Skip to Content

Permainan & Dunia Anak; “Namanya juga permainan, ......”

Foto adinya
files/user/2169/ngulukin-layangan-300x189.jpg
ngulukin-layangan-300x189.jpg

 

Permainan, di kaitkan dengan manusia dan jenjang umur, selalu tertuju pada hal yang identik dengan anak-anak;  belum baligh; fase sebelum remaja. Dunia anak tanpa diisi dengan berbagai permainan tidaklah lengkap, kata orang Gorontalo bagai kue Bageya tanpa teh, akan terasa hambar. Dari sini mahfum lah bahwa permainan, bermain dengan permainan, sungguh merupakan kebutuhan seorang anak layaknya orang dewasa memprioritaskan sesuatu seperti olahraga, kendaraan, atau bahkan kacamata. Bukan hanya sekedar perilaku “bermain-main”, atau pun yang seringkali kita sederhanakan dengan mengatakan; “namanya juga anak-anak...”. Ini sifatnya kodrati.

Lumrah memang, anak dengan dunianya, tanpa disadari menganggap permainan memiliki arti besar sebagai alat pelengkap kasih sayang orang tua. Tetapi juga tak boleh disepelekan; permainan bagi anak-anak mempunyai hubungan erat dengan kasih sayang orang tua terhadap si anak. Orang tua yang membelikan mainan  maupun mengizinkan anak mereka bermain dengan kawan-kawan, berarti menghadiahi anak mereka sebuah bentuk kasih, meski hadiah kebendaan tidak cukup mewakili makna kasih sayang yang begitu luas, namun sang anak akan merasa bangga jika tahu dirinya di sayangi.

Poin yang tidak kalah penting untuk dipahami ialah sifat setiap permainan yang dimainkan oleh anak mengandung entertainment, hiburan. Dimana rasa yang diciptakan oleh permainan itu, contoh: permainan rakyat petak umpet, di Gorontalo dikenal cur-cur pal, gundu (kenikir), layang-layang (alanggaya) serta lainnya, tiada lain untuk memenuhi kepuasan batin mereka, yakni keseruan dan keriangan yang tak terhingga. Sehingga tak perlu muncul  anekdot dalam masyarakat , “masa kecil yang kurang bahagia”, bagi orang dewasa. 

Selanjutnya, jika anak sudah mencapai esensi rasa dari permainan tersebut, maka hasil akhir permainan; kalah-menang, bagi anak, sudah bukan masalah lagi, mereka bisa menempatkan permainan dalam konteks yang sebenarnya;“namanya juga permainan...”. Karenanya, anak-anak akan belajar perspektif pertemanan, dalam ranah keadilan (fair play), tanggung jawab, dan saling tenggang rasanilai-nilai yang belum tentu bisa didapatkan dengan sekadar membaca/ menghafal isi pelajaran formal. Sekiranya item ini yang sering digaungkan menyoal pendidikan berkarakter yang sedang diusung dunia edukasi kita akhir-akhir ini. Mengarahlah konsep edutainment (mendidik sekaligus menghibur). Siapa sangka Napoleon Bonaparte kecil dibiasakan oleh keluarganya dengan permainan keras, bergulat dsb., nyatalah bahwa pendidikan negatif secara sistematis terprogram dalam tindakannya setelah dewasa.   

Setelah mengetahui refleksi tersebut diatas, patutlah kemudian kita menyematkan permainan bagi dunia seorang anak adalah cara jitu bagi orang tua untuk mencintai, memahami, sekaligus mendidik anaknya. Pada akhirnya artikel singkat ini dapat kita tarik kesimpulan terhadap hubungan permainan dengan dunia seorang anak; mengizinkan mereka bermain bukanlah membiarkan mereka berleha dengan hidup, mengabaikan pentingnya keseriusan dalam meraih asa di esok hari, tapi justru mengenalkan mereka kepada media yang selalu menyediakan ilustrasi positif agar senantiasa terbiasa berbagi dengan sesama. Semoga.    Sumber: Gunarsa, Singgih. 1995. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja.   Jakarta: BPK Gunung Mulia,  Wauran. M.H. 1977. Pendidikan anak sebelum sekolah. Bandung: Indonesia Publishing House.

By: Adin_Ha

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler