Skip to Content

MENYINGKAP PETA KESUSASTRAAN SUMATERA UTARA

Foto SIHALOHOLISTICK

Oleh : SUYADI


“Pada batasan, Bukit Barisan. Memandang aku ke bawah memandang; Tampaklah hutan rimba dan ngarai; Lagipun sawah, sungai jang permai; Serta gerangan, lihat pula. Langit yang hijau bertukar warna Oleh pucuk, daun kelapa; Itulah tanah, tanah airku Sumatera namanya, tumpah darahku.”             (“Tanah Air”, bait 1, Muhammad Yamin)
TOKOH Nasional Muhammad Yamin pada saat menulis puisi “Tanah Air “ di Bogor sekitar Juli 1920 mungkin tidak mengira, pulau Sumatera yang diagung-agungkannya melalui sajak ini, kini berbagi menjadi sepuluh propinsi. Betapa kagumnya ia terhadap “tanah air”-nya, tanah air yang terdiri atas pemandangan Bukit Barisan, hutan rimba, ngarai, sawah, sungai, dan pucuk daun kelapa. Sajak tersebut bahkan sempat menjadi inspirasi para tokoh nasional Indonesia dalam mempersiapkan dan mendirikan sebuah bangsa bernama Indonesia. Melalui Sumatera, mereka mengayuh bahtera menuju kemerdekaan. Dari tanah Sumatera ini pula lahirlah karya-karya sastra nasional yang mampu mendongkrak  semangat nasionalisme di tengah kekuasaan kolonial Belanda. Konsep-konsep kebudayaan Barat dan Timur juga dilahirkan dari tokoh-tokoh yang berada di Pulau Andalas ini yang dipelopori Sutan Takdir Alisjahbana maupun Sanoesi Pane.  Tak ayal :” … Itulah tanah yang kusayangi,/Sumatera namanya, yang kujunjungi//” (bait 2), sehingga kita juga patut berteriak : “Wahai Andalas, pulau Sumatera/Harumkan nama, selatan utara!///” (bait 3). Begitulah. Diskursus mengenai peta kesusastraan di tanah air dekade belakangan kerap terjadi di kalangan pegiat sastra. Tak terkecuali di Pulau Sumatera. Sejumlah sastrawan di pulau Andalas ini secara gradual mempertemukan gagasan untuk memetakan kesusastraan Sumatera. Di antaranya melalui Temu dan Dialog Penyair se-Sumatera ataupun Temu Sastrawan se-Sumatera lalu. Gayung bersambut. Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) masa kepemimpinan Ratna Sarumpaet membuat hal serupa. Kali ini dibingkai dalam tajuk Cakrawala Sastra Indonesia (CSI). Tentunya dengan niat sama, CSI juga menjadi alat mendokumentasi peta kesusastraan di Indonesia. Sesuai semangat zaman pula, perkembangan kesusastraan di Indonesia tentunya maju pesat. Hal terpenting dalam pemetaan kesusastraan ini, untuk memperlihatkan bahwa generasi kesusastraan di Indonesia tumbuh subur. Menyemai menjadi warga sastra dunia, dengan beragam karakteristiknya. Begitu juga di Sumatera Utara. CSI yang dipelopori DKJ menjadi satu momentum menampik terputusnya benang sejarah kesusastraan di Indonesia yang ada di daerah, termasuk Sumatera Utara. Namun sayangnya, apa yang dirintis DKJ itu tampaknya mengalami hambatan, sehingga gagal menerbitkan buku antologi cerpen sastrawan Sumatera Utara. Terlepas dari persoalan nonteknis, kegagalan Sumatera Utara dalam arena CSI DKJ itu sangat mengejutkan kalangan sastrawan di/dan asal  Sumatera Utara, bahkan Indonesia. Seolah-olah peta kesusastraan Sumatera Utara tertutup sudah. Padahal, kehadiran Sumatera Utara dalam khasanah sastra tanah air harusnya sudah terbukti. Ini pula yang mendasari penulis membeberkan masalah ini ke dalam tulisan ini. Bahwa, Sumatera Utara tetap eksis dan tetap jadi ladang subur dunia kepengarangan di bumi Nusantara.
Sumatera Utara : Geopolitik Kepengarangan
PROPINSI Sumatera Utara merupakan gabungan eks Keresidenan Sumatera Timur dan Tapanuli. Bahkan, eks Keresidenan Atjeh pernah pula masuk ke dalam propinsi ini sebelum akhirnya menjadi propinsi sendiri[1] (kini bernama Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, sebelumnya Daerah Istimewa Aceh).  Sumatera Timur hingga pertengahan abad ke-19 didiami kelompok etnis Melayu, Batak Karo, dan Batak Simalungun. Ketiga etnis inilah yang kemudian disebut penduduk asli Sumatera Timur.             Wilayah Sumatera Timur membentang pada suatu kawasan seluas 31.515 kilometer persegi, terdiri atas daerah Kabupaten dan Kota, yakni, Langkat, Karo, Deliserdang, Simalungun, Asahan, :Labuhanbatu, Serdangbedagai (Kabupaten), Medan, Tebingtinggi, Binjai, Pematangsiantar, dan Tanjungbalai (Kota). Hingga kini wilayah ini berpenduduk heterogen dengan jumlah sekitar 8.370.928 jiwa. Meski didominasi etnis Jawa (44,66%)[2], namun tidak ada satu kebudayaan pun yang dominan di daerah ini, karena heterogenitasnya. Hal ini telah diteliti antropolog E.M. Bruner[3] yang menelaah etnis Batak di Medan dan Bandung.             Sedangkan eks Keresidenan Tapanuli terbentang di wilayah Pantai Barat dan sekitar Danau Toba bagian Selatan seluas 40.165 kilometer persegi dan jumlah penduduk sekitar 3.105.344 jiwa. Dalam khasanah sehari-hari, Tapanuli identik dengan Tanah Batak. Dengan demikian, Tapanuli adalah tempat menetapnya satu tnis tertentu yang saat ini dinamakan suku Batak, suku yang menempati empat besar di antara empat suku yang paling banyak menghuni Pulau Sumatera[4]. M. Hutauruk dalam bukunya “Sejarah Ringkas Tapanuli” mengungkapkan, orang Batak mempunyai semangat berpindah untuk menemukan tempat yang lebih baik dan nyaman untuk didiami. Sementara, Lance Castle[5] dalam penelitiannya membagi kelompok orang Batak  ini menjadi lima subkelompok berdasarkan tempat kediamannya. Sebaian besar orang Batak, yakni Batak Toba, mendiami wilayah Selatan dan Barat Daya Danau Toba, termasuk Pulau  Samosir.  Belanda kemudian menyebut wilayah ini sebagai Pusat Tanah Batak (Centraal Bataksland), yang kini menjadi Kabupaten Tapanuli Utara. Pihak lain menyebutnya sebagai Batak tulen[6].  Kelompok terakhir berada di Selatan Danau Toba, tepatnya di daerah Angkola, Mandailing, dan Padang Lawas, berdiam Batak Tapanuli Selatan yang mempunyai dua subkelompok etnis yakni Angkola dan Mandailing.  Dari pemetaan wilayah Tapanuli ini, maka kawasan itu meliputi Tapanuli Selatan, Mandailingnatal, Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara, Nias, Dairi, Toba Samosir, Humbang Hasundutan, Nias Selatan, Samosir, Pakpak Bharat (Kabupaten), Padangsidempuan, dan Sibolga (Kota).             Dengan digabungkannya dua eks keresidenan itu menjadi Propinsi Sumatera Utara pada 1950-an, maka luas wilayah propinsi ini menjadi 71.680 persegi dengan jumlah penduduk 11.476.272 jiwa. Berdasarkan hal itu, peta kepengarangan (kesusasteraan) di Sumatera Utara sesuai tempat kelahirannya sembilan tahun belakangan ini[7] didominasi penulis yang berasal dari eks Keresidenan Sumatera Timur.  Dari sekitar 61 orang penulis yang tersebar di dalam 32 buku karya sastra yang terbit 1996-2005. Di antaranya, A. Rahim Qahhar, AS. Atmadi, A. Zaini Nasution, Bahar Adexinal Saputra, Danil Eneste, D. Rifai Harahap, Ezra Dalimunthe, Hidayat Banjar, Herman KS, Idris Siregar, Maulana Syamsuri, Mihar Harahap, Moratua Naibaho, M. Raudah Jambak, M. Yunus Rangkuti, NA. Hadian, Pangeran Amry, Rasinta Tarigan, Ridwan Siregar, Romulus ZI Siahaan, S. Satya Darma, Suyadi San, Syaiful Hadi JL, Teja Purnama,  Washa S. Nasution, Wirja Taufan, YS. Rat  (Medan), Harta Pinem (Karo), Adi Mujabir, Bertino Vulkan, Damiri Mahmud, D. Ilyas Rawi, Idris Pasaribu, Laswiyati Pisca, Shafwan Hadi Umry, Sumar (Deliserdang), Ristata Siradt (Tebingtinggi), Afrion, BY. Tand, Dt. A. Azmansjah, H.A. Dharsono, Sahril, Usman Al Hudawy (Asahan),  Antilan Purba, Jerni Martina Elita Napitupulu, Rosliani (Simalungun), Aishah Basar, Aldian Aripin, Herman T. Soebrana, Maruli Simbolon, Medi Idris Dasopang, Said Adlin (Labuhanbatu), A. Jalil Sidin (Binjai),  Sulaiman Sambas (Tanjungbalai), dan Zainal Arifin AKA (Langkat). Sedangkan pengarang yang berasal dan lahir di eks Keresidenan Tapanuli, di antaranya, Thompson HS (Tapanuli Utara), A. Anwari Lubis, Arie MP Tamba (Tobasamosir), M. Solly Lubis alias M. Solly Maarif (Tapanuli Tengah),  Agus Mulia, Hasan Al Banna (Padangsidempuan), Ahmad Parmonangan Nasution, Z. Pangaduan Lubis (Mandailingnatal), Anum Nona Asih, Murni Ariyanti Pakpahan (Subolga), Supri Harahap,  T. Mulya Lubis (Tapanuli Selatan). Peta kepengarangan di Sumatera Utara ini juga diramaikan penulis berasal dari luar Sumatera Utara, di antaranya, Gunawan Tampubolon, Ibnast, Rusli A. Malem, Surya Dewita, Zakir (Nanggroe Aceh Darussalam), Aly Yusran Datuk Mojoindo, Harun Al Rasyid, Lazuardi Anwar, Yulhasni, Zainuddin Tamir Koto alias Zatako (Sumatera Barat), Dwi Kridanto HS (Sumatera Selatan), Aminullah RA (Lampung), Sutajaya (Jawa Barat), dan S. Ratman Suras (Jawa Tengah).
Sumatera Utara : Geliat Kepengarangan
KALAU kita mengingat Sumatera, tentu terbayang nama-nama sastrawan tersohor di kepulauan ini. Sebut saja, Roestam Effendi, Marah Rusli, HAMKA, Sutan Takdir Alisjahbana, Amal Hamzah, Merari Siregar, Sanoesi Pane, Armijn Pane, Amir Hamzah, Chairil Anwar, dan tentu saja Muhammad Yamin, A. Hasjmy, Iwan Simatupang, Sitor Situmorang, Nasjah Djamin, Mansur Samin, Mochtar Lubis, A.A.Navis, Hamsad Rangkuti, dan sederetan nama besar lainnya. Mereka telah menorehkan “tinta emas” dalam jagad kesusastraan nasional kita. Bahkan, Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah, Chairil Anwar, dan Sutardji Calzoum Bachri, menjadi “bapak sastra” di negeri bernama Indonesia sesuai nafas zaman masing-masing. Sumatera Utara tentunya juga tidak terlepas sebagai penyumbang terbesar dalam khazanah kesusastraan Indonesia modern. Setidaknya, nama M. Kasim (pelopor penulisan cerpen), Merari Siregar (penulis roman modern pertama di Indonesia), St. Takdir Alisjahbana dan Armijn Pane (pendiri Pujangga Baru), Amir Hamzah (Raja Penyair Pujangga Baru), Chairil Anwar (Pelopor Angkatan ’45), dan Iwan Simatupang (pelopor pola penulisan novel mutakhir di Indonesia), seperti sudah menjadi “trade mark”-nya Propinsi Sumatera Utara dalam rumah sastra Indonesia. Nama Willem Iskander, Mozasa (Mohammad Zain Saidi), Joesoef Soej’ib sampai generasi Bokor Hutasuhut, juga tercatat dalam perkembangan sastra Indonesia modern di daerah ini. Bahkan, H.B. Jassin, Aoh K. Hadimadja, Rivai Ali, Hamka, A. Hasjmy, Or Mandak, Samadi, dan beberapa orang lain, sempat pula hadir dan berekspresi di propinsi yang heterogen ini. Hingga kini para sastrawan “senior” Sumatera Utara juga masih eksis menyemai di taman sari kesusasteran tanah air.  Mereka yang sejak kurun waktu 1960-an menulis hingga sekarang (rata-rata berusia 50 tahun ke atas hingga akhir hayatnya), misalnya, Herman KS, NA. Hadian, A. Rahim Qahhar, AS. Atmadi, Damiri Mahmud, Shafwan Hadi Umry, Usman Al Hudawy, BY. Tand  (alm), Dt. A. Azmansjah, Aldian Aripin, Sulaiman Sambas, M. Solly Lubis, Z. Pangaduan Lubis, Lazuardi Anwar, Maulana Syamsuri, Zatako, dan Rusli A. Malem. Sajak-sajak, cerita pendek  maupun ulasan dan novel mereka masih tampil dalam sejumlah antologi   serta media cetak di Medan, Jakarta, dan luar negeri. Bagaimana pula dengan para penulis mudanya? Generasi baru sastrawan Sumatera Utara pada mulanya juga menulis karya-karya mereka di media cetak lokal maupun nasional. Anak muda-anak muda ini juga rajin mengikuti berbagai peristiwa sastra bersama para pendahulunya, selain menggelar diskusi-diskusi kecil untuk mengasah bakat kepengarangannya. Geliat kepengarangaan sastrawan muda Sumatera Utara dalam kurun waktu 1996-2005 dapat terlihat dalam antologi puisi “BUMI” (Studio Sastra Indonesia, 1996), “JEJAK” (Dewan Kesenian Sumatera Utara, 1998), “INDONESIA BERBISIK” (Dewan Kesenian Sumatera Utara, 1999), “MUARA TIGA” (Dialog Utara IX, 2001), dan “AMUK GELOMBANG” (Star Indonesia Production, 2005) serta “SANGKALAKIRI” (Dialog Utara X, 2003).  Antologi puisi “BUMI” yang memuat sajak-sajak 18 penyair Sumatera Utara[8] merupakan tonggak awal pemunculan generasi baru sastra di Sumatera Utara. Antologi ini dilahirkan dari kegelisahan kreatif para penulis muda yang merasa terpinggirkan dari hegemoni pengarang tua. Pengarang tua (sebut saja mereka yang mengarang sejak 1960-an) yang merasa tetap unggul dan mendominasi media Jakarta sekelas Horison, seolah-olah tak memberi ruang dan waktu dalam segala perhelatan kepengarangan di Sumatera Utara. Hal inilah yang menimbulkan keprihatinan para sastrawan muda[9], sehingga pada 7 Agustus 1994 mereka membentuk sebuah forum diskusi mingguan secara marjinal (emperan dan trotoar) di komplek Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU). Forum ini pun dinamakan Forum Keprihatinan Sastra (FKS). FKS selanjutnya mengadakan ‘gerilya’ bersastra dari rumah ke rumah, kantor, kedai buku, hingga kampus. Selanjutnya forum ini mengubah diri menjadi Forum Kepedulian Sastra serta tak lama kemudian berubah lagi menjadi Forum Kreasi Sastra. ‘Gerilya’ yang dilakukan hingga mengunjungi rumah-rumah dan melibatkan sastrawan senior ke dalam setiap forum diskusi ini memang sangat ampuh dan berpengaruh positif. Gerakan ini menghasilkan buku antologi puisi “BUMI”. Nama “bumi” sengaja diberikan, karena di dalam buku itulah terkandung makna bumi atau peta kepenyairan sebagai ‘rumah’ atau tempat berpijak para generasi baru sastra di Sumatera Utara. “BUMI”  ini pulalah yang “mengilhami”  penerbitan buku selanjutnya, yakni antologi puisi “DALAM KECAMUK HUJAN” (Kedai Sastra Kecil/KSK, 1997), kumpulan puisi tunggal Romulus Siahaan  “CATATAN PERJALANAN DALAM BEBERAPA WAKTU” (Tong Sampah, 1996), S.  Ratman Suras “GUGUR GUNUNG” (KSK, 1997), “TARIAN MUSIM” (KSK, 1997), serta kumpulan cerita pendek Idris Siregar dan S. Ratman Suras “PERJALANAN YANG BELUM TERUNGKAP” (KSK, 1999). Pada antologi puisi “JEJAK” dan “MUARA TIGA”, geliat kepengarangan sastrawan muda Sumatera Utara juga sangat terasa.  “JEJAK” memuat puisi-puisi dari berbagai angkatan, mulai generasi 1950-an sampai 1990-an[10].  Ini merupakan monumental pertama dalam sejarah sastra di Sumatera Utara. Sesuai namanya, antologi ini merupakan “jejak” dalam peta kepenyairan di Sumatera Utara. Jejak ini diikuti antologi puisi berikutnya, ‘INDONESIA BERBISIK” (Dewan Kesenian Sumatera Utara, 1999)[11], juga berisikan sajak-sajak penyair dari berbagai angkatan. Sastrawan Sumatera Utara juga terlibat di dalam kumpulan puisi dan cerita pendek ‘MUARA TIGA”[12] yang diterbitkan Panitia Dialog Utara IX Medan. Ini merupakan karya sastra pertama dalam sembilan tahun belakangan yang memuat karya-karya sastrawan muda Sumatera Utara bersama sastrawan negara jiran, Malaysia. ‘MUARA TIGA” merupakan lanjutan dari antologi “MUARA” (1984) dan “MUARA 2” (1989). Sejak forum sastra Dialog Utara diadakan para sastrawan Sumatera Utara dan Malaysia bagian Utara, disepakati untuk melahirkan buku antologi sastra. Buku yang terbit di Malaysia diberi nama “TITIAN LAUT”  dan yang terbit di Indonesia diberi nama “MUARA”. Terakhir, Dialog Utara melahirkan buku antologi sastra “SANGKALAKIRI”[13] yang diterbitkan di Thailand bagian Selatan (2003). Gelombang penerbitan buku para sastrawan muda Sumatera Utara ini berlanjut pada forum Arisan Sastra (Arsas) digagasi YS. Rat, Suyadi San, dan Antilan Purba pada tahun 2001. Hingga kini forum ini melahirkan empat buku antologi puisi, kesemuanya diberi judul “TENGOK”. Nama tersebut sebagai penanda bahwa mereka masih terus eksis di tengah membanjirnya karya-karya sastra dari Pulau Jawa.  Buku pertama, “TENGOK”,  memuat sajak-sajak Idris Pasaribu, Suyadi San, M. Raudah Jambak. Buku kedua, “TENGOK 2” YS. Rat, S. Ratman Suras, Teja Purnama, “TENGOK 3”  Antilan Purba, Idris Siregar, Aishah Basar, dan “TENGOK 4” Porman Wilson, Sahril, M. Yunus Rangkuti. Perkembangan terkini geliat sastrawan muda Sumatera Utara di tengah arus teknologi saat ini mulai menjamah media elektronik, seperti internet dan radio. Berbagai situs sastra kerap mewarnai perhelatan dunia maya ini, di antaranya melalui cyber sastra dan “On/Off”. Di cyber sastra ini, penulis muda yang lahir di Tapanuli dan mengambil pendidikan di Australia, Saut Situmorang, sangat merajainya. Penulis muda lainnya, Eddy Siswanto, menyertakan beberapa sajaknya di dalam antologi puisi yang dikirim via internet (para pemuisi se-Indonesia ini pada awalnya berkoresponden melalui internet) berjudul “DIAN SASTRO SANG PRESIDEN”.  
Sumatera Utara : Ideologi Kepengarangan
SASTRAWAN Sumatera Utara pada ghalib-nya terus berpacu mengarungi samudera globalisasi dan teknologi. Mereka yang datang dari berbagai daerah, menyatu menjadi komunitas besar sebagai warga sastra Nusantara, menyemai di antara sejumlah fatamorgana dan dunia maya. Sastrawan Sumatera Utara sejak era Balai Pustaka sampai sekarang memiliki bahasa puisi yang beragam, sesuai dengan latar belakang ideologi (pandangan hidup) kepenyairan masing-masing. Ideologi, menurut Kamus Sosiologi Antropologi, M. Dahlan Yacub Al-Barry (2001), di antaranya berarti cara berpikir atau pandangan hidup seseorang atau suatu golongan. Dalam kaitan ini, ideologi kepenyairan berarti kumpulan konsep bersistem dalam kepenyairan yang dijadikan asas pendapat (kejadian) yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup. Kalau generasi Amir Hamzah – yang penuh romantisisme dan religius-impresif -- dan Chairil Anwar – dengan puisi-puisi ekspresionistisnya -- mampu menciptakan ideologi kebaharuan bahasa puisi di tengah kungkungan rezim kolonial Belanda dan Jepang, generasi berikutnya lebih berorientasi kepada teks-teks kritik sosial dan balada serta tidak ketinggalan bernuansakan semangat religiositas dan epik-romantik.  Dalam perkembangan terbarunya pula, sebagian penyair tidak melupakan identitas kultur-nya. Untuk melihat ideologi kepengarangan di Sumatera Utara, penulis akan mengkajinya melalui pendekatan sosiologi. Sosiologi  adalah suatu telaah yang obyektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat serta tentang sosial dan proses sosial. Sosiologi menelaah tentang bagaimana masyarakat itu tumbuh dan berkembang. Dengan mempelajari lembaga-lembaga sosial dan segala masalah  perekonomian, keagamaan, politik, dan lain-lain, kita mendapat gambaran tentang cara-cara manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya, mekanisme kemasyarakatannya, serta proses pembudayaannya. Pendekatan ini juga mengacu kepada teori pendekatan sastra yang dibawakan Levy Strauss (antropologi-strukturalisme), Roland Barthes (semiotik), Sigmund Freud (psikoanalisa), Wellek dan Warren serta Ian Watt (sosiologi sastra). Dari pendekatan sosiologi ini kita akan melihat sejauh mana sastrawan Sumatera Utara memperlihatkan ideologi kepengarangannya di tengah tantangan arus teknologi dewasa ini. Sajak-sajak bernuansa kehidupan sosial dapat terlihat dalam sajak Hidayat Banjar, merekam situasi reformasi pada era 1998 yang seperti mengulang peristiwa era 1966 berikut : …” Di jalan-jalan raya orang bergerombol api berkobar, mobil dibakar kaca-kaca toko pecah kesumat pecah bagai ketuban keluar dari rahim
Di jalan-jalan raya orang bergerombol bagai zombi yang bangkit dari kegelapan lagu purba menghiasi angkasa yang pernah berkumandang pada masa moyang dulu”… (Di Jalan-jalan Raya Orang Bergerombol, bait 3 dan 4)
Moratua Naibaho di penghujung era rezim Soeharto malah ”menasihati” kita semua agar tidak menulis puisi yang “pedas-pedas” :
“Kata mama buat puisi jangan yang pedas-pedas nanti yang dengar sakit perutnya
Jangan singgung-singgung tentang politik sebab politik miliknya orang-orang pintar dan orang-orang pintar biasanya buncit-buncit sangat sensitif pada yang pedas-pedas bisa mules dan mencret
Jangan singgung-singgung tentang surat sakti sebab yang punya surat sakti terlalu sakti nanti kamu bisa disulap jadi kambing atau lembu atau dijebloskan dalam terali besi”… (Kata Mama, bait 1, 2, dan 3)
Barangkali, itu pula yang membuat S. Ratman Suras khawatir terhadap nasib anak-anak bangsa menyaksikan segala macam pertikaian dan kekerasan yang melanda hingga ke dalam rumah tangga  berikut :
“siapa sudi menangis dalam tragedi ini? di mana rumah tak lagi memberi kenyamanan orang tua selalu berbeda arah anak-anak tak bisa lagi bercermin televisi di ruang tamu hanya bisa mengalirkan darah diselingi lagu-lagu tangisan menyayat tentang sebuah keluarga yang terkoyak-koyak”… (Siapa Sudi Menangis dalam Tragedi Ini, bait 1)
Dari semua peristiwa itu, wajarlah Damiri Mahmud  berdoa memohon “amnesti” (ampunan) karena tidak ada formula tepat untuk mengatasi segala macam krisis :
DOA RAYAP
Allah beri maaflah doa-doa kami minta dunia jadi rumah sendiri
berilah kami maaf bagi formula dan teori sang maharesi meraup dunia dengan kedok demokrasi mengulum antariksa bersama rayap sains dan teknologi
turunkanlah amnesti bagi kami begitu sehat dan hidup darah dan dagingnya tetapi mati hati Amin
Sajak-sajak balada selama tujuh tahun belakangan juga mendominasi ideologi kepenyairan di Sumatera Utara.  Di antaranya terlihat pada sajaknya D. Ilyas Rawi, Dt. A. Azmansjah, Ezra Dalimunthe, Laswiyati Pisca, Ridwan Siregar, Romulus ZI Siahaan, Shafwan Hadi Umry, S. Ratman Suras, YS. Rat, Arie MP Tamba, S. Satya Dharma, T. Mulya Lubis, M. Solly Lubis, NA. Hadian, Lazuardi Anwar, Herman KS, Rusli A. Malem, Idris Pasaribu, Harta Pinem, Murni Ariyanti Pakpahan, Idris Siregar, Suyadi San, Teja Purnama, BY. Tand, Hidayat Banjar, M. Yunus Rangkuti, Surya Dewita, Adi Mujabir, Thompson HS, dan Medi Idris Dasopang. Lihatlah bagaimana Dt. A. Azmansjah mengisahkan pencarian nasibnya di tengah kota: :”kelap kelip lampu kota mengulur hati mencari/bintang bintang cerah dedaunan melambai sayup/terpantul pada jalanan kering tak pernah sepi/di bawah gundukan kenang yang semakin terkatup//” (Yang Kucari, bait 1). Begitu pula Harta Pinem yang mengalami badai dalam percintaannya : “Laut yang bercinta dengan gelombang/saban hari di sana menunggu  camar/tapi hanya batu karang setia menunggunyaa diam/meski berkali-kali dipukul gelombang/berzaman-zaman ia setia diterlantarkan badai/setiap camar berniat terbang ke sana/…///” (Laut yang Bercinta). YS. Rat lain lagi, ia justru mencurigai ada pihak yang ingin membelokkan sejarah di negerinya, sehingga ia bertanya melalui sajak berjudul “Siapa Menyusun Sejarah Ini” :
“Siapa Menyodorkan seonggok makna ke mulut, jadi bungkam Menghidangkan semangkuk wangian ke hidung, jadi sesak Menaburkan segumpal warna ke mata, jadi buta Menyematkan seuntai sajak ke telinga, jadi pekak Meneteskan setumpuk musim ke kulit, jadi kering (bait 1)
Di tengah mengglobalnya jagad perpuisian modern di Indonesia – apalagi dengan tumbuh suburnya media internet yang menampung sejumlah puisi para penyair, tidak menjadi satu alasan bagi penyair Sumatera Utara untuk lepas dari akar tradisi. Setidaknya, masih banyak penyair di daerah ini yang setia terhadap nuansa etnik dan identitas kulturnya.  Lihatlah bagaimana penyair migran S. Ratman Suras  “Suara Hati si Roro Jonggrang” : “seandainya aku menerima pinangan itu/aku pasti seperti kalian/reguk embun cinta, lenyap bila matahari meninggi/aku seperti mendur pronocitro/merajut cinta dalam genangan darah//” (bait 1). Sulaiman Sambas melalui sajak balada berjudul “Nandong Dinandong Ale Baya O Intan Payong” malah banyak mereduksi ucapan mantra : “//(o, mayong segala mambang/mambang angin puting beliung/merentang panjang tali arus/celupkan pelangi di pusat tasik)//” (bait  8)  Begitu juga Thompson HS yang tak lupa pada “Tano Pasogit”-nya : “masih kuingat sebuah kampung/di pinggir danau/tanahnya melahirkan ibu-bapa dan ompung/tapi hatiku sudah ditanam di sana/waktu horja, pesta hula-hula/bersama cerita tambo//” (bait 1).  Dan, tentu saja sajak saya yang terkena pengaruh Melayu Deli berikut : “pak ketipak ketipung-/anak-anak bermain di teras tepi jalan/kehilangan tongkat gawang peninggalan/pak ketipak ketipung-/jangan disentuh topi-topi tak berbusa/agar kau tak bisa berlena-lena//…//pak tipak tipung/kepak kepung pak titi/titipung kepak pak ke :/--begitulah aku bernyanyi-nyanyi/sendiri/di tengah troubador kotaku///” (Dendang Pakpung untuk Medan Bestari). Di samping itu, kegelisahan kreatif para penyair Sumatera Utara juga tidak lepas dari semangat religiositasnya. Para penyair menyadari, sesungguhnya apa yang dilakukan manusia tidak terlepas dari ‘dukungan’ Sang Pencipta, sehingga patut disyukuri. Apalagi, jika ada yang merasa telah menampung banyak dosa, sehingga harus memohon ampunan dari Tuhan-nya. Simaklah bagaimana Shafwan Hadi Umry yang tak pernah berhenti berdoa dan mengakui kelemahannya di hadapan Sang Khaliq sebagaimana tergambar dalam sajaknya :
DOA
sehabis kisah, aku tak tahu di mana tamatnya sehabis hujan, aku tak tahu di mana tumpahnya sehabis ombak, aku tak tahu di mana hempasnya sehabis jalan, aku tak tahu di mana batasnya sehabis ayat, aku tak tahu di mana khatamnya sehabis kisah sehabis hujan sehabis ombak sehabis jalan sehabis ayat sehabis tamat doa sampai di batas makrifat
Teranyar ditegaskan penyair NA Hadian. “Sudah kugembok suaramu”. Begitulah ungkapan batin penyair NA Hadian, dalam kumpulan sajak terbarunya Laut Mutiara (2005). Ungkapan yang sangat sederhana. Jujur dan tidak mengada-ada. Barangkali ucapan itu sangat tepat tatkala bangsa kita memasuki 60 tahun kemerdekaan. Sudah kugembok suaramu. Ya, betapa miriskah nasib bangsa ini menghadapi segala fenomena kehidupan? Keprihatinan demi keprihatinan, itulah yang kita hadapi memasuki usia 60 tahun kemerdekaan bumi Nusantara ini. Enam puluh tahun, harusnya kita makin matang menghadapi berbagai persoalan. Tidak gagap atau kagok mencari jalan keluar setiap permasalahan. Apalagi sudah ratusan tahun diuji penindasan. Rasanya, begitu naif jika kita terus merasa kalut dan sulit lepas dari lubang jarum keniscayaan. Enam puluh tahun, ya, enam puluh tahun. Enam puluh tahun itu kita dicekoki janji. Jargon dan mutiara kata untuk bangkit dari penindasan. Enam puluh tahun itu kita dibuai mimpi berkepanjangan. Revolusi dan pembangunan. Reformasi dan perubahan. Semuanya sangat menjanjikan. Manis di bibir, sangat indah di perkataan. Namun, begitu ironi. Kita harus antre mendapatkan BBM. Padahal, mendapatkannya pakai duit. Duitnya sulit didapat. Didapat dengan susah payah. Banting tulang. Peras keringat, pikiran, dan tenaga. Penguasa dengan enteng meminta kita agar berhemat. Berhemat. Kencangkan ikat pinggang. Puasa Senin-Kamis.Wah! Bukankah sejak dahulu kita berhemat? Mengencangkan ikat pinggang? Ditambah lagi yang setiap saat puasa, tidak hanya Senin-Kamis. Saking hematnya, saking menyempitnya pinggang, kita sampai cakar-cakaran. Berebut pekerjaan. Kehilangan pekerjaan. Sikut kanan, sikut kiri. Sikat kanan, sikat kiri. Jilat kanan, jilat kiri. Ujung-ujungnya, korupsi. Monopoli, oligopoli, manipulasi. Dan sebagainya. Yang penting happy. Tak peduli kanan dan kiri. Masing-masing cari selamat. Selamatkan diri masing-masing alias SDM. Wah! Untuk itu, penyair NA Hadian bilang :
Sudah kugembok suaramu jangan ucapkan lagi kata itu kita saling berbohong aku bohong kau pun bohong (Sudah Kugembok Suaramu, bait 1)
Bohong! Itulah yang sebenarnya. Aku bohong kau pun bohong.  Apakah kita saling berbohong? Entahlah. Yang jelas, pada saat kita kehilangan tongkat, pada saat kita kesulitan sandang dan pangan, pada saat kita antre BBM, penguasa hanya mampu bilang kesulitan membayar minyak di luar negeri, apalagi utang piutang. Padahal sudah 60 tahun penguasa berkuasa. Diberi  kesempatan mengolah hasil bumi, rempah-rempah; untuk keselamatan rakyat, untuk kesejahteraan rakyat. Lihat saja, saat kita sudah sering berhemat, segala macam merek dan jenis kendaraan setiap hari mengalir deras ke bumi Pertiwi. Setiap saat berseliweran di depan mata kita. Booming. Dari mana datangnya? Dari luar negeri, tentu. Koq bisa? Siapa yang beli? Yang punya duit, tentu. Lho koq! Ya bisa, karena memang tidak ada ketentuannya. Tidak ada aturannya. Nah!
Mau apa lagi kita sekarang bikin janji ke janji janjimu bermata pisau bicaramu tembaga berparuh ular (Sudah Kugembok Suaramu, bait 2)
Ideologi kepengarangan Sumatera Utara ini juga terlihat dalam sejumlah cerita pendek yang terdapat di dalam antologi sastra “MUARA TIGA” (Indonesia-Malaysia). Buku kumpulan cerita pendek di Sumatera Utara memang kalah jauh berkembang dibanding puisi. Selain “MUARA TIGA”, ada juga kumpulan cerita pendek Danil Eneste “PASAR MAYAT” (2000) dan “MONOLOG HITAM PUTIH” (2000) serta Idris Siregar dan S. Ratman Suras dalam “PERJALANAN YANG BELUM TERUNGKAP‘.  Lima belas orang cerpenis penyumbang karyanya dalam “MUARA TIGA’ tersebut, yakni, Abdul Jalil Sidin (alm), Baharuddin Saputra, Danil Eneste, Darwis Rifai Harahap, Harta Pinem, Hidayat Banjar, Maulana Syamsuri, M. Raudah Jambak, Ristata Siradt, Sulaiman Sambas, Supri Harahap, Suyadi San, Syaiful Hadi JL, Yulhasni, dan Usman Al Hudawy (alfabetis). Konflik kultural dan struktural hampir bersatu dalam setiap cerpen mereka. Misalnya terlihat dalam cerpen “Pistol”-nya Baharuddin Saputra, “Kere’ Hidayat Banjar, “Tanda ‘X’ di Kampung Kami” Raudah Jambak, “Marsekal Pertama di Bumi Indonesia” Ristata Siradt, “Menghalau ke Padang-padang Hijau” Sulaiman Sambas. Atau, cerpennya Syaiful Hadi JL “Rumah Seribu Lubang”. “Rumah Seribu Lubang” senafas dengan “Tanda ‘X’ di Kampung Kami”, seputar konflik berkepanjangan di Tanah Rencong, Aceh. Kecemasan dan ketakutan warga serta pembunuhan terhadap warga biasa, menjadi pemikiran dua penulis cerita pendek tersebut. Sedangkan kekuasaan penguasa terhadap rakyat jelata tergambar jelas dalam “Kere” dan “Marsekal Pertama di Bumi Indonesia”. Konflik pengarang terhadap batinnya dalam menghadapi realita kehidupan, terekam dalam “Pasar Mayat“ Danil Eneste, “Ini Medan Bung” Darwis Rifai, “Kucing” Suyadi, dan “Lelaki Pencari Tuhan”-nya Yulhasni. Sementara persoalan rumah tangga terjadi dalam “Maraknya Kembali Api Diri” Jalil Sidin, “Rindu yang Menekan” Harta Pinem, “Gerbong” Maulana Syamsuri, “Suasana Ibadah” Supri Harahap, dan “Gerhana” Usman Al Hudawy. Pemikiran-pemikiran yang muncul dalam nafas kepengarangan sastrawan Sumatera Utara itu menjadi ideologi tersendiri guna membangun komunikasi personal dengan pembacanya. Ia tidak saja memberi nafas kehidupan bagi pembaca, sekaligus menohok bahwa mereka masih ada dan menyemai. Demikianlah. Amien. ***
Medan, 2003-2005
Penulis adalah pegiat sastra dan teater serta staf teknis pada Balai Bahasa Medan

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler