberontakan terhadap perpuisian Indonesia. Ada tiga instansi yang menjadi sasaran gugatannya, yaitu (1) sistem penilaian terhadap puisi Indonesia mutakhir, (2) kritikus sastra: H.B. Jassin dan M.S. Hutagalung, (3) penyair mapan: Subagio Sastrowardojo, Rendra, dan Goenawan Mohammad, dan (4) majalah sastra: Horison.

Slamet Kirnanto yang bertindak sebagai Jaksa mengajukan empat tuntutan:

  1. Para kritikus yang tidak mampu lagi mengikuti perkembangan kehidupan puisi mutakhir, khususnya H.B. Jassin dan M.S. Hutagalung harus “dipensiunkan” dari peranan yang pernah mereka miliki.
  2. Para editor majalah sastra, khususnya Horison (Sapardi Djoko Damono) dicutibesarkan.
  3. Para penyair established (mapan): Subagio, Rendra, Goenawan dan sebagainya (dll) dilarang menulis puisi dan para epigonnya harus dikenakan hukum pembuangan. Dan bagi inkarnasinya dibuang ke pulau yang paling terpencil.
  4. Horison dan Budaja Djaja harus dicabut “SIT”-nya dan yang sudah terbit selama ini dinyatakan tidak berlaku. Dan dilarang dibaca oleh peminat sastra dan masyarakat umum. Sebab akan mengisruhkan perkembangan sastra puisi yang kita harapkan sehat dan wajar.[28]

 Majelis Hakim yang diketuai Sanento Yuliman menolak semua tuntutan Slamet Kirnanto. Adapun keputusan Majelis Hakim tersebut adalah berikut ini:

  1. Para kritikus sastra tetap diizinkan untuk menulis dan mengembangkan kegiatan serta meneruskan eksistensinya, dengan catatan harus segera mengikuti kursus penaikan mutu dalam Sekolah Kritikus Sastra, yang akan segera didirikan.
  2. Para redaktur Horison tetap diizinkan terus memegang jabatan mereka, selama mereka tidak merasa malu. Bila dikehendaki sendiri, mereka boleh mengundurkan diri.
  3. Para penyair mapan, established, masih diberi peluang untuk berkembang terus. Begitu juga para penyair epigon dan inkarnatif, boleh menulis terus dengan keharusan segera masuk ke dalam Panti Asuhan atau Rumah Perawatan Epigon.
  4. Majalah sastra Horison tidak perlu dicabut Surat Izin Cetak dan Surat Izin Terbit-nya, hanya di belakang nama lama harus diembel-embeli kata “Baru”, sehingga menjadi Horison Baru. Masyarakat luas tetap mendapat izin membaca sastra dan membaca puisi.[29]

 

“Pengadilan Puisi” sebagai sebuah peristiwa budaya tidaklah berpengaruh besar bagi proses penciptaan. Meskipun demikian, peristiwa itu tetap dapat dianggap penting mengingat ia mewakili semangat zamannya. Bagaimana para penyair muda masa itu merasa perlu melakukan perlawanan terhadap dominasi dan pengaruh penyair sebelumnya. Bagaimana pula mereka mengusung semangat perubahan. Dengan merujuk pada usaha pembaharuan yang dilakukan Sutardji Calzoum Bachri, para penyair muda itu hendak menegaskan kembali keberadaan dan kontribusi mereka dalam perkembangan kesusastraan Indonesia.

Selang dua minggu setelah peristiwa itu, tepatnya 21 September 1974, di Jakarta diselenggarakan acara “Jawaban atas Pengadilan Puisi” dengan menampilkan para pembicara yang namanya disebut-sebut dalam Pengadilan Puisi, yaitu H.B. Jassin, M.S. Hutagalung, Goenawan Mohamad, dan Sapardi Djoko Damono. Jawaban yang lebih menyerupai semacam pembelaan ini, tidak memberi pengaruh penting bagi perkembangan sastra Indonesia.

Demikianlah, kesusastraan Indonesia pada dasawarsa 1970-an itu memperlihatkan sebuah perkembangan penting yang tidak sekadar heboh sebagai sebuah wacana konseptual, melainkan diikuti dengan sejumlah karya yang dilandasi oleh kesadaran dan semangat membangun gerakan estetik. Hal tersebut ditandai dengan lahirnya berbagai karya eksperimental, polemik dan perdebatan mengenai konsep-konsep kesastraan, serta derasnya semangat melakukan perubahan. Dalam hal itulah, pemikiran Abdul Hadi WM laksana merepresentasikan gerakan estetik Angkatan 70-an itu. Gerakan estetik itu seperti memperoleh legitimasi manakala Abdul Hadi WM selama lebih dari satu dasawarsa (1979—1990) mengasuh rubrik Dialog, sebuah lembaran kebudayaan dalam suratkabar Berita Buana. Dalam konteks itu, Abdul Hadi tidak hanya bertindak sekadar sebagai pengasuh, melainkan redaktur yang mempunyai kesadaran visioner yang coba menawarkan sebuah model estetik dalam kesusastraan dan kebudayaan Indonesia.

 

* Makalah Seminar Tapak Budaya Paramadina: “Paradigma Abdul Hadi WM dalam Kebudayaan Indonesia” diselenggarakan Universitas Paramadina Mulya di Jakarta, 9 Juni 2008.

* Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, dosen luar biasa Universitas Paramadina Mulya, Jakarta.


 [1] Beberapa pengamat sastra Indonesia kerap menyebutkan beberapa angkatan yang dianggap sebagai tonggak perjalanan kesusastraan Indonesia, yaitu (1) Angkatan Balai Pustaka –meski ada pula yang mengusulkan adanya angkatan sebelumnya, yaitu Angkatan Pra-Balai Pustaka, (2) Angakatan Pujangga Baru, (3) Angkatan 45, (4) Angkatan ’66 –sebelum angkatan ini, Ajip Rosidi mengusulkan adanya Angkatan Terbaru untuk sastrawan yang berkiprah tahun 1950-an sampai awal 1960-an, (5) Angkatan 70-an, (6) Angkatan 80-an, dan (7) Angkatan 2000. Dari sejumlah penyebutan angkatan itu,

 [2]Semangat estetik Angkatan Pujangga Baru tampak jelas dalam esai-esai Sutan Takdir Alisjahbana tentang perbedaan pujangga lama dan pujangga baru yang termuat dalam majalah Pujangga Baru.

 [3]Konsep estetik Angkatan 45 dapat ditelusuri pada esai Chairil Anwar, Sitor Situmorang, Achdiat Karta Mihardja, Rosihan Anwar, Aoh Karta Hadimadja, dan H.B. Jassin, [3] H.B. Jassin, “Angkatan 45″ Kesusasteraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Essay, (Djakarta: Gunung  Agung, 1954), hlm. 189.

 [4] Penamaan Angkatan 66 sebagai sebuah gerakan sosial politik, muncul pertama kali dalam “Simposium Kebangkitan Semangat ’66: Mendjeladjah Tracee Baru” yang berlangsung di Universitas Indonesia, 6—9 Mei 1966. Dalam kesusastraan Indonesia, nama Angkatan 66 mula pertama diangkat H.B. Jassin dalam artikelnya, “Angkatan 66: Bangkitnya Satu Generasi” yang dimuat majalah Horison, No. 2, Th. I, Agustus 1966. Seperti juga penamaan Angkatan 45 yang memancing berbagai tanggapan dan kontroversi, penamaan Angkatan 66 yang ditawarkan Jassin, juga mengundang serangkaian tanggapan dan reaksi. H.B. Jassin melandasi dasar pemikirannya tentang penamaan Angkatan 66 dengan bertumpu pada peristiwa tahun 1966 ketika gelombang aksi mahasiswa dan pelajar berhasil menumbangkan  rezim yang telah banyak melakukan penyelewengan. Ramainya perdebatan tentang Angkatan 66 ini mendorong Dewan Kesenian Jakarta menyelenggarakan Diskusi Besar tentang Angkatan 66 di Taman Ismail Marzuki, 27 Agustus 1969. Terlibat dalam diskusi itu, antara lain, H.B. Jassin, Subagio Sastrowardojo, S. Effendi, dan Ajip Rosidi. Lukman Ali bertindak sebagai moderator membuat cacatan sejumlah pendapat tentang angkatan dalam sastra Indonesia, “Ikhtisar Pendapat tentang Masalah Angkatan dalam Kesusastraan Indonesia” dimuat Budaja Djaya, No. 35, Th. IV, 1971. Sebuah rangkuman berbagai pendapat tentang Angkatan, mulai Angkatan 45 sampai Angkatan 66. Tampak di sana, proklamasi Jassin tentang Angkatan 66 membuka peluang terjadinya kontroversi.

 [5] Beberapa nama yang secara serius coba merumuskan gerakan estetik Angkatan 70-an, dapat disebutkan di sini, antara lain, Abdul Hadi WM, Sutardji Calzoum Bachri, Dami N. Toda.

 [6] Contoh kasus semaraknya kebebasan berkreasi pascatragedi 1965 dapat kita lihat pada mencuatnya nama Iwan Simatupang (18 Januari 1928—4 Agustus 1970) sebagai tokoh penting dalam perkembangan sastra Indonesia zaman Orde Baru. Ia bolehlah dianggap sebagai salah seorang pemicu lahirnya karya-karya eksperimental, terutama dalam penulisan prosa dan (mungkin juga) dalam penulisan naskah drama. Karya pertamanya, drama Bulan Bujur Sangkar terbit tahun 1960, sebuah drama yang selesai ditulisnya tahun 1957 di Eropa, nyaris tak mendapat tanggapan apa pun ketika itu. Setelah itu, terutama setelah kematian istrinya –Cornelia Astrid van Geem—, ia seperti tenggelam, meski sempat menikah lagi dengan Tanneke Burki, seorang balerina dari Bandung (1961) yang hanya bertahan sampai awal tahun 1964. Antara 1964—1966, Iwan sama sekali tidak mau terlibat dalam organisasi apapun yang sedang berseteru. Pada tahun 1966, dua drama Iwan Simatupang, yaitu RT Nol/RW Nol dan Petang di Taman, terbit. Kedua drama ini pun belum mendapat tanggapan yang cukup ramai. Karya Iwan Simatupang mulai mendapat tanggapan luas, bahkan memunculkan polemik, justru setelah terbit novel Merahnya Merah (1968, selesai ditulis tahun 1961) dan terutama novel Ziarah (1969, novel Iwan pertama yang selesai ditulis tahun 1960, setelah kematian istrinya). Tampak di sini, tanggapan terhadap novel Iwan Simatupang begitu semarak, bersifat polemis, dan penting dalam menyemarakkan kehidupan kritik sastra. Sangat mungkin tanggapan masyarakat pembaca akan berbeda jika novel itu terbit tahun 1960-an ketika politik diusung sebagai panglima dan pengaruhnya memasuki hampir semua aspek kehidupan. Dengan demikian, terbitnya novel Iwan selepas tragedi tahun 1965, seperti memperoleh momentum yang tepat. Sejak itulah kemudian berlahiran karya-karya sejenis dari sastrawan lainnya yang memperlihatkan semangat eksperimentasi, sebagaimana yang telah dilakukan Iwan Simatupang. Betapa ramainya tanggapan pembaca terhadap karya-karya Iwan Simatupang, dapat dilihat dari semua tulisan tentang Iwan Simatupang, yang mencapai lebih dari 300-an tulisan, baik yang berupa resensi, artikel, esai, makalah, skripsi, tesis, dan disertasi. Studi mendalam tentang Iwan Simatupang dilakukan Dami N. Toda, Novel Baru Iwan Simatupang (Jakarta: Pustaka Jaya, 1980; buku ini berasal dari skripsi penulisnya tahun 1975 di Fakultas Sastra Universitas Indonesia), Kurnia Jaya Raya, “Resepsi Novel-Novel Iwan Simatupang di Indonesia 1968—1988,” (Skripsi Sarjana, Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Depok, 1989), Okke KS Zaimar, Menelusuri Makna Ziarah Karya Iwan Simatupang, (Jakarta: Intermasa, 1991; buku ini berasal dari disertasi penulisnya tahun 1990 di Fakultas Sastra Universitas Indonesia), Kurnia Jaya Raya, Inspirasi? Nonsens! (Magelang: Indonesia Tera, 1999). Lihat juga Surat-Surat Politik Iwan Simatupang, 1964—1966 (Jakarta: LP3ES, 1986), surat-surat Iwan Simatupang  yang dikumpulkan dan diberi Kata Pengantar Frans M. Parera. Pembicaraan mengenai perjalanan sastra Indonesia kontemporer, hampir tidak pernah menafikan tempat dan peranan Iwan Simatupang sebagai tokoh pembaharu.

[7] Abdul Hadi WM, Kembali ke Akar Kembali ke Sumber: Esai-Esai Sastra Profetik dan Sufistik, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999, hlm. 6.

 [8] Ahmad Tohari baru muncul namanya dan mulai diperhitungkan keberadaannya dalam sastra Indonesia awal tahun 80-an. Tidak begitu jelas, mengapa Abdul Hadi memasukkan nama Ahmad Tohari ke dalam sastrawan Angkatan 70-an.

 [9]Abdul Hadi WM, Kembali …, hlm. 6—7.

 [10] Abdul Hadi WM, “Angkatan 70 dalam Sastra Indonesia,” Makalah dibawakan dalam Diskusi Sastra di Teater Arena, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 4 September 1984, dimuat juga dalam E. Ulrich Kratz (Peny.), Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2000, hlm. 789—806. Penamaan Angkatan 70 sebenarnya sudah banyak dilontarkan Abdul Hadi dan Dami N. Toda sejak pertengahan dasawarsa 1970-an. Dalam artikel panjang “Kepenyairan di Indonesia tahun 70-an” yang dimuat bersambung di harian Berita Buana (14, 21, dan 28 Januari 1977), Abdul Hadi mengemukakan tokoh-tokoh persajakan utama 70-an seperti Sutardji Calzoum Bachri, Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohamad, Darmanto Jatman yang membawa kecenderungan baru, menggeser wawasan estetik lama dan mewarnai dunia persajakan sepanjang tahun 70-an.

 [11] Penamaan Angkatan 70 dalam sastra Indonesia ini tidak hanya diperkenalkan oleh Abdul Hadi WM, tetapi juga oleh Dami N. Toda sebagaimana diungkapkan dalam beberapa artikelnya, “Peta Perpuisian Indonesia 1970-an dalam Sketsa,” Budaya Jaya, No. 12, Th. X, September 1977; “Tahap-Tahap Perkembangan Wawasan Estetik Perpuisian Indonesia,” Budaya Jaya, No. 121 Th. XI, Juni 1978; “Puisi Indonesia dalam Dekade Terakhir,” Horison, No. 8, Th. XVI, Agustus 1981.  Lihat juga esai-esai Dami N. Toda dalam bukunya, Hamba-Hamba Kebudayaan, Jakarta: Sinar Harapan, 1984. Sutardji Calzoum Bachri dan Danarto dalam wawancaranya dengan Abdul Hadi WM (Berita Buana, 14 Februari 1978) juga mengusung nama Angkatan 70 ketika keduanya melihat adanya kecenderungan baru yang terdapat dalam karya-karya yang terbit pada periode itu. Mengenai hal ini, Boen S. Oemarjati tidak secara tegas menyebut Angkatan 70, melainkan menyebutnya sebagai “periode”. Hal yang senada juga dilontarkan oleh Goenawan Mohamad yang menyebutnya sebagai “generasi sastrawan 1970-an”. Sementara itu, Korrie Layun Rampan, meskipun pandangan yang mendasarinya tidak terlalu jauh berbeda dengan apa yang dikemukakan Abdul Hadi dan Dami N. Toda, ia menyebut sastrawan pada periode itu sebagai “Angkatan 80”. Penamaan yang dilakukan Korrie ini mungkin diilhami oleh penamaan Angkatan ‘80 (De Tachtiger Beweging) Belanda yang menyerap pengaruh romantisisme Inggris, Prancis, Jerman, dan Italia. Korrie sendiri tidak memberi alasan, mengapa ia menyebutnya sebagai Angkatan 80, dan tidak Angkatan 70. Padahal, penyebutan Angkatan 80 yang dilontarkan Korrie dalam artikelnya “Angkatan 80 dalam Sastra Indonesia” (Suara Karya, 24 Agustus 1984), jelas lebih kemudian dibandingkan dengan penamaan Angkatan 70 yang diangkat Abdul Hadi, Dami N. Toda, Danarto, dan Sutardji Calzoum Bachri sejak pertengahan dasawarsa 70-an, terutama ketika Abdul Hadi mengasuh lembar kebudayaan “Dialog” di harian Berita Buana antara tahun 1979—1990.

 [12] Beberapa novel mereka dapat disebutkan di sini, antara lain: Iwan Simatupang, Merahnya Merah (1968), Ziarah (1969), Kering (1972), dan Koong (1975); Putu Wijaya, Bila Malam Bertambah Malam (1971), Telegram (1972), Pabrik (1976), Stasiun (1977), Keok (1978), Lho (1982), Pol (1987), dan beberapa novel lainnya yang mencapai lebih dari 10 novel; Kuntowijoyo, Khotbah di Atas Bukit (1976), Budi Darma, Olenka (1983).

[13] Karya-karya mereka dapatlah disebutkan di sini, beberapa antaranya: Danarto, Godlob (1976) dan Adam Ma’rifat (1982); Putu Wijaya, Bom (1978) Es (1980), dan Gres (1982), Kuntowijoyo, Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (1993), cerpen “Dilarang Mencintai Bunga-Bunga” memperoleh Hadiah Pertama Sayembara Majalah Sastra 1969;  Fudoli Zaini, Lagu dari Jalanan (1982), Potret Manusia (1983), Kota Kelahiran (1985), Arafah (1985). Fudoli dua kali mendapat hadiah dari majalah Horison, yaitu untuk cerpennya “Si Kakek dan Burung Dara” (1966/1967), dan “Sisifus” (1977/1978; Umar Kayam, Seribu Kunang-Kunang di Manhattan (1972) dan Sri Sumarah dan Bawuk (1975).

 [14] Karya-karya mereka yang muncul pada periode itu dapatlah disebutkan beberapa di antaranya: Arifin C. Noer, Mega-Mega (1967), Sepasang Pengantin (1968), Kapai-Kapai (1970), Sumur Tanpa Dasar (1971), Kasir Kita (1972), Tengul (1973), Orkes Madun (1974), Umang-Umang (1976), dan Sandek, Pemuda Pekerja (1979). Arifin sebenarnya sudah mulai berkarya sejak tahun 1963. Ia juga banyak menulis puisi. Drama-drama Arifin C. Noer, selain sudah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa asing, juga dipentaskan di  berbagai kota besar di Eropa, Amerika, dan Asia; Putu Wijaya, Anu (1974), Aduh (1975), Dag-Dig-Dug (1976), Gerr (1986); Putu Wijaya sebenarnya termasuk penulis produktif. Karyanya berupa kumpulan cerpen, novel, dan drama, lebih dari 40-an. Karya-karya Putu Wijaya juga sudah banyak diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing, seperti Inggris, Prancis, Jerman, Belanda, Jepang, Rusia, dan Arab. Ia juga kerap berkeliling dunia mementaskan karya-karyanya. Rendra, meskipun tak begitu banyak menulis naskah drama, ia dianggap sebagai salah tonggak penting dalam perjalanan teater Indonesia modern yang kemudian banyak mempengaruhi dramawan generasi berikutnya. Dua naskah drama yang dihasilkannya adalah Orang-Orang di Tikungan Jalan (1954) terpilih sebagai pemenang pertama Sayembara Penulisan Drama Departemen P & K Yogyakarta tahun 1954, dan Panembahan Reso (1988), sebuah drma kolosal yang memerlukan waktu sekitar enam jam pementasannya. Ia banyak menulis puisi dan menerjemahkan drama klasik Yunani. Tetapi dramanya, Bip-Bop –drama minikata atau “Teater Puisi” menurut Dami N. Toda—yang dipentaskan tahun 1968 di Balai Budaya dan kemudian di Taman Ismail Marzuki, dianggap sebagai salah satu pembaharuan di bidang teater di Indonesia. Demikian juga dramanya, Mastodon yang dipentaskan di Taman Ismail Marzuki (13 Desember 1973) dianggap membawa kebaruan dalam perkembangan drama Indonesia kontemporer. Dalam konteks itulah posisi Rendra ditempatkan sebagai salah seorang tokoh penting pembaharu drama di Indonesia. Danarto, Obrok Owok-Owok, Ebrek Ewek-Ewek (1976), Bel Geduwel Beh (1976);  Ikranagara, kariernya dimulai dengan menjadi aktor di Teater Ketjil pimpinan Arifin C. Noer. Ia kemudian mendirikan teater sendiri, bernama Teater (Siapa) Saja. Sejak itu, ia banyak mementaskan drama dari naskah yang ditulisnya sendiri, antara lain,  Topeng (1972), Saat-Saat Drum band Mengerang-ngerang (1973). Dari 20-an naskah drama lainnya yang sudah dipentaskan tetapi belum diterbitkan, antara lain, Para Narator, Gusti, Agung, Rang Gni, Ssst!!!, Byurrr! Tok Tok Tok, Zaman Kalong.  Seperti Rendra, Arifin C. Noer, dan Putu Wijaya, Ikranagara juga telah mementaskan karya-karyanya di berbagai kota di luar negeri, antara lain, di Manila, Singapura, Taipe, Kuala Lumpur, dan beberapa kota di Amerika. Sejumlah nama yang disebutkan di sini sekadar menegaskan adanya kecenderungan baru dalam drama di Indonesia tahun 1970-an itu. Nama-nama lain tentu masih berderet panjang. Sebut misalnya, Kuntowijoyo (18 September 1943—22 Februari 2005). Ia pada dekade 70-an itu sebenarnya menulis beberapa naskah drama, seperti Rumput-Rumput Danau Bento, Tidak Ada Cinta bagi Nyonya Fatma, Barda, dan Topeng Kayu. Kecuali Topeng Kayu (2001), naskah-naskah lainnya belum diterbitkan dan masih berupa manuskrip. Bip-Bop dan Mastodon karya Rendra, misalnya, sejauh pengamatan masih tetap dalam bentuk manuskrip. Itulah yang terjadi pada banyak penulis drama di Indonesia. Naskah-naskah dramanya sekadar dipentaskan dan tidak dipublikasikan dalam bentuk terbitan buku.

[15] Pembicaraan yang cukup mendalam mengenai drama kontemporer yang muncul tahun 1970-an dilakukan Goenawan Mohamad, “Sebuah Pembelaan untuk Teater Indonesia Mutakhir” Seks, Sastra, Kita, Jakarta: Sinar Harapan, 1980, hlm. 91—148.

 

[16]Pengakuan Pariyem (1981) karya Linus Suryadi AG, misalnya, merupakan contoh puisi naratif yang panjang (192 halaman). Linus Suryadi sendiri menyebutnya sebagai prosa lirik, prosa yang dibangun seperti puisi yang mengingatkan kita pada bentuk syair atau hikayat dalam sastra lama. Dalam karya ini, Linus juga begitu banyak menggunakan kosa-kata Jawa, sehingga diperlukan lampiran Daftar Kosa Kata Jawa—Indonesia setebal hampir 50 halaman (halaman 193—238). Banyak pula pembaca dan pengamat sastra Indonesia yang mempertanyakan tempat Pengakuan Pariyem dalam sastra Indonesia; apakah termasuk sastra Indonesia atau sastra Jawa. Penulisan puisi naratif, sebelumnya banyak dilakukan Ajip Rosidi (Jante Arkidam) dan Ramadhan KH (Priangan si Jelita). Belakangan, Sapardi Djoko Damono juga banyak memanfaatkan pola puisi naratif dalam hampir semua antologi puisinya, seperti dalam antologi DukaMu Abadi (1969), Mata Pisau  (1974), Akuarium (1974), Perahu Kertas (1983), Sihir Hujan (1984), sampai ke antologi puisinya yang belakangan, seperti Hujan Bulan Juni (1994), Arloji (1999), Ayat-Ayat Api (2000) cenderung menggunakan bentuk narasi yang jernih dengan bahasa yang sederhana. Gaya seperti ini banyak mempengaruhi para penyair yang kemudian.

[17] Abdul Hadi WM, “Sastra Transendental dan Kecenderungan Sufistik Kepengarangan di Indonesia,” Kembali ke Akar Kembali ke Sumber, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999, hlm.36—46.

 

[18]Istilah sastra sufi –sering juga dipakai istilah sastra sufistik—yang kemudian menjadi wacana perdebatan pada dekade tahun 1970-an itu, pertama kali dilontarkan Abdul Hadi WM dalam serangkaian artikelnya yang dimuat di lembar “Dialog” harian Berita Buana. Ia kemudian begitu gencar memperkenalkan –dan menerjemahkan— khazanah sastra sufi berikut pemikiran dan estetika para penyairnya. Antologi puisi Sastra Sufi (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985) merupakan salah satu usaha Abdul Hadi dalam mengangkat karya-karya penyair sufi, baik para penyair yang berasal dari Asia Barat, maupun para penyair dari wilayah Nusantara, seperti Hamzah Fansuri, Raja Ali Haji, Bukhari Al-Jauhari, Yasadipuro I, Yasadipura II, Ronggowarsito sampai ke Amir Hamzah. Bukunya yang lain, Tasawuf yang Tertindas: Kajian Hermeneutik terhadap Karya-Karya Hamzah Fansuri (2001) dan Hermeneutik, Estetika, dan Religiusitas (2004) adalah usaha serius Abdul Hadi dalam memperkenalkan sastra sufi. Belakangan, ia juga banyak memperkenalkan (dan menerjemahkan) khazanah sastra Timur, terutama Cina, Jepang, dan India. Sementara itu, istilah sastra sufistik digunakan juga Danarto, Nurcholis Madjid, Ali Audah, Fudoli Zaini, Sutardji Calzoum Bachri dalam kaitannya dengan pemikiran tasawuf dalam sastra. Dari sana lahir istilah-istilah sejenis, seperti sastra profetik, sastra transendental (diperkenalkan Kuntowijoyo dalam Temu Sastra 1982 di Taman Ismail Marzuki), sastra dzikir (diperkenalkan Taufiq Ismail dalam Catatan Kebudayaan, “Sastra sebagai Amal Shaleh,” Horison, No. 6 Juni 1984 ), dan sastra Islam yang makna dan cakupannya lebih luas.

[19] Sutardji Calzoum Bachri, O, Amuk, Kapak, Jakarta: Sinar Harapan, 1981, hlm. 13—14.

 [20] Hal yang sama kemudian juga dilakukan Ibrahim Sattah (1943—19 januari 1988) sebagaimana tampak dalam tiga antologi puisinya, Dandandid (1975), Ibrahim (1980), dan Hai Ti (1981).

 [21]Pada dekade tahun 1970-an itu dan kemudian berlanjut pada dasawarsa berikutnya, wacana tentang sastra sufi tidak hanya semarak dalam perdebatan konsep-konsep, seperti istilah sastra sufi, sastra sufistik, sastra profetik, sastra dzikir, dan sastra transendental, tetapi juga muncul dalam banyak puisi, cerpen, novel, dan drama. Para penyair yang coba mengangkat tema-tema tasawuf, dapatlah disebutkan beberapa di antaranya, Abdul Hadi WM, Apip Mustopa, Budiman S. Hartoyo, D. Zawawi Imron, Emha Ainun Nadjib, Hamid Jabbar, Ibrahim Sattah, Ikranagara, Kuntowijoyo, Leon Agusta, Sides Sudyarto DS, Slamet Sukirnanto, Sutardji Calzoum Bachri, dan Taufiq Ismail. Tentu saja masih banyak nama yang tercecer yang sebenarnya pernah berkiprah pada periode itu.

 [22]Salah satu faktor yang mendorong didirikannya Komisi untuk Bacaan Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat (1908) justru lantaran munculnya bacaan-bacaan hiburan yang diterbitkan pihak swasta. Setelah lembaga itu berganti nama menjadi Balai Pustaka (1917), pihak pemerintah kolonial Belanda menyebut bacaan yang diterbitkan di luar Balai Pustaka (swasta) sebagai “bacaan liar.” Mereka yang menerbitkan dan menjual buku-buku terbitan pihak swasta itu disebut sebagai “saudagar kitab yang kurang suci hatinya.” Satu ungkapan yang jelas bermaksud memarginalkan karya-karya sastra terbitan pihak swasta.

 [23]Pada dasawarsa 1950-an, bacaan-bacaan hiburan terutama terbitan Medan, cukup banyak diminati masyarakat luas. Kemasannya yang sederhana, bentuknya yang kecil seperti buku saku (pocketbook), cetakan yang agak buruk, dan kertasnya yang berkualitas rendah, menjadikan buku-buku sejenis itu dijual dengan harga murah. Karena harganya yang murah itu, ia dipersamakan dengan nilai uang terkecil, yaitu picis. Oleh karena itulah, buku-buku sejenis itu –yang umumnya mengangkat tema-tema percintaan—disebut roman picisan. Satu bentuk penghinaan terhadap buku-buku sejenis itu. Pembicaraan yang cukup luas mengenai buku-buku hiburan sejenis itu ditulis R. Roolvink, “Roman Pitjisan,” Pokok dan Tokoh, Djakarta: Jajasan Pembangunan, 1953.

 [24]Kebanyakan masyarakat memandang novel-novel sejenis itu secara apriori yang dikaitkan dengan masalah pornografi. Jika dicermati serius, novel-novel itu sesungguhnya tidak dapat begitu saja dimasukkan ke dalam karya pornografi. Di dalam novel-novel itu, masalah seks sekadar bumbu. Itupun tak digambarkan secara vulgar. Jadi, pandangan masyarakat terhadap novel populer, terutama karya-karya Motinggo Boesje yang dikaitkan dengan pornografi dan menudingkan karya-karyanya sebagai novel porno, tidaklah seluruhnya benar.

 [25]Motinggo Boesje pada awal kepengarangannya banyak menulis karya sastra serius (drama, novel, dan cerpen). Memasuki tahun 1990-an, ia kembali menulis karya-karya serius. Bahkan novelnya, Sanu, Infinita Kembar (1985) –menurut pandangan H.B. Jassin dan Abdul Hadi WM—termasuk sebagai novel sufistik. Terlepas dari persoalan populer atau tidaknya novel-novel yang ditulisannya tahun 1970-an, sejauh pengamatan, Motinggo Boesje tercatat sebagai novelis Indonesia paling produktif. Sekitar 200-an novel telah dihasilkannya. Sejauh pengamatan, belum ada sastrawan Indonesia yang menghasilkan novel sebanyak Motinggo Boesje. Sementara itu, Remy Sylado, belakangan juga menulis novel-novel serius. Bahkan salah satu novelnya, Kerudung Merah Tirmizy  (2002) terpilih sebagai pemenang Khatulistiwa Award. Eddy D. Iskandar dalam sastra Indonesia memang dikenal sebagai penulis sastra populer. Tetapi, dalam kesusastraan Sunda, ia termasuk sastrawan Sunda yang menghasilkan novel-novel yang bagus dalam bahasa Sunda.

[26] Lihat Sapardi Djoko Damono, Kesusastraan Indonesia Modern: Beberapa Catatan, Jakarta: Gramedia, 1983, hlm. 89—97. Periksa juga, Soedjarwo, Th. Sri Rahayu Prihatmi, dan Yudiono K.S., Puisi Mbeling: Kitsch dan Sastra Sepintas, Magelang: Indonesia Tera, 2001.

 [27] Dua artikel yang dimuat Budaya Jaya, No. 93, IX, Februari 1976, yang ditulis H.B. Jassin, “Beberapa Penyair di Depan Forum” (hlm. 65—85) dan Saini K.M., “Penyair-Penyair Muda Jakarta,” (hlm. 86—98) memberi gambaran cukup baik mengenai puisi-puisi Mbeling atau puisi lugu yang dimuat majalah Aktuil dan majalah Top.

[28]Slamet Kirnanto, “Saya Mendakwa Kehidupan Puisi Indonesia Akhir-Akhir ini tidak sehat, tidak jelas dan Brengsek!” (Jawaban atas pengadilan puisi) dalam Pamusuk Eneste (Ed.), Pengadilan Puisi, Jakarta: Gunung Agung, 1986.

 [29] Pamusuk Eneste (Ed.), Ibid.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler