Skip to Content

Mengenal Sosok Sastrawan Muhammadiyah

Foto Asep Saeful Azhar
files/BUYA_HAMKA_FOTO_0.jpg
BUYA_HAMKA_FOTO.jpg

Mengenal Sosok Sastrawan Muhammadiyah

Oleh: Asep Saeful Azhar, S.Hum

 

Sebelumnya pada Majalah Kadira Edisi bulan Desember 2017 telah dibahas terkait autobiografi Buya Hamka yang dituliskan oleh putranya; Irfan Hamka, dalam buku “Ayah…” terbitan Republika tahun 2013 yang menceritakan kisah hidup Sang Ayah  dari sudut pandang  putranya sendiri. Dalam rubrik edisi ini, penulis akan menceritakan salah seorang sastrawan yang ikut serta dan ikut andil dalam mengembangkan kesusastraan Indonesia dan dalam hidupnya pula ia selalu membimbing umat untuk senantiasa selalu merujuk kepada Firman Allah SWT (Al-Qur’an) dan Sunnah Rosulullah (Al-Hadits) lewat pesan dan makna yang tertuang dalam setiap karyanya itu. Dan untuk mencapai kepada tujuannya itu, ia menjadikan sastra sebagai media, lahan, dan ruang dakwah Islam. Sastrawan itu bernama Haji Abdul Malik Karim Amrullah, atau sering kita sebut dan masyhur dengan nama Buya Hamka. Buya adalah sebutan dari Minangkabau, sedangkan Hamka adalah akronim dari nama miliknya.

Ia lahir di Maninjau Sumatera Barat, 14 Muharram 1326 H/17 Februari 1908. Ia merupakan putra dari seorang tokoh pemimpin islam dan sosok tokoh Pembaharu (Tajdid) di Sumatera yang bernama Dr. H. Abdul Karim Amrullah (Haji Rosul) dan Ibunya yang bernama Siti Syafiyah yang bergelar Bagindo nan Batuah . Ia terlahir dilingkungan keluarga yang kultur agama islamnya sangat kuat, maka dari itu, ia dibesarkan dalam pendidikan islam sejak dini. Hamka muda disekolahkan oleh orang tuanya di sekolah dasar sampai kelas 2, dan pada usia 10 Tahun ia belajar pendidikan agama dan bahasa Arab di Sumatera Thawalib, di Bukit Tinggi. Selain pada pendidikan formal yang ditempuhnya, ia juga berguru di surau untuk  menambah wawasan keislamanya kepada Syekh Ibrahim Musa, Syekh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjopranoto, dan Ki Bagus Hadikusumo. Pada usia 16 tahun ia beranjak merantau ke Tanah Jawa untuk belajar kepada Sang Guru Bangsa H.O.S Tjokro Aminoto dan Tuan A.R Fakhrudin. Di Tanah Jawa pula ia masuk organisasi Syarikat Islam (SI) dan Muhammadiyah. Hingga ia pulang kembali ke tanah kelahirannya di Tanah Maninjau Sumatera, untuk ikut serta membantu ayahnya dalam mensyiarkan dakwah Muhammadiyah yang kala itu menghadapi masyarakat yang banyak melakukan Khurafat, bid’ah dan aliran kebatinan sesat dan pada saat itu pula ia pun memulai kiprah politiknya sebagai anggota Partai Syarikat Islam.

Perjalanan hidupnya tidak sampai di situ, spirit belajarnya yang sangat gigih pada usia muda, pada tahun 1923 ia kembali merantau untuk belajar dan beribadah haji di kota suci Makkah.  Seketika menimba ilmu, ia membuat buku kumpulan pidato dan merupakan buku pertamanya yang berjudul Khatibul Ummah. Kecemerlangannya dalam menulis bukan semata akibat, karena sebetulnya ia itu seorang pembaca yang ulung, pencari ilmu dan seorang pendengar yang baik. Maka tak ayal jika karya-karya terus menerus bertaburan ketika usianya masih muda. Tercatat telah dibuatnya 4- 5 buku sampai pada tahun 1929.

Hamka muda memang merupakan sosok yang tangguh, ia tidak terbiasa berdiam diri ataupun jumud. Karirnya juga tidak sampai kepada satu profesi saja, bakatnya di bidang jurnalistik membuatnya tercatat menjadi seorang wartawan di berbagai surat kabar, diantaranya: Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Suara Muhammadiyah. Selain dari pada itu, kiprah kejurnalistikannya itu ia tumpahkan pula di surat kabar dan majalah lain seperti tulisan-tulisannya yang diterbitkan di Majalah Bulanan Kemauan Zaman merupakan majalah yang diterbitkan Muhammadiyah Daerah Minangkabau yang dirintis olehnya  pula dan ia pun menjadi Hoofdredacteur-nya, di Majalah Al-Mahdi yang diterbitkan olehnya sewaktu ia ditugaskan oleh Pengurus Besar Muhammadiyah ketika menjadi mubaligh di Makassar, Majalah Menara di Jakarta, Pikiran Rakyat di Bandung, di majalah Pembela Islam yang diterbitkan Oleh Persatuan Islam di Bandung yang dipimpin oleh A. Hasan dan M. Natsir, hingga tulisan-tulisannya yang dimuat di majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat, Gema Islam, dan karya monumentalnya yang masyhur adalah Tafsir Al-Azhar, dan masih banyak lagi tulisan-tulisannya yang tersebar.

Di dunia kepengarangan dalam karya sastra, mulailah ia membuat karangan yang berjudul  Si Sabariyah, Laila-Majnun, dan sampai kepada karya-karyanya yang populer dalam khazanah sastra nusantara yang banyak dinikmati oleh banyak orang, seperti : Di Bawah Lindungan Ka’bah (1936), Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Merantau Ke Deli (1939), Tuan Direktur (1939), Terusir, Keadilan Ilahi, Di Dalam Lembah Penghidupan, Dijemput Mamaknya, Karena Fitenah, Keadilan Illahi, Menunggu Beduk Berbunyi, Kenang-Kenangan Hidup I-IV, Lembah Nikmat, Cemburu, Cermin Penghidupan, dan Ayahku.

Dari hasil cipta-karyanya itu, sudah tentu Buya Hamka disebut sebagai sosok sastrawan di Muhammadiyah dan  sastrawan Islam di Indonesia. Ia pun mendapat gelar Doctor Honoris Causa atas hasil karangan-karangannya di Universitas Al-Azhar Kairo-Mesir dan Universitas Kebangsaan Malaysia.

            Hamka pernah menulis perihal kepengarangannya, di mana sastra sebagai media dakwahnya menjadi bekal bagi kita sebagai generasi pelanjut. Tulisannya yang berjudul “Mengarang Roman” yang dimuat majalah Pedoman Masyarakat (1938) Edisi 4 (hal: 51):

“…Bekal kita dalam mengarang adalah dari doea aliran, pertama aliran kesoesastraan dari desa kita sendiri dari Manindjau jang dikelilingi oleh Boekit Barisan, dari Oedjoeng Djoengoet dan Oedjoeng Tandjoeng, dari Rakok Tandjoeng Balat, dari bidoek jang berlajar dari taloek ke taloek, dari tapian ke tapian, dari njanjian kita seketika menggerakkan padi di sawah menoeroetkan iboe ketika badan masih ketjil. Setelah itu kita dididik oleh ajah menoeroet didikan soerau…”

 

Sebagai seorang pengarang atau pujangga, Buya Hamka membuat ciri khas dalam setiap karyanya dan menampakkan wajah karyanya itu dengan humanis, di mana masalah sosial dan budaya yang menjadi titik fokus pembahasannya, serta memeberikan pesan makna tersirat dan tersurat yang dituangkan dari hasil pemaknaanya terhadap ajaran islam. Ia pun pernah disebut sebagai Sastrawan Surau, karena banyak karya-karyanya yang bersendi kepada ajaran islam dan ia juga merupakan sastrawan hasil didikan surau, maka banyak pulalah warisan karya-karyanya yang tersebar saat ini setelah kepulangannya meninggalkan dunia ini ketika ia wafat pada 24 Juli 1981 di usia 73 Tahun.

Sebagai generasi pelanjut, Buya Hamka merupakan contoh bagi umat Islam, terkhusus bagi warga Persyarikatan  Muhammadiyah yang bercita-cita menjadikan sastra sebagai mimbar dakwahnya. Melawan konservatisme yang terkadang menjadi jumud, maka perlu media dakwah lain dibuka selebar-lebarnya sebagai penunjang untuk menyebarkan risalah Islam ini kepada khalayak ramai. Maka sastra menjadi lahan bukan semata alternatif, tetapi sebagai media yang mesti dimenangkan dalam medan juang kesusastraan di zaman ini.

Salam Sastra!

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler