Skip to Content

HAMKA TAK HANYA PIAWAI BIKIN ROMAN CINTA

Foto SIHALOHOLISTICK

Oleh: Hari Santoso (dalam Suara Merdeka, 9 Nov 2013)

 

APAKAH masih relevan membicarakan Hamka dan karya-karya pada masa kini? ”Masih sangat relevan. Pertama, Hamka mengajari kita untuk mengembangkan toleransi kehidupan di tengah-tengah bangsa yang selalu hendak pecah.

Kedua, dia mengajak kita untuk selalu mempertanyakan adat, aturan-aturan kehidupan, dan budaya,” kata sastrawan Triyanto Triwikromo dalam seminar bertema ”Kontribusi Hamka terhadap Pengembangan Dakwah dan Pemikiran Islam Indonesia” di Aula Letkol dr Soetomo Bariodipoero Lantai III Gedung Ar- Razy Fakultas Kedokteran Unissula, kemarin.

Membedah roman Tenggelamnja Kapal Van der Wijck dan Di Bawah Lindungan Ka’bah, Triyanto mengingatkan, betapa Hamka tak hanya piawai menulis roman cinta yang mendayu-dayu, tetap berhasil melesapkan gagasan tentang toleransi dan konstruksi ulang adat ketika harus berhadapan dengan keindonesiaan.

”Hajati adalah lambang Minang masa lalu, sedangkan Chadidjah dan Aziz merupakan Minang masa kini yang tercela. Adapun Zainuddin, tokoh utama, adalah sosok ideal yang mempertemukan masa lalu, masa kini, dan masa depan depan untuk kehidupan sekarang.” Karena itu, tandas penulis Celeng Satu Celeng Semua itu, tidak keliru jika Unissula memberikan Budai Award kepada pria yang pada 1938 telah menghasilkan roman fenomenal yang kini difilmkan oleh para sutradara muda.

Pendapat cendekiawan Fachry Ali setali tiga uang. ”Hamka telah mengambil peran yang tidak bisa dilakukan oleh para aktivis pergerakan pada masa itu. Dia menjadi aktivis sekaligus seniman atau budayawan.

Ini tidak bisa dilakukan Sjahrir.” Selain itu, membicarakan Hamka pada masa kini masih relevan karena lewat pikiranpikiran Haji Abdul Malik Karim Amarullah yang lahir di Sungai Batang, Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, ini, tandas Fachry Ali, orang dituntut untuk menjadi cendekiawan sejati atau orang yang tidak mengharapkan uang atau materi dari karya-karya yang disumbangkan.

Tak Mendendam

Irfan Hamka, putra kelima Hamka yang menulis buku bertajuk Ayah… punya kenangankenangan tak terlupakan. ”Ayah saya bukan tipe pendendam meskipun kepada penguasa yang memenjara kehidupannya. Buya pernah berseberangan dengan Presiden Soekarno. Namun dia bersedia menuruti wasiat dan menshalati jenazah Putra Sang Fajar.”

Irfan juga menceritakan perbedaan sikap politik ayahnya dengan tokoh M Jamin dan Pramoedya Ananta Toer. ”Jamin saat meninggal malah menggenggam tangan ayah saya. Adapun Pramoedya —lewat putrinya— meminta ayah untuk mengislamkan calon menantu. Ini membuktikan betapa ayah bukan tipe pendendam.

Dia bahkan meminta orang agar tak membakar karya-karya Pramoedya.” Karena itulah, Pemred Suara Merdeka Amir Machmud menilai penghargaan Hamka terhadap kemajemukan menyamai sikap Gus Dur. Keduanya adalah tokohtokoh besar yang hadir memberikan banyak keteladanan.

”Mereka adalah pahlawan yang melampaui zaman.” Rektor Unissula Prof Laode M Kamaludin mengakui kiprah Buya Hamka yang memberikan keteladanan untuk semua anak bangsa dan membawanya kepada anugerah Budai Award 2013. ”Budai Award adalah penghargaan yang diberikan Unissula kepada tokoh-tokoh yang pemikirannya bisa menjadi suri teladan dan Hamka adalah suri teladan itu,” katanya. Adapun Budai Award akan diberikan hari ini (9/11).

Hamka yang telah wafat mungkin tak pernah membayangkan bahwa pikiran-pikiran dan karya-karyanya akan dihargai oleh orang-orang yang jauh dari Minangkabau. Pikiran-pikiran dan karyanya telah melesat ke tempat dan waktu lain.

 

Sumber: http://sastra-indonesia.com

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler