Skip to Content

Bertemu Pujaan Chairil Anwar

Foto abimanyu

Ketika memasuki rumah cukup luas di kawasan elit Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pekan lalu, seorang petugas menyapa saya, ”Mau bertemu ibu sepuh?”

Kemudian, di ruang tengah yang luas, saya diminta menunggu, karena sang ibu tengah shalat dzuhur. Setengah jam kemudian keluarlah seorang nenek dari kamarnya seorang diri menggunakan kursi roda. Dia adalah Sri Ayati, kelahiran Tegal 88 tahun yang lalu, yang pada tahun 1957 mendapat persembahan khusus sebuah puisi dari Chairil Anwar.

Puisi karya Chairil Anwar berjudul Senja di Pelabuhan Kecil itu dinilai oleh kritikus sastra HB Jassin berisi ‘kerawanan hati, suatu kesedihan yang mendalam yang tidak terucapkan.’ ”Saya tahu dari almarhumah Mimiek, anak angkat Sutan Syahrir, bahwa Chairil Anwar membuat sajak untuk saya,” kata nenek empat anak dan sejumlah cucu yang masih berbicara jelas dan daya ingatnya masih kuat itu.

”Alhamdulillah, memori saya masih baik dan tidak pikun. Hanya mata saya tidak dapat melihat lagi, karena penyakit glukoma,” kata nenek yang telah empat bulan berada di Jakarta diboyong oleh putra bungsu dan menantunya untuk berobat. Nenek yang tinggal di Magelang itu menolak kalau dikatakan bahwa masa mudanya berwajah jelita dan menyebabkan Chairil jatuh cinta sampai membuat sajak untuknya.

”Saya tahu kalau Chairil membuat sajak untuk saya dari almarhumah Mimiek, puteri angkat mantan PM Sutan Syahril. Mimiek datang ke rumah saya di Serang. Waktu itu saya sudah bersuami dokter RH Soeparno, dan memiliki seorang anak. Kami kemudian bermukim di Magelang, karena suami saya ditugaskan di sebuah rumah sakit militer di sana. Padahal ketika itu saya lama tidak ketemu Chairil,” kata nenek yang tampak masih sehat dalam usianya yang mendekati kepala sembilan itu.

Sri Ayati mengaku baru kenal baik dengan Chairil ketika menjadi penyiar radio Jepang di Jakarta (kini gedung RRI, Jl Merdeka Barat, Jakarta Pusat). Nama radio Jepang setelah NIROM (radio Belanda) ditutup itu adalah Jakarta Hoso Kyokam. Dia pernah lama ngobrol dengan Chairil di kediamannya, Jl Kesehatan V, Petojo, Jakarta Pusat.

Suatu ketika Chairil datang ke rumahnya, “Saya duduk di korsi rotan dan dia duduk di lantai sebelah kanan saya. Ia bercerita baru saja mengunjungi seorang teman bernama Sri. Sang gadis yang bernama Sri memakai baju daster (kala itu disebut housecoat). Ia bercerita sambil memegang daster yang saya pakai. Chairil bercerita, daster yang dipakai Sri dari sutera asli. Kebetulan daster yang saya pakai juga dari sutera asli. Kala itu saya tidak tahu siapa yang dimaksud Chairil gadis bernama Sri itu,” kenangnya.

Sri Ayati mengaku heran, kenapa Chairil membuat sajak untuknya. Padahal, ketika itu ada sejumlah teman wanitanya yang lain, seperti Gadis Rasyid, Nursamsu, dan Zus Ratulangi. Chairil, ketika itu juga dekat dengan Usmar Ismail, Rosihan Anwar dan HB Jassin. Chairil sendiri tidak pernah menyatakan cintanya kepada Sri Ayati.

Ketika ditanya tentang sosok seniman Chairil Anwar yang sajak-sajaknya dikenal luas hingga saat ini, Sri Ayati mengatakan, penyair pelopor Angkatan 45 yang meninggal dunia pada 28 April 1949 itu kurang mengurus dirinya. ”Rambutnya acak-acakan. Matanya merah, karena kurang tidur. Di tangan kiri dan kanannya penuh buku-buku. Memang Chairil dikenal sebagai kutu buku,” katanya.

Sri Ayati, yang juga seorang seniwati dan pernah mengajar di Institut Kesenian Jakarta (IKJ), menilai bahwa Chairil adalah seorang seniman yang jujur, tak tahan dan tidak bisa melihat hal-hal yang kurang baik. ”Kalau saja dia hidup pada zaman Orde Baru, saya kira pasti dia ditahan karena dia akan berani mengkritik hal-hal yang dianggapnya kurang baik dan kurang benar,” kata nenek yang menguasai bahasa Belanda, Inggris, dan Prancis itu.

Sri Ayati pernah sekolah MULO di Batavia, sebelum ke Fakultas Sastra UI. Mutu pendidikan di masa kolonial, menurutnya, jauh lebih bermutu dari pada sekarang. Bung Karno ketika masih sekolah di HBS sudah dapat menguasai bahasa Belanda dan Inggris. Bahkan, membuat karangan-karangan dalam bahasa tersebut. Sayangnya, pemerintah kolonial melakukan diskriminasi dalam bidang pendidikan. Hanya golongan priyayi yang dibolehkan sekolah oleh Belanda.

Sri Ayati mengaku merasa seperti anak Betawi. Karena, sejak berusia 8 ia dibawa ayahnya ke Jakarta dan tinggal di Gang Seha, Pecenongan, Jakarta Pusat. Pada tahun 1997, dia pernah bertemu bekas tetangganya, bernama Adrian Seha, di Borobudur, Magelang. ”Saya tanya apa ada hubungan namanya dengan nama Gang Seha?”

Adrian Seha, ketika itu menjawab, ”Nama Gang Seha mengabadikan nama kakek saya, seorang tuan tanah yang tinggal di gang tersebut.” Sri Ayati juga pernah tinggal di Gang Adjudant (kini Kramat II), Kwitang, Jakarta Pusat. Di Kwitang, yang menjadi tuan tanah adalah keluarga Alkaff. Di Kwitang, Alkaff menyewakan puluhan rumah. Keluarga ini, sampai awal 1970-an, juga memiliki banyak rumah dan tanah di Singapura.

Sampai sekarang di Singapura ada kawasan Alkaff, yang kini sudah dikuasai Cina. Tapi, masjid yang dibangun keluarga Alkaff masih tetap berdiri. Di Jakarta, dulu juga banyak jalan yang memakai nama keluarga Arab, seperti Alatas Laan di Cikini (kini Jl Cilosari), Gang Alhadad di Bukitduri, Jatinegara, dan Gang Bafadal di Matraman.

Ketika saya wawancarainya, pekan lalu, Sri Ayati sempat membacakan sebuah Renungan Jiwa dalam bahasa Inggris yang dibuatnya di Magelang, Desember 2002. Petikannya, antara lain, ”Sekarang saya mendekati akhir dari perjalanan hidup saya. Saya tidak bersedih dan bukan suatu yang menakutkan. Apabila Allah memanggil saya, saya siap untuk menghadapNya. Dengan harapan penuh agar saya dikaruniai Khusnul khatimah.”

Ketika menulis renungan tersebut Sri Ayati mengaku sudah siap meninggalkan dunia fana ini. Tapi, ternyata masih diberi umur panjang. ”Sekarang saya menghabiskan waktu untuk shalat, zikir dan ibadah,” katanya.


Sumber: alwishahab.wordpress.com/2007/08/03/bertemu-pujaan-chairil-anwar

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler