Skip to Content

JEJAK ALAM DALAM PROSA INDONESIA

Foto SIHALOHOLISTICK

Maman S Mahayana*

            Adakah jejak alam dalam prosa[1] Indonesia mutakhir? Jika frase jejak alam itu dimaksudkan sebagai latar cerita, tentu saja cukup berlimpah novel Indonesia yang coba mengangkat perkara itu. Tetapi, jika jejak alam itu dimaksudkan sebagai problem manusia dalam berhadapan dengan alam,[2] maka itulah yang terjadi dalam novel Indonesia modern. Novel Indonesia jadinya semacam potret pandangan dan sikap sastrawan Indonesia yang berbeda pandangan dan sikap sastrawan Eropa atau Amerika. Bagaimanapun juga, novel (: sastra) adalah representasi kegelisahan sastrawan atas berbagai persoalan yang berada di lingkungannya. Boleh jadi ia cemas berhadapan dengan dirinya sendiri yang dalam karya sastra digambarkan sebagai konflik batin ketika manusia tidak dapat memahami dirinya sendiri. Bukankah misteri manusia yang paling fundamental adalah ketidakmampuannya memahami dirinya sendiri: manusia merupakan misteri bagi manusia itu sendiri.[3]

Selain konflik manusia dengan dirinya sendiri, konflik lain yang menghadirkan kegelisahan itu, tidak lain disebabkan oleh problem sebagai akibat interaksi dengan sesama manusia. Mengingat manusia sejak awalnya berbeda dan keberbedaannya itu sangat ditentukan oleh kebebasan yang sudah melekat pada diri setiap manusia sejak ia dilahirkan, maka konflik antarmanusia tidak akan pernah selesai dalam kehidupan ini. Konflik itulah yang kerap dieksploitasi novelis ketika ia membangun karakterisasi tokoh-tokoh rekaannya. Maka novel –dan prosa secara keseluruhan—nyaris tidak pernah meninggalkan konflik antartokoh-tokohnya itu.[4]

Lalu, bagaimanakah konflik manusia dengan alam dan dengan Tuhan? Alam sering kali diperlakukan sebagai sesuatu yang menyimpan kekuatan gaib mahadahsyat ketika ia memperlihatkan kuasanya. Pada saat seperti itu, tidak ada pilihan lain bagi manusia selain melakukan doa-doa bujuk-rayu, bermohon agar alam memberi belas kasihan kepada manusia dan ia tidak mempertontonkan keganasannya. Tetapi di saat yang lain, kesadaran bahwa alam pada dasarnya tidak berbeda dengan makhluk lain di jagat raya ini, maka persahabatan—persaudaraan dengan alam merupakan sikap yang bijaksana. Dari sanalah mulai terjadi tegur sapa dengan alam. Ada etika dalam memperlakukan alam.  Keterpesonaan manusia pada alam kemudian wujud dalam berbagai bentuk ekspresi. Itulah manusia yang menyadari, bahwa alam merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan tata kehidupan manusia.

Meski begitu, sebagian besar manusia cenderung memperlakukan alam sebagai lahan eksploitasi. Manusia adalah penguasa bumi. Maka, kekayaan alam adalah hak manusia. Oleh karena itu, manusia bebas memanfaatkan kekayaan itu untuk sebesar-besarnya kesejahteraan manusia. Demi dan atas nama kesejahteraan itu pula, manusia menyembunyikan keserakahannya dalam menguras kekayaan alam. Pada tataran itu, tentu saja pengolahan, pemanfaatan, dan pengurasan kekayaan alam untuk kesejahteraan manusia, dapat dibenarkan sejauh di dalamnya ada etika, ada kesopansantunan. Bukankah  manusia, sebagai sesama makhluk ciptaan Tuhan, sesungguhnya masih bersaudara dengan alam dan makhluk hidup lainnya di jagat raya ini? Tetapi, manusia yang mempunyai kesadaran seperti itu terlalu sedikit dibandingkan manusia yang justru memilih mengumbar nafsu pengurasannya. Maka alam menjadi lahan eksploitasi; kekayaannya dikuras habis. Terjadilah kerusakan ekosistem. Mulailah kampanye tentang kembali ke alam (back to nature) menjadi semacam gerakan penyadaran.[5]

Sementara itu, konflik manusia dengan Tuhan, cenderung bersifat teologis. Manusia coba memahami keberadaan sesuatu yang mahakuasa, menggugat ajarannya, atau mempertanyakan keberadaannya. Ketika persoalan itu disajikan sebagai karya sastra, ia terpaksa dibungkus dalam kemasan struktur formal keseluruhan karya itu dengan tidak melupakan aspek estetika yang hendak diselusupkan dan melekat di dalam segala unsurnya.[6] Jika tidak menyatu dalam keseluruhan karya itu, ia akan tergelincir pada kubangan doktrin, dogma, dan karya itu menjelma menjadi serangkaian khotbah.[7]

Begitulah, karya sastra pada dasarnya mengungkapkan keempat hal itu: konflik dengan dirinya sendiri, dengan sesama manusia, dengan alam, atau dengan Tuhan. Bagaimanakah dengan sastra Indonesia (: novel) yang coba mengangkat persoalan itu, khasnya yang menyangkut hubungan manusia dengan alam?

***

            Jika sastra (: novel) diyakini sebagai representasi gagasan sastrawannya ketika berhadapan dengan serangkaian konflik laten itu, maka jejak alam dalam novel Indonesia mutakhir laksana potret masyarakat Indonesia dalam memandang dan memperlakukan alam. Dalam hampir semua novel Indonesia yang coba menempatkan alam tidak sekadar sebagai latar cerita, tetapi juga sebagai masalah yang coba diangkatnya, alam bukanlah ancaman yang mencemaskan—menakutkan. Oleh karena itu, alam tidak diperlakukan sebagai problem yang serius. Bahkan, dalam banyak puisi penyair Indonesia, alam (laut, gunung, hutan, sawah, dll) justru menjadi objek yang penuh pesona, inspiring. Maka yang muncul adalah kekaguman mereka pada alam.[8]  Jadi, jejak alam dalam novel Indonesia adalah ekspresi kekaguman, keterpesonaan, dan hasrat melakukan persahabatan—persaudaraan dengan alam.

Alam dalam novel Indonesia seolah-olah (nyaris) tak tersentuh sebagai sebuah problem yang serius. Alam adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan sastrawan (: manusia) Indonesia. Maka, menegaskan kembali pernyataan tadi: jejak alam yang muncul dalam novel Indonesia adalah ekspresi keterpesonaan, kekaguman, pemujaan, dan hasrat melakukan persahabatan—persaudaraan.  Alam bukanlah ancaman atau sesuatu yang harus diselamatkan.

Begitulah, perjalanan novel –bahkan juga secara keseluruhan, kesusastraan—Indonesia laksana tak memandang alam sebagai persoalan yang perlu diangkat sebagai tema cerita. Lihat saja novel Muda Teruna (1922) Muhammad Kasim yang paling awal mengangkat latar alam sebagai bagian penting dari tema cerita. Gunung, hutan, lereng, dan laut adalah tempat bermain para tokohnya yang sudah menjadi sahabat mereka sejak kecil. Maka, laut yang mestinya mengubur jasad Marah Kamil, tokoh utama novel itu, malah justru menjadi penyelamat ketika ia dikejar para perompak.

Dalam Dian yang Tak Kunjung Padam (1932), Sutan Takdir Alisjahbana yang “menggagalkan” percintaan Yasin—Molek, ternyata punya maksud lain. Yasin yang ditinggal mati sang kekasih lantaran sakit, akhirnya memutuskan untuk menyepi di dekat Danau Ranau, di lereng gunung Seminung. Alam pegunungan yang indah telah menyihirnya untuk tinggal di sana sampai ajal menjemputnya. Dan kematian itulah nikmat akhirat atas cinta sucinya pada sang kekasih.

Dalam Tenggelamnya Kapal van der Wijck (1939), Hamka menempatkan laut sebagai puncak tragedi percintaan yang gagal Zainuddin—Hayati. Meski tak ada deskripsi mengenai keindahan laut, tenggelamnya kapal van der Wijck yang salah satu korbannya Hayati, justru terkesan hendak menegaskan bahwa cinta Zainuddin kepada Hayati tetap abadi sampai ajal menjemput keduanya. Jika tidak terjadi kecelakaan itu, Hayati akan selamat sampai ke Padang dan seumur hidupnya akan digayuti penyesalan dan perasaan berdosa sampai maut menjemputnya.

Begitulah, sejauh pengamatan, jejak alam dalam novel Indonesia sebelum perang adalah jejak yang tak penting semata-mata lantaran memang tidak ada persoalan di sana. Oleh karena itu, boleh dikatakan bahwa novel Indonesia sebelum perang adalah novel sosial. Problem kemasyarakat itulah yang paling banyak mendapat sorotan.

***

Dalam sejumlah novel Indonesia mutakhir, gambaran tentang alam yang mengancam atau yang harus diselamatkan, juga tidak banyak kita jumpai. Dalam Keluarga Gerilya (1948) Pramoedya Ananta Toer, hutan adalah daerah perlindungan mereka –para gerilyawan, sementara kota—yang dikuasai Belanda—adalah wilayah ancaman. Titik perhatian novel itu memang bukan pada semangat mengangkat latar alam, melainkan pada persoalan nasionalisme.

Berbeda dengan sejumlah novel yang telah disinggung tadi, A.A. Navis dalam Kemarau (1957) memperlihatkan kesadaran pentingnya alam bagi kehidupan manusia. Kemarau panjang yang menghancurkan pesawahan di kampungnya telah memaksa Sutan Duano mencari cara lain memanfaatkan alam. Tokoh inilah yang kemudian menjadi perintis, bagaimana air danau dapat dimanfaatkan untuk pengairan sawah. Berkat usahanya itu pula, desa itu tidak lagi mengalami pacelik panjang. Inilah novel Indonesia yang memperlakukan alam sebagai lahan garapan, sebagai lapangan pekerjaan yang dapat mengangkat kesejahteraan bagi kehidupan manusia.

Novel Harimai! Harimau! (1975) Mochtar Lubis, jelas menempatkan hutan (: alam) sebagai latar cerita. Tetapi hutan dalam novel itu tidaklah menjadi sorotan utama. Mochtar Lubis lebih banyak mengeksploitasi karakter tokoh-tokohnya. Hutan menjadi sekadar lanskap belaka yang tidak begitu fungsional mempertajam bobot masalah yang dihadapi tokoh-tokohnya.

Dalam deretan panjang perjalanan novel Indonesia, latar alam selain cenderung diluputkan, juga ditempatkan sebagai sesuatu yang keberadaannya memang baik-baik saja. Bahkan, dalam novel Kubah (1980) Ahmad Tohari, Kelok Lima (2002) B. Jass atau Gadis Permata Bunda (2003) Deddy Effendie, kecenderungan melakukan persahabatan dengan alam justru sangat menonjol. Dalam novel-novel itu, alam adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan mereka. Bahkan lagi, dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk (1982; versi lengkap2003), kondisi alam yang sesungguhnya sangat tidak memberi kesejahteraan bagi kehidupan penduduk, juga masih tetap diperlakukan dengan kesadaran sebagai sesuatu yang harus dijaga dan dihormati.

Perlu disebutkan di sini dua novel yang tidak dapat diabaikan ketika kita membicarakan latar alam dalam novel Indonesia. Kedua novel itu adalah Upacara (1978) karya Korrie Layun Rampan dan Namaku Teweraut (2000) karya Ani Sekarningsih. Meskipun kedua novel itu mengangkat latar alam masyarakat Dayak (Upacara) dan Papua (Namaku Teweraut) dengan sangat meyakinkan, persoalan yang justru terjadi bukanlah pada alam itu sendiri, melainkan masuknya budaya luar dan persoalan adat yang melegitimasi keteraniayaan kaum perempuan. Jadi, kembali, alam bukanlah yang menjadi persoalan  utama, sebab yang lebih banyak disoroti adalah kehidupan masyarakatnya.

***

Dari perbincangan sekilas-pintas itu, pertanyaannya kini: mengapa novelis Indonesia—bahkan juga sastrawan Indonesia secara keseluruhan—tidak menempatkan alam sebagai sesuatu yang harus dijaga dan diselamatkan?  Mengapa alam tidak ditempatkan sebagai ancaman yang harus ditaklukkan? Kiranya makin jelas bagi kita, bahwa sastra pada hakikatnya merupakan representasi kultural. Mengingat alam bagi masyarakat Indonesia telah memberi penghidupan yang membahagiakan, lalu untuk apa pula keberadaannya dipersoalkan?

Begitulah, novel Indonesia pada dasarnya merupakan novel kemasyarakatan. Hal tersebut tampak jika kita mencermati perjalanan tematik novel-novel kita. Sebelum merdeka, misalnya, para novelis kita cenderung mengangkat problem adat  yang kerap digunakan sebagai alat legitimasi  kekuasaan berhadapan dengan kemajuan zaman. Pada awal kemerdekaan sampai tahun 1950-an, persoalan nasionalisme dan sistem kepercayaan, mulai mendapat sorotan. Meskipun secara tematis terjadi perkembangan tematik, substansinya tetap sama, yaitu hendak menegaskan konsep dan identitas masyarakat—atau bangsa—Indonesia. Atau, boleh jadi juga itu berkaitan dengan gugatan atas mentalitas bangsa Indonesia yang di sana mengeram lekat mentalitas bangsa terjajah.

Gambaran tersebut menjadi jelas jika kita coba membandingkannya dengan kesusastraan dari negara lain. Langkah perbandingan ini tentu saja penting untuk menegaskan kembali, bahwa sastra pada hakikatnya merupakan representasi kultural. Dengan demikian, mempelajari kesusastraan sebuah bangsa dapatlah kiranya digunakan sebagai pintu masuk mempelajari kebudayaan bangsa yang bersangkutan. Sebutlah dua novel India –Pater Pancali karya Bibhutibhushan Banerji[9] dan Madu dalam Saringan (Nectar in a Sieve) karya Kamala Markandaya,[10] dan sebuah novel Bangladesh, berjudul Pohon Tanpa Akar (1990) karya Syed Waliullah.[11] Membaca kedua novel India itu, kita laksana memasuki sebuah panaroma kegersangan alam yang kering kerontang. Alam menjadi sesuatu yang menakutkan. Kelaparan dan kemiskinan, bukanlah lantaran penduduknya hidup dalam kubangan kemalasan, melainkan lantaran alam tidak memberinya penghidupan. Bahkan, sebaliknya, keganasan alam itu pula yang menghancurkan kehidupan mereka. Kemarau panjang telah membakar lahan-lahan pertanian dan ketika musim penghujan datang, banjir menghancurkan segalanya.

Dalam Pohon Tanpa Akar, gambaran serupa tampak pula di sana. Kemiskinan lebih disebabkan oleh alam yang tidak memberinya kehidupan. Maka, agar tetap bertahan hidup, cara apa pun sangat mungkin dilakukan, termasuk dengan melakukan penipuan atas nama agama. Dan ketika kemapanan mulai menjauhkan kemelaratan, datanglah banjir yang seketika itu juga menghancurkan segalanya.   Alam dalam novel itu ditempatkan sebagai ancaman yang seketika dapat melumatkan kehidupan manusia.

***

Demikianlah, jejak alam dalam novel (: sastra) Indonesia adalah ekspresi kekaguman dan persaudaraan dengan alam. Jika alam telah memberinya penghidupan, mengapa pula harus dipersoalkan. Jika pun alam harus diselamatkan, maka penyelamatannya itu sendiri terutama pada usahanya menghancurkan kerakusan manusianya, sebagaimana tampak pada novel Ediruslan Pe Amanriza, Dikalahkan Sang Sapurba (2000). Di sana dikisahkan, bagaimana penghidupan penduduk pribumi asli (: Melayu) tergusur oleh para pemilik modal yang kemudian menguasai perkebunan di sana.[12]

***

Jika ditarik benang merah jejak alam dan manusia dalam prosa Indonesia mutakhir, maka yang akan kita jumpai di sana adalah sebuah persahabatan—persaudaraan manusia Indonesia dengan alam yang telah menyediakan segalanya bagi kelangsungan hidup mereka. Jika kini berbagai persoalan muncul di berbagai wilayah negeri ini tentang penggundulan hutan di Kalimantan, pembakaran lahan perkebunan di Sumatera, dan pencemaran lingkungan akibat kehadiran pabrik-pabrik, kilang minyak, dan eksplotasi kekayaan alam yang tak terkendali, sumbernya bukanlah pada alam itu sendiri, melainkan pada manusianya yang tak mau bersahabat dengan alam.  Boleh jadi problem kerusakan alam di negeri ini akan melahirkan karya-karya romantik sebagaimana yang terjadi di Eropa selepas revolusi industri.

Manakala kita hendak melacak jejak manusia Indonesia dalam prosa kita, maka yang segera muncul adalah semangat merumuskan indentitas keindonesiaan dan permusuhan pada mentalitas sebagai bangsa terjajah. Dalam wilayah inilah sesungguhnya novel Indonesia merepresentasikan dirinya sebagai potret bangsa yang sekian lama terkungkung oleh mental kolonial.

Nah!

msm/mpu/bandung/4—6/11/2008

* Makalah Temu Sastra Mitra Praja Utama (MPU) diselenggarakan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pemerintah Provinsi Jawa Barat di Lembang, Bandung, 4—6 November 2008.

*Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Universitas Indonesia


[1]Untuk memfokuskan perbincangan dalam makalah ini, istilah prosa, saya maksudkan sebagai novel. Jadi, dalam makalah ini saya tidak menyentuh cerita pendek yang juga sebagai bagian dari ragam prosa. Mengingat prosa meliputi juga esai, maka untuk selanjutnya, saya menggunakan kata novel  sebagai salah satu ragam prosa.

[2]Konflik laten manusia dalam kehidupan ini adalah konflik dengan (1) dirinya sendiri, (2) sesama manusia, (3) alam, dan (4) Tuhan. Sastra kerap mengangkat keempat konflik itu.

[3]Ketidakmampuan manusia memahami dirinya sendiri, dalam paradigma ilmu pengetahuan membawa problem yang tidak dapat diselesaikan ketika ilmu pengetahuan kemanusiaan berhadapan dengan objektivitas. Bagaimana mungkin ilmu pengetahuan kemanusiaan menghasilkan penilaian objektif, jika objek penelitiannya tidak lain adalah subjek itu sendiri. Ini berbeda dengan ilmu pengetahuan alam yang objeknya jelas sebagai objek an sich. Ada jarak yang tegas antara subjek peneliti dengan objek penelitiannya. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan sosial dalam paradigma ilmu pengetahuan tidak dapat menghindari dari apa yang disebut siklus empiris.

[4]Dalam perkara konflik sesama manusia sebagai akibat terjadinya interaksi sosial itu, novel (: prosa) sering dianggap lebih mendekati kenyataan real kehidupan manusia yang sebenarnya. Di sana, dalam novel, sastrawan lebih leluasa dan punya banyak kesempatan untuk menggambarkan potret kehidupan di sekitarnya dibandingkan puisi yang terikat oleh kepadatan dan kehematan pengucapan. Begitu juga drama yang cenderung memanfaatkan bentuk dialog para tokoh rekaannya. Oleh karena itu pula, novel sering dianggap paling mewakili potret kehidupan masyarakat.  Di dalam novel itu pun, karya-karya realis yang menggambarkan secara detail segala latar cerita (latar material dan latar sosial) dianggap lebih mendekati kenyataan dibandingkan sejarah, sedangkan novel-novel yang lebih banyak mengeksploitasi pikiran dan perasaan tokoh-tokohnya atau yang disebut arus kesadaran (stream of consciousness) dianggap sebagai novel gagasan yang jauh dari kenyataan.

[5]Di Eropa, gerakan penyadaran kembali ke alam telah dimulai oleh para penyair romantik selepas terjadi revolusi industri. Berbagai penemuan yang melahirkan kemajuan di bidang industri, di satu pihak mendorong terjadinya efek berantai penemuan mesin-mesin industri. Di pihak lain, penemuan mesin-mesin itu mendorong manusia melakukan eksploitasi kekayaan alam sedemikian rupa yang berdampak pada terpinggirkannya nilai-nilai kemanusiaan.

[6]Sejauh pengamatan, belum ada sastrawan Indonesia yang coba mengangkat tema-tema teologis yang seperti itu. Beberapa novel, seperti Atheis karya Achdiat Karta Mihardja, Jalan Terbuka karya Ali Audah atau Khotbah di Atas Bukit karya Kuntowijoyo, justru menegaskan sikap keberimanan mereka pada tuhan.

[7]Banyak contoh bagaimana ajaran agama dijejalkan dalam novel, sehingga amanat itu tampak begitu berat membebani novel. Periksa misalnya karya Achdiat Karta Mihardja, Manifesto Khalifatullah (Bandung: Mizan, 2005). Novel itu menjadi serangkaian debat teologis yang memaksa pembaca kerap mengerenyitkan jidat. Novel-novel sejenis itu ternyata mempunyai sejarahnya sendiri yang panjang dan berliku. Cermati misalnya, karya Ibn Thufail, Hayy Ibn Yaqzhan, terjemahan Helmi Hidayat, dimuat sebagai cerita bersambung harian Pelita, 29/10/1990 – 30/11/1990; diterbitkan lagi dengan penerjemah Nur Hidayah, berjudul Hayy bin Yaqdzan: Manusia dalam Asuhan Rusa, Yogyakarta: Navila, 2003. Dalam novel itu digambarkan, bagaimana usaha memahami fenomena alam dan pengalaman intuitif pencarian tentang sesuatu Yang Mahakuasa akan sampai pada hakikat eksistensi Tuhan. Jika doktrin agama atau ideologi politik yang dijejalkan dalam novel, seorang novelis Prancis, Stendhal mengibaratkannya sebagai letusan pistol di tengah konser. Ia akan menjadi bagian dari komposisi musik konser itu atau terdengar sumbang dan kampungan.

[8] Dalam perjalanan sejarah puisi Indonesia, sebagian penyair Indonesia –sejak Hamzah Fansuri sampai kini—seperti tidak pernah dapat melepaskan diri dari keterpesonaannya pada alam. Alam menjadi sesuatu yang inspiring. Meskipun begitu, semangat mengusung alam bagi penyair Indonesia tidak sama sebagaimana yang dilakukan para penyair romantik. Bandingkan puisi-puisi penyair Pujangga Baru, misalnya, dengan puisi-puisi penyair romantik. Maka akan tampaklah semangat kembali ke alam, individualisme, sentimentalisme, spiritualisme, dan kembali ke keagungan masa lalu sebagai ciri puisi romantik para penyair Eropa berbeda dengan penyair Pujangga Baru. Romantisisme di Eropa terjadi sebagai dampak rasionalisme yang kemudian melahirkan revolusi industri. Berdirinya pabrik-pabrik dan ditemukannya mesin industri mendorong terjadinya eksploitasi besar-besar atas kekayaan alam. Kondisi itu diperparah lagi dengan makin merosotnya nilai-nilai kemanusiaan dan pudarnya kepercayaan masyarakat pada kesucian gereja dan Tuhan. Itulah problem yang melatarbelakangi para penyair masa itu melahirkan puisi-puisi yang menyuarakan kembali ke alam, pengagungan pada masa lalu, penghormatan pada nilai-nilai spiritualitas, dan meyakini suara sukma individu sebagai suara tuhan.

[9]Novel ini diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Pustaka Jaya, 1996 hasil terjemahan Koesalah  Soebagyo Toer. Lanjutan novel ini juga sudah diterbitkan dalam bahasa Indonesia, berjudul Aparajito, yang juga hasil terjemahan Koesalah (Jakarta: Pustaka Jaya, 2003) dengan nama pengarangnya, Bibhutibhushan Bandopadhyay.

[10]Kamala Markandaya, Madu dalam Saringan, terj. Mokhtar Ahmad. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1988.

[11]Syed Waliullah, Pohon Tanpa Akar, terjemahan M Amir Sutaarga, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1990.

[12]Dalam beberapa karya sastrawan Riau, semangat penyelamatan terhadap keserasian ekosistem alam sesungguhnya bukan semata-mata lantaran kerusakan alam akibat kilang minyak dan perkebunan pengusaha (Jakarta) serta pembangunan perumahan—seperti yang terjadi di Batam—melainkan gugatan mereka pada ketidakadilan yang dilakukan pemerintah pusat.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler