Skip to Content

Lambang-Lambang dalam Pantun Melayu Riau

Foto ombi

by sastraku66.

Dalam makalah ini, penulis membicarakan salah satu bentuk puisi Melayu lama, yaitu pantun. Kesimpulannya adalah sampiran pantun Melayu kebanyakan menggambarkan alam, lambang-lambang yang terkandung di dalam pantun pun berasal dari alam. Hal itu memperlihatkan dekatnya hubungan pendukung seni pantun dengan alam. Untuk menafsirkan lambang-lambang dalam pantun diperlukan kepiawaian dan kecermatan mengenali lambang-lambang dalam kebudayaan Melayu.

Pantun merupakan bentuk puisi dalam kesusastraan Melayu yang paling luas dikenal. Pada masa lalu pantun digunakan untuk melengkapi pembicaraan sehari-hari. Sekarang pun sebagian besar masyarakat Melayu di pedesaan masih menggunakannya. Pantun dipakai oleh para pemuka adat dan tokoh masyarakat dalam pidato, oleh para pedagang yang menjajakan dagangannya, oleh orang yang ditimpa kemalangan, dan oleh orang yang ingin menyatakan kebahagiaan.

 

Ada sebuah pantun yang melukiskan betapa pentingnya bentuk puisi lama ini dipakai dalam kehidupan masyarakat Melayu Riau. Pantun tersebut berbunyi:

 

Secantik seelok inilah parak

Tak berdasun barang sebuah

Secantik seelok inilah awak

Tak berpantun barang sebuah

 

Berbagai pendapat mengenai asal dan makna pantun dikemukakan di sini. Ada yang berpendapat bahwa makna pantun sama dengan “umpama” dalam masyarakat Batak. Sementara ada yang berpendapat bahwa kata pantun berasal dari pa-tuntun (pa-tuntun = penuntun), sebagaimana dikemukakan oleh Zuber Usman1). Sementara itu A. A. Navis (1985) dalam bukunya Alam Terkembang Jadi Guru menjelaskan bahwa perubahan bunyi pa-tuntun menjadi “pantun” adalah hal yang lazim dalam bahasa Melayu dan Minangkabau, seperti halnya kata “rumput-rumput” menjadi “rerumput” dan “laki-laki” menjadi “lelaki”. Beberapa pantun Melayu sendiri menunjukkan bahwa kata sepantun sama dengan seumpama, seperti pada ungkapan, “Kami sepantun anak itik, kasih ayam maka menjadi” atau “Tuan sepantun kilat cermin, di balik gunung tampak jua”.

 

Sejumlah ahli bahasa dan ahli antropologi berpendapat bahwa pantun merupakan bentuk lanjutan dan pertumbuhan dari peribahasa dan perumpamaan. Kalimat perumpamaan diberi pengantar yang bunyi dan maknanya sangat mirip. Kalimat pengantar tersebut bukan seperti sampiran dalam pantun. “Sampiran sebuah pantun adalah kiasan dari isi pantun, sementara isi pantun adalah kiasan tentang sesuatu,” kata A. A. Navis2). Chairul Harun lebih luas berpendapat bahwa sampiran sebuah pantun mengungkapkan sesuatu dari dunia makro, sementara isinya mengungkapkan sesuatu dari dunia mikro.

 

Sebuah ungkapan lama yang berbunyi “Kerbau tahan palu, manusia tahan kias” tampaknya memang menyimpulkan bahwa pantun adalah alat untuk membuat kias. Dalam percakapan sehari-hari masyarakat Melayu, orang mengemukakan pendapatnya dengan pantun, dan lawan bicara sudah maklum dengan maksud pembicara. Dengan demikian pantun merupakan salah satu alat komunikasi yang cukup efektif untuk mengemukakan pendapat atau melancarkan kritik. Hal ini sudah mentradisi dalam masyarakat Melayu sejak zaman dahulu. Pertanyaan yang muncul kenapa pantun dan bukan hasil kesusastraan yang lain? Oleh karena pantun adalah hasil kesusastraan yang pandai “mencubit” tanpa menimbulkan “rasa sakit”. Kias yang dibiaskan pantun langsung mencapai sasaran tanpa menjatuhkan marwah orang yang dituju. Cara mengemukakan pendapat dan melancarkan kritik seperti itu merupakan salah satu sikap orang Melayu Riau. Jadi, bukan makna atau arti pantun yang melibatkan sikap hidup si pemakai, seperti pendapat yang berkembang selama ini.

 

Beberapa tahun yang lalu ada sebuah pantun yang dimuat dalam surat kabar terkemuka di ibu kota. Pantun tersebut dinyatakan sebagai pantun yang menunjukkan sikap orang Melayu Riau yang suka berhiba-hiba dan perajuk. Pantun tersebut berbunyi:

 

Tudung periuk pandai(lah) menyayi

Ditarikan oleh putra mahkota

Kain yang buruk berikan kami

Untuk menyapu si air mata

 

Pantun di atas sebenarnya tergolong pantun orang muda yang berisi ratapan tentang patah cinta. Kias yang dibiaskan lambang-lambang dalam pantun tersebut mengandung makna positif.

 

Pantun-pantun Melayu sarat dengan lambang-lambang. Kekurangtahuan makna lambang-lambang antropologis yang tersurat dalam pantun akan menyesatkan penarikan hakekat yang dikandungnya, karena lambang-lambang yang tersurat selalu mengandung makna tersirat, bahkan ada kalanya tersuruk atau tersembunyi. Orang awam, orang yang ahli, dan orang yang arif bijaksana akan memaknai kiasan sebuah pantun secara berlainan.

Pada pantun Tudung Periuk di atas, kata “periuk” melambangkan kehidupan, seperti dalam nasihat orang tua-tua yang berbunyi, “Hati-hatilah, nanti tertelungkup periuk nasimu.” Maksud nasihat itu ialah agar senantiasa berhati-hati dan waspada dalam menjalani hidup ini. Jika menjadi pegawai negeri, jangan membuat kesalahan seperti korupsi, kurang rajin, dan sebagainya. Kata “menari” atau “ditarikan” sama dengan “bermain” atau “dipermainkan”. “Putra mahkota” melambangkan generasi muda atau generasi penerus. Makna keseluruhan nasihat yang dicontohkan di atas berarti bahwa bila hidup ini dipermainkan oleh generasi muda, atau generasi muda suka bermain-main dalam menjalani kehidupannya, maka hanya kain buruklah yang akan tinggal padanya. Kain buruk sebagai lambang sesuatu yang sudah terbuang, yang dalam masyarakat Melayu dipergunakan sebagai alat untuk mengelap benda yang kotor. Jadi, pantun Tudung Periuk justru mengandung pesan kepada generasi muda yang bernilai tinggi. Penafsir yang mengatakan bahwa pantun tersebut mengandung arti sebagai sikap hidup yang suka berhiba-hiba dan merajuk, salah memaknai lambang-lambang dalam pantun. Hal ini tentu akan merugikan masa depan masyarakat Melayu.

 

Pantun sebagai hasil kesusastraan Melayu dapat dipilah-pilah dalam lima jenis, yaitu pantun adat, pantun tua, pantun muda, pantun suka, dan pantun duka. Pantun adat menurut isinya dapat dibagi dalam pantun yang berkenaan dengan tata pemerintahan, sistem kepemimpinan, dan hukum, sedangkan pantun suka berisi ejekan dan teka-teki.

Contoh pantun adat adalah:

 

Adat menyuluh sarang lebah

Kalau berisi tidak bersambang

Adat penuh tidak melimpah

Kalau berisi tidaklah kurang

 

Padat tembaga jangan dituang

Kalau dituang melepuh jari

Adat lembaga jangan dibuang

Kalau dibuang binasa negeri

 

Lebat kayu pantang ditebang

Sudah berbuah lalu berdaun

Adat Melayu pantang dibuang

Sudah pusaka turun-temurun

 

Contoh pantun adat yang berkenaan dengan tata pemerintahan misalnya:

 

Anak gadis memepat kuku

Dipepat dengan pisau seraut

Terpepat pada betung tua

Betung tua dibuat lantai

 

Negeri dihuni berbagai suku

Ada seinduk ada seperut

Kampung diberi bertua

Rumah diberi bertungganai

 

Contoh pantun adat yang berkenaan dengan sistem kepemimpinan adalah:

 

Dahan kemuning biarlah patah

Asal mengkudu lebat berbuah

Di lahir raja disembah

Di batin rakyat memerintah

 

Contoh pantun adat yang berkenaan dengan hukum:

 

Sekali ladang berganti

Sekali tanaman berbuah

Tumbuhnya di situ jua

Sekali pembesar berganti

 

Sekali langgam berbuah

Adat begitu juga

 

Orang Pahang membawa kapas

Orang Palembang membawa air

 

 

Yang mencencang yang memapas

Yang berhutang yang membayar

 

Contoh pantun tua yang berisi nasihat;

 

Patah lancang kita sadaikan

Supaya sampan tidak melintang

Petuah orang kita sampaikan

Supaya badan tidak berhutang

 

Burung punai memakan saga

Saga merah besar batangnya

Rukun dan damai di rumah tangga

Amal ibadat jadi tiangnya

 

Encik Mamat membelah bambu

Bambu berjalin rotan saga

Baiklah hormat kepada ibu

Supaya terjamin masuk surga

 

Contoh pantun muda :

 

Kalau ada selasih dulang

Kami menumpang ke Jawa saja

Buah hati kekasih orang

Kami menumpang ketawa saja

 

Hilang kemana bintang kartika?

Tidak nampak di awan lagi

Hilang kemana adik seketika

Tidak nampak berjalan lagi

 

Pisang serendah masaknya hijau

Ditunggu layu tak mau layu

Tinggi rendah mata meninjau

Ditunggu lalu tak mau lalu

 

Contoh pantun suka:

Elok-elok menunggang kuda

Tebing bertarah tanahnya licin

Elok-elok berbini muda

Nasi hangus gulainya masin

 

Contoh pantun suka (mengejek) misalnya,

Gunting Cina ada pasaknya

Gunting Siantan apa besinya

Bunting betina ada anaknya

Bunting jantan apa isinya

 

Contoh pantun suka (teka-teki) :

 

Pulang mengail membawa sepat

Sepat dijual orang Melaka

Makan di laut muntah di darat

Kalau tahu cobalah terka

 

Contoh pantun duka :

 

Sayang Serawak sungailah sempit

Buah rengas lambung-lambungan

Hendak dibawa perahuku sempit

Tinggal emas tinggallah junjungan

 

Kalau meletus Gunung Sibayak

Alamat Medan menjadi abu

Angin berhembus layarku koyak

Pulau yang mana hendak dituju

 

Dari beberapa pantun di atas dapat disimpulkan bahwa lambang-lambang yang digunakan di dalamnya, baik sebagai sampiran maupun isi, adalah nama-nama benda atau makhluk yang ada di sekitar masyarakat Melayu. Benda-benda yang digunakan adalah tumbuh-tumbuhan, satwa, alat transportasi, alat-alat rumah tangga, dan perkakas lainnya yang sangat berguna bagi kehidupan mereka. Kupasan secara lebih luas dan mendalam mengenai hal ini belum penulis lakukan.

 

Tulisan ini terwujud berkat bantuan beberapa budayawan dan sastrawan yang sudi memberikan masukan. Semoga tulisan ini dapat menggugah para ahli yang terhimpun dalam majelis ini untuk menjadikan “penafsiran lambang-lambang dalam pantun ini” sebagai kajian yang lebih luas, mendalam, dan ilmiah.

 

Lumba-lumba main gelombang

Riaknya sampai ke Indragiri

Coba-coba menanam mumbang

Kalau tumbuh tuah negeri

 

Daftar Pustaka

Anonim. “Profil Orang Melayu yang Toleran”. Kompas, Minggu, 19 Juni 1983.

Depdikbud (Dirjen Kebudayaan, Direktorat Kesenian), 1983. Hasil Pencatatan Data Kesenian Daerah Riau.

Jabbar, H. 1979. Pantun dan Tradisinya di Minangkabau. Makalah Persidangan Antarbangsa Pengkajian Melayu. Kuala Lumpur, 8–10 September 1979.

Navis, A. A. 1985. Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Grafiti Pers.

Teeuw, A. 1970. Sastra Baru Indonesia. Diterjemahkan oleh Rustam A. Sani dan Asraf. Kuala Lumpur: University of Malaya Press.

oooOooo

 


Sumber:

http://sastraku66.blogguru.net

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler