Skip to Content

Menafsir Jeihan

Foto Soni Farid Maulana

MENAFSIR kembali sejumlah puisi yang ditulis oleh penyair cum pelulis Jeihan Sukmantoro, memberikan kesadaran baru dalam benak saya. Kesadaran itu adalah, bahwa daya kreasi Jeihan dalam menulis puisi bekerja dalam dua jalur. Jalur yang dimaksud adalah jalur instingtif (puisi dalam bentuk gambar) dan jalur intuitif (sepenuhnya berupa teks yang tidak membentuk gambar seperti puisi Panggilan yang berbunyi: Narko/ Tikno/ Narkotik/ No!), yang akan saya jelaskan di bawah ini. Berkait dengan itu, mbeling atau tidak mbeling (nakal) puisi yang ditulis Jeihan: -- tidak masalah bagi saya.

Mengapa? Karena makna sebuah puisi pada akhirnya bukan ditentukan oleh bentuk pengucapan yang dipilih oleh sang penyair dalam mengekspresikan pengalaman rohaninya, akan tetapi sangat ditentukan oleh isi hati dan kualitas pikiran yang ada di dalamnya. Oleh sebab itu, saya sependapat dengan apa yang dikatakan almarhum Rendra, bahwa kualitas pikiran dan perasaan dalam sebuah puisi yang ditulis oleh seorang penyair akan menunjukkan bagaimana pengalaman puitik itu diekspresikan secara sungguh-sungguh.

Dalam kaitan tersebut, apa yang disebut gaya pengucapan bukan lagi merupakan tujuan estetik. Apa sebab? Karena ada dan tidak adanya nilai estetik itu pun pada akhirnya bukan ditentukan oleh bentuk pengucapan yang dipilih, melainkan lahir dengan sendirinya karena sang penyair mampu memadukan isi hati dan kualitas pikiran dalam puisi yang ditulisnya dengan cerdas.Puisi di bawah ini, yang ditulis Jeihan pada periode tahun 1970-an oleh sementara kalangan penyair dan kritikus sastra dianggap sampah. Menurut hemat saya, apa yang ditulis Jeihan di bawah ini, bukan sampah. Jika pun sampah, ia bukan sampah yang tidak berguna bagi lingkungan hidup, akan tetapi sampah yang bisa menggemburkan tanah hingga berbagai pohonan bisa tumbuh dengan subur dan menghasilkan buah yang banyak, atau bunga yang segar dan wangi.

Puisi Doa (1970) di bawah ini, yang ditulis dengan semangat instingtif itu, menurut hemat saya berhasil memadukan isi hati dan pikiran dengan cerdas. Ini terjadi, karena puisi tersebut, setidaknya bagi saya, telah membuka berbagai celah kepada pembacanya untuk melakukan tafsir dari sisi mana saja, dengan dukungan refensi yang tidak melepaskan dirinya dari hal-hal yang bersifat analitis dan nilai sejarah, dalam pengertian yang luas. Sejarah yang dimaksud tentunya bukan sejarah yang kita kenal selama ini, sebagaimana terjadinya Perang Bubat atau Perang Aceh, akan tetapi lebih mengarah pada sejarah biografis dalam pengertian yang luas. 

DOA 

A
A A
A A A
A A A A
A A A A A
A A A A A A
A A A A A A A
A A A A A A A A
A A A A A A A A A
A A A A A A A A A A
A A A A A A A A A A A
A A A A A A A A A A A A
A A A A A A A A A A A A A
A A A A A A A A A A A A A A
A A A A A A A A A A A A A A A
A A A A A A A A A A A A A A A A
A A A A A A A A A A A A A A A A A 

Amin 

Puisi di atas, tampak seperti main-main ditulis oleh Jeihan. Namun tidak demikian bila kita melakukan pembacaan secara hermeneutik (tafsir), dengan cara menelisik susunan huruf A dari atas ke bawah sebanyak tujuh belas huruf dalam bentuk piramida. Huruf A yang ada dalam bangunan piramida itu: -- dalam bayangan saya adalah awal dari pengucapan kata Amin, yang huruf A-nya dibaca dengan memanjangkan suara lebih dari tiga harkat. Membaca atau mengucapkan kata Amin itu sesuai berdoa pada dasarnya akan memberikan pahala kepada si pengucapnya, selain kata Amin itu sendiri mengandung makna religius.

Apa yang ditulis Jeihan di atas, dalam hal ini teks sastra itu sendiri sebagaimana dikatakan Paul Ricoeur adalah dunia makna yang otonom. Ini artinya, bahwa teks puisi di atas bisa ditafsir dari sisi mana saja, yang dengan demikian dalam pemaknaannya tidak harus sama dengan dunia makna yang dibayangkan oleh si penulis teks sastra tersebut. Dalam proses penafsiran semacam itu, pada sisi yang lain sebagaimana dikatakan Gadamer, akan terjadi interaksi antara penafsir dan teks yang ditafsirnya, di mana penafsir akan pula mempertimbangkan konteks historis yang terdapat di dalam teks sastra itu sendiri.

Kata Amin yang dibaca dan disuarakan dengan gaya semacam itu, secara historis antara lain terdapat dalam ibadah shalat, sebagai buah tangan isra-mi’raj Nabi Muhammad saw. Kata Amin yang dimaksud dalam tulisan ini adalah kata yang diucap ma’mun seusai imam membaca surah Al-Fatihah dalam ibadah shalat wajib yang dilakukan secara berjamaah, atau saat shalat sendirian. Shalat itu sendiri menurut para ulama adalah doa. Ada pun makna shalat dalam pengertian syariat adalah beribadah kepada Allah SWT yang dalam pengertian lebih lanjut adalah melakukan hubungan spiritual dengan Allah SWT dengan ucapan dan perbuatan tertentu, yang diawali dengan mengucap takbir, dan diakhiri dengan mengucap salam.

“Saya tidak tahu, kenapa saya menulis puisi seperti itu. Insting saya lah yang bekerja. Latar-belakangnya adalah ketika saya berada dalam puncak kemiskinan, saya dan keluarga saya menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah SWT. Kami sering shalat bareng. Suara anak-istri saya yang mengucap kata Amin seusai saya membaca surah Al-fatihah terus berdengung di dalam hati saya,” ujar Jeihan Sukmantoro, yang berkeyakinan penuh bahwa apa yang ditulisnya itu benar-benar dibimbing oleh instingnya, oleh rasa cintanya yang mendalam kepada Yang Maha Berdiri Sendiri.

Menurut Pavlov, insting merupakan uraian refleks yang tidak dikondisikan. Dalam pengertian yang lain, insting secara psikologis juga bisa merupakan dorongan untuk secara tidak sadar bertindak tepat. Dan apa yang ditulis oleh Sukmantoro lewat puisi di atas, telah menunjukkan hal itu. Bertindak tepat dalam pengertian yang lebih lanjut, menurut hemat saya adalah bertindak atas bimbingan Allah yang terjadi pada saat dan kondisi tertentu di mana akal sehat tidak bekerja sama sekali. Sebagai contoh, saat seorang muslimin atau seorang muslimat melihat Baitullah untuk pertamakalinya di tanah Makkah, maka ia akan mengeluarkan air matanya tanpa bisa dibendung. Saat airmatanya keluar, akal sehatnya tidak bekerja di situ, yang bekerja adalah instingnya, yang secara spontan mengucap asma Allah.

Lewat puisi di atas, Jeihan telah menyentuh ingatan saya akan ibadah shalat, yang mempunyai kedudukan penting dalam upacara ritual agama Islam. Dalam Shahih Bukhari no. 1395 dan Shahih Muslim no. 121, Nabi Muhammad saw bersabda kepada Mu’az ra saat mengutusnya ke Negeri Yaman untuk mendakwahkan Islam kepada ahlul kitab yang tinggal di negeri tersebut: “Ajarkanlah kepada mereka bahwa Allah memfardukan kepada mereka shalat lima kali dalam sehari semalam.”

Yang dimaksud oleh hadist tersebut dengan lima kali dalam sehari semalam itu adalah dilakukan pada waktu Subuh, Dzuhur, Asar, Magrib, dan Isya. Jumlah rakaat secara keseluruhan dalam ibadah shalat lima waktu tersebut sebanyak tujuh belas rakaat. Ibadah shalat itu sendiri mempunyai kedudukan yang sangat penting bagi yang wajib melakukannya, karena hal itu tidak boleh ditinggalkan. Bila ditinggalkan hukumnya termasuk dalam pelanggaran dosa besar. (Soni Farid Maulana) *** 

Komentar

Foto Anonymous

mohon bantuan penafsiran

mohon bantuan penafsiran untuk puisi sebuah mimpi yang dikaryakan jeihan ..

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler