Skip to Content

Problematika Pengajaran Sastra Di Sekolah

Foto Steven Sitohang

Sejarah menuturkan secara fasih bahwa negara-negara maju dan industri, seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan Perancis telah lama menjadikan sastra sebagai unsur tak terpisahkan dalam pengembangan kepribadian dan pembangunan bangsa. Tatkala sistem pendidikan kontemporer gagal menerangi generasi muda dengan nilai-nilai relegius dan moral, sastra sepatutnya perlu dilihat sebagai jalur alternatif.

Dalam pendidikan, nilai estetik dan puitik sastra selama ini diyakini mampu memompa dan membangun karakter manusia. Bahkan, mendiang Presiden Amerika serikat John F. Kennedy (JFK) begitu yakin bahwa sastra mampu meluruskan arah kebijakan politik yang bengkok sehingga politikus yang mati tertembak ini mengatakan, “Ketika politik bengkok, sastra akan meluruskannya”. Kemudian, begitu juga pentingnya sastra bagi kehidupan sehingga Seno Gumira Ajidarma (1997), seorang sastrawan dan juga jurnalis ini, lalu mengafirmasi pernyataan JFK dengan membuat adagium “Ketika jurnalisme dibungkam, maka sastra lah yang akan berbicara”.

Pembelajaran bahasa dan sastra di Indonesia di berbagai jenjang pendidikan selama ini sering dianggap kurang penting dan dikesampingkan seperti anak tiri oleh para guru, ditambah lagi pada guru dengan pengetahuan dan apresiasi sastra (dan kebudayaan) rendah. Hal ini menyebabkan mata pelajaran yang ideal menarik dan besar sekali manfaatnya bagi para siswa/i disajikan hanya sekedar memenuhi tuntutan kurikulum. Tak perlu heran bila pelajaran menjadi kering, kurang nikmat, dan cenderung kurang mendapat tempat di hati siswa/i.

Paparan evaluasi pembelajaran sastra di sekolah ini disampaikan Wakil Mentri Pendidikan dan Kebudayaan (Wamendikbud) Bidang Keguruan, Wiendu Nuryani. “ Pendidikan sastra di sekolah penting. Karena siswa tidak hanya olah nalar saja, tetapi harus olah rasa dan olah cipta”, katanya pada forum persiapan Temu Sastra Indonesia 2012 di Jakarta (19/11).[1]

Tujuan pengajaran sastra sebenarnya memiliki dua sasaran, yaitu agar siswa dapat memperoleh pengetahuan dan pengalaman sastra. Pertama, pengetahuan sastra diperoleh dengan membaca teori, sejarah, dan kritik sastra. Kedua, pengalaman sastra dengan cara membaca, melihat pertunjukan karya sastra, dan menulis karya sastra.[2]

Dengan demikian, tugas guru bahasa dan sastra Indonesia tidak hanya memberi pengetahuan (aspek kognitif), tetapi juga keterampilan (aspek psikomotorik) dan menanamkan rasa cinta (aspek afektif), baik melalui kegiatan di dalam kelas maupun di luar kelas. Diketahui bahwa selama ini, pengajaran sastra di sebagian besar sekolah hanya terjadi dalam ruang yang diapit oleh dinding kelas. Hasilnya, daya imajinasi dan kreasi siswa kurang berkembang optimal. Contohnya, ketika siswa mendapat tugas untuk membuat puisi berkenaan dengan alam, guru yang bersangkutan tidak mengajak mereka ke alam terbuka. Hal ini merupakan salah satu problematika dalam pengajaran sastra di sekolah. Seharusnya, guru mengajak siswa keluar, ke alam terbuka dan membantu mereka dalam proses penciptaan karya sastra.

Problematika lainnya adalah sebagian guru bahasa dan sastra di sekolah kurang menumbuhkembangkan minat dan kemampuan siswa dalam hal sastra. Sebenarnya, guru Sastra dan Bahasa Indoneisa dapat mengusahakan karya sastra siswa di muat di media massa, dalam bentuk buku sastra, melalui media elektronik, yakni internet. Kenyataan yang lebih memprihatinkan, sebagian besar guru bahasa dan sastra tidak menjadi contoh sebagai orang yang aktif membuat dan mempublikasikan karya sastra di media massa, buku sastra, dan media elektronik.

Sesungguhnya yang menjadi permasalahan dasar adalah sistem pendidikan kita. Kurikulum pendidikan saat ini yang dianut tidak bisa memberikan ruang gerak yang leluasa pada pembelajaran sastra. Orientasi pemerintah dalam pembangunan bidang pendidikan masih melenceng jauh dari hakikat tujuan pendidikan itu sendiri. Inilah yang sesungguhnya terjadi di lapangan. Pendidikan diselenggarakan hanya untuk menciptakan "tukang" dan tenaga kerja semata sehingga mata pelajaran humaniora seperti sastra, bahasa, seni, dan budaya hanya diletakkan di pinggiran, di anak-tirikan, bahkan dianggap tak berguna sama sekali. Pengetahuan tentang sastra termasuk apresiasi sastra, dinomorduakan dan dianggap sebagai hiburan. Kondisi inilah yang kemudian menyebabkan guru bermalas-malasan dalam mengajarkan pengetahuan tentang sastra.

Dalam proses pembelajaran sastra dan bahasa bagi guru yang aktif, kreatif, inovatif, dan dapat menciptakan strategi jitu untuk pengembangannya, mereka dihadapkan pada seperangkat silabus dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) tertentu yang telah “dipatenkan” secara nasional dan berkiblat pada dogma yang dianggap sangat sakral berupa seperangkat kurikulum. Inilah kunci pokok permasalahan. Silabus dan SKL inilah yang menghegemoni kreativitas guru sastra sehingga dengan sendirinya, pembelajaran sastra di sekolah kian terpinggirkan.

Keperihatinan sastrawan terkenal, Taufiq Ismail sangat gigih memperjuangkan kebangkitan pembelajaran sastra dan menulis di sekolah-sekolah. Menurutnya, kemampuan sastra siswa/i di Indonesia jauh tertinggal dibandingkan 13 negara yang pernah dikunjunginya, yang mewajibkan mereka membaca dan mendiskusikan 5 sampai 32 karya-karya sastra per tahun – sebuah situasi yang sudah lama hilang di sekolah kita. Oleh karena itu, hal ini amat mendesak kita semua untuk mengatasinya, karena sastra adalah kendaraan yang efektif untuk mempromosikan intelektualitas, kebajikan, moralitas, dan kearifan.


[1]  http://www.jambiekspres.co.id/berita-2497-penguasaan-sastra-lemah-guru-digembleng.html ditelusuri Jumat, 3 Januari 2014.

[1]  Dedi Wijayanti, Pengajaran Sastra Di Sekolah, Jangan Hanya Bersifat Reseptip, http://uad.ac.id/content/pengajaran-sastra-di-sekolah-jangan-hanya-bersifat-reseptip ditelusuri Jumat, 3 Januari 2014.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler