Skip to Content

ISLAM, TRADISI ESTETIK DAN SASTRANYA

Foto SIHALOHOLISTICK

Prof.Dr. Abdul Hadi W. M.

 

Membicarakan seni Islam, termasuk sastranya, bukanlah pekerjaan yang mudah. Pertama, selain cabang-cabangnya yang banyak menuntut penjelasan yang berbeda-beda — misalnya berkaitan unsur-unsur formal dan media yang digunakan — juga disebabkan karena apa yang disebut seni atau sastra Islam tumbuh dan berkembang dalam sejarah dan di negeri yang berbeda-beda. Kedua, di dalam Islam tidak ada doktrin umum tentang penciptaan karya seni atau sastra. Yang ada adalah teori-teori khusus yang kekhususannya ditentukan, misalnya dalam sastranya, oleh keistimewaan bahan-bahan verbal yang digunakan masing-masing penulis dan bagaimana cara pengarang mengolahnya dengan berpegang pada puitika dan estetika tertentu.

Sudah pasti puitika dan estetika ini asas-asasnya selalu diusahakan agar dapat dirujuk kepada petunjuk-petunjuk al-Qur’an dan Hadis. Bahkan tidak sedikit hikayat yang ditulis berdasarkan kisah-kisah yang terdapat dalam al-Qur’an seperti Hikayat Yusuf dan Zuleikha dan Hikayat Lukman al-Hakim; bahkan tidak jarang karya penulis Muslim merupakan hasil dari takwil atau tafsir sufistik terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang selanjutnya ditransformasikan ke dalam ungkapan-ungkapan puitik atau simbolik sastra. Contoh terbaik adalah bagian-bagian dalam Mantiq al-Tayr `Attar, Matsnawi Rumi, Syair Sidang Faqir Hamzah Fansuri dan Asrar-I Khudi Iqbal.

Tentu pula puitika dan estetika yang melatari penciptaan karya Islam tidak selalu sama dari waktu ke waktu dan di tempat yang berbeda-beda. Kita tahu bahwa estetika sebenarnya merupakan cabang falsafah, oleh karena itu tidak heran apabila aliran-aliran falsafah tertentu yang dominan pada suatu kurun waktu di negeri tertentu memperlihatkan pengaruhnya pada estetika penciptaan karya seni. Pada gilirannya ia mempengaruhi corak dan jenis sastra atau seni lukis yang berkembang pada suatu masa di negeri tertentu. Dengan melihat atau memastikan estetika yang melatari penciptaan suatu karya seni, kita dapat lebih memahami keanekaragaman bentuk, corak dan aliran seni dalam Islam. Dengan melihat estetikanya pula kita dapat memahami hubungan seni dengan agama.

Salah satu konsep kunci estetika adalah sama dengan konsep kunci agama, yaitu yang pertama ialah cara memandang realitas atau dunia, hubungan realitas yang satu dengan realitas lain yang berada di atas atau di bawahnya. Yang kedua, ialah cara memandang sesuatu melalui sesuatu yang lain. Misalnya sesuatu yang mujarad atau niskala (abstrak) dapat dikemukakan melalui kias atau symbol tertentu, atau menyatakannya dengan memberi kias atau symbol tertentu. Contohnya apabila kita berkata “Tidak ada rotan akar pun jadi”. Yang hendak disampaikan dalam pepatah ini bukan akar dan rotan, sebab akar dan rotan hanya sebuah kias dan yang dikiaskan ada di tempat lain dalam pemahaman kita tentang kondisi darurat yang sering dialami manusia dalam kehidupannya.

 

SENI, FALSAFAH DAN AGAMA

Contoh terbaik untuk menggambarkan eratnya hubungan aliran-aliran falsafah dengan perkembangan seni Islam yang corak dan kecenderungannya berbeda-beda itu ialah dengan menjelaskan pengaruh tiga mazhab falsafah Islam terhadap wawasan estetika yang melatari penciptaan karya para “sastrawan atau seniman Muslim. Saya ingin memberi contoh dalam bidang seni lukis atau fine art. Ketika mazhab mashsha’iya (peripatetic) al-Farabi dan Ibn Sina berpengaruh dalam seni rupa, maka lukisan geometris, seni hias tetumbuhan (arabesque) dan seni kaligrafi mulai berkembang pesat. Pengaruh estetika Peripatetik ini terus berlanjut hingga kini, dan telah mendorong pesatnya perkembangan lukisan geometris, arabesk dan kaligrafi (khat) hingga masa yang paling akhir.

Kecuali disebabkan keengganan pelukis Muslim untuk menggambar mahluk hidup seperti manusia dan hewan, yang sebagian disebabkan pengaruh pandangan ulama tertentu yang mengharamkan pembuatan gambar mahluk hidup, sebab-sebab lainnya ialah karena prinsip-prinsip estetika yang diuraikan para filosof Peripatetik dipandang sejalan dengan Tauhid. Filosof Peripatetik memandang ilmu sebagai sesuatu yang harus mencerminkan keteraturan dan adanya sistematika dalam dirinya. Demikian pula pandangan mereka tentang seni. Seni kaligrafi, arabesk dan geometris memperlihatkan prinsip-prinsip yang dicita-citakan para filosof Peripatetik. Di sini seni dipandang sebagai ilmu (science) yang harus dipelajari bukan sekadar mengandalkan pada bakat. Kata-kata ilmu (al`-ilm) diambil dari al-Qur’an, satu akar kata dengan perkataan ‘alam’ (`alam) yang mengandung arti sesuatu yang penuh keteraturan, artinya ada tatanan tertentu yang menyebabkan kehadirannya benar dan indah.

Gometri Phytagoras yang bercorak spiritual dibanding geometri Euclidus sangat besar pengaruhnya terhadap seni arabest dan geometri. Pengaruh geometri Phytagoras yang lain tampak pada keutamaan desain (design) formal dan teratur dalam seni lukis miniatur, dan penggambaran sosok manusia dan hewan yang cenderung dua dimensi, statik dan tanpa perspektif. Itulah sebabnya dalam lukisan-lukisan Islam Persia, Turki dan India Mughal – setidak-tidaknya hinga abad ke-18 dan 19 M, sosok manusia dan hewan, juga pohon, berbeda penggambarannya dengan yang terdapat dalam lukisan-lukisan Cina klasik yang cenderung naturalis. Terlebih-lebih dengan lukisan-lukisan Eropa sejak Abad Pertengahan hingga berkembangnya realisme, yang dalam menampilkan sosok manusia memperhatikan perspektif. Di Eropa sejak abad ke-13 M, pengaruh geometri Euclidus menggeser pengaruh geometri Phytagoras. Ini terjadi bersamaan dengan lunturnya pengaruh falsafah Plato dan Neo-Platonisme dan semakin kuatnya pengaruh falsafah Aristoteles atau Aristotelianisme.

Ajaran Islam tentang tauhid, yang tidak memberi peluang penggambaran Tuhan dalam wujud seperti manusia, dan larangan pemberhalaan terhadap obyek-obyek seperti arca yang digambarkan menyerupai manusia atau manusia setengah hewan seperti dalam agama Hindu, Mesir Kuna dan Pagan Romawi, juga membuat seni lukis geometri, arabesk dan kaligrafi berkembang pesat. Tiga bentuk seni visual ini tidak memberi peluang adanya focus yang harus dijadikan tumpuan perhatian seperti penggambaran Dewa dalam bentuk arca seperti di candi-candi Hindu dan Buddha. Rangkaian arabesk yang ritmis dan diulang-ulang bentuknya pada sebuah permadani, seperti juga rangkaian ayat al-Qur’an pada sebuah lukisan kaligrafi, dimaksudkan untuk membawa jiwa penikmatnya pergi meninggalkan alam rupa menuju alam arupa (transenden). Dengan demikian kehadiran Tuhan yang tak terlukiskan itu dapat dirasakan.

Tetapi ketika falsafah Wujudiah Ibn `Arabi dan Ishraqiyah Suhrawardi al-Maqtul mulai memperlihatkan pengaruhnya, terutama di kalangan seniman dan sastrawan, seni rupa Islam menyaksikan perkembangan baru yang benih-benihnya sudah bertunas lama. Lukisan yang menghadirkan sosok manusia dan hewan mulai berkembang, terutama di Iraq dan Iran. Prototype lukisan-lukisan figuratif ini ialah gambar-gambar Mesir, Babylonia, Sumeria dan Persia Kuna yang berciri static dan dua dimensi. Munculnya penguasa Mongol pada akhir abad ke-13 M di wilayah bekas kekhalifatan Abbasiyah ini, yang membawa banyak pelukis-pelukis Cina untuk menghiasi istana-istana mereka, membuat lukisan miniatur kian berkembang pesat. Dari pelukis-pelukis Cina inilah pelukis Muslim mempelajari tehnik melukis figur menggunakan cat air. Perlindungan dan dorongan raja-raja serta para bangsawan Mongol membuat seni lukis miniatur berkembang dengan subur.

Estetika Ibn `Arabi dan Suhrawardi al-Maqtul bertolak dari teori mereka tentang Alam Misal atau Alam Imaginal. Prinsip dasar mereka dalam memandang realitas berbeda, juga dalam memandang ilmu. Bagi mereka apa yang disebut ilmu tidaklah harus mengandung keteraturan dari berpikir logis dan rasional. Ilmu bisa diperoleh juga melalui jalan intuisi dan illuminasi atau pencerahan kalbu, dan disampaikan dengan ungkapan-ungkapan alegoris dan simbolik. Tidak mesti menggunakan bahasa diskursif ilmu pengetahuan alam. Sarana untuk menyusun ilmu juga bukan penalaran ilmiah, tetapi bisa juga dengan menggunakan imaginasi kreatif. Karena itu seniman yang dipengaruhi estetika kedua tokoh itu mulai menekankan pentingnya imaginasi kreatif. Bagi mereka apa yang terdapat di alam kenyataan sebenarnya merupakan turunan dari kenyataan yang terdapat di Alam Misal, alam yang lebih tinggi dari Alam Syahadah – alam kesaksian indra mata dan mata akal. Karena itu tidak terlarang bagi mereka menggambar sosok mahluk hidup seperti hewan dan manusia, karena ia adalah bayangan yang tampak dari apa yang ada di alam kerohanian (alam missal, alam malakut).

Bentuk dan rupa dari obyek-obyek yang terdapat di alam syahadah memiliki padanan dan hubungan dengan bentuk dan rupa yang muncul dalam imaginasi manusia yang berperan sebagai alam missal dalam jagat kecil atau mikrokosmos. Lagi pula menurut mereka semua obyek yang ada di alam semesta ini merupakan ayat-ayat Tuhan, begitu pula gambarannya yang hadir dalam imaginasi manusia tidak kurang merupakan ayat-ayat Tuhan yang dapat dijangkau manusia. Karena itu membuat lukisan figuratif tidak perlu dilarang. Apalagi dalam al-Qur’an tidak satu ayat pun dijumpai keterangan bahwa membuat gambar mahluk hidup itu dilarang.

Pada abad ke-14 M, para sufi mengembangkan estetika lain. Mereka sama sekali mengabaikan larangan menggambar mahluk hidup yang difatwakan ulama-ulama fiqih tertentu. Menurut mereka membuat gambar apa pun seorang pelukis, yang digambar itu bukanlah tiruan dari ciptaan Tuhan. Gambar dalam lukisan tidak lain adalah salinan gambar terdapat dalam jiwa atau imaginasi seniman. Jadi yang ditiru seniman adalah sosok gambar dalam imaginasinya sendiri. Pengaruh pandangan sufi ini tampak pada lukisan-lukisan miniatur Persia madzab Shiraz dan Herat pada akhir abad ke-15 dan 16 M. Dalam lukisan mazhab Shiraz dan Herat, sosok manusia digambar mendekati tiga dimensi. Tetapi suasana kontemplatif tetap dipertahankan sebagaimana lukisan-lukisan yang dipengaruhi estetika Ibn `Arabi dan Suhrawardi al-Maqtul.

 

SASTRA DAN PEMIKIRAN KEAGAMAAN

Hubungan seni khususnya sastra dengan agama – baik agama sebagai system kepercayaan atau peribadatan, maupun agama sebagai doktrin ketuhanan (teologi) dan agama sebagai peradaban dan pembentuk kebudayaan – adalah dengan melihat keterjalinan hubungan pemikiran keagamaan yang dominan pada zaman tertentu dengan karya pengarang pada zaman itu di lingkungan masyarakat Muslim tertentu.Untuk ini, pertama-tama saya ingin membandingkan karya empat pengarang Islam Indonesia yang berasal dari daerah yang perkembangan Islam dan corak pemikiran keagamaannya berbeda-beda. Empat penulis yang menurut saya tepat untuk dibandingkan corak keislaman karya mereka ialah A.A. Navis, Kuntowijoyo, Danarto dan M. Fudoli Zaini.

Kita mulai dengan Ali Akbar Navis, penulis cerpen dan novel yang berasal dari Minangkabau atau Sumatra Barat. Karyanya yang ingin saya contohkan ialah cerpen “Robohnya Surau Kami” dan novel “Kemarau”, yang ditulis pada awal tahun 1960an. Dalam kedua karya Navis itu tercermin benar kedekatan penulisnya dengan gagasan-gagasan gerakan pembaruan Islam (tajdid) yang mendapatkan sambutan hangat di Minangkabau melalui sejarah panjang ketegangan antara kaum Adat dan Paderi. Salah pemikiran gerakan pembaruan yang tercermin pada karya Navis itu penempatan ikhtiar dan akal pikiran di tempat utama dalam memecahkan berbagai persoalan kehidupan. Dalam Kemarau, melalui tokoh utama novel itu yang sudah dipengaruhi pemikiran kaum pembaru, Navis mengecam habis-habisan upacara minta hujan yang dianggapnya sebagai takhyul dan pelarian disebabkan ketidakberdayaan masyarakat memecahkan persoalan dengan ikhtiar dan akal.

Dalam “Robohnya Surau Kami”, ia memberi gambaran betapa rapuhnya pemikiran kaum tradisionalis dan institusi kemasyarakatannya yang masih dipertahankan, yaitu surau. Begitu juga cara berpikirnya yang lebih tertumpu ke akhirat dan dilumuri berbagai takhyul, bidah dan khurafat. Melalui cerpennya Navis ingin menggambarkan rapuhnya adat dan pemikiran Islam tradisional yang dilambangkan dengan surau, walaupun di Minangkabau sebenarnya apa yang disebut adat sudah ‘bersendikan syarak dan syarak bersendikan kitabullah’, Yang ingin dikritik Navis ialah pemahaman Islam tradisional yang tidak lagi sejalan dengan perkembangan zaman.

Karya Navis ini ditulis ketika perdebatan tentang sastra bernafaskan Islam didominasi pemikiran kaum reformis dan modernis, yaitu dalam dasawarsa 1950an dan awal 1960an. Perdebatan-perdebatan itu merupakan kelanjutan perdebatan sebelumnya yang terputus sebagai akibat perang kemerdekaan dan baru hidup kembali pada awal 1950an.Tidak mengherankan apabila pengarang-pengarang Muslim pada periode-periode tersebut mencerminkan besarnya pengaruh pemikiran dan gagasan golongan pembaru. Ini tampak misalnya dalam karya penulis seperti Abu Hanifah, M. Dimyati, Achdiat K. Mihardja, Aoh K. Hadimadja, Bachrum Rangkuti dan terutama dalam karya A. A.Navis dan Ali Audah.

Pengaruh pemikiran gerakan pembaru itu juga tampak dalam wawasan estetika mereka, sebagaimana tercermin dalam aliran sastra yang dipilih yaitu ‘realisme formal’. Ini sudah berbenih dalam pemikiran para pengarang tahun 1930an seperti Hamka, M. Dimyati, dan lain-lain. Pada tahun 1938 dalam Pedoman Masyarakat misalnya Hamka menulis artikel yang menyatakan penolakannya terhadap hikayat-hikayat Melayu lama yang tidak jarang menghadirkan jin, malaikat, peri, mambang, hantu, bidadari dan mahluk supanatural lain dalam cerita-cerita mereka. Mereka menganggap mahluk-mahluk yang tidak tampak yang melekat pada mitos dan legenda itu sebagai tidak layak menghuni negeri fiksi yang disebut sastra, oleh karena sastra merupakan bagian integral dari kegiatan intelektual di mana akal budi memainkan peranan utama dalam menggambarkan pengalaman estetik.

Estetika penulis-penulis yang rapat dengan gagasan kaum reformis dan modernis ini mencerminkan kuatnya pengaruh estetika yang berakar dari tradisi Aristotelian. Estetika Aristotelian, yang di Barat mulai memperlihatkan pengaruh dominan sejak Renaissance dan melahirkan aliran-aliran seni seperti realisme dan naturalisme, memandang bahwa ‘keindahan’ melekat pada bentuk dari obyek-obyek yang dapat diamati secara indrawi. Berbeda misalnya dengan estetika Neo-Platonis dan al-Ghazalian yang memandang bahwa keindahan yang ada di alam rupa atau dunia bentuk-bentuk lahir ini sebagai bayangan dari kenyataan yang terdapat di alam kerohanian (alam malakut, alam missal). Pemikiran kaum reformis dalam hal yang berkenaan dengan prinsip bahwa realitas dan kebenaran hanya dapat dicerap menggunakan sarana akal pikiran atau rasio, dengan bantuan pengamatan indra, sangat sesuai dengan pendirian kaum realis dan naturalis di Eropa. Pemikiran semacam itu, yang tercermin pula dalam estetika dan karya seni mereka, menolak kehadiran realitas penghuni alam malakut atau alam merafisik.

Dalam estetika realisme formal, karya seni atau sastra terutama sekali dianggap sebagai mimesis (tiruan) dari alam nyata atau kenyataan, misalnya kenyataan social.Kenyataan tersebut dalam fiksi diolah secara artistik dan diransformasikan menjadi fiksi, tetapi tidak menyalahi logika dan rasionalitas. Ini tercermin dalam plot atau alur cerita, di mana urutan waktu dipaparkan secara linear. Realitas yang tidak dapat dicerna akal dan nalar, dibuang jauh-jauh dari keseluruhan rangka fiksi. Novel A. A. Navis Kemarau ditulis dalam bingkai wawasan estetika realisme formal seperti itu, seperti juga novel-novel sebelumnya seperti Siti Nurbaya Marah Rusli, Salah Asuhan Abdul Muis, Layar Terkembang Sutan Takdir Alisyahbana, Tenggelamnya Kapal van der Wijck Hamka, dan lain-lain.

Ini berbeda dengan novel Kuntowijoyo Khotbah Di Atas Bukit atau cerpen-cerpen Danarto seperti “Godlob”, “Armageddon”, “Adam Makrifat”, “Berhala”, dan lain-lain. Juga dengan cerpen-cerpen M. Fudoli Zaini, seorang penulis yang berasal dari Madura yang mewakili penulis dari kalangan tradisionalis. Saya ingin mendahulukan cerpen-cerpen M. Fudoli Zaini dalam pembicaraan ini dalam upaya menunjukkan gambaran Islam atau pemikiran Islam yang berbeda dari gambaran yang diberikan A. A. Navis. Maklum, Fudoli Zaini tidak lahir dan besar di Minangkabau di tengan tradis ketegangan antara kaum adat dan pembaru, melainkan di Jawa Timur yang merupakan basis Islam tradisionalis.

Dalam makalah ini saya hanya ingin memberi contoh beberapa hal yang membedakan keislaman seorang Navis dan keislaman seorang Fudoli Zaini, terutama dalam menanggapi budaya lokal atau adat setempat. Dalam sebuah cerpennya Fudoli Zaini menceritakan bahwa ia merupakan lelaki yang baru berjumpa dengan pasangan hidupnya, yaitu istrinya, di pelaminan pada saat pesta pernikahan dilangsungkan. Sebelum bersanding di pelaminan, ia tidak pernah tahu dan berjumpa calon istrinya. Ia kawin melalui cara dijodohkan oleh orang tua masing-masing, adat resam yang hingga kini masih kita temui di berbagai daerah. Ini bertentangan dengan tema-tema roman Minangkabau tahun 1920an dan 1930an yang mengangkat tema kawin paksa sebagai bentuk perlawanan kaum muda yang modernis melawan kaum tua yang berpegang teguh pada adat.

Tetapi itu tidak penting. Yang penting untuk dikemukakan ialah bahwa kedua pasangan dalam cerpen Fudoli Zaini ini ternyata bisa hidup bahagia dan langgeng, serta tetap saling mencintai satu sama lain. Melalui cerpennya Fudoli sepertinya ingin menyampaikan pemikiran bahwa dalam kehidupan ini yang penting ialah bagaimana seseorang memelihara keseimbangan jiwa atau state of mind-nya menghadapi berbagai goncangan hidup. Kita tidak boleh menyerah pada tirani perubahan, gelombang materialisme atau tekanan-tekanan kehidupan yang dipaksakan dari luar kepada diri kita.

Dalam cerpen lain ia menceritakan bagaimana seorang pemuda yang ingin melanjutkan pelajaran ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi harus minta restu kepada seorang kiyai, yang sebelumnya merupakan gurunya. Gambaran seperti ini tidak akan bisa ditolerir oleh penulis seperti Navis atau Ali Audah yang modernis. Tetapi Fudoli tidak menyerah untuk mencari pembenaran dari pandangan Islam lokal untuk membenarkan tindakan pemuda tersebut. Ia meyakini bahwa kepatuhan masyarakat tradisional kepada empat serangkai “Bapak, Ibu, Guru dan Raja” (Buppak, babu, ghuru, rato) bukanlah seuatu yang menyimpang dari ajaran Islam. Selama orang tua itu benar, begitu pula seorang ulama (guru) dan pemimpin (raja) itu benar dan adil dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, mereka layak dipatuhi. Tetapi, jika tidak, maka diperkenankan masyarakat mengingkari dan menentang mereka. Dalam kitab-kitab fiqih mazhab Syafii hal-hal seperti itu diuraikan dengan jelas.

Berbeda dengan cerpen A. A. Navis yang menempatkan adat atau tradisi, yang dilambangkan dengan surau, dalam posisi tertuduh karena merupakan sumber kemerosotan social; dalam cerpen-cerpen Fudoli Zaini, yang dilambangkan dengan pesantren dan kiyahi, ditempatkan sebagai institusi yang tidak hanya harus dipelihara keutuhannya dan dilestarikan, tetapi malah harus dikembangkan. Sebab tidak ada institusi social lain yang dapat menggantikan perannya sebagai pemelihara dan penggerak denyut kebudayaan. Institusi modern yang hadir, baik dalam bentuk lembaga pendidikan dan lembaga formal pemerintahan/kekuasaan, ternyata gagal memainkan perannya sebagai agen dan penggerak kehidupan budaya. Alih-alih menjadi pusat kebudayaan, sekolah dan universitas malah berubah fungsi menjadi perpanjangan kegiatan pasar bebas, dan dengan demikian ikut bertanggungjawab pula membunuh kebudayaan demi kepentingan neo-liberalisme dan globalisasi.

Hal lain lagi yang menarik dalam cerpen-cerpen Fudoli Zaini ialah gambarannya tentang bagaimana di Madura dan Jawa Timur memberi makna pada pokok-pokok ajaran tasawuf seperti zuhd (asketisme) dan faqr (kefakiran). Kaum pembaru menolak konsep-konsep yang bercorak sufistik ini, karena itu gagal memahami makna simboliknya. Di lingkungan Muslim tradisional seperti di Madura dan Jawa Timur, gagasan zuhd tidak diartikan sebagai pemencilan dari kehidupan masyarakat ramai atau pengingkaran terhadap kehidupan duniawi. Zuhd di situ ditafsirkan sebagai bentuk kesalehan social. Orang harus bekerja keras di dunia ini dan mengatasi persoalan hidupnya dengan segala daya upaya akal budi dan spiritualitasnya, tetapi tujuannya bukan hanya meraih kesenangan duniawi. Jadi zuhd ditafsirkan sebagai sikap jiwa yang tidak mementingkan dunia atau kepentingan diri sendiri di atas kepentingan masyarakat. Ternyata dengan pemahaman seperti itu etos kerja keras dan budaya dagang bisa tumbuh dalam masyarakat Muslim tradisional di Jawa Timur.

Kecenderungan seperti itu dapat dipahami, apabila kita memahami bahwa tasawuf yang mendapat sambutan di Jawa Timur adalah tasawuf yang diajarkan oleh Imam al-Ghazali dan Sunan Bonang, bukan tasawuf Hallajian dan Jenarian. Tasawuf Ghazali menekankan pada perbaikan akhlaq, sedangkan Sunan Bonang mengajarkan bentuk-bentuk kezuhudan yang bercorak kemasyarakatan. Hal ini bisa dilihat pada pernyataan Sunan Bonang, yang mengatakan bahwa milik sebenarnya dari manusia bukanlah tubuhnya atau nyawanya, melainkan amal salehnya. Jika manusia mati, tubuhnya akan menjadi milik ulat dan cacing, sedangkan jiwanya akan kembali kepada Sang Pencipta. Karib dengan dunia sama saja karib dengan tanah dan tanah adalah lambang kematian, yakni kematian spiritual.

Karena kecenderungan seperti itulah, Fudoli Zaini menggeser estetika cerpennya dari realisme formal ke realisme sufistik. Dalam cerpen-cerpennya ia lebih mengutamakan realitas batin tokoh-tokohnya. Pendek kata segala sesuatu yang berkenaan dengan gejolak batin manusia berhadapan dengan berbagai kondisi kehidupan yang dialaminya bersama manusia lain. Tetapi lompatan dari realisme formal ke realisme sufistik atau transcendental menjadi tampak jelas dalam karya-karya Danarto dan Kuntowijoyo. Melalui cerpen dua karya penulis Jawa Tengah itu kita menemukan nalar Islam lain yang unik, yang tidak akan dipahami baik oleh Fazlur Rahman, Arkoun dan Hasan Hanafi, maupun oleh Maududi, Syed Qutb dan Yusuf Qardhawi.

 

REALISME DAN SASTRA SUFISTIK

Danarto dan Kuntowijoyo adalah pelopor Angkatan 70 dalam sastra Indonesia. Dalam karya-karya mereka realisme formal benar-benar ditinggalkan. Penghayatan keislaman mereka yang berbeda dengan penghayatan rekan seangkatannya seperti M. Fudoli Zaini dan Sutardji Calzoum Bachri, lebih banyak disebabkan budaya lokal dan corak pemikiran keagamaan yang mereka cerap. Tetapi tidak dapat diingkari bahwa mereka hidup dari pengaruh tradisi Barat yang relatif sama, terutama gagasan kaum eksistensialis seperti Sartre, Camus dan Heidegger, dan novel-novel bercorak ‘stream of consciousness’ yang menekankan pada ‘kesadaran dalam’ dibanding pemaparan realitas sosial dan formal. Danarto misalnya sepenuhnya hidup dalam tradisi kebatinan Jawa yang lebih senang menyerap gagasan-gagasan sufistik ala Mansur al-Hallaj dan Syekh Siti Jenar, dibanding gagasan Ghazalian dan Bonangian.

Gagasan Hallajian dan Jenarian yang dimaksud ialah gagasan “Manunggaling kawula Gusti” atau unio-mystica. Gagasan ini menunjuk kepada pengalaman ‘merasa bersatu dengan Tuhan’ secara rahasia. Persatuan mistik, yang dalam tasawuf disebut ittihad – suatu keadaan jiwa yang timbul setelah seseorang mencapai keadaaan fana, yaitu hapusnya jiwa rendah atau nafs, dan wajd, yaitu keadaan ekskatik yang mengantarkan seseorang pada keadaan seolah-olah berjumpa dengan Yang Satu. Pengalaman ini bukanlah pengalaman penyatuan dalam arti leburnya eksistensi atau wujud kemanusiaannya dengan eksistensi ilahiah, melainkan lebih sebagai kesadaran ‘seolah-olah’ merasa bersatu dengan Yang Satu. Seorang mistikus tahu bahwa ia tidak akan menyatu atau menjadi serupa dengan Tuhan. Ia menyadari bahwa kehadiran Tuhan lebih merupakan kehadiran yang dirasakan dalam lubuk hati terdalam. Ungkapan dalam puisi Amir Hamzah “Padamu Jua”, “Aku manusia/ Rindu rasa rindu rupa/ Di mana Engkau/ Hanya kata merangkai hati” adalah ungkapan yang tepat untuk menyatakan pengalaman unio-mystica.

Tema-tema persatuan mistik ini sangat dominan dalam cerpen-cerpen Danarto mulai dari periode Godlob sampai Adam Makrifat hingga periode Berhala, Gergazi dan Asmaraloka. Saya tidak menemukan seorang pengarang pun dari Sumatra, Sulawesi, Jawa Barat dan Jawa Timur yang sedemikian obsesif dengan gagasan persatuan mistik seperti Danarto, pengarang asal Sragen Jawa Tengah. Di sini praktek-praktek kebatinan yang diwarisi dari tradisi Tantrisme dan dicampur dengan pandangan sufi, banyak dijumpai terutama di kalangan yang mempraktekkan kebatinan Jawa. Kegandrungan atas ide kemanunggalan bisa dikaitkan dengan ketegangan yang menyejarah antara kaum heterodoks dan pendukung syariah, yang telah berlangsung sejak abad ke-16 M. Seyekh Siti Jenar, Sunan Panggung, Syekh Among Raga, dan Haji Mutamakin, mewakili kaum heterodoks dan menjadi sumbol pembangkangan agama di Jawa. Tetapi ketegangan ini berusaha diakhiri di Surakarta pada masa pemerintahan Pakubuwana II dan Pakubuwana III (abad ke-18 M), yang melahirkan sebuah sinthese yang aneh antara Tantrisme Jawa dan Tasawuf. Ini tercermin dalam alegori sufi Dewa Ruci yang digubah oleh Yasadipura I, penulis yang hidup pada zaman pemerintahan Pakubuwana II dan Pakubuwana III. Kehadiran Tuhan yang dialami di lubuk hati manusia, digambarkan secara antromorfis sebagai Sang Hyang Suksma.

Adalah sukar untuk mengatakan bahwa karya-karya Danarto tidak bernafaskan Islam, apalagi jika dibaca bersama-sama karangan Mansur al-Hallaj, Fariduddin `Attar dan Ibn `Arabi. Dalam karya Danaro kita melihat bahwa apa yang ditolak oleh Hamka dan Navis, seperti kehadiran sosok mahluk hidup dari Alam Gaib sebagai penghuni cerita, justru hadir kembali dalam karya Danarto dan memainkan peranan penting sebagai penggerak peristiwa kehidupan. Tokoh cerpen-cerpen Danarto bukan hanya manusia, tetapi juga jin, malaikat, popo wewe, bekakrak, kodok, pohon, kadal dan hewan-hewan lain. Dalam cerpen “Lempengan-lempengan Cahaya”, yang ceritanya mengambil tempat di Palestina, ia memulai ceritanya dengan percakapan antara Surah al-Fatihah, Ayat Kursi dan Surah Ali Imran ayat 18 – 19. Dialog tiga ayat al-Qur’an ini terjadi sebelum diwahyukan kepada Nabi Muhammad s.a.w. Setelah diwahyukan kemudian ayat-ayat ini tersebar ke seluruh dunia. Dengan daya fantasi dan imaginasi yang mengagumkan, Danarto menggambarkannya sebagai berikut:

Sebagai lempengan cahaya ayat-ayat itu meluncur dengan kecepatan luar

batas angan-angan Udara, awan gemawan, cuaca, teran, gelapdan bau-bauan

memandang ayat-ayat itu penuh kegembiraan.

“Apakah ini yang melintas sebagai lempengan-lempengan cahaya?”

Tanya sapuan warna.

“Kami adalah ayat-ayat suci!” sahut al-Fatihah, Ayat Kursi, dan Surah

Ali Imran bersamaan.

“Alangkah berbahagia kalian, “kata sesayup bunyi.

“Apakah kami nampak seperti itu?” Tanya ayat-ayat suci itu.

“Kalian nampak jauh lebih baik lagi,” kata seberkas udara.

“Saya lalu ingat, pernah pula berduyun-duyun ayat suci meluncur dari

ketinggian yang tak terbayangkan, menuju bumi yang hijau royo-royo.

“Kapan itu?”

“Jauh. Jauh. Jauh sekali sebelum pengembaraan kalian ini.”

“Enak ya ditugaskan di bumi?”

“Di antara para pembangkang Tuhan?”

“Di antara gerombolan yang saling bermusuhan?”

“Di antara ambang kehancuran?”

Sapuan warna memoles langit yang hijau.

Sesayup sunyi mengantarkan suara.

“Kalian menuju bumi?”

“Kami menuju bumi.”

“Bumi yang hijau.”

“Bersimbah darah.”

“Bumi yang subur.”

(Ulumul Qur’an No. 1/Th. I/1989)

Berbeda dengan penganut aliran realisme formal, yang melihat keindahan melekat pada bentuk-bentuk formal kehidupan, Danarto melihat keindahan berada di seberang bentuk formal kehidupan. Keindahan adalah sisi lain dari kebenaran tertinggi. Ia tidak dapat dicerap secara rasional melalui logika, juga tidak melalui persepsi indra. Ia dicapai melalui perenungan, bahkan melalui ekstase atau junon (Iqbal). Peralatan untuk mencapainya adalah intuisi dan imaginasi.

Danarto sadar bahwa kebudayaan tidak akan tumbuh pesat dan berkembang subur apabila manusia hanya mengandalkan pada ilmu pengetahuan dan pencapaian teknologi. Dasar tumbuhnya kebudayaan, kesuburan dan kemantapannya, sangat tergantung pada bagaimana manusia menghidupkan mitologi, seni, agama dan falsafah hidupnya dengan baik. Ilmu dan tehnologi adalah tiang peradaban, dan peradaban tidak sama dengan kebudayaan. Kebudayaan menuntut kreativitas, kegairahan, semangat ekskatik (ekstase), kemampuan manusia mengembangkan imaginasi, hasrat-hasrat dan kerinduannya yang terpendam akan nilai-nilai yang luhur, baik dan indah. Nilai-nilai ini bukan urusan ilmu pengetahuan, tetapi urusan etika, agama dan seni.

Sungguh malang suatu kaum, umat atau bangsa, kata Iqbal, jika melupakan asas ini. Yaitu jika di satu pihak ingin mengembangkan kebudayaan, dan peradaban, hanya mengandalkan pada syariah dan fiqih, dan di lain pihak hanya mengandalkan pada ilmu pengetahuan, perkembangan ekonomi dan teknologi. Ilmu pengetahuan dan teknologi, sebagaimana kemakmuran dalam ekonomi, tidak dapat merubah karakter dan semangat suatu bangsa yang telah berakar secara mendalam. Ia hanya bisa membantu memperbaiki kondisi lahir dan material suatu bangsa, namun penerapannya tergantung pada etos, semangat dan falsafah hidup bangsa yang bersangkutan.

Tetapi agama, system kepercayaan, mitos, falsafah hidup dan seni dapat memberi perubahan apabila ditanamkan secara mendalam dalam lubuk jiwa suatu bangsa. Contoh terbaik untuk ini adalah bangsa Jepang, Yahudi dan Iran. Penguasaan mereka di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, bahkan juga ekonomi, tidak mampu merubah karakter dan falsafah hidup mereka. Orang Yahudi tetap sejak dahulu kala sebagaimana digambarkan dalam Perjanjian Lama dan al-Qur’an. Begitu juga bangsa Iran tidak berubah semangat dan karakternya disebabkan telah menguasai teknologi nuklir dan pertumbuhan ekonominya cukup membanggakan. Bahkan keberhasilan mereka menguasai ilmu pengetahuan dan mengembangkan teknologi justru disebabkan oleh etos kerja, semangat belajar atau system kepercayaan mereka yang kokoh, misalnya kepada gagasan imamah dan mahdaviyat (eskatologi apokaliptik).

Danarto memang tidak banyak menjelaskan apa itu estetika sufistik. Yang paling sering menjelaskannya ialah Kuntowijoyo. Karena itu izinkanlah saya berbicara tentang wawasan estetika Kuntowijoyo, kaitan estetikanya dengan aliran sastra dan pemikiran Islam yang bercorak sufistik. Sebagai pengarang Kuntowijiyo dapat dimasukkan ke dalam penganut aliran ‘stream of consiousness’. Tetapi berbeda dengan pengarang ‘stream of consciousness’ lain seperti Gerson Poyk yang cenderung eksistensialistik, karya-karya Kuntowijoyo sejak awal berkecenderungan sufistik.

Gugatannya terhadap realisme formal telah tampak sejak cerpen-cerpennya yang awal dalam majalah Horison 1967-1972, dan dalam esai-esainya, misalnya “Prosedur Lingkaran Dalam Kritik Sastra” (1973). Pada awal tahun 1980an, dia menggagaskan perlunya ‘sastra transendental’ dan kemudian ‘sastra profetik’. Gagasannya itu merujuk pada novel Khotbah Di Atas Bukit (1976) yang merupakan penajaman terhadap kecenderungan ‘streaam of cnsciusness’ dan sufistik- eksistensialistik dari cerpen-cerpennya yang awal. Ia semakin jauh meninggalkan realisme formal melalui cerpen-cerpennya yang ditulis pada 1990an, serta melalui novelnya Impian Amerika (2001) dan satire-satirenya yang terkumpul dalam Fabel Politik (1999).

Dalam esai 1973 Kuntowijoyo menyatakan bahwa tugas pengarang bukan sekadar memotret realitas, tetapi juga melakukan kritik, idealisasi dan simbolisasi terhadap realitas. Dengan demikian hasil karyanya tidak hanya berpijak pada peristiwa keseharian dan realitas sosial, tetapi juga pada wawasan kerohanian dan budaya yang dihayati pengarang melalui pemahamannya terhadap sejarah dan tradisi. Tokoh-tokoh cerpen dan novel Kuntowijoyo adalah manusia yang tidak bisa hidup di luar kebudayaan, di luar spiritualitas dan agama. Agama di sini jangan diartikan sekadar sebagai doktrin teologi dan aturan-aturan legalistik formal tentang kehidupan, juga terlebih-lebih sebagai ‘gambaran dunia’ dan sistem metafisika yang dihidupi dengan amalan dan perilaku kehidupan, serta dijadikan dalam memandang hidup dan realitas kehidupan.

Pandangan Kuntowijoyo bahwa sastra bisa merupakan kritik, idealisasi dan simbolisasi atas realitas, berpijak pada wawasan estetik yang telah lama berkembang dalam tradisi sastra Nusantara (baca: Jawa dan Melayu). “Yang kita harapkan sekarang ini,” kata Kuntowijoyo lagi dalam esainya, “ialah suatu pembangunan kembali dalam pemikiran yang mampu membuat orang terhindar dari memilih antara pengalaman yang miskin dan pincang di sat pihak, dan akal yang dibuat-buat di lain pihak. Salah satu caranya ialah dengan merubah pemahaman kita tentang manusia”.

Lebih jauh dikatakan bahwa pemahaman manusia tentang dirinya sendiri harus memakai konsep kunci baru, yaitu simbolisme. Maka pertanyaan mengenai hakikat sastra dan hubungannya dengan realitas harus dirubah. Sastra bukan sekadar representasi dari realitas, tetapi simbol. Simbol ialah penemuan dan penciptaan manusia, yang merupakan upaya spiritualnya untuk bisa hidup dalam dimensi baru dari realitas. Di situ manusia menemukan dirinya dan kesadarannya yang lebih kaya. Penemuan simbol yang hanya milik manusia ini telah membuatnya berbeda dengan binatang. Mitos, agama, bahasa, kesenian, sejarah dan ilmu pengetahuan adalah simbol. Sastra adalah simbol yang menggunakan bahasa sebagai alatnya. Tiap simbol mempunyai kebenarannya sendiri, hingga jangan mencari kebenaran dari satu simbol pada simbol lainnya. Jadi jangan mencari kebenaran dari sastra di dalam ilmu pengetahuan, karena tidak akan pernah didapatkan.

Pengertian tentang ‘simbol’ yang dimaksudkan Kuntowijoyo, tidak dapat disamakan dengan ‘sign’ atau ‘sememe’ dalam pemikiran kaum strukturalis dan semiotik, karena ia lebih mendekati pengertian ‘metafora’ Paul Ricoeur atau ‘symbol’ Gadamer. Sedangkan kenyataan yang ditampilkannya dapat dirujuk pada pengertian Ibn `Arabi tentang ‘alam misal’ (`alam al-mitsal), yaitu alam kehidupan yang menjadi perantara atau penyambung antara pengalaman transendental dan pengalaman empiris manusia. Henri Corbin mengartikan ‘alam misal’ sebagai ‘alam imaginasi’. Begitulah yang disajikan sebuah karya sastra pada dasarnya adalah sebuah alam misal, sebuah simbol atau metafora tentang kehidupan yang dipahami dan sekaligus pengalaman yang dihayati pengarang.

Tetapi harus dipahami bahwa sekalipun karya sastra merupakan ‘simbol’ dan bukan ‘representasi realitas’, ia mempunyai hubungan nyata dan langsung dengan kehidupan. Karya sastra adalah hasil dari tindakan perenungan terhadap sesuatu yang dikenal, dipahami dan dihayati, baik secara intelektual, intuitif dan emosional oleh pengarang. Jadi, menurut Kuntowijoyo, yang ada dalam karya sastra adalah simbol, dan simbol adalah sarana konsepsi tentang obyek. Dalam simbol ini manusia mentransformasikan lingkungan dan pengalaman hidupnya. Simbol lantas menjelma seolah-olah sebuah dunia baru. Karena itu hubungan karya sasta dengan realitas tidak dapat dipandang sebagaimana hubungan antara cermin dan benda di hadapan cermin. Keharuan membaca karya sastra karenanya juga berbeda dari keharuan menghadapi peristiwa sehari-hari. Dalam karya sastra, fenomena sosial dan keseharian yang ditangkap dan dihayati pengarang, mengalami proses universalisasi melalui ungkapan-ungkapan estetik yang hidup.

Bagi Kuntowijoyo sastra tidak menunjuk pada obyek tertentu, melainkan gagasan atau imagisasi tentang sesuatu. Kemungkinan-kemungkinan sastra sangat luas, tidak sebagaimana diduga kebanyakan orang. Kadang-kadang sastra merupakan suatu sublimasi, proyeksi atau katharsis terhadap suatu kejadian. Kadang-kadang sastra ingin mencapai sesuatu yang jauh, dalam dan sunyi. Ia kerap bicara dalam suatu keheningan yang kudus. Untuk memahaminya, karena itu, menuntut pengerahan seluruh daya rohani. Khususnya pemahaman, sebab karya sastra bukan hanya rasa, tetapi juga mengandung inteligensia dan kearifan (wisdom, al-hikmah).

Karya sastra bukan hanya memberi kesan melalui fungsinya, tetapi terutama melalui kualitas pesan moral dan kemanusiaannya yang disugestikan melalui ungkapan-ungkapan estetisnya yang memiliki daya pembayang (imaginasi) yang kuat. Dalam upaya melahirkan karya sastra yang diidamkannya itu Kuntwowijoyo menggunakan sarana-sarana estetik sastra klasik seperti penciptaan tokoh, kejadian dan latar cerita yang aneh, ganjil, ajaib, serba unik, mengagumkan, mengerikan dan kadang-kadang dahsyat. Caranya membangun alur cerita, menampilkan tokoh dan kerjadian, serta latar cerita, dapat dibandingkan penulis-penulis lain yang sezaman seperti Iwan Simatupang, Danarto, Budi Darma, Arifin C. Noer dan lain-lain. Sekali pun tokoh cerpen-cerpen dan novel Kuntowijoyo terkesan ganjil, namun tetap berpijak pada realitas.

Contoh terbaik ialah cerpen-cerpen Kuntowijoyo yang awal yang dimuat dalam majalah Horison pada awal 1970an seperti “Burung Kecil Bersarang Di Pohon”, “Sepotong Kayu Untuk Tuhan” dan “Dilarang Mencintai Bunga-bunga”. “Burung Kecil Bersarang di Pohon” merupakan cerpen religius dan eksistensialistik yang menarik.

Seorang guru besar ilmu fiqih dan tauhid bersiap untuk menyampaikan khotbah Jum’at di sebuah masjid. Ia memakai baju putih, peci dan sarung yang bersih. Karena letak masjid cukup jauh, maka tokoh harus berangkat agak awal. Ia terpaksa melalui sebuah jalan dan pasar yang ramai. Sepanjang perjalanan itu ia mencemooh orang-orang yang sibuk berjual beli di pasar melakukan kegiatan duniawi, seakan-akan lupa bahwa hari itu adalah hari Jum’at dan saatnya orang bersiap pergi ke masjid. Di tengah perjalanan, ketika melewati sebuah tegalan, ahli fiqih kita bertemu dengan seorang anak kecil yang sedang berusaha menangkap seekor burung, tetapi tidak bisa karena burung itu bertengger di dahan pohon yang tinggi. Merasa kasihan, sang professor berhenti dan berusaha menolong anak itu untuk menangkap burung yang diinginkan. Karena asyiknya menolong anak itu, dia lupa harus berangkat cepat ke masjid. Seusai menolong anak kecil itu, ahli fiqih kita merasa sangat bahagia. Tetapi tidak lama kemudian hatinya merasa sedih karena baju yang dipakainya ternyata sudah kotor, dan lebih sedih lagi karena ketika dia sampai di masjid, salat Jum’at sudah usai dan orang-orang sudah berhampuran ke luar meninggalkan masjid.

Ia malu pada orang-orang yang mungkin akan mencemoohnya. Ia ingin masuk ke dalam masjid sendirian dan salat sendirian. Pikiran aneh muncul di kepalanya, jangan-jangan anak itu penjelmaan setan yang tugasnya menggoda manusia di jalan Tuhan. Ia merasa takut dimurkai oleh Tuhan, padahal baru saja ia merasakan suatu perasaan berbeda bersama anak kecil itu, perasaan bahwa ia bekerja keras, memanjat pohon asam untuk menangkap burung dan perbuatannya memberikan kebahagiaan kepada anak kecil itu. Ia baru saja merasa menjadi ‘manusia’ dalam arti sebenarnya bersama anak kecil itu, yang kini muncul sebagai bayangan setan.

Kuntowijoyo menutup cerpennya sebagai berikut: “Kemudian dia berpikir. Dia Yang Maha Tinggilah yang menggerakkan semuanya itu. Itu salah-Mu sendiri. Tidak. Engkau tidak bersalah. Tentulah, itu karena Dia ingin menunjukkan sesuatu kepadanya. Sebenarnyalah, ia mengerti sesuatu. Maka ia pun menangis. Seorang lelaki mendekat kepadanya. ‘Buya!’ kata orang itu. Ia menolak orang itu dan mencoba tersenyum. Karena kegembiraanlah ia menangis. “Tak ada apa-apa, pak!’ katanya. Ia pergi mengambil air wudhu. Mukanya berseri-seri. Orang-orang masih berkerumun di luar, ketika ia masuk ke dalam. Pengalaman hari itu pastilah suatu kesengajaan Tuhan. Ia tidak ragu. Alangkah ajaibnya cara-Mu menunjukkan. Anak kecil itu ialah anak manusia. Ia rindu kepada anak itu, burung-burung bahkan keributan pasar. Seperti sekarang, ia rindu kepada-Nya.’”

Dalam “Sepotong Kayu untuk Tuhan” Kuntowijoyo menyajikan kisah lelaki tua di sebuah dusun terpencil. Ia hidup bersama istrinya yang bawel. Ia berkebun di di tanah warisan orang tuanya. Sekalipun a bekerja keras, istrinya memandangnya pemalas. Suatu hari ketika ia sendirian di rumah dan istrinya pergi menjenguk anaknya di desa lain, timbullah hasratnya untuk bermalas-malas dan menikmati kesendirian sesantai mungkin. Tetapi tiba-tiba kesadaran muncul dalam dirinya: sebagai seorang Muslim tidaklah baik bermalas-malas dan menyia-nyiakan waktu. Kini dia ingat di dusun itu orang sedang membangun sebuah masjid dan surau. Telah banyak orang memberikan sumbangan baik tenaga, pikiran dan harta. Ingat ini dia pun mengurungkan niatnya untuk bermalas-malas. Dia pergi menuju kebunnya. Ia menemukan sebuah pohon nangka tua yang ditanam dan dipeliharanya sendiri sejak kecil. Dia memilih batang nangka itu sangat baik untuk disumbangkan bagi pembangunan masjid itu. Dia bekerja keras menebang pohon itu bersama seorang temannya. Dia ingin menyumbangkan pohon itu secara diam-diam.

Pada suatu malam yang gelap, kayu nangka itu dia hanyutkan ke sungai dan tidak lama kemudian kayu itu terdampar tidak jauh dari tempat masjid dan surau itu sedang dibangun. Tetapi sayang, pada waktu subuh ketika ia datang ke tempat itu, dia melihat kayu nangka itu sudah tidak ada di sana. Ia telah dibawa hanyut oleh banjir yang datang tengah malam. Mula-mula dia kecewa, akan tetapi kemudian tersenyum sambil berkata, ‘Sesuatu telah hilang. Tidak. Tidak ada yang hilang…Sampai kepada-Mukah Tuhan?’

Cerpen ini begitu simbolik dan puitik, dan sangat sufistik, namun tetap berpijak pada realitas. Tentu saja kesufistikan cerpen Kuntowijoyo itu berbeda dengan kesufistikan cerpen-cerpen Danarto.

Gagasan Kuntowijoyo itu tersublimasikan dalam novel Khotbah Di Atas Bukit yang ditulis tidak lama sebelum esainya itu. Pembicaraan tentang novel ini penting, karena perkembangan cerpen di mana pun tidak terpisah dari perkembangan novel. Lagi pula, melalui novelnya ini memperlihatkan keeratan pengarang dengan latar belakang budaya masyarakatnya (Jawa) yang sangat kuat diwarnai tradisi mistik/tasawuf. Warna lokal dalam novel Kuntowijoyo ini sangat jelas tampak dalam: (1) Penciptaan tokoh kembar – Barman dan Humam — yang melambangkan dua sisi dari kehidupan manusia selaku makhluq sosial/sejarah dan sekaligus makhluk spiritual; (2) Pemecahan problem kehidupan seperti kesepian, keterasingan, absurditas (ketakpaham makna hidup) dan lain-lain, dengan menggunakan cara berpikir atau kearifan yang ada dalam msyarakat; (3) Perjalanan kerohanian dikiaskan dengan perjalanan mendaki puncak bukit/gunung, di mana tokoh melakukan penyucian diri.

Tokoh kembar dalam novel ini dapat dirujuk pada lakon Bima dalam Serat Dewa Ruci yang mendaki puncak gunung kemudian menyelam ke dalam lautan untuk mencari air hayat (ma` al-hayat – lambang makrifat dan persatuan ahli suluk/mistik dengan Tuhan). Di dalam lautan Bima berjumpa dengan tokoh kembarannya Dewa Ruci (yang tubuhnya lebih kecil, tetapi wajahnya mirip). Perjalanan ke gunung yang dilakukan oleh Barman untuk beristirahat bersama Poppy, wanita yang dihadiahkan oleh anaknya untuk mendampingi hidupnya selama tinggal di tempat peristirahatan di lereng gunung, adalah semacam tamsil atau kias bagi perjalanan rohani manusia dari tempat rendah ke tempat tinggi. Tamsil semacam ini lazim digunakan oleh pengarang-pengarang Jawa Kuna dan sufi Melayu. Bandingkan misalnya dengan Arjuna Wiwaha, atau kisah perjalanan tokoh-tokoh cerita Melayu seperti Hikayat Inderaputra. Tamsil pendakian ke puncak gunung untuk menjumpai kebenaran tertinggi juga digunakan oleh Hamzah Fansuri pada abad ke-16 dalam syair-syair tasawufnya. Kuntowijoyo sangat akrab dengan simbol-simbol semacam itu dan dapat mentranformasikannya ke dalam novelnya.

Pembebasan dari aktualitas dalam sastra yang dikehendaki Kuntowijoyo memberi keleluasaan baginya, seperti juga pada pengarang lain, untuk lebih leluasa menjelajahi wilayah pengalaman spiritual dan transcendental, termasuk pengalaman mistikal dan sufistik (kesufian). Perjalanan Barman ke tempat peristihatan ke lereng gunung, walaupun motif awalnya untuk beristirahat seraya bersenang-senang bersama seorang wanita cantik, pada dasarnya merupakan simbol pembebasan yang dimaksudkan, sekaligus kenaikan seseorang dari hal yang jasmani dan inderawi menuju maqam rohani dan maknawi. Di lereng gunung itulah, Barman – berkat diplomat tua yang telah duda dan hedonis tulen – menemukan makna baru dalam hidupnya, dan memahami sebab-sebab dari nihilismenya. Makna baru dijumpai setelah dia menyucikan diri (ditamsilkan dengan membersihkan diri dengan air gunung yang jernih, atau athirta dalam mistik Hindu Jawa) dan menenggelamkan diri dalam kesunyataan alam awang-uwung (ahanyutan, fana’). Pada tahapan berikutnya dia berjumpa dengan Humam, kembaran dirinya yang tidak lain adalah manifestasi dari diri rohaninya yang selama ini terlupakan disebabkan terlalu silau pada kesenangan jasmani dan duniawi.

Khotbah Di Atas Bukit merupakan novel yang sarat dengan renungan-renungan sufistik dan filosofis. Banyak sarana estetik dari sastra mistik Jawa dan sufi Melayu digunakan oleh pengarang dalam menciptakan dunia baru yang kaya makna. Selain tamsil pendakian ke gunung, munculnya tokoh kembar, laku penyucian diri dan kehanyutan yang dialami Barman, juga digunakan sarana estetika klasik yang lain. Misalnya penggunaan unsur-unsur erotis, yang dalam sastra mistikal lazim digunakan untuk melukiskan tahapan awal penghayatan/perjalanan mistis mencapai rahasia terdalam kehidupan. Kecuali itu kita lihat betapa Barman mengakhiri hidupnya dengan menunggang kuda putih yang menyebabkan ia jatuh ke dalam jurang. Kita lantas ingat pada mitos Hindu. Daam mitos itu dikatakan bahwa tanda-tanda berakhirnya zaman ialah apabila Kalki (penjelmaan Wisnu) muncul menunggang seekor kuda putih. Kuntowijoyo juga menggunakan paradoks-paradoks sufi, seperti tercermin dalam monolog dan dialog antara tokoh-tokoh dalam novelnya itu. Misalnya perkataan Human kepada Barman, “Keadaanku ialah ketiadaanku. Atau sebaliknya!’

Di sini terdengar gema renungan Sunan Bonang yang begitu sufistik dalam Suluk Kaderesan:

Nafi jinis (peniadaan genus) berarti

‘Yang tidak wujud’

Adanya ialah tiada

Nafi nakirah (peniadaan mutlak) artinya

Kewujudannya dicipta

Adanya disebabkan perintah Kun! (fayalkun)

Tamsil nafi jinis

Jika dirujuk pada dirinya sendiri

Berarti hakikatnya tiada

Ketahui ini!

Kata nakirah lantas berarti

Ada dan tiada bukan sifatnya (yang abadi)

Nama yang dapat diberikan ialah tiada

Yakini ini, sungguh pun sukar

Yakini makna dua hal ini!

Tiada itu dikenakan

Pada benda-benda yang tak punya wujud (hakiki)

Dan itu disebut ‘suwung’ (kosong)

Yang jika lenyap tak meninggalkan bekas

(lihat Kembali Ke Akar Kembali ke Sumber. 1999:33)

Satu lagi renungan sufistik dalam bentuk paradoks yang tampak dalam novel itu ialah komentar khalayak ramai ketika menyaksikan kematian Barman yang terjerumus jurang bersama kuda putihnya:

“Tak ada lagi harapan!” kata orang yang satu.

“Tak ada lagi putus asa!” sahut prang kedua dan seterusnya.

“Tidak ada lagi kebahagiaan!”

“Tidak ada lagi kesedihan!”

“Dan yang ada adalah hidup (al-hayy, pen.) kita!”

“Yang sempurna!”

“Yang kosong…”

“Tidak ada lagi yang bertentangan!”

“Aduh darahnya!” = “Aduh senyumnya!”

“Aduh remuknya!” = “Aduh bagus wajahnya!”

Melalui dialog-dialog ini Kuntowijoyo ingin memperlihatkan bahwa suatu peristiwa dalam kehidupan ini bisa menimbulkan kesan, tanggapan dan bahkan pendapat yang berbeda-beda. Segala sesuatu di dunia fenomena ini memang relatif, dan relativisme menimbulkan apa yang disebut oleh Lao Tze sebagai chaos (dalam Tao Te Ching). Situasi chaos dari kenyataan hidup/fenomena yang nisbi dan kompleks inilah yang menimbulkan situasi tidak terpahamkan (absurd) dalam jiwa/pikiran manusia. Inilah yang mempertemukan eksistensialisme dan bentuk-bentuk mistisisme Timur seperti Zen Buddhisme, Taoisme dan Sufisme, walaupun keduanya memiliki metode dan arah yang berbeda dalam memahami keberadaan manusia di dunia.

Wawasan Kuntowijoyo lebih ketara lagi dalam fabel-fabel politiknya seperti Mengusir Matahari (1999) dan novel Mantera Penjinak Ular (2000). Tetapi tidaklah mudah membahas semua karya pengarang prolifik secara ringkas.

 

PENUTUP

Melalui pembahasan yang telah dipaparkan, beberapa kesimpulan bisa diambil. Kesimpulan-kesimpulan tersebut boleh jadi penting dan boleh jadi juga tidak penting, tergantung pada penerimaan kita masing-masing.

Pertama, definisi paling mungkin dipilih untuk menjelaskan seni atau sastra Islam ialah definisi historis atau takrif kesejarahan, bukan misalnya definisi evaluatif. Definisi evaluatif ialah menjelaskan suatu tradisi seni atau kebudayaan seraya melakukan penilaian subyektif berdsarkan rangka pandang tertentu yang telah disiapkan dalam kepala. Definisi seperti ini banyak kelemahannya, seperti tampak dalam uraian sarjana-sarjana orientalis Barat dan Asia, yang bertolak dari metode positivisme dan neo-positivisme. Kebenaran teoritis telah ditetapkan terlebih dahulu, sebelum penelitian dilakukan, sehingga hasilnya bisa ditebak. Salah satu kelemahannya ialah kelaziman menggeneralisir Islam ke titik paling susut, atau simplikasi berlebihan terhadap Islam. Misalnya dengan menyederhanakan Islam sebagai santri dan abangan, fundamentalis dan liberal, tradionalis dan modernis, ortodoks dan heterodoks, radikal dan moderat, yang semuanya itu lebih banyak menyesatkan dibanding membuat jernih pemahaman.

Sebaliknya definisi historis atau takrif kesejarahan akan dapat menyajikan kenekaragaman manifestasi Islam dalam sejarah peradaban dan kebudayaan dalam tahapan sejarah yang berbeda-beda dan tempat yang berbeda-beda, asal saja kita tidak terpaku pada fenomena-fenomena lahir dari kebudayaan dan peradaban Islam, tetapi juga mampu melihat system nilai, pandangan hidup dan weltaschauung yang mendasari sebuah kebudayaan dan peradaban. Dalam membahas seni Islam, melihat wawasan estetika yang melatari penciptaan seni masyarakat Muslim harus dilakukan. Tetapi justru jarang kita lakukan, karena kita lebih sering melihatnya dari kaca mata estetika Barat yang logika dan dasar-dasar pandangannya tidak jarang berbeda dengan estetika yang dihayati seniman Muslim yang karya-karyanya diteliti.

Kedua, seperti kebudayaan Islam sendiri di negeri yang berbeda-beda sejarah dan perkembangan tradisi intelektualnya, seni dan sastra Islam mencerminkan sinthesa berbagai kebudayaan dan ragam estetika. Kebudayaan Islam Arab misalnya, begitu juga sastranya, sebagaimana dikatakan Taha Husayn (1889-1973) adalah kebudayaan yang didasarkan atas ajaran al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama serta syair dan masalah-masalah leksikal dan ketatabahasaan yang dilahirkan dari kajian terhadap al-Qur’an; diperkaya dengan unsur-unsur kebudayaan Yunani yang berlandaskan ilmu kedokteran dan falsafah; kesusastraan dan kearifan Timur terutama Persia, India dan kebudayaan-kebudayaan bangsa Semit yang tinggal di Iraq (Babylonia dan Mesopotamia).

Begitu pula dengan kebudayaan Islam di Nusantara, dengan variasi yang berbeda di daerah atau kalangan etnik tertentu dengan di daerah atau kalangan etnik lain, antara di kota besar, kota kecil serta pedesaan dan pinggiran kota yang dipenuhi kaum urban. Kebudayaan Islam Melayu misalnya menyerap unsur-unsur kebudayaan Arab, Persia, Hindu Jawa, lokal dan kemudian tradisi-tradisi yang dibawa oleh kolonial Eropa. Suatu ketika di suatu daerah Tasawuf sangat dominan, kemudian aliran-aliran keagamaan lain seperti Wahabisme dan gerakan pembaruan yang dominan. Di daerah tertentu seperti Jawa, kesenian dan kesusastraannya dibentuk dari unsur-unsur utama Tantrisme dan Sufisme. Semua selayaknya diberi tekanan dalam setiap penelitian dan kajian terhadap Islam di Indonesia dan kebudayaan yang dilahirkan dari buaiannya.

Saya kira penting pula untuk dipahami bahwa sastra Islam lahir pertama kali dari tradisi baca – tulis, bukan dari tradisi lisan. Ini merupakan konsekwensi dari kenyataan bahwa Islam merupakan agama kitab, sehingga melahirkan paradigma yang berbeda dari sastra yang lahir mula pertama dari tradisi lisan. Dalam tradisi lisan yang diutamakan “Bagaimana menyampaikan sesuatu secara menarik”. Improvisasi dan kecakapan bertutur secara lisan merupakan unsur penting dalam tradisi lisan. Sedangkan isi yang disampaikan, apakah dangkal atau tidak, bukan merupakan hal yang penting. Dalam sastra yang lahir mula pertama dari tradisi tulis, bukan hanya cara menyampaikan yang dipertaruhkan, melainkan “Apa yang disampaikan”. Ini menyangkut soal isi, pesan moral, gagasan, dan lain sebagainya. Dalam sastra lisan, kemungkinan menyajikan hal-hal yang mendalam memperoleh ruang yang sempit. Dalam sastra tulis, perenungan yang dalam lebih dimungkinkan terdedah dan terungkapkan. Dalam tradisi lisan, sastrawan atau penyair tidak leluasa mengekspresikan individualitasnya. Yang ia ekspresikan adalah kelompoknya, komunitasnya, sukunya, dan lain sebagainya. Dalam sastra tulis, sastrawan dapat mengekspresikan individualitasnya secara intensif.

Jakarta 22 November 2006

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler