Skip to Content

GURINDAM DUA BELAS: MONSTRASI DAN DEMONSTRASI

Foto SIHALOHOLISTICK

Oleh Hudjolly.,M.Phil

Pendahuluan

Suatu karya sastrawan besar selalu dapat ditilik dari berbagai sudut. Demikian pula karya-karya Raja Ali Haji yang bisa dikaji dalam berbagai perspektif. Tuhfat Al Nafis, Bustanul Katibin, dan Kitab Pengetahuan Bahasa dapat ditelisik dari sisi world view yang membentuk realitas sosial dalam karya tersebut. Karya Raja Ali Haji dapat pula dibedah berdasarkan isi tekstual yang menunjukkan deretan narasi kejadian-kejadian yang sedang dan telah berlangsung, sejarah diakronik. Contoh karya ini adalah Tuhfat Al Nafis. Pada karya Bustanul Katibin dan Kitab Pengetahuan Bahasa, buah pemikiran Raja Ali Haji secara tekstual mengemukakan unsur-unsur moralitas, bahasa, dan etika yang dijadikan utopia moralitas sosial kala itu.

Pada karya Tsamarat Al Muhimmah terbersit sifat utopia pemerintahan yang dipahami sebagai keresahan Raja Ali Haji terhadap kondisi kekuasaan yang sedang terhimpit pengaruh dominasi kekuasaan VOC (Belanda). Isi Tsamarat al Muhimmah secara tekstual memperinci syarat-syarat yang harus dimiliki oleh para pemimpin negara, baik pejabat wazir atau sebagai hakim atau sebagai raja. Syarat-syarat yang diajukan oleh Raja Ali Haji itu merupakan syarat yang bersifat general atau universal (lihat karya Raja Ali Haji, Tsamarat Al Muhimmah, Bagian Pertama Pasal 3). Apabila syarat universum itu dapat dipenuhi maka negara dan pemerintahan yang dihasilkan adalah pemerintahan ideal bagi rakyat. Namun tidak mudah, atau bisa dibilang, hampir mustahil, menciptakan sebuah kepemimpinan politik dalam suatu negara/kerajaan yang memenuhi seluruh syarat ideal sebagaimana diminta Tsamarat Al Muhimmah, terutama dalam memenuhi syarat-syarat sifat yang berkait pemuliaan hati seorang pemimpin karena syarat ini sangat dipengaruhi oleh pengetahuan tasawuf[1] sang penulis.

Pada tiga karya Raja Ali Haji yang berbentuk syair antara lain Gurindam Dua Belas, Syair Gemala Mustika Alam dan Syair Nasehat Kepada Anak, dapat diterapkan sebuah kritik sastra secara lebih bebas. Meskipun pada tiga karya sebelumnya juga dapat didekati menggunakan teori kritik sastra, ketiga karya yang berbentuk syair tersebut lebih mudah untuk didekati berdasarkan teori kritik sastra objektif, pragmatik, atau formal. Pendekatan kritik sastra objektif menjadikan si penilai (pembaca) benar-benar melepaskan karya sastra dari horison semesta yang melingkupi suatu karya, dan kecenderungan melepaskan diri dari pandangan pragmatik.

Kritik karya objektif menilai karya dari sisi karya itu sendiri, an sich, dan menolak keikutsertaan world view ketika karya itu dilahirkan. Aspek sosial dan pandangan politik, keyakinan, pengetahuan, kencederungan si pencipta teks sastra tidak dipertimbangkan sebagai bagian dari cara penilaian karya. Historisitas karya diabaikan dan dianggap sebagai ‘sisi lain’ dari karya tersebut. Pendekatan semacam ini sangat populer, terutama dalam dua dasawarsa terakhir, sehingga muncul pameo berkait teori ini: “pengarang sudah ‘mati’ ketika karya dilontarkan”. Pengarang, berdasarkan kacamata objektif, tidak lagi dapat mencegah atau menolak interpretasi apapun dari setiap penilaian para pembaca terhadap teks yang dihasilkannya. Segala penilaian akan tergantung penuh pada bentuk sastra bersangkutan, pembaca hanya dapat ‘mengkonsumsi’ dan merefleksikan citarasa masing-masing.

Karya Raja Ali Haji dan Peluang Interpretasi

Pembacaan karya Raja Ali Haji dengan sudut pandang semiologi memberikan keutuhan estetika penuh karya sang penulis dalam teks yang tercerai-berai di sejumlah bait. Maka sangat perlu membaca karya–karya Raja Ali Haji secara menyeluruh, tidak membaca sebatas pada teks an sich, karena hasil pembacaan teks secara objektif itu justru kerap mengantarkan pembaca pada pertanyaan bagaimana kata-kata bertaut dalam pantun itu mampu melintasi zaman dan tetap menyimpan pesona fonetik dengan keindahan tersendiri. Ada dua pendekatan untuk menjawa pertanyaan tersebut. Pertama menggunakan kritik sastra objektif yang mencari nuansa keindahan teks sastra. Kedua menggunakan pendekatan cara interpretasi pembaca terhadap teks sastra. Pendekatan kedua merupakan jalan yang ditempuh menggunakan ilmu hermeneutika dan semiologi.

Kritik sastra objektif dapat menjawab pertanyaan kenapa karya Raja Ali Haji, Gurindam Dua Belas misalnya, dapat melintasi zaman. Bukankah sudah lazim keindahan rima dan sampiran pantun semacam itu larut bersamaan dengan perubahan bentuk-bentuk struktur bahasa (Indonesia) yang terentang jarak zaman dan paradigma pembaca. Prinsip paradigma pembaca di dalam menilai karya secara objektif merupakan point kunci, karena dari paradigma inilah pembaca dapat menyusun terma, ukuran, standardisasi, taste dan citarasa teks yang sedang di konsumsi.

Karya sastra yang dapat bertahan hingga zaman kini lebih banyak ditopang oleh pengaruh propaganda yang meletakkan karya-karya sastra lama sedemikian rupa, nampak suci, abadi dan indah tiada terbantah. Seperti karya seni ‘Monalisa’ yang mengundang decak tiada henti karena setiap saat ada propaganda baru yang menopang nilai lukisan Monalisa[2]. Pada titik ini membedakan karya seni atau karya sastra lama dan produksi bidang sastra atau produksi bidang semakin sulit dipilah-pilah. Propaganda itu akan mempengaruhi paradigma masyarakat sesuai hukum periklanan. Paradigma pembaca masa kini memiliki horison yang khas, mencakup segala pengaruh modernitas, pembaca masa kini adalah buah zaman: globalitas, komputasional, semua itu mempengaruhi terminologi estetika masyarakat. Semua horison itu akan menentukan objektifikasi taste terhadap karya yang dibaca.

Keindahan yang dirasakan pembaca adalah keindahan dalam paradigma masa kini, Gurindam Dua Belas masih tetap indah dalam suasana puisi, syair, sastra yang teenlit, posmo, pop, alay, cyber, narsis, selebrasi dan seterusnya. Tidak ada definisi yang dapat menerangkan kata ‘indah’ dalam paradigma ke-kini-an. Yang indah itu bergerak seiring dialektika mode dan trend. Marilah kita lihat contoh term indah dalam dunia arsitektur: awal tahun 2000,keindahan gaya bangunan adalah yang mediterania, sepuluh tahun kemudian keindahan itu digantikan ‘keindahan minimalis’. Wanita yang indah adalah wanita yang berbusana semaksimal mungkin menutup kulit tubuh, digantikan term bahwa wanita yang indah adalah wanita yang memakai busana penutup kulit tubuh seminimal mungkin, sexy. Tubuh langsing adalah standar keindahan wanita berkulit putih. Ronggowarsito, penyair tempo dulu menyebut wanita indah karena kulit yang kuning kecoklatan dan tekstur tubuh yang gempal. Kesemua sense ‘indah’ itu ada dalam paradigma masing-masing era penikmatnya. Keindahan karya sastra bersifat paradigmatik.

Muncul pertanyaan: bagaimanakah Gurindam bertahan dalam paradigma ke-kini-an? Di antara sekian jawaban yang mungkin adalah Gurindam Dua Belas merupakan jenis pantun lama yang memiliki keindahan kuat. Predikat indah yang dilekatkan pada Gurindam Dua Belas bersifat objektif, penilaian ini tidak menyertakan jatidiri Raja Ali Haji, latar sosial dan tujuan penulisan karya tersebut[3].

Di antara keindahan yang terpendam dalam Gurindam Dua Belas adalah ketegangan yang appolos dan dionisios[4], antara yang pro dan kontra, antara yang jantan dan feminim, antara yang baik dan yang jahat, di antara alegori menahan diri dengan alegori gairah hidup, simbiosis yang rasional berhadapan dengan simbiosis yang emosional. Pro dan kontra bukan berarti perseteruan, kehadiran yang appolos dan hadirnya dionisios adalah rangkuman potret keharmonisan nan indah. Pola-pola perlawanan sifat yang dihadapkan secara indah bukan konflik atau saling kritik.

Karya Syair Gemala Mustika Alam lebih tepat diberi predikat sublim karena nilai sakralitas nan indah isi teks yang dilantunkan dalam syair tersebut terasa lebih dominan daripada keindahan struktur semiologi teksnya. Nuansa sublimitas itu bertaut erat dengan ‘situasi pembaca’, syair Gemala dibaca dalam suasana religius peringatan hari Lahir Nabi Muhammad SAW.

Posisi dan situasi pembaca akan menentukan macam-macam kritik objektif. Suasana khusyuk pembacaan juga menciptakan keterbatasan ruang yang membuat taste pembaca Syair Gemala Mustika Alam tidak bersifat arbriter lagi akibat disatukan dalam situasi yang sama: ritual peringatan hari lahir Nabi. Padahal setiap taste pembacaan teks itu akan bersifat arbitrer, tergantung suasana hati, mood, situasi ruang dan seterusnya. Hal-hal implisit yang bersifat teratur dan tertuju pada hal-hal tertentu yang dinamakan ‘pesan’. Pesan itulah yang hendak disampaikan oleh suatu teks, bukan taste-nya. Pesan disusun dalam bentuk yang teratur dan ditujukan pada objek tertentu.

Monstrasi dan Demonstrasi Teks  

Keadaan objektif teks Gurindam Dua Belas menyatukan dua kutub bipolar taste: oposisi biner yang dual, bertentangan, vis a vis sekaligus konvergen. Dinamakan konvergen karena semua dualitas itu justru dihadirkan dalam satu tempat, bahkan terkadang disatukan dalam sederet teks.

Kejahatan diri disembunyikan [1]
Kebajikan diri diamkan[1]
Ke’aiban orang jangan dibuka[2]
Ke’aiban diri hendaklah sangka
[2] (dari Gurindam Dua Belas, Pasal ke 8)

Dualitas kejahatan-kebaikan itu jelas disatukan sekaligus, konvergen. Menjaga aib orang lain dan mengkoreksi keburukan diri sendiri adalah dualitas kondisi batiniah yang konvergen. Semenjak perjalanan awal Gurindam Dua Belas, banyak teks yang diuntai berdasarkan citarasa oposisi biner. Dualitas yang konvergen itu juga dihadirkan dalam bentuk yang berbeda dan unik. Yang unik adalah penempatan dualitas kata yang berlawanan itu diterakan dalam struktur penyembunyian (monstrasi) dan demonstrasi (penyingkapan) teks. Kata-kata yang bercitarasa positif dibuat secara terbuka, vulgar, lihat [1], sedangkan kata-kata dengan kesan pembacaan yang negatif (untuk dijauhi/larangan) dibuat dalam dua model. Model Pertama,  padanan kesanan negatif disusun dalam teks-teks yang bersifat melarang/perintah, saran, misalnya “jangan”, “hendaklah”[2]. Model kedua, yaitu dengan jalan membuat kesan-kesan yang hanya terdapat dalam padanan kata yang tidak diterakan dalam kalimat.

...........

Barang siapa mengenal yang empat
Maka yaitulah orang yang ma’rifat  (Gurindam pasal 1)

Oposisi kesan negatif akan lebih muncul secara imajiner di benak pembaca apabila mereka meletakkan sisipan kata ‘tidak’, atau menghapus kata-kata (misalnya “tiada”) yang menunjukkan syarat positif. Kata “tidak” dan keseluruhan makna yang dimuncul sebagai konsekunsi munculnya kata ini merupakan teks yang dimonstrasi[5] dalam Gurindam :

Barang siapa (tidak) mengenal yang empat
Maka yaitulah orang yang (tidak) ma’rifat

Dengan demikian taste negativa pembaca akan selalu diperoleh secara imajiner. Oposisi vis a vis pada teks-teks Raja Ali Haji merupakan strategi memasukan ‘makna’ teks yang dimonstrasi dalam badan teks yang ter-demonstrasi. Manakala seseorang memilih, menuliskan satu kata maka seketika itu pula ia menyingkirkan makna kata yang lain. Contoh memilih kata ‘kursi’, setiap penulisan kata ‘kursi’, menyingkirkan padanan kata kursi. Ketika kata ‘kursi’ dibaca orang, dalam benak si pembaca kata telah tersembunyi sebuah pemahaman tentang padanan-rangkaian penyusun kata kursi, seperti ‘meja’, atau ‘tempat duduk’.

Pemahaman semacam itu dirasakan dalam bentuk imajiner, rekaan. Jika tidak ada imajinasi tentang padanan kata ‘kursi’ akan menghilangkan makna kata ‘kursi’ itu sendiri. Pembaca tidak dapat menilai apakah pemakaian kata ‘kursi’ dalam suatu teks itu telah tepat atau justru tidak tepat, atau menambah keindahan atau justru salah tempat. Pembaca yang tidak dapat berimajinasi mengenai segala ‘padanan kursi’, tidak akan mengerti apa arti ‘kursi’, sehingga pembaca tidak dapat menilai secara menyeluruh: indah atau tidak indah suatu karya. Barangkali inilah yang menjadikan Gurindam memiliki nilai estetik lintas zaman. Indah—dengan tulisan cetak miring—karena term indah ini tidak merujuk makna indah dalam paradigma keindahan masa sekarang ini.

Tidak seluruh teks Gurindam bersifat biner, pada gurindam pasal tertentu bernilai kausalitas yang tidak seragam, dibentuk dalam berbagai konstruksi sebab-akibat: langsung-tidak langsung, bersifat berbalasan (resiprokal), sebab-akibat yang bersyarat.

Apabila terpelihara mata
Sedikitlah cita-cita

Apabila terpelihara kuping
Khabar yang jahat tiadalah damping

Apabila terpelihara lidah
Niscaya dapat daripadanya faedah

Bersungguh-sungguh engkau memeliharakan tangan
Daripada segala berat dan ringan

Apabila perut terlalu penuh
Keluarlah fi’il yang tidak senonoh

Anggota tengah hendaklah ingat
Di situlah banyak orang yang hilang semangat (Gurindam Pasal ke Tiga)

Keseluruhan kausalitas itu menyebabkan makna-makna yang disembunyikan (termonstrasi).

Apabila (tiada) terpelihara mata
(Tiada) Sedikitlah cita-cita
à Orang yang tidak menjaga pandangan mata mendatangkan banyak keinginan, panjang angan-angan (thulul ‘amal)

Apabila (tiada) terpelihara kuping
Khabar yang (tidak) jahat tiadalah damping

Apabila (tiada) terpelihara lidah
Niscaya (tiada) dapat daripadanya faedah

.......... dan seterusnya.

Pembaca dapat menyusun sendiri deretan teks yang termonstrasi dengan menambahkan sedemikian rupa sisipan kata ‘tiada’ dan ‘tidak’ dengan disertai imbuhan ‘lah’ atau disesuaikan dengan citarasa keindahan phonem teksnya. Keseluruhan teks yang termonstrasi itu menghasilkan pesan yang relatif sama dengan teks yang didemonstrasikan secara langsung dalam badan syair. Dengan kata lain, penambahan sisipan itu membuat taste teks Gurindam arbitrer (acak), tetapi pesan yang disampaikan tetap tertuju pada subjek yang terarah.

Kausalitas yang bersyarat itu diterakan dalam teks awal, jika syarat terpenuhi, sampiran akan menunjukkan hasil dari akibat itu. Jikalau hati zalim, segala anggota tubuh akan rubuh, karena hati adalah pusat kerajaan tubuh. Pada Gurindam ke empat ini hubungan sebab akibat bersyarat dengan mudah dirasakan pembaca. Sisipan kata ‘tiada’ dan ‘tidak’ menjadi tiada berfungsi, karena keindahan biner Gurindam pasal ke empat ini bersifat dualitas yang bersyarat. Apabila syarat terpenuhi, dualitas yang konvergen akan secara otomatis tercipta. 

Hati itu kerajaan di dalam tubuh
Jikalau zalim segala anggota tubuh pun rubuh

Apabila dengki sudah bertanah
Datanglah daripadanya beberapa anak panah

Mengumpat dan memuji hendaklah pikir
Di situlah banyak orang yang tergelincir

Pekerjaan marah jangan dibela
Nanti hilang akal di kepala

Jika sedikitpun berbuat bohong
Boleh diumpamakan mulutnya itu pekung
(Gurindam Pasal ke empat)

Sulit untuk memperkirakan bahwa penulisan Gurindam Dua Belas itu demikian pelik sampai memperhatikan sifat-sifat oposisi yang akan dipakainya dalam teks. Tidak ada kepastian alasan yang dapat memberikan jawaban kenapa Raja Ali Haji memilih kata-kata itu dan bukan kata yang lain. Untuk berusaha mencari jawaban atas pertanyaan ini, kita mesti mengajukan langkah pendekatan yang berbeda, bukan pendekatan keindahan objektif. Salah satu pendekatan yang mungkin dipakai adalah hermeneutika sastra.

Hermeneutika teks sangat kaya asumsi yang tersedia dalam berbagai kecenderungan dan sense si pemakna. Ada hubungan antara teks yang dipilih dan makna yang dikehendaki. Semakin peka dan semakin imajinatif, pembaca akan menemukan teks terlihat memiliki ruang dimensi makna yang kompleks. Multidimensional. Tanda dan pesan yang dipakai oleh pencipta teks berkelindan secara relatif berdasar kecenderungan masing-masing pembaca.

Penutup

Menurut terminologi yang disampaikan oleh Raja Ali Haji  dalam pembukaan karya Gurindam Dua Belas, gurindam berarti perkataan yang bersajak (pada awal-pen) juga pada akhir pasangannya tetapi (sajak tersebut-pen)sempurna perkataannya dengan satu (setiap-pen) pasangannya saja, jadilah seperti sajak yang pertama itu (sebagai-pen) syarat dan sajak yang kedua seperti jawab(an). Dengan demikian dapat kita asumsikan bahwa penulisan Gurindam Dua Belas disusun secara sadar oleh Raja Ali Haji dalam bentuk-bentuk biner yang berpasangan. Pasang-pasangan itu dibentuk dalam cara yang beragam, ada pasangan relasi dan pasangan oposisi. Pasangan relasi dibedakan lagi menjadi relasi kausalitas dan relasi reprosikal. 

Apakah yang membedakan Gurindam dengan syair lain?  Menurut Raja Ali Haji, syair Melayu itu (ialah-pen) perkataan yang bersajak, yang serupa dua berpasang pada (bagian) akhirnya dan tiada berkehendak pada sempurna perkataan pada satu-satu pasangnya bersalahan dengan gurindam. Berarti antara satu pasang tidak harus menggunakan pola syarat (appolo) dan jawaban (dionisios) sebagaimana gurindam.

Syair tidak membutuhkan bentuk relasi yang khusus, yang dibutuhkan adalah irama yang sama. Adapun pada bagian awal dan bagian akhir itu saling berkait merupakan jenis-jenis syair indah yang sempurna (konten sampiran dan isi saling berkaitan). Keterkaitan pasangan syair bersifat acak. Perlu diingat bahwa batasan gurindam dan syair di atas dirujuk dari definisi yang dibuat oleh Raja Ali Haji, sehingga bisa saja berbeda arti jika menggunakan definisi yang diajukan oleh sastrawan/akademisi lain.

Meminjam teori Teeuw (1984: 50) bahwa teori pendekatan objektif mensyaratkan bentuk pendekatan yang menitik-beratkan semata-mata pada karya sastra yang bersangkutan, mengundang konsekuensi kesemarakan penilaian. Untuk dapat melakukan penilaian, pembaca mesti lah melakukan interpretasi baik maknawi, irama, kesan, taste, suasana hati, sikap-sikap yang mengacu pada sikap subjektif. Penilaian juga dapat dilakukan berdasarkan rumusan suatu teori tertentu, tetapi penerapan cara ini menghilangkan sisi keterlibatan sense pembaca terhadap teks yang dibaca.

Meminjam pandangan yang serba meminta sisi manfaat, maka sekalipuan menilai keindahan Gurindam Dua belas pun akan tetap mengajukan permintaan: manfaat apa yang bisa diberikan dari segala keindahan gurindam itu? Memang keresahan anak-anak zaman yang membaca gurindam harus lah dapat terobati. Pola oposisi biner, yang dual dan reprosikal diuntai bukan tanpa makna. Arti dan pesan (moral dan religius) yang terdapat dalam deep structure Gurindam Dua Belas harus dimunculkan dengan Hermeneutika. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa manfaat Gurindam adalah obat hati. Mengobati keresahan sosial sebagaimana terlihat dari syair-syair berparadigma ke-kini-an yang membuncah akibat berbagai kepenatan kode produksi teks sastra.

Hudjolly,M.Phil, Peminat Kajian Tradisi

Email: tembuslangit@yahoo.co.id

Daftar Pustaka

Hudjolly, 2010. Imagologi: Strategi Teks Membunuh Agama. Yogyakarta, RE-Kreasi.

_______, 2010. “Nalar Pemberontakan Raja Ali Haji”, dalam www.rajaalihaji.com

_______,2010. “Raja Ali Haji: Memadukan Tradisi Islam-Melayu” dalam www.rajaalihaji.com

Muji Sutrisno,1994. Filsafat Keindahan. Yogyakarta, Kanisius.

Raja Ali Haji, 1999. ”Tsamarat Al Muhimmah” dalam Mahdini. 1999. Tsamarat Al Muhimmah, Pemikiran Raja Ali Haji  Tentang Peradilan. Pekanbaru. Yayasan Pusaka Riau.

Teeuw, A, 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta, Pustaka Jaya.


[1]  Untuk lebih jelas mengenai syarat ideal yang bercorak tasawuf ini dapat dibaca pada karya Hudjolly (2010) “Raja Ali Haji: Memadukan Tradisi Islam-Melayu” dalam www. rajaalihaji.com

[2] Hampir setiap dua atau tiga tahun, akan bermunculan hasil penelitian yang menemukan “ada sesuatu” di balik lukisan Monalisa. Misalnya, penelitian terbaru menyebut ada semacam rumusan kode pada bibir Monalisa.

[3]  Latar sosial dan tujuan penulisan sejumlah karya Raja Ali Haji lihat Hudjolly (2010), Nalar Pemberontakan Raja Ali Haji, dalam www.rajaalihaji.com   

[4]  Istilah Appolos dan Dionisios merujuk pada konsepsi oposisi biner yang dipakai oleh Muji Sutrisno untuk menerangkan posisi estetika dalam koteks berkesenian-berkebudayaan (Muji Sutrisno,1994. Filsafat Keindahan. Yogyakarta, Kanisius. hal 6-7)

[5] Istilah Monstrasi (penyembunyian) dan Demontrasi (penyingkapan) merupakan dua hal yang selalu muncul dalam setiap pembutan teks. Cara monstrasi-demonstrasi merupakan salah satu strategi rekayasa teks. Untuk lebih jelas mengenai rekayasa teks. (lihat Hudjolly,2010. Imagologi, Strategi Teks Membunuh Agama. Yogyakarta, Re-Kreasi).

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler