Skip to Content

PENYAIR SEBAGAI PILAR KELIMA DEMOKRASI

Foto SIHALOHOLISTICK

Oleh: ASEP SAMBODJA

 

Dapatkah penyair berfungsi sebagai pilar kelima demokrasi? Kalau kita membaca puisi “Balada Rakyat Indonesia” karya F.L. Risakotta, maka fungsi tersebut bukanlah suatu utopia. Bahkan penyair terlihat mampu merekam dengan baik apa yang tengah dirasakan oleh masyarakat dan mengartikulasikannya secara jernih serta penuh kejujuran. Dengan demikian, presiden harus benar-benar mendengar dan membaca apa yang ditulis oleh penyair dan sastrawan pada umumnya. Karena, pesan yang disampaikan penyair bukanlah bernada “asal bapak senang”, melainkan segala macam penderitaan rakyat. Mereka menulis secara apa adanya segala sesuatu yang terjadi di masyarakat.

Kalau kita membaca puisi “Balada Rakyat Indonesia” karya Risakotta ini tampak bahwa penyair benar-benar mengetahui perkembangan sosial politik yang terjadi di sekitarnya; sekaligus memposisikan dirinya berada di tengah-tengah rakyat—ini yang dinamakan hati nurani rakyat. Jika dilihat dari tanggal penciptaan puisi tersebut, terbaca bahwa puisi ini ditulis setelah Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dengan berbagai macam alasan, di antaranya tidak efektifnya sistem parlementer ala Barat dan timbulnya berbagai pemberontakan di daerah yang dilakukan Darul Islam (DI), Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), dan Perjuangan Semesta Alam (Permesta). Dalam buku Indonesia Melawan Amerika: Konflik Perang Dingin 1953-1963, Baskara T. Wardaya (2008) menjelaskan secara gamblang keterlibatan Amerika Serikat dalam gerakan separatis itu. Amerikalah yang memasok senjata kepada pemberontak-pemberontak yang ada di daerah (Ricklefs, 2005).

Penyair dengan jelas memposisikan dirinya sebagai pendukung setia Presiden Soekarno. Pada tahun 1950-an akhir citra PKI memang semakin baik di mata rakyat, karena visinya yang antiimperilisme dan anti-neokolonialisme. Presiden Soekarno sendiri memberi tempat di kabinet, karena menurutnya, tanpa memberi tempat pada PKI untuk duduk di kabinet seperti kuda yang berkaki tiga. Bung Karno memberi ruang pada PKI karena partai ini masuk dalam the big four hasil Pemilu 1955. Ternyata kebijakan Bung Karno itu tidak hanya membuat gerah PSI dan Masyumi, tapi juga bikin gerah Amerika Serikat, karena terbaca bahwa Soekarno sudah mulai condong ke kiri.

Risakotta yang merepresentasikan masyarakat Indonesia pada saat itu, yakni pada pertengahan 1950-an akhir, menyatakan dukungan dan kesetiaannya kepada Bung Karno. Tapi, sekaligus menuntut agar Bung Karno juga memberantas kaum separatis itu. Sebab yang dirasakan rakyat pada saat itu sungguh kompleks. Di satu sisi, rakyat baru saja memperoleh kemerdekaan pada 1945 dan berupaya menata cita-cita untuk kemakmuran rakyat. Namun, di sisi lain, ada upaya pihak Barat yang diwakili Belanda, untuk kembali menduduki Indonesia. Ini terlihat dari adanya agresi Belanda yang berakhir di Meja Bundar.

Kedekatan Presiden Soekarno dengan PKI yang antiimperialisme dan keinginan desentralisasi kekuasaan menimbulkan reaksi di berbagai daerah. Rakyat yang berada di daerah tentu saja tidak bisa melakukan perlawanan terhadap gerombolan pemberontak itu, karena mereka sudah tidak bersenjata. Di tingkat pusat sendiri muncul dualisme dalam menyikapi gejolak di daerah ini. Soekarno ingin menggunakan militer, sementara Muhammad Hatta ingin menggunakan jalur perundingan. A.H. Nasution yang mencoba mempertemukan Soekarno dengan Hatta menemui jalan buntu. Akhirnya Soekarno menyatakan Indonesia dalam keadaan darurat, dan militer yang mengambil peran lebih besar dalam penyelesaian konflik itu.

Puisi “Balada Rakyat Indonesia” ini memperlihatkan bagaimana penyair benar-benar menyelami perasaan rakyatnya. Tentu saja di dalamnya ada kecemasan, kalut, geram, bingung, dan mungkin semangat untuk berjuang, macam-macam, namun yang pasti penyair Risakotta menunjukkan kesetiaannya kepada Bung Karno. “Setelah dua bulan kita berpisah, jauh jarak pengharapan hati ini, Bung Karno, tapi kami tetap setia,” tulis sang penyair. Saya melihat kebersahajaan puisi ini karena sang penyair mencoba membaca situasi sosial politik 1950-an yang saling carut-marut tak kauran dengan bahasa yang demikian terjaga, tanpa emosi yang gegabah. Bahkan terbaca dengan jelas bahwa penyair bisa mengendapkan gejolak politik itu dalam dirinya dan menuturkannya dengan bahasa yang jernih. Meminjam idiom Y.B. Mangunwijaya, penyair Risakotta berjiwa seperti laut yang menampung segala sampah dan segala comberan untuk ditampung ke dalam dirinya. Kemudian sampah-sampah dan comberan itu ia endapkan ke dasar laut. Dan laut memberikan ketenangan, meski di dalamnya penuh gejolak. Demikianlah penyair Risakotta.

 

Balada Rakyat Indonesia

I

senjata ini kami lepaskan setelah pertarungan matimatian, Bung Karno

karena cita-cita menyela pada hati dibakar perjanjian demi perjanjian

kami patuh dan setia dengan keyakinan penuh harap

karena cita-cita ini tidak pernah pudar pada asap dan kertas putih

kami tinggalkan hutan yang menyanyi tiap pagi

ketika kami diburu dan kota habis dihangusi

kami ungsikan diri, Bung Karno

bukan karena mati dan ketakutan tapi lentera pada hati menyala menyimpan cita-cita

ratusan kami berbaris menghadang musuh dengan bambu yang begitu setia

berbanjar seperti benteng tiada terkalahkan

ribuan kami mandi darah di atas tanah kesayangan, karena setia, karena cita-cita mulia


ketika laras kami berdebu di kota-kota

dan tapak kaki-kaki ini belah-belah karena tiada alas

rupa dan wajah kami tiada pernah mengharap karena cita-cita masih

terdukung di berat punggung

kami lantangkan suara meski parau mendekam

kami nyanyikan kemenangan meski ini kekalahan yang dipaksakan

kami teriakkan perlawanan ini suatu permulaan kesyahduan

 

kami baris, Bung Karno

pada tangan-tangan kurus tiada berdenyut nadi

sepanjang kota rakyat menanti kemerdekaan dan cita-cita

dan kami terus berbaris, kami terus menghentakkan kaki

meski di sisi rakyat membakar cita-cita karena kesetiaan belum nyata

kami jelajahi kota, kami masuki desa, Bung Karno

karena Indonesia, karena cita-cita kita bersama

 

senjata ini di depanmu kami jamah tanda hormat dan kasih kita

di penghabisan kali karena kami harus menyisih dari barisan senjata

kami bukan orangnya yang mendendam dengan senjata dan penembakan

kami bukan orangnya sisa-sisa pertempuran yang mengharap balas dan bintang jasa

kami bukan pejuang yang didaftarkan di satu kementerian

tapi kami penjelajah hutan ketika revolusi, penggempur kota dan pendukung

setia cita-cita kemakmuran bangsa

 

inilah kami Bung Karno

yang setia ketika tiada malam dan kelam dalam diri dan hari depan

kami yang masih merayap di kaki bukit ramamandala, di hutan-hutan kerinci,

kuningan dan bolangmangondow

ya, kamilah Bung Karno yang mengharap merek tapi tiada bertanda

 

dulu kami lepaskan senjata karena kami setia pada cita-cita rakyat

kini kami ditumpas lepas hanya pegangan pada hati

mungkinkah sembilu penghabisan menyayat cita-cita ini bila

keganasan gerombolan mengerkah cita-cita merdeka?

 

Bung Karno, usang sudah cita-cita ini bila kemenangan tiada di hati kami

remuk dan musnah rumah kampung halaman kami dan istri harus mati

bertekuk di kebiadaban gerombolan sedang kami harus lari

menghindar diri demi merdeka dan cita-cita

adakah yang lebih pahit dari ini Bung Karno, bila napas yang sisa ini

menumpas setiap keganasan, kebuasan, tapi di musim damai kami didera—

disiksa oleh sisa-sisa gerombolan dan hidup merungkak di tanah

berbatu? atau mengharap perintah dari tangan yang tiada pernah berlaga?

 

ya, Bung Karno, senjata ini kami serahkan demi cita-cita bangsa

tapi padamu Bung Karno, tiada pada siapapun

 

II

kami harus menekan tumpas karena derita masih menyala

memanggang diri dan airmata

kami harus menekukkan kepala karena hati cinta nusa masih membakar

diri sedang punggung berat membebani cita-cita

kami tidak meminta, Bung Karno, karena kami manusia perjuangan

kami tidak mengharap, Bung Karno, karena kami manusia kerja

tapi kami menuntut, Bung Karno, karena jiwa kami terancam gerombolan dan

hati ini pedih ditindas modal asing

juga kami mati akan setia dan kemegahan demokrasi, Bung Karno,

karena apalah arti cita-cita yang menyala ini andai suara tersumbat

dan tangan kaku di atas kertas putih


Bung Karno, padamu kami dukungkan cita-cita kami sejak revolusi dulu

karena tanpa cita-cita ini kita bukan apapun di bumi Indonesia

ketika ini padamu pimpinan kami serahkan tapi bukan pada siapa-siapa


III

ketika meriam menggelegar 21 kali di kemayoran

senja memisahkan kami, pendukungmu, Bung Karno—

dari istanamu yang putih mengapur

tapi suara dan teriak kami menggelegar memecah senja lebih keras

dari meriam, Bung Karno, meski saat itu kita disisihkan dalam senja

kami menanti dengan hati bukan dengan senjata dan meriam karena senjata

telah kami serahkan ketika revolusi dan setia kembali ke desa

sedang di hati cita-cita ini lebih tajam dari senjata, juga lebih indah dari istana

Bung Karno, kami menanti di depan istana, tapi kita berpisah

karena senjata di depan kami

kami tahu Bung Karno, seperti kau pun tahu bahwa batas kita ini

hanya sementara, bahwa pemisahan kita hanya seketika apakah

yang lebih abadi selain cita-cita, Bung Karno

karena kami pun percaya seperti kau juga mengerti bahwa meriam bisa diam

kalau hati bersusun satu, Bung Karno, tapi imperialisme dunia pun

bisa hancur bila kami pendukung setia cita-cita bangsa


di bawah kesamaran senja dan lampu-lampu, Bung Karno, wajahmu menyala

setelah dua bulan kita berpisah

jauh jarak pengharapan hati ini, Bung Karno

tapi kami tetap setia


suaramu yang kami nantikan seperti apa yang diharapkan hati ini Bung Karno

ucapan yang melaut di hati dan benak kami, mencatat kemenangan, karena

kita berkisar di satu arah di mana dulu kita pernah mengalah

kita kembali ke jalan lama di mana revolusi menuntut kemenangan

dengan senjata cita-cita yang abadi, kemerdekaan, kebebasan, dan kemakmuran

teriakmu naik ke langit malam dan di bintang menyatu diri

kami penanti, Bung Karno, dan suaramu suara kami kembali ke jalan



IV

berhari kita berkira dalam diri dan cita-cita lautan kemegahan

dan keadilan rakyat Indonesia

ke manakah arah angin kan bertiup bila lentera di tanganmu, Bung Karno,

kami satukan langkah, bila napasmu menapasi hati kami

kami sediakan diri, Bung Karno, andai derita dan kepahitan kita dukung bersama

Bung Karno, mimpi kami tidaklah seindah hati dan cita-cita kami

karena berat badan tiada terungkai andai kami terus dirangsang ketakutan

diburu kehancuran, dalam tangan cita-cita demokrasi

tapi kami percaya, Bung Karno, meski cita-cita ini diperam, ia pasti lebih membaja

lebih menyala dari bintang-bintang, tapi juga lebih menggelegar dari meriam

Bung Karno, atasmu cita-cita ini kami serahkan, tapi cita-cita ini

adalah milik kita, Bung Karno

kebenaran cita-cita akan menggaris dalam sejarah, siapa yang setia

dialah pemenang, Bung Karno


Bung Karno, kami pejalan panjang dari revolusi ke jalan revolusi dan

hati tiada henti mendukung cita-cita rakyat indonesia, meski malam jemu

menutup mata seluruh manusia


Kayu Awet, 21 Juli 1959

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler