Skip to Content

Sastra Indonesia Modern di Kalimantan Selatan Sebelum Perang (1930-1945)

Foto Y.S. Agus Suseno

SASTRA INDONESIA MODERN DI KALIMANTAN SELATAN  

SEBELUM PERANG (1930-1945)

 

Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan

Dinas Pemuda Olah Raga Kebudayaan dan Pariwisata

UPTD Taman Budaya Kalimantan Selatan 

Banjarmasin 2011

 

 

Daftar Isi


Bab I PENDAHULUAN

1. Latar belakang

2. Rumusan masalah

3. Tujuan penggalian

4. Manfaat penggalian

5. Metodologi penggalian

    5.1 Pendekatan penggalian

    5.2 Metode penggalian

    5.3 Variabel, subvariabel, indikator

    5.4 Sumber data

6. Wilayah penggalian

7. Waktu penggalian

8. Biaya penggalian

9. Organisasi penggalian

 

Bab II KARYA SASTRA DAN SASTRAWAN KALSEL ZAMAN BELANDA (1930-1942)

    1.1 Sastra koran/majalah

    1.2 Sastra buku

    1.3 33 sastrawan

 

Bab III KARYA SASTRA DAN SASTRAWAN KALSEL ZAMAN JEPANG (1942-1945)

    1.1 Sastra koran/majalah

    2.2 Sastra buku

    2.2.1 Roman/novel

    2.2.1 Drama

    2.3 17 sastrawan

 

Bab IV SEJUMLAH NAMA DAN KARYA SASTRAWAN KALSEL

Bab V PENUTUP

Daftar Pustaka

Data Narasumber

 

 

Bab I

Pendahuluan

1. Latar Belakang

Sastra Indonesia modern di Kalsel identik dengan sastra koran/majalah dan sastra buku. Sastra koran/majalah adalah karya sastra yang dipublikasikan di koran/majalah, sedangkan sastra buku adalah karya sastra yang dipublikasikan dalam bentuk buku.

Mengingat sejarah kesusastraan Indonesia modern di Kalsel identik dengan koran, majalah dan buku, yang harus dilakukan adalah mencari dan mengumpulkan lagi koran/majalah tempo dulu  -- hanya yang memiliki kolom/rubrik sastra, sebab tidak semua koran/majalah memilikinya -- buku-buku sastra koleksi perorangan, koleksi instansi/lembaga dokumentasi dan perpustakaan, di dalam maupun di luar Kalsel. Menggali dan mengumpulkan lagi “harta karun” sastra Indonesia modern di Kalsel sebelum perang ini sesungguhnya merupakan pekerjaan besar, amat disayangkan apabila tidak ada pihak yang melakukannya, sekurangnya dalam bentuk sederhana. Oleh karena itu, penggalian ini penting.

Awalnya, penggalian ini direncanakan meliputi kurun waktu 1890-1945. Namun, minimnya data dan dokumentasi karya sastra Indonesia modern di Kalsel akhir Abad XIX, membuat penggalian akhirnya difokuskan pada bahan-bahan yang dapat ditemukan, yang bertitimangsa awal Abad XX. Tiadanya sastra Indonesia modern di Kalsel sebelum itu barangkali terkait dengan belum adanya media cetak dan kemampuan membaca dan menulis aksara Latin, sehingga hanya sastra lisan (madihin, basyair, lamut dan pantun) yang dikenal masyarakat. Dengan demikian, penggalian lebih difokuskan pada jenis karya sastra (berbahasa Melayu-Indonesia) modern, yang diciptakan/dipublikasikan (dan datanya berhasil ditemukan) dalam kurun waktu 1930-1945.

 

2. Rumusan Masalah

Rumusan masalah penggalian sastra Indonesia modern di Kalsel sebelum perang (1930-1945) adalah:

1.    Siapa (dan berapa jumlah) sastrawan Kalsel yang menulis karya sastra Indonesia modern sebelum perang (1930-1945)?

  1.  Koran/majalah apa saja yang menjadi tempat publikasi karya sastra tersebut?
  2. Apa jenis (dan berapa jumlah) buku sastra yang diterbitkan?
  3. Jenis karya apa saja yang dapat ditemukan, dalam bentuk manuskrip/kliping koran/majalah/buku/antologi karya sastra, yang diterbitkan (di mana pun, di dalam atau di luar Kalsel) dalam kurun waktu 1930-1945?

 

3. Tujuan Penggalian

Tujuan penggalian:

1.    Mengumpulkan, mengolah, dan mendeskripsikan nama-nama dan karya sastrawan Kalsel yang menulis karya sastra Indonesia modern sebelum perang (1930-1945).

  1.  Mengumpulkan, mengolah, dan mendata koran/majalah yang menjadi tempat publikasi karya sastra Indonesia modern karya sastrawan Kalsel sebelum perang (1930-1945).

3.    Mengumpulkan, mengolah, dan mendeskripsikan judul buku-buku sastra karya sastrawan Kalsel yang terbit sebelum perang (1930-1945).

  1. Mengumpulkan, mengolah, mendekripsikan, dan mengetik ulang semua jenis karya sastra yang berhasil ditemukan, dalam bentuk manuskrip, kliping koran/majalah dan buku.

 

4. Manfaat Penggalian

Penggalian ini akan bermanfaat untuk:

  1. Referensi bagi mahasiswa dan peneliti lain yang akan membuat karya tulis, skripsi, tesis, disertasi, atau penelitian sejenis di kemudian hari.
  2. Bermanfaat bagi yang ingin mengetahui sastra Indonesia modern di Kalsel sebelum perang (1930-1945).
  3. Bahan masukan bagi instansi pemerintah yang tugas pokok dan fungsinya berkaitan dengan upaya-upaya penulisan buku sejarah kesusastraan Indonesia modern di Kalsel sebelum perang (1930-1945).

 

5. Metodologi Penggalian

5.1. Pendekatan Penggalian

Pendekatan yang dipergunakan dalam penggalian ini adalah pendekatan sejarah sastra, yaitu penelitian yang dilakukan dengan merekontruksi sejarah sastra berdasarkan bahan-bahan dokumentasi yang berisi paparan tentang sastrawan (dokumen yang berisi paparan biografi sastrawan, berita tentang aktivitas sastra/sastrawan), sastra koran/majalah (koran/majalah yang memuat karya sastra), dan sastra buku (dokumen yang berupa buku-buku sastra).

 

5.2. Metode Penggalian

Metode yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif, kepustakaan dan dokumentasi. Dalam hal ini, bahan pustaka dan dokumen (content analysis) dianalisis untuk mengetahui isi yang terkandung di dalamnya (data atau informasi tentang sejarah kesusastraan Indonesia di Kalsel) sebelum perang (1930-1945). Di samping itu, metode wawancara dengan dua orang narasumber yang, selain dikenal sebagai sastrawan, juga dokumentator sastra.

 

5.3. Variabel, Subvariabel, Indikator 

 

 

Variabel

 

 

Subvariabel

 

Indikator

Sejarah Lokal Kesusastraan Indonesia Modern di Kalsel pada masa sebelum perang (1930-1945)

1.   Aspek sastrawan

2. Aspek koran/majalah (sastra pers)   

3. Aspek buku sastra   (sastra buku)

 

  1. Penulis puisi
  2. Penulis prosa fiksi

 

  1. Koran
  2. Majalah
  3. Manuskrip (surat, bahan tertulis lainnya)

 

  1. Buku puisi
  2. Buku prosa
  3. Manuskrip

 

 

5.4. Sumber Data

Di samping koran/majalah, sumber data penggalian ini juga meliputi:

  1. Buku-buku sastra;
  2. Manuskrip (bahan-bahan tertulis yang belum dipublikasikan/dibukukan);
  3. Hasil wawancara dengan dua narasumber: Tajuddin Noor Ganie, M.Pd. dan Maman S. Tawie, sastrawan dan dokumentator sastra Kota Banjarmasin.

 

6. Wilayah Penggalian

Wilayah penggalian meliputi wilayah Kalsel sekarang ini, terutama di daerah yang menjadi kantong-kantong sastra di masa sebelum perang (1930-1945).

 

7. Waktu Penggalian

Waktu penggalian sejak Januari sampai dengan Juli 2011.

 

8. Biaya Penggalian

Biaya penggalian berasal dari Taman Budaya Kalsel Tahun Anggaran 2011.

 

9. Organisasi Penggalian

Susunan organisasi penggalian dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Kepala Taman Budaya Provinsi Kalimantan Selatan Nomor 431.1/0-2/Seni/Disporbudpar/TB/2011 tanggal 10 Juni 2011.

 

1. Pengarah                     : Kepala Taman Budaya Kalimantan Selatan

2. Penanggungjawab         : Kasi Pergelaran dan Pengembangan

3. Ketua                          : Suharyanti, S.Sn

4. Sekretaris                    : Akhmadi, S.Pd

5. Bendahara                   : Hj. Ramnah, S.Pd

6. Dokumentasi                : Drs. Fahrurrazie dan Riduan S.

7. Tim Penggali                : 1. Y.S. Agus Suseno

                                        2. Drs. Mukhlis Maman

                                        3. Aman Waluyo, S.Sn

8. Narasumber                  : 1. Tajuddin Noor Ganie, M.Pd

                                         2. Maman S.Tawie

 

 

 

Bab II

Karya Sastra dan Sastrawan Kalsel

Zaman Belanda (1930-1942)

 

1.1 Sastra koran/majalah

Pada 1909-1916, Alexander W.F. Idenburg menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia. Saat itulah pemerintah kolonial Belanda mulai menerapkan politik etis di tanah jajahannya. Sekolah untuk kalangan menengah pribumi (kaum bangsawan, birokrat, hartawan) mulai dibuka di berbagai kota di Hindia Belanda (Ricklefs, 1994:236).

Tetapi, kebijakan itu dilakukan terbatas hanya di kota-kota besar di Pulau Jawa saja. Di Banjarmasin, situasinya tidak berubah. Terbukti, sampai dengan 1909, sekolah yang ada cuma Sekolah Kelas II. Sekolah itu dibangun 1906 oleh Johannes van Weert, Residen Borneo Selatan (Borsel) [Zuider Afdeling van Borneo]. Sampai dengan akhir masa jabatannya (1911), Johannes van Weert tidak membangun sekolah baru. 

Sekolah HIS (Holland Indische School) baru dibangun di Banjarmasin 1913 oleh Residen L.F.J. Rycman. Dua puluh empat tahun kemudian (1937), Residen Moggenstrom (Saleh, 1979:22), membangun MULO (Midlebaar Uitgebreid Loger Onderwijs). Sehubungan dengan politik etis, Belanda memperbolehkan wartawan pribumi menerbitkan surat kabar berbahasa Indonesia (Melayu).

Suara Kalimantan adalah surat kabar pribumi pertama di Borsel, diterbitkan Anang Abdul Hamidhan di Banjarmasin, 23 Maret 1930 (Artha, 1981:35). Langkah Anang Abdul Hamidhan itu kemudian diikuti wartawan pribumi lainnya. Dalam tempo singkat, 14 koran/majalah terbit di Borsel (1930-1942). Koran/majalah itu menjadi sarana efektif untuk menyebarluaskan pikiran dan perasaan anak bangsa yang terjajah.

Saat narasumber mewawancarai Artum Artha (20 Desember 1992), diceritakan bahwa, selain berita, hampir semua surat kabar yang terbit tahun 1930-an juga memuat karya sastra berbahasa Indonesia (Melayu). Contohnya, Bintang Borneo, 15 September 1930, yang memuat puisi karya “Anak Martapura” (nama samaran), ini:

 

BANGSAKU SADARLAH

 

Bangun bangsaku janganlah malas

Bahana Merdeka sangatlah jelas

Bangsa tertindas asyik membantras

Bagi segala kungkungan yang pantas

Ambilah haluan yang berbahagia

Arah tujuan ikutlah Jawa

Apa bila kita tidak seia

Amblas kita di dalam gelora

Nah, sekarang Kalimantan dimaksud

Negeri kita mesti bersujud

Ngabdikan badan agar serajud

Nasihat ibu suatu rajud

Gayakan zaman sudah dirasa

Getir dan pahit jangan dikata

Gunakan waktu kata bujangga

Girangkan hati bila bekerja

 

Suluh itulah suatu obor

Sinarnya terang tidaklah kabur

Suburkan onderwijs yang masih diatur

Supaya kita jangan teledor

 

Ajaklah saudara suka berkumpul

Asah otak mana yang tumpul

Arahkan haluan kepada yang kepul

Agar terjadi maksud yang betul

 

Ketinggian derajat diselami serta

Kalimantan kita gelap gulita

Kirimkan obor penerang mata

Kalungkan tenaga dan ilmu kita

 

Usahlah saya berpanjang madah

Uraikan syair ini bukanlah indah

Umum hendaknya jadi pepadah

Usahakan agar jangan direndah

 

Salam dariku

Anak Martapura 

(Teks asli puisi ditulis dengan ejaan Van Ophnysen.)

 

Selanjutnya, 13 November 1930, Bintang Borneo kembali memuat puisi karya “AM” (Anak Martapura):

 

SEMANGAT NASIONAL

 

Salam takzim penulis ucapkan

Saudara sekalian penulis pohonkan

Suka mengampuni kalau kesalahan

Selalu jangan hati sisipkan

 

Esa dan empat jadilah lima

Engku dan enci marilah bersama

Enakkan kali zaman drama

Embuskan kolot sifat yang lama

Malaise sekarang sudah memulas

Menyuruh bekerja janganlah malas

Mata pencaharian sangat terpulas

Maju bersatu mufakat sebelas

 

Aduhai saudara putra dan putri

Adakah sedih dipikirkan ini

Akan bangsa kita hampirlah mati

Awan malaise yang telah mengelubungi

Nasibnya sekarang amatlah ado

Nyatalah sudah di ini solo

Nah, intelectuelien perlu membantu

Nasibnya rakyat jangan dipaku

 

Gareng dan Petruk sudah katakan

Gara-gara kelaparan bakal kejadian

Guruh dan kilatnya sudah kelihatan

Gagahkan lekas dirinya intelectuelin

 

Adalah kerap kali orang berkata

Ada memuji dirinya semata

Akan ia sebagi pemuka

Aduhai sebenarnya itu tiada

 

Teradat sekarang harus dikenal

Tak usah mengingat miring diagonal

Terutama membantu teman dan kawal

Terharusnya sekarang janganlah gagal

 

AM (Anak Martapura) 

(Teks asli puisi ditulis dengan ejaan Van Ophnysen.)

 

September 1932, surat kabar Suara Kalimantan memuat puisi karya “Pembaca” (nama samaran), alias “IAB” (inisial nama penyair):

 

SYAIR TIGA SEJALAN

 

Banjar itu ibuku

Tanah tumpah darahku

Kalimantan menjadi suku

Indonesia jumlah bangsaku

 

Kejadian baru berselang

OKL suara garang

Bangsa Banjar diserang

Dihina di muka orang

 

Kita tidak bersalah

Tentu berhati susah

Orang boleh timbanglah

Betapa rasanya gundah

 

Ampun sudah diminta

Oleh OKL nyata

Diberi oleh comite

Entahlah pada semua

 

Comite tidak paksakan

Kepada kita sekalian

Masing-masing ada persamaan

Janganlah jadi sesalan

Ampun comite beri

Itu kita hormati

Menonton dada musti

Kita timbang sendiri

 

Ampun tidak bersangkut

Kepada menonton turut

Masing-masing tidak dipaut

Merdeka untuk menyahut

 

Kita menonton tidak

Tiada siapa boleh memaksa

Kendati selama-lama

Tidak orang mencerca

 

Jangan kita salahkan

PPBB punya pendirian

Siapa pun menyingsing tangan

Berantas itu penghinaan

 

Ampunan tidak diminta

Oleh PPBB comite

Melainkan OKL nyata

Mengaku benar berkata

 

OKL telah mengaku

Permintaan ampun dahulu

Berputar belit melulu

Dibetulkan segala itu

 

Ini terdengar lagi

Eendracht itu komidi

Coba adakan premi

Buat memikat hati

 

Itu juga terserah

Pada pembaca madah

Mau atau tidakkah

Rasa masing-masinglah

Kalau rasanya senang

Sudah dipikir tenang

Juga tiada terlarang

Oleh segala orang

 

Pikir-pikir sendiri

Nasihat Bung* tempo hari

Dalam ovenbaarverg tadi

Boleh timbang di hati

 

Nasihat lipat berganda

Sudah kita terima

Suruh tegah pun tidak

Masing-masing hati merdeka

 

Melihat pemandangan lalu

Banjar merasa tentu

Nama bangsa diganggu

Sabar rupanya perlu

 

Dengan adanya sabar

Tidak rusuh berkabar

Biarkan hati berdebar

Tiada menjadi onar

 

Penutup ini tulisan

Syair tiga sejalan

Syukur kita ucapkan

Bangsaku sabar perasaan

 

Derajat kepada bangsa

Segenap pelosok dunia

Dijunjung oleh anaknya

Dipuja pada hatinya

 

Selamat kita ucapkan

Kepada pembaca sekalian

Saudaraku se kalimantan

Terimalah salam kebangsaan

 

                                                IAB

*Bung = merujuk kepada nasihat AA Hamidhan di ovenbaarvergedering PPBB

(Teks asli puisi ditulis dengan ejaan Van Ophnysen.)

 

Dari penjelasan Artum Artha dapat disimpulkan, surat kabar Suara Kalimantan dan Bintang Borneo (Banjarmasin) menandai awal kesusastraan Indonesia modern di Borsel (Kalsel sekarang).

Sejarah penerbitan surat kabar di Borsel sebetulnya sudah dimulai 1905. Saat itu, Mozes Neis menerbitkan Sinar Borneo, dan Liem Kok In menerbitkan Pengharapan. Namun, dua surat kabar itu bukan milik pribumi. Mozes Neis, pendiri dan pemilik Sinar Borneo, orang Belanda, sementara Liem Kok In, pendiri dan pemilik Pengharapan, orang Tionghoa (Artha, 1981:37). Mozes Neis, sesuai kebangsaannya, lebih memihak kepentingan pemerintah kolonial Belanda daripada kepentingan pribumi, sementara Liem Kok Ie lebih tertarik menjadi warga negara Republik Rakyat Cina (yang saat itu baru diproklamasikan Dr. Sun Yat Sen), daripada menjadi warga negara Republik Indonesia (yang saat itu masih wacana).

Selain tidak sepenuhnya mengunakan bahasa Indonesia (Melayu), Sinar Borneo dan Pengharapan tidak memuat berita, feature, opini, dan karya sastra dengan semangat Sumpah Pemuda, ide-ide nasionalisme bangsa Indonesia, atau gagasan Indonesia merdeka.

Ketika Anang Abdul Hamidan menerbitkan Suara Kalimantan, bangsa Indonesia yang tinggal di Borsel -- seperti warga Hindia Belanda lainnya -- sedang dimabuk euforia Sumpah Pemuda, yang diikrarkan pada Kongres Pemuda di Jakarta, 28 Oktober 1928. Dapat dipahami jika berita, feature, opini, dan karya sastra di koran/majalah milik pribumi yang terbit di Borsel, tersirat maupun tersurat, diisi semangat Sumpah Pemuda, ide nasionalisme dan gagasan Indonesia merdeka.

Mula-mula, sastrawan Borsel mengawali terbentuknya sastra koran/majalah dengan memanfaatkan kolom-kolom di koran/majalah sebagai media publikasi.

Koran/majalah yang terbit di Borsel dalam kurun waktu 1930-1942 sebanyak 14 buah, yakni:

  1. Suara Kalimantan (Banjarmasin, 1930).
  2. Bintang Borneo (Banjarmasin, 1930).
  3. Malam Jum’at (Banjarmasin, 1930).
  4. Suara Nachdlatul Ulama (Barabai, 1935).
  5. Canang (Banjarmasin, 1936).
  6. Semarak (Banjarmasin, 1936).
  7. Bingkisan (Banjarmasin, 1937).
  8. Utusan Kalimantan (Banjarmasin, 1937).
  9. Panggilan Waktu (Kotabaru, 1937).

10.  Kesadaran Kalimantan (Banjarmasin, 1938).

11.  Panca Warna (Banjarmasin, 1938).

12.  Pelita Masyarakat (Banjarmasin, 1938).

13.  Perintis (Banjarmasin, 1930-1940).

14.  Suara Musyawaratthothalibin (Kandangan, 1939-1940).

 

Kehadiran koran/majalah di atas telah menciptakan situasi yang kondusif bagi lahirnya kelompok sastrawan Borsel zaman Belanda (1930-1942). Selain di media cetak lokal, mereka juga memublikasikan karyanya di koran/majalah yang terbit di luar daerah, yakni:

  1. Majalah Terang Bulan (Surabaya).
  2. Majalah Mandau (Surabaya).
  3. Majalah Al Bayan (Samarinda).
  4. Majalah Palang Merah (Medan).
  5. Majalah Abad Dua Puluh (Medan).
  6. Majalah Keinsyafan (Gorontalo).
  7. Majalah Sastrawan (Malang).
  8. Majalah Pustaka Timur (Yogyakarta).   

 

1.2 Sastra buku

Buku sastra hasil karya sastrawan Borsel yang terbit dalam kurun waktu 1930-1942 ada 13 judul, semuanya berbentuk roman/novel, yakni:

  1. Kucing Hitam, Abdul Hamid Utir (Banjarmasin, 1930).
  2. Percintaan yang Membawa Korban, Abdurrahman Karim (Kotabaru, 1937).
  3. Air Mata Nurani, Ramlan Marlim, (Yogyakarta, 1937).
  4.  Asmara Suci, Gusti Abubakar, (Banjarmasin, 1939).
  5. Amanat Ibu, Hasan Basry, (Kandangan, 1939).
  6. Tersalah Sangka, Sarasakti, (Banjarmasin, 1939).
  7. Berlindung di Balik Tabir Rahasia, Merayu Sukma, (Penerbit Cerdas, Medan, 1940).
  8. Kunang Kunang Kuning, Merayu Sukma, (1940).
  9. Menanti Kekasih dari Mekah, Merayu Sukma, (1940).
  10. Sinar Membuka Rahasia, Merayu Sukma, (Penerbit Cerdas, Medan, 1940).
  11. Teratai Terkulai, Merayu Sukma,  (Penerbit Dunia Pengalaman, Solo, 1940).
  12. Yurni Yusri, Merayu Sukma, (Penerbit Penyiaran Ilmu, Ford de Kock, 1940).
  13. Suasana Kalimantan, Hadharyah M Sulaiman, (Penerbit Cendrawasih, Medan, 1941).

            Tahun 1930-an, ketika sastrawan Borsel zaman Belanda mulai memublikasikan karyanya, pemuda seusia mereka sedang menyambut Sumpah Pemuda. Karya sastra yang ditulis dan dipublikasikan di koran/majalah, secara tematis, selaras dengan semangat zaman yang mengungkapkan impian anak bangsa untuk memiliki tanah air merdeka, yang terbebas dari kolonial.

Tapi, impian itu tidak dapat diungkapkan dengan leluasa. Sastrawan yang berani menulis karya kritis, yang oleh Belanda dinilai “subversif”, akan ditangkap. Mereka akan dituduh melakukan “delik pers”, dan dipenjara.

Berkaitan dengan penerbitan roman/novel Amanat Ibu (Hassan Basry, Kandangan, 1939), dan Suasana Kalimantan (Hadharyah M Sulaiman, Medan, 1941), petugas PID Belanda telah berusaha menangkap keduanya. Belanda gagal menangkap Hassan Basry, tapi berhasil menangkap Hadharyah M Sulaiman. Tahun 1942, Hakim J.B. Kan,  yang mengadili Hadharyah M. Sulaiman (di Landraad Banjarmasin) menjatuhkan vonis 4 tahun penjara. Upaya banding, yang dilakukan Hadharayah M Sulaiman, ditolak Landraad Surabaya.

Terkait kasus yang sama, Matumona, pemilik perusahaan percetakan Cenderawasih (Medan) juga ditangkap dan diadili (di Landraad Medan). Matumona dituduh ikut menyebar-luaskan pikiran-pikiran “subversif” Hadharyah M Sulaiman. Demi melindungi dirinya dari incaran petugas PID, sastrawan zaman itu umumnya memakai nama samaran (psedonim).

Dalam perjuangan memerdekakan tanah air, sastrawan Borsel zaman Belanda (1930-1942) menulis karya sastra dengan visi dan misi menggugah rasa cinta kepada tanah air (nasionalisme), dan menumbuhkan sikap antipati terhadap kolonial.

 

1.3 33 sastrawan

Berdasarkan bahan-bahan yang berhasil dikumpulkan, diketahui bahwa sastrawan Borsel zaman Belanda (1930-1942) berjumlah 33 orang, yakni:

  1. Abdul Hamid Utir.
  2. Abdul Jabbar.
  3. Abdul Muin Cuty.
  4. Abdurrahman Karim.
  5. Ahmad Basuni.
  6. Amir Hassan Bondan.
  7. Anak Martapura.
  8. Arsyad Manan.
  9. Artum Artha.
  10. Asmail Gafury.
  11. Asnawi Rais.
  12. Darmawi Saruji.
  13. Gusti Abdul Malik Thaha.
  14. Gusti Abdurrahman.
  15. Gusti Abubakar.
  16. Gusti Mayur.
  17. Hadharyah M. Sulaiman.
  18. Hamdi Redwansyah.
  19. Harun Muhammad Arsyad. 
  20. Haspan Hadna.
  21. Hassan Basry.
  22. HMAS Amandit.
  23. Kasyful Anwar.
  24. IAB alias Pembaca.
  25. M. Yusuf.
  26. Masdari.
  27. Merah Daniel Bangsawan.
  28. Merah Johansyah.
  29. Merayu Sukma.
  30. Muhammad Yusuf Aziddin.
  31. Ramlan Marlim.
  32. Sarasakti.
  33. Zafry Zamzam.

Merekalah sastrawan yang mengawali sastra modern (berbahasa Indonesia) di Borsel, sebelum Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945.

 

 

Bab III

Karya Sastra dan Sastrawan Kalsel

Zaman Jepang (1942-1945)

 

1.1 Sastra koran/majalah

Selama zaman Jepang (1942-1945), gairah bersastra di Kalsel didukung 6 koran/majalah yang membuka rubrik sastra secara berkala, yakni:

  1. Surat kabar Kalimantan Raya (Banjarmasin).
  2. Majalah Purnama Raya (Kandangan).
  3. Majalah Puspa Wangi (Kandangan).
  4. Majalah Pawana (Rantau).
  5. Surat kabar Borneo Shimbun (Banjarmasin).
  6. Surat kabar Borneo Shimbun (Kandangan).

Koran/majalah tersebut telah menciptakan kondisi bagi lahirnya kelompok sastrawan Kalsel zaman Jepang (1942-1945).

Pada 10 Februari 1942, tanpa perlawanan berarti, pasukan Kaigun/Rikugun Jepang merebut Banjarmasin dari Belanda. Namun, sebelum jatuh ke tangan Jepang, Belanda telah membumihanguskan sarana dan prasarana vital di Banjarmasin. Percetakan Suara Kalimantan milik AA Hamidhan juga menjadi sasaran pengrusakan. Setelah berusaha keras, AA Hamidhan berhasil memperbaiki mesin cetaknya dan (5 Maret 1942) menerbitkan kembali Kalimantan Raya.

Tetapi, tidak lama berselang, komandan pasukan Kaigun/Rikugun Jepang melarang penerbitan Kalimantan Raya. AA Hamidhan dan wartawan lainnya dipekerjakan di Borneo Shimbun (Banjarmasin), di bawah kendali Jepang. Hal yang sama juga terjadi pada wartawan Majalah Purnama Raya (Kandangan), Majalah Puspa Wangi (Kandangan), dan Majalah Pawana (Rantau). Mereka dilarang menerbitkan majalahnya, dan dipekerjakan di Borneo Shimbun (Kandangan).

Akibatnya, tak ada pilihan lain bagi sastrawan Kalsel, kecuali memublikasikan karyanya di Borneo Shimbun (Banjarmasin dan Kandangan). Kendati demikian, kalangan sastrawan cukup terkesan dengan sikap wartawan Jepang. Meskipun dikontrol, tapi Jepang memberikan honorarium kepada sastrawan yang karyanya dimuat di Borneo Shimbun. Menurut Artum Artha, honor sebuah puisi saat itu antara 3-4 ringgit, cerpen 10 ringgit (Tabloid Wanyi, Banjarmasin, Edisi 12/Tahun 1/16, September 1999:6). Alhasil, sastrawan Kalsel tertarik memublikasikan karyanya di media propaganda itu. Merekalah sastrawan Kalsel zaman Jepang (1942-1945).

Selain memublikasikan karyanya di Borneo Shimbun (Banjarmasin dan Kandangan), sastrawan Kalsel juga memublikasikan karyanya di koran/majalah yang terbit di luar daerah, yakni:

  1. Majalah Waktu (Medan).
  2. Majalah Taman Siswa (Medan).
  3. Majalah Panca Warna (Medan).
  4. Majalah Bhakti (Denpasar).
  5. Majalah Kebudayaan Timur (Jakarta).
  6. Majalah Pustaka Timur (Yogyakarta).
  7. Majalah Terang Bulan (Surabaya).
  8. Majalah Sastrawan (Malang).

Semua koran/majalah tersebut juga di bawah pengawasan Jepang. Bahkan, Majalah Kebudayaan Timur (Jakarta) dan Majalah Pustaka Timur (Yogyakarta) diterbitkan Jepang sendiri. Akan tetapi, koran/majalah itu, langsung maupun tidak langsung, telah menciptakan situasi yang kondusif bagi lahirnya sastrawan Kalsel zaman Jepang (1942-1945).

2.2 Sastra buku

2.2.1 Roman/novel

1.  Putra Mahkota yang Terbuang, Merayu Sukma (Penerbit Syaiful, 1942).

Merayu Sukma merupakan satu-satunya sastrawan Kalsel yang menerbitkan roman/novelnya di zaman Jepang (1942-1945). Namun, Merayu Sukma adalah sastrawan Kalsel zaman Belanda (1930-1942). Roman/novel Merayu Sukma dapat terbit, lantaran isinya tidak bertentangan dengan ketentuan yang ditetapkan Keimin Bunka Shidobo (Pusat Kebudayaan Jepang).

2.2.1 Drama

1.    Pandu Pertiwi, Merayu Sukma, (Penerbit Majalah Kebudayaan Timur, Jakarta, 1943).

Naskah drama Merayu Sukma tersebut merupakan pemenang sayembara yang diadakan Keimin Bunka Shidobo. Pandu Pertiwi adalah naskah drama sastrawan Kalsel pertama yang diterbitkan di luar daerah.

 

2.3 17 sastrawan

Berdasarkan bahan-bahan yang berhasil dikumpulkan, sastrawan Kalsel generasi zaman Jepang (1942-1945) berjumlah 17 orang, yakni:

  1. Abubakar Razi.
  2. Ahmad Samidri.
  3. Ahmad Zakaria (Ahzar).
  4. Aliansyah Ludji.
  5. Anggraini Antemas.
  6. Asyikin Noor Zuhry.
  7. Fakhruddin Mohani.
  8. Gusti Maswan.
  9. Husien Razak.
  10. Ilham Se Banjar.
  11. Maseri Matali.
  12. SM Darul.
  13. Sir Rosihan.
  14. Syahran Syahdan.
  15. Tamar Eka.
  16. Zafury Zumry.
  17. Zainal.

 

 


Bab IV

Sejumlah Nama dan Karya Sastrawan Kalsel

        Keterbatasan waktu dan minimnya anggaran membuat penggalian tak dapat dilakukan maksimal. Masih banyak karya sastrawan Kalsel zaman Belanda (1930-1945) dan zaman Jepang (1942-1945) yang, akibat keterbatasan itu, tak dapat ditemukan dalam penggalian ini. Karya sastrawan Kalsel yang hidup dan berkarya di dua zaman itu sesungguhnya masih dapat dilacak di perpustakaan, lembaga arsip dan dokumentasi, sekurangnya di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Perpustakaan Nasional RI dan Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) H.B. Jassin (semuanya di Jakarta).

            Di bawah ini, sebagian nama dan karya sastrawan Kalsel yang dapat dikumpulkan.

 

Anak Martapura

Biografi kesastrawanan “Anak Martapura” (nama samaran) yang lengkap, sulit ditemukan. Menulis karya sastra, terutama puisi, sejak 1930-an. Pada 15 September 1930, puisinya, Bangsaku, Sadarlah, terbit di Bintang Borneo (Banjarmasin). Puisi tersebut menjadi bukti, bahwa sejak 1930-an sudah ada sastrawan Kalsel yang menulis puisi modern dalam bahasa Melayu (embrio bahasa Indonesia). Puisi itu juga menandakan Bintang Borneo sebagai awal mula sejarah lokal sastra koran/majalah di Kalsel tahun 1930-an.

 

IAB alias Pembaca

Sama halnya dengan “Anak Martapura”, biografi kesastrawanan “IAB” (inisial) alias “Pembaca” (nama samaran) sulit ditemukan. Menulis karya sastra, terutama puisi, sejak 1930-an. September 1932, puisinya, Syair Tiga Sejalan, terbitt di Suara Kalimantan (Banjarmasin). Puisi itu juga menandakan Suara Kalimantan sebagai awal mula sejarah lokal sastra koran/majalah di Kalsel tahun 1930-an.

 

Hadharyah M. Sulaiman

Hadharyah M. Sulaiman (HMS) dilahirkan di Marabahan (Kabupaten Barito Kuala sekarang), 1905. Menulis cerpen, puisi, roman/novel, sejak 1930-an. Sering menggunakan nama samaran Harya Margana (Artha, 1992: wawancara, 20 Desember 1992). Selain menulis puisi, ia aktivis pergerakan dan pejuang kemerdekaan. Setelah Indonesia merdeka, menjadi Bupati Barito Kuala dan Bupati Kapuas. Di bawah ini dua buah puisinya:

 

Hadharyah M. Sulaiman 

MIMPI

 

Kusangka buah kelapa gading

Kiranya buah kopi juga

Kusangka tuah duduk bersanding

Kiranya buah mimpi saja 

 

(Koleksi Artum Artha, 1983)

 

 

CITA-CITA 


Angin topan ombak lautan

Gulung-gemulung menebah pantai

Cita-cita sepanjang zaman

Bebas berjuang melepas rantai 

 

(Koleksi Artum Artha, 1983)

 

 

Merah Johansyah

Merah Johansyah (MJ) adalah anak Merah Nadalsyah (MN), pamongpraja asal Pagarruyung, Sumatera Barat. Konon, setelah diasingkan Belanda ke Bengkulu, MN membawa isterinya merantau ke Kalsel. Setelah menetap di Tanjung (Kabupaten Tabalong sekarang), lahirlah MJ (Antemas, 1986:26).

Ia diperkirakan lahir 1908. Setelah menyelesaikan pendidikan di HIS, melanjutkan pendidikan di OSVIA, Makassar. Tahun 1928, menggantikan ayahnya memimpin Majalah Mingguan Bond Inlandische Ambtenaren (BIA) [Kandangan] (Antemas, 1986:27). Sejak itu, ia aktif sebagai wartawan, di samping sebagai ambtenaar (pegawai negeri sipil pemerintah Belanda).

Di Banjarmasin, ia mendirikan Majalah Utusan Kalimantan (1930), Majalah Panca Warna (1932-1935) dan Majalah Canang (1935). Menulis cerpen dan puisi sejak 1930-an, dipublikasikan di media cetak yang dipimpinnya. Nama samaran yang dipakainya sebagai sastrawan Melatika Jaya (Artha, 1992: Wawancara, 20 Desember 1992). Mengingat latar belakang pendidikannya yang tinggi, dapat dipahami jika dalam usia muda ia menjadi tokoh terkemuka di zamannya.

Tahun 1930, ia ikut mendirikan Partai PBI (Persatuan Bangsa Indonesia) di Kandangan, dan, di puncak kariernya, menjadi Komisaris Partai PBI Kalimantan (Antemas, 1986:27). Kesibukannya sebagai pemimpin partai politik membuatnya lupa pada statusnya sebagai pegawai negeri sipil.

Tahun 1937, Belanda mengasingkannya ke Surabaya. Ia dicap sebagai pegawai negeri sipil pembangkang dan membahayakan. 1938, ia kembali ke Kalsel, bekerja sebagai anggota Dewan Kota (Staads Geemente) Banjarmasin. Hanya orang dengan status istimewa yang dapat menduduki jabatan tersebut (Saleh, tanpa tahun: 38). Ia meninggal dunia di Kandangan, 8 April 1942 (Antemas, 1986:27). Di bawah ini dua buah puisinya:

 

Merah Johansyah 

WANGI

Bau wangi puas puspita

Semerbak bau menyebar wangi

Dahulu mendaki kita menuju

Mencipta raya ibu pertiwi 

 

(Koleksi Artum Artha, 1983)

 

 

TANAH AIR

 

Nyiur melambai laut bergelora

Awan berarak merah putih

Burung berkicau menari-nari

Itulah suara Indonesia Putera

Barisan bergerak cinta kasih

Menjunjung bakti ibu pertiwi 

 

(Koleksi Artum Artha, 1983)

 


 Abdul Jabbar

Abdul Jabbar (AJ) dilahirkan di Kandangan (Kabupaten Hulu Sungai Selatan sekarang), 1910, bekerja sebagai wartawan. Mulai menulis puisi sejak tahun 1930-an. Publikasi karyanya, antara lain, di Majalah Suara Musyawaratthothalibin (Kandangan, 1930), Majalah Terang Bulan (Surabaya, 1939), Majalah Purnama Raya (Kandangan, 1943), dan Kalimantan Berjuang (Banjarmasin, 1947).

Ia sering menggunakan nama samaran Asmara Jaya (Artha, 1992: wawancara, 20 Desember 1992). Pada kurun waktu 1930-1947, bekerja sebagai wartawan Majalah Suara Musyawaratthothalibin (Kandangan, 1930), Majalah Republik (Kandangan, 1946), dan Pemimpin Umum Kalimantan Berjuang (Banjarmasin, 1947). Karena profesinya itu, ia berkali-kali harus berurusan dengan aparat keamanan Belanda. Di bawah ini dua buah puisinya:

 

Abdul Jabbar 

MELATI 

 

Engkau melati putih suci

Hidup bersama mawar desa

Ingin bahagia hidup berbakti

Kepada bangsa nusa tercinta 

 

(Koleksi Artum Artha, 1983)

 

 

MERPATI

 

Merpati terbang bebas di awan

Awan biru di lintasannya

Janji bebas dalam perjuangan

Kawan bersatu membela bangsanya 

 

(Koleksi Artum Artha, 1983)

 

 

Merayu Sukma

Merayu Sukma dilahirkan di desa Seberang Masjid, Banjarmasin, 1914. Nama aslinya Muhammad Sulaiman. Menulis karya sastra sejak 1930-an. Publikasi karyanya, antara lain, di Majalah Pelita Masyarakat (Banjarmasin, 1935-1936), Majalah Kebudayaan Timur (Jakarta, 1943), Majalah Sastrawan (Malang, 1946), dan Majalah Suara Asia (Jakarta).

Di zaman Belanda, roman/novelnya terbit di Medan, yakni: Kunang Kunang Kuning; Berlindung di Balik Tabir Rahasia; Menanti Kekasih dari Mekah; Teratai Terkulai; Yurni Yusri; Sinar Memecah Rahasia; dan Putra Mahkota yang Terbuang. Naskah dramanya, Pandu Pertiwi, pemenang pertama sayembara menulis naskah drama yang diselenggarakan Keimin Bunka Shidoso (Pusat Kebudayaan Jepang) Jakarta (1943), diterbitkan Majalah Kebudayaan Timur (bersama naskah Bende Mataram Arifin K. Utoyo).

Pada 1945, ia hijrah ke Malang, mendirikan Majalah Sastrawan (1946), dan menerbitkan antologi puisi Jiwa Merdeka (Penerbit Sumi, Malang, 1946). Roman/novelnya yang terbit di Medan kurun waktu 1945-1949 adalah Jurang Meminta Kurban; Dalam Gelombang Darah; Gema dari Menara; Mariati Wanita Ajaib; dan Kawin Cita-cita. Ia meninggal dunia di Malang, 11 Maret 1951. Pada 17 Agustus 1980, mendiang mendapat Hadiah Seni (bidang sastra) Gubernur Kalsel (Soebardjo Soerjosaroso).

Berikut ini sejumlah puisi dan fragmen roman/novelnya.

 

Merayu Sukma 

DI  SUNGAI MARTAPURA

 

Sebentar kuning keruh airnya

Di kala sepi jernih kemilau

‘Gitu air sepanjang masa

Mengalirkan jasa bagi manusia

Purnama menyibak sungai Martapura

Air melaju membawa teratai

Semoga mulia jasamu air

Teladan manusia berjuang senantiasa 

 

(Koleksi Artum Artha, 1983)

 

 

OMBAK SAMUDERA

 

O, nelayan lautan

Dari Malukukah?

Halmaherakah?

Atau kau anak Jasa Sundakah?

 

O, satukan barisan tuju laut bebas

Ombak dapat ditempuh

Gelombang dapat dilewati

Karang-karang laut dapat dihancurkan

Lekas! Kembangkan layar bebas

Ke pantai kita menyanyikan lagu

Lagu kebangsaan Indonesia Raya 

 

(Koleksi Artum Artha, 1983)

 

 

TEKANAN SUNYI

 

Tahukah tuan betapa duka

Kesenian rasa dilukiskan sunyi

Sayatan irama laguan nyanyi

Mereka ke jantung yang rindu dendam?

O, betapa hancur, betapa luluh

Hati nan rindu di kerling gemerlap

Mata kekasih di khayal senyap

Di gua kenangan tidak bersuluh? 

 

(Majalah Pujangga Baru, Jakarta, Edisi Nomor VII, 1-2 Juli-Agustus 1940)

 

 

SULING PUJANGGA BARU

 

Di tengah malam sunyi senyap

Kudengar sedih suling maratap

Meniup hatiku jauh ke sana

Jauh ke lembah gundah gulana

 

Kudengar sedih suling meratap

Menggolong sedan tingkahan gelap

Membangun rasa sedar dan insaf

Menggerak ke jiwa yang tidur lelap

O, suling

Suling pembangun rasa

Bunyian pusaka bangsa

Seni nyaring

Bunyimu menggelatar ke angkasa

Menggetarkan laguan kebangunan masa 

 

(Majalah Pujangga Baru, Jakarta, Edisi Nomor VIII, 7 Januari 1941)

 

 

TAMAN SISWA

 

Dewangga pagi … menjelma rama-rama

Masuk ke taman menyeri madu

Tercium mengharum puspa pustaka

Cantik meresik putik baru

 

Bertanyalah rama-rama dengan berahi

“Puspa mengwarna luar biasa

Putik baru segar berseri

Apakah sebab seindah jelma?”

Puspa terangguk indah bermadah:

“O, rama-rama, kalau mata hati

Sudah cerah mencurah hati

Taman pun rimbun indah bermegah”

 

“Lah, tiga abad taman berlumpur

Berat sarat puspa merana

Layu kering diinjak “buta”

Sekarang dijelang sempana surya

Dari lumpur derita siksa

Menyongsong sinar ke makmur subur”

Naiklah naik wangian warna

Semerbak semarak diarak lagu

Gembira menyongsong pancaran pagi

Naik bergulung di asap setanggi

 

Setanggi Timur, unggunan pandu

Membubung raksi di Indraloka 

 

 

GUA SUNYI

 

Di gua sunyi

tak lama di sini

cahaya menembus alam

hati berlagu kelam

 

Ada suara nyanyi merpati

terbang tembus masuk gua

mata hati terus mencari

ingin kutahu dendang dunia

 

Ingin kutahu gelora dunia

dewa sastra menggubah bahasa

Gua sunyi tempat pujangga

langgam bahasa kata sastra

 

Di antara langit dan bumi

gembira terbang burung merpati

menyanyikan lagu pujangga pertiwi

lagu bersatu pujangga baru

 

Di gua jauh terpisah

di luar air gunung berdesau

Aku berdiri, siapa yang resah

di gua batu-batu kemilau

 

1933

 

 

DI PASEBAN AGUNG

 

Dalam dewan penata negara

Duduklah putra cerdi utama

Ahli ahama turut bersila

Untuk merembuk kemakmuran bersama

 

Inilah karunia Yang Maha Mulia

Tanda cinta tiada berhingga

Kepada segala putra Ibunda

Supaya teguh bakti setia

 

(Almenak Suara Asia, 1944)

 

 

HIDUP MENANTI DI GUA SUNYI

 

Hidup di sini terasa sunyi

sukma berlagu dan bernyanyi

terpijak tanah

dunia ini milik Ilahi

Kau turunkan rahmah rejeki

 

Ketika mentari tiba

Kaulah pemancar cahaya

berkilau tertawa

hanya kami anak manusia

hidup di sini menanti mati

 

Tuhan!

Berilah manusia segala firman

dia menghadap wajah Tuhan!

Berilah cahaya

Hidup di gua sunyi

Lama menanti cuaca!

 

(Majalah Terang Bulan, Surabaya, Desember 1939)

 

 

DI TAMAN PUSPA 

 

Dewangga pagi … menjelma rama-rama

Masuk ke taman menyeri madu

Tercium mengharum puspa pustaka

Cantik meresik putik baru

Bertanyalah rama-rama dengan berahi

“Puspa mengwarna luar biasa

Putik baru segar berseri

Apakah sebab seindah jelma?”

 

Puspa terangguk indah bermadah:

“O, rama-rama, kalau mata hati

Sudah cerah mencurah hati

Tamanpun rimbun indah bermegah”

 

“Lah, tiga abad taman berlumpur

Berat sarat puspa merana

Layu kering diinjak “buta”

Sekarang dijelang sempana surya

Dari lumpur derita siksa

Menyongsong sinar ke makmur subur”

 

Naiklah naik wangian warna

Semerbak semarak diarak lagu

Gembira menyongsong pancaran pagi

Naik bergulung di asap setanggi

Setanggi Timur, unggunan pandu

Membubung raksi di Indraloka 

 

(Almenak Suara Asia, 1944)

 

 

Fragmen Roman/Novel

Menanti Kekasih dari Mekkah

Merayu Sukma

 

 Bagian Keempat

  1. Rawan-Hiba Meninggalkan Indonesia

        “SAYA hendak menunaikan rukun Islam yang kelima,” demikian ujar Rizali Hadi alias Rawan-Hiba, berkata kepada saya (penyusun cerita ini) seketika saya bertemu dengan dia yang paling akhir di Malang.

                “Dan Penerbit & Pustaka CENDEKIA siapa yang mengurusnya?” tanya saya dengan merasa heran mendengar dia tiba-tiba saja hendak pergi berjalan jauh itu.

                “Sudah saya jual kepada seorang kaya di kota ini,” jawab Rizali dengan tenang. “Dan rumah serta tanah kepunyaan Tengku Abdul Halim itu sudah akan dibelinya pula.”

                “Bilakah saudara akan pergi ke Mekah?” tanya saya dan merasa sedih akan ditinggalkan oleh seorang sahabat yang baik hati itu.

                “Kalau tak ada aral, Insya Allah di dalam bulan ini juga.”

                “Dengan siapakah saudara akan pergi?”

                “Dengan segenap ............ beban penderitaku .........tiada semuanya akan saya bawa, tiada yang akan saya tinggalkan, biarlah sekalian penanggungan saya bawa pergi berhaji. Saya hidup di dunia sebatang kara, tiada sanak tiada saudara, hanya selalu BERTEMAN dengan penderitaanku, kemelaratan dan kemalangan. Oleh sebab itu kepergianku ke Tanah Suci akan bersama-sama ........ dengan TEMAN-TEMANKU itu pula.”

                Saya termenung mendengar ucapannya yang aneh itu. Saya pun tiada memajukan pertanyaan apa-apa lagi, sebab saya lihat dia sedang terharu benar pikirannya. Saya yang telah banyak mengetahui perjalanan hidupnya, sudah maklum apa yang menyebabkan dia berhal demikian itu. Dia sudah banyak menceritakan riwayat hidupnya kepada saya, tentang penderitaannya. Jadi ucapannya yang aneh tadi telah sebagai penambah beberapa keterangan yang telah diberikannya kepada saya, yang saya susun di dalam cerita ini. Jadi cerita ini hanyalah susunan, bukanlah karangan saya, saya hanya sebagai penyusun, dan mengumpulkan keterangan-keterangan yang saya dapat dari mereka yang memegang lakon dalam roman ini.

                Saya mengerti duduknya perkara yang menyebabkan Rizali tiba-tiba hendak pergi meninggalkan tanah Indonesia, ialah karena baginya barangkali kesedihannya telah sampai di puncaknya setelah mendengar kabar bahwa kekasihnya Mastika Halim akan mendapat jodoh. Sebab baru-baru ini ada menerima sepucuk surat dari sahabat saya Tengku Abdul Halim, mengabarkan bahwa dia sekarang menetap tinggal di kota Medan, tiada akan kembali lagi ke Malang, dan dikabarkannya pula, bahwa Mastika anak gadisnya itu akan dipinang oleh seorang pemuda familinya juga.

                Rizali Hadi yang akan berangkat ke Tanah Suci itu saya antarkan sampai di pelabuhan Tanjung Perak. Titik air mata saya ketika menjabat tangannya yang penghabisan. Dia berjanji akan selalu berkirim surat kepada saya, biar saya dapat lengkap mengetahui segala perjalanan hidupnya dari bermula sampai tamat.

                Setelah bersalaman dan bermaaf-maafan saya ucapkan selamat jalan kepadanya. Wahai, Indonesia tanah airku kehilangan seorang hamba seni, seorang pengarang yang terkenal. Rawan-Hiba yang semasyhur itu namanya, kekasih tanah airnya, tetapi keberangkatannya tiada diantar oleh orang ramai, yang mengantarnya di pelabuhan Tanjung Perak hanyalah saya sendiri seorang sahabatnya yang tidak terkenal.

                Beribu-ribu orang yang memuji buah penanya, beribu-ribu bangsanya yang menghormatinya karena keindahan karangannya, tetapi mereka yang terbilang ribu itu hanya kenal namanya saja, barangkali tidak ada sepuluh orang yang mengenal dirinya, betapa kesengsaraannya, betapa penderitaannya, betapa kemelaratan hidupnya.

                Menurut keterangannya ketika dia akan berangkat, bahwa dia sudah ada menulis surat kepada Tengku Abdul Halim mengkhabarkan bahwa dia akan pergi naik haji. Dan katanya kalau tak ada aral barangkali kalau kapal haji yang membawanya itu nanti singgah di Belawan, turun sebentar menginjak tanah Deli buat penghabisan kalinya. Boleh jadi Tengku Abdul Halim akan menjumpai dia ke pelabuhan Belawan, atau kalau ada waktu terluang dia sendiri akan pergi ke Medan berkunjung ke rumah orang bangsawan itu, guna mengucapkan selamat tinggal. Karena katanya dia amat banyak berutang budi kepada orang bangsawan bekas majikannya itu, sebab itu ia akan menunjukkan muka yang jernih dan hati yang suci, sebelum berangkat mensucikan diri ke Tanah Suci. Segala dosanya, katanya kalau dapat akan ditinggalkannya semua di Indonesia, sehingga ia akan datang ke Tanah Suci dengan perasaan yang aman dan tenteram buat mengerjakan rukun Islam yang kelima.

 

2.   Surat-surat dari Rawan-Hiba dalam Perjalanannya Ke Mekah.

 Sahabatku yang mulia!

                SEWAKTU kita akan bercerai di Tanjung Perak tempo hari, saya telah berjanji akan selalu menulis surat kepada sahabat. Inilah suratku yang pertama selama dalam perjalananku menuju Tanah Suci. Di sini saya tiada akan menceritakan pemandangan dalam perjalanan dari Surabaya sampai ke pelabuhan Belawan. Yang hendak kuceritakan ialah setelah kapal haji tiba di Belawan Deli, kebetulan sekali ada kulihat Tengku Abdul Halim dengan anak- isterinya, akan mengantarkan seorang familinya yang juga akan bertolak ke Mekah dan sekapal dengan aku.

                Ah, sahabat, betapa perasaanku ketika itu hanya Allah yang amat mengetahuinya. Tengku Abdul Halim bertiga dengan isteri dan anak gadisnya Tengku Mastika Halim naik ke kapal menjumpai saya. Isteri beliau yang penghiba itu berlinang-linang air matanya ketika tegak di hadapanku, sedang tanganku gemetar ketika menjabat tangan Tengku Abdul Halim; Mastika Halim tegak di sisi ibunya, pun juga memandang dengan rupa sayu ke mukaku.

                Agak lama kami tegak berdiam, kemudian baru Tengku Abdul Halim mulai berkata: “Rizali, tiada kusangka engkau tiba-tiba selekas ini meninggalkan kota Malang. Dan tidak kusangka pula terlebih dahulu engkau berangkat ke Mekah daripada kami. Jika tidak kebetulan dalam bulan ini kami akan mengawinkan Mastika, barangkali kami pun akan berangkat juga bersama-sama engkau buat menunaikan rukun Islam yang kelima. Tetapi kalau tidak ada aral, Insya Allah nanti tahun belakang kami akan menyusul engkau ke Mekah. Akan lama engkau bermukim di Mekah nanti?”

                Sebagaimana telah saya terangkan dalam surat saya kepada tuan baru-baru ini, bahwa saya pergi ke Mekah akan bermukim di sana guna menuntut ilmu dalam vak agama sedang masanya belum dapat saya pastikan. Entah pun tiga tahun entah kan lebih, belum berani saya memastikan lamanya. Hanya bergantung pada belanja yang ada tersedia pada saya. Buat belanja saya selama bermukim di Mekah kelak, sebagaimana telah saya terangkan juga dalam surat saya tempo hari kepada tuan, bahwa uang belanja itu ialah saya dapat dari harga penjualan Pustaka CENDEKIA yang telah tuan hadiahkan kepada saya. Sekian uang itulah yang akan saya pergunakan buat menuntut ilmu di Tanah Suci kelak.

                Sekarang biarlah saya ulangi pula mengucapkan beribu-ribu terima kasih kepada tuan, sebab dengan karena kedermawanan tuanlah maka saya dapat melangsungkan cita-cita saya akan menuntut ilmu ke Tanah Suci; berarti juga tuanlah yang telah memberi belanja kepada saya. Moga-moga amal tuan yang sebesar itu akan dibalas Allah dengan pembalasan yang berlipat ganda. Kemudian tolonglah doa-doakan supaya terkabul hajat saya supaya nanti saya pulang dari Mekah membawa ilmu yang kiranya berguna menambah siar Islam di Indonesia.”

                “Memang itulah yang kami harapkan, Rizali,” jawab Tengku Abdul Halim dengan agak serak suaranya, seakan-akan hatinya sedang terharu mendengar segala ucapan saya itu. “Kami mengharap moga-moga tercapailah segala cita-citamu yang suci dan mulia itu. Dan jika engkau akan masih sudi menerima sedikit bantuan dari pada kami, Insya Allah kami akan selalu juga membantu sekadarnya kepadamu, supaya selama engkau menuntut ilmu di Mekah kelak jangan sampai akan kekurangan belanja, jangan akan sampai terbengkalai pelajaranmu. Tuntutlah ilmu bersungguh-sungguh, sedang jika sekiranya engkau tengah kekurangan belanja, ketoklah kawat kepada kami di Medan ini Insya Allah dengan segera kami kirim bantuan secukupnya. Inilah perjanjian yang harus engkau ingat benar.

                Percayalah Rizali, bahwa hati kami masih tetap seperti sediakala terhadap dirimu. Sedikitpun belum ada perubahan di dalam hatiku terhadap dirimu. Dan engkau pun kami harap supaya tetap pula hendaknya seperti biasa memandang dirimu kami – yang pernah engkau katakan tempo kita masih sama-sama tinggal serumah di Malang tempo hari, bahwa kami telah engkau pandang seperti ayah bundamu.

                Perpisahan kita ini bukanlah berarti perceraian lahir sampai membawa kepada perceraian batin, tidak, tidak sekali-kali hendaknya. Kita hanya bercerai sementara saja, hanya bercerai badan kasar. Sedang badan halus kita, hati dan jiwa kita tidak akan bercerai, selama-lamanya. Demikianlah pengharapanku.”

                Saya menangis mendengar ucapan Tengku Abdul Halim itu. Saya memang seorang yang lemah, tidak dapat menahan hati, mendengar ucapan yang demikian suci, mengandung ketinggian budi dan keikhlasan hati dari seorang bangsawan dan hartawan yang jarang terdapat duanya.

                Melihat saya menitikkan air mata, isteri Tengku Abdul Halim pun lalu menangis pula. Dan ...... aduhai, Mastika Halim pun turut menangis pula. Kian hancur luluh hatiku melihat anak gadis itu menangis di hadapanku. Sejurus kemudian Tengku Abdul Halim pun lalu berkata pula dengan lemah lembut, katanya:

                “Engkau lihatlah sekarang Rizali, si Mastika ibunya menangis di hadapanmu. Inilah suatu tanda, bahwa hati kami masih tetap tersangkut terhadap kepadamu. Mastika menangis karena ia rupanya merasa sedih dan rawan akan ditinggalkan oleh saudaranya, sebab dirimu memang sudah dipandangnya seperti abangnya. Dan ibunya menangis sudah pada tempatnya sebagai seorang ibu yang merasa sedih akan ditinggalkan oleh anak kandungnya, ialah engkau yang kami pandang seperti anak kandung sendiri. Tetapi aku masih dapat menahan air mata, aku menangis di dalam hati.

                Selamat jalan Rizali, selamat sampai bertemu kembali. Engkau pergi ke Mekah sebagai seorang pengarang yang masyhur, dan akan pulang kelak sebagai seorang ulama besar hendaknya. Indonesia akan merasa bangga akan mempunyai seorang putera yang berdarah ahli seni, seorang pujangga yang alim ......”

                Inilah ucapan yang penghabisan dari bekas majikanku yang budiman itu. Sedang Mastika tiada dapat berkata apa-apa, ia hanya menyatakan isi hatinya dengan ......pandang dan air mata saja. Demikianlah perpisahan saya dengan famili bangsawan itu disiram dengan air mata .........

        Sekianlah dahulu suratku, nanti akan kusambung pula.

                                                                                                                  Wassalam sahabatmu,

                                                                                                                           RIZALI HADI

 

 

3.  Surat Rawan-Hiba dari Mekah.

Sahabatku yang mulia!

                INILAH suratku yang kedua selama saya datang di Mekah. Dalam bulan ini saya ada menerima sepucuk surat dari Mastika Halim, sebagai membalas suratku yang telah pernah kukirim kepadanya. Isi surat itu kucantumkan di bawah ini:

Kakanda R. Hadi yang mulia!

                Surat kakanda telah selamat sampai di tangan adinda. Syukur adinda kepada Tuhan, sebab kakanda telah diselamatkanNya sampai di Tanah Suci. Tadinya hatiku selalu berdebar-debar selalu harap-harap cemas, kalau-kalau kakandaku akan mendapat sesuatu malapetaka di tengah jalan. Maklumlah perjalanan sejauh itu. Siang-malam adinda selalu berdoa moga-moga Tuhan akan melindungi diri kakanda Rizali Hadi, sehingga tiba di Mekah dengan tiada kurang suatu apa.

                Alangkah ngerinya hatiku, kalau akan mendengar kabar buruk dari kakanda. Alangkah cemasnya adinda menanti-nanti berita dari kakanda. Alangkah terima kasihku kepada Ilahi, setelah surat kakanda yang kunanti-nanti itu datang, membawa kabar selama kabar kesentosaan dari kakanda. Hatiku selalu harap cemas sejak perpisahan kita di pelabuhan Belawan tempo hari, kini telah terobat setelah mendapat surat dari kakanda, dari Makkatul Musyarrafah.

                Kakanda, tahukah tuan betapa hancur luluh hati si Mastika ketika ia bercerai dengan Rawan-Hiba di pelabuhan Belawan tempo hari? Oleh sangat luluh lantak hatinya sehingga ketika itu ia tiada dapat berkata-kata hanya menangis saja di hadapan Rawan-Hiba yang akan pergi jauh meninggalkannya. Padahal beribu-ribu perkataan yang sedianya akan diucapkan oleh Mastika di hadapan Rawan-Hiba, tetapi perkataan-perkataan yang telah tersedia itu hanya dapat dilahirkan dengan air mata saja.

                Kakanda, segala sesuatu yang belum pernah kuucapkan kepada kakanda, sekarang akan kulahirkan dengan perantaraan surat ini. Bahwa hatiku sangat menderita selama bercerai dengan kakanda, lebih-lebih setelah kakanda berjalan jauh meninggalkan negeri kita Indonesia yang tercinta, kian sangat hebatlah penderitaanku. Adinda setiap saat menderita kehilangan kakanda.

                Apalagi ketika pertemuan kita yang penghabisan di Belawan Deli, ketika itu hatiku sedang di dalam menderita kesedihan yang sepedih-pedihnya, sebab diriku akan dipaksa kawin dengan seorang pemuda yang sebenarnya kurang cocok dengan perasaan hati dan jiwaku. Diumpamakan pakaian dia kurang pas dengan badanku.

                Tetapi aku terpaksa menerimanya buat menjadi suamiku. Demikianlah sebulan yang baru lalu kami telah menjadi suami-isteri. Akan tetapi, malang juga rupanya bagi suamiku, atau memang Tuhan tidak menyukai perjodohan yang dengan paksaan itu, sehingga baru sebulan kami kawin, tiba-tiba suamiku telah meninggal dunia karena telah mendapat kecelakaan hebat di dalam sebuah  mobil. Mobilnya hancur dan suamiku meninggal seketika itu juga. Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Rajiun. Kasihan dia telah menutup riwayat hidupnya dalam usia yang masih semuda itu.

                Kalau orang melihat keadaan lahirku, sesungguhnya adinda seorang perempuan yang amat berbahagia sekali. Pertama orang tuaku bangsawan yang hartawan. Kedua suamiku pun seorang pemuda yang kaya, dan setelah ia meninggal dunia, segala harta kekayaannya sebagian besar terserah ke dalam tanganku. Jadi adinda seorang janda muda yang kaya!

                Tetapi sebenarnya jika orang mengetahui apa yang terkandung di dalam hatiku, pasti orang akan menaruh belas kasihan kepada adinda. Kakanda, telah berulang-ulang adinda nyatakan kepada kakanda, bahwa bahagiaku yang sejati tidak terdapat pada harta kekayaan. Maka bagi orang yang semacam adinda ini, apa artinya kekayaan?

                Kakanda! Buat menghibur duka citaku karena kehilangan kakanda, maka adinda telah membuka sebuah rumah sekolah rumah-tangga dan kerajinan tangan buat anak perempuan, dan adinda sendiri turut mengajar di situ. Dan setelah adinda menjadi janda ini, kuterjunkan diriku ke dalam pergerakan kaum puteri bangsa kita.

                Sebab bagi adinda, kian kubawa berdiam, kian menambah berat beban penderitaan. Sebab itu, lebih baik kubawa bergerak, kubawa berjuang sekali. Dan adinda mengharap moga-moga di dalam adinda bergerak, di dalam adinda berjuang, dapatlah adinda melengahkan kedukaan, dapatlah hendaknya meringankan beban penderitaanku.

                Jadi, bagi adinda tampil ke medan perjuangan, maju ke barisan pergerakan, bukan karena didorong oleh semangat kegembiraan, tidak, melainkan ialah karena akan meringankan beban penderitaan semata-mata.

                Kakanda! Sedianya adinda telah berniat nanti tahun belakang yang tiada berapa bulan lagi adinda akan pergi menyusul kakanda ke Mekah buat menunaikan rukun Islam yang kelima. Tetapi sayang, sekarang tiba-tiba dunia di Eropah sedang kacau api perang dunia kedua sedang bernyala sehebat-hebatnya. Sehingga orang-orang yang akan pergi haji banyak yang takut. Biarlah adinda bersabar menanti waktu damai kembali, Insya Allah akan kuteruskan maksudku menyusul kakanda ke Tanah Suci. Nantikanlah kakanda, nantikanlah adinda di Tanah Suci, nantikanlah beta di sisi Ka’bah di dalam Masjidil Haram. Moga-moga diriku jangan dimatikan oleh Tuhan sebelum sempat bertemu dengan kakandaku R. Hadi di Mekah. Nanti kita bersama-sama pulang ke tanah air kita.

                Dan adinda akan merasa sekembali kita dari Mekah kelak, adinda pulang ke tanah air Indonesia membawa pujanggaku, sedang kakanda pun boleh merasa bangga pula pulang membawa laut ilmu sehingga akan mendapat titel seorang “PENGARANG YANG ALIM”.

                Sekianlah dahulu surat adinda, nanti akan kusambung pula. Selamat mengajilah kakanda.

Salam dari adindamu

MASTIKA HALIM

 

Sahabatku.

                Demikianlah isi surat Mastika Halim yang baru kuterima di Mekah. Sudah empat bulan lamanya saya di Mekah, barulah sekali ini pernah menerima suratnya, dan sekali kuterima surat dari ayahnya. Aku pun sudah tiga kali mengirim surat kepada mereka, mengkhabarkan hal-ikhwal di Tanah Suci selama musim perang ini. Dalam tahun ini agak kurang orang yang naik haji ke Mekah, ialah disebabkan perang dunia yang baru bercabul di Eropah. Dan boleh jadi pada tahun yang akan datang jika api perang dunia kedua ini akan hebat bernyala-nyala, tanah Mekah akan sunyi. Saya adalah terhitung jemaah yang paling akhir sekali datang di Mekah.

                Keadaan sekarang ini rupanya agak mencemaskan hati penduduk Mekah. Terutama orang Mukimin dari Indonesia dan Malaya selalu berdebar-debar hatinya menanti akibat perang dunia kedua ini. Mereka kuatir, kalau-kalau tahun belakang nanti tidak ada orang dari Indonesia dan lain-lain tempat yang pergi haji, sehingga Mekah akan sunyi. Padahal mata pencarian yang terutama bagi penduduk Mukimin di Mekah, ialah dari orang-orang berhaji setiap tahun ke Mekah ini.

                Nah, sahabat, sampai di sini saja dahulu kukabarkan. Insya Allah di belakang menyusul pula.

Wassalam dari sahabatmu,

RIZALI HADI

 

Bagian Kelima

 

  1. 1.          Hati yang Dermawan dan Budiman.

                KESENGSARAAN Mukimin bangsa Indonesia di Mekah adalah suatu akibat yang ditimbulkan oleh keganasan perang dunia yang kedua. Beribu-ribu bangsa Indonesia yang mukim di Tanah Suci itu ditimpa kesengsaraan tidak dapat mencari penghidupan, sebagian tidak dapat menerima uang bantuan dari familinya, yang biasanya di waktu damai, mereka selalu dapat uang dari negerinya masing-masing pada tiap-tiap bulan.

         Di tiap kota-kota di Indonesia lalu didirikan komite-komite guna menolong bangsa kita yang mukim yang mendapat sengsara di Mekah itu. Ada yang membangunkan Mukimin fonds, ada yang mengadakan penjualan amal dan sebagainya, dengan cara yang sah buat mendapat uang, dan sekalian uang itu akan dikirim kepada Mukimin Indonesia yang sengsara di Mekah itu.

         ............................................................................................................................................................

                Di antara komite-komite itu, yang penting disebutkan di sini dan juga yang bertali dengan jalan cerita ini, ialah komite yang didirikan di Medan. Dari komite yang di Medan ini pernah di dalam surat kabar, bahwa komite tersebut banyak menerima derma dari salah seorang hartawan bangsawan Deli. Dan pada suatu hari ada pula tersiar kabar, bahwa seorang janda hartawan dan bangsawan juga yang bernama Tengku Mastika telah mengirim uang derma f.1000 (seribu rupiah) kepada salah seorang saudara angkatnya yang juga sedang sengsara di Mekah, uang itu dikirim  dengan perantaraan (ia) Komite Penolong Kesengsaraan Mukimin yang didirikan di Medan.

                Setelah kabar ini tersiar di dalam pers Medan, orang banyak lalu memuji-mujikan kedermawanan janda hartawan bangsawan Deli itu, yang juga telah banyak menderma kepada Mukimin fonds. Kemudian tersiar pula berita di dalam pers, bahwa uang yang f.1000 (seribu rupiah) yang didermakan oleh Tengku Mastika dari Medan itu telah disampaikan kepada persoon yang berhak menerimanya, yaitu salah seorang dari bangsa Indonesia yang sengsara di Mekah itu, yang berasal dari tanah Banjar, bernama Rizali Hadi tidak mau menerima semua uang yang seribu rupiah hadiah dari Tengku Mastika itu, hanya sebagian kecil saja yang diambilnya; yang selebihnya kurang lebih f.990 (sembilan ratus sembilan puluh rupiah) telah didermakannya pula kepada saudara-saudaranya yang lebih menanggung sengsara di Tanah Suci daripadanya. Mendengar kedermawanan Rizali Hadi itu ramai pula pers di Medan membicarakannya, memuji kedermawanan Rizali Hadi. Ternyata Tengku Mastika telah menderma kepada orang yang berhati dermawan pula, demikian kata pers di Medan.

                Sebenarnya maksud Tengku Mastika mengirimkan uang yang seribu rupiah itu kepada Rizali Hadi, ialah buat dipergunakan oleh Rizali Hadi untuk ongkos pulang ke Indonesia. Tetapi Rizali Hadi tidak sampai hati akan menerima kesenangan seorang diri saja di tengah-tengah bangsanya yang juga sama-sama sengsara di Mekah itu. Sebab itu uang yang seribu rupiah itu terus dibagi-bagikannya pula kepada saudara-saudaranya yang sama-sama berasal dari Indonesia, supaya sakit sama diderita, senang sama dirasa.

                Dalam pada itu tiada sunyi-sunyi orang ingin tahu, orang selalu bertanya-tanya, apakah sebabnya maka Tengku Mastika seorang janda bangsawan yang terkenal hartawan itu sampai bermurah hati mendermakan uang sebesar itu kepada seorang mukim yang bernama Rizali Hadi itu? Apakah perhubungannya dengan seorang mukim yang di Mekah itu?

                Bukan saja di Indonesia, malahan di Mekah pun di antara kaum Mukimin Indonesia ramai memperkatakan tentang kedermawanan Tengku Mastika dari Deli itu, dan kedermawanannyalah sampai beberapa orang Mukimin yang sedang dalam kesengsaraan yang hebat telah dapat tertolong.

                Tepat benar uang yang seribu rupiah ini datang dan diterima oleh Rizali Hadi ialah seketika kaum Mukimin Indonesia sedang berada dalam bahaya kelaparan yang sehebat-hebatnya sedang bantuan dari lain-lain belum diterima. Itulah sebabnya Rizali Hadi tak hendak menerima uang yang seribu itu buat dirinya sendiri semata, di sampingnya masih ada beribu-ribu saudaranya yang sedang ditimpa malapetaka.

                Mastika Halim, setelah mendengar kabar dermawan dan tinggi budi kekasihnya yang sedang sengsara di Mekah itu, ia mengucapkan syukur kepada Tuhan, dan perbuatan dari kekasihnya yang demikian itu amatlah menggirangkan hatinya, kian menambah besar cinta kasih sayangnya kepada Rizali Hadi yang sedang sangat dirindukannya itu. Alangkah inginnya akan berkirim surat kepada kekasihnya yang di Mekah itu, tetapi sayang surat-suratnya telah tiga pucuk dikirimnya teralamat kepada Rizali Hadi di Mekah, sampai kini belum jua mendapat balasan. Apakah surat itu tidak sampai, entah bagaimana, Allahua’lam. Maklumlah zaman perang, perhubungan surat-menyurat dengan negeri luaran tidak semudah seperti biasa, seperti dalam keadaan damai.

          .............................................................................................................................................................

                Selama Mastika belum mendapat kabar berita dari Rizali Hadi, hati janda muda itu selalu gelisah dan sedih saja. Ia ingin benar agar segala kaum mukimin Indonesia di Mekah itu lekas dipulangkan ke tanah airnya. Ia sering datang bertanya-tanya kepada pengurus komite, bilakah mereka yang sengsara itu dipulangkan ke Indonesia. Dari Ketua Komite ia mendapat keterangan, bahwa dalam hal MIAI telah berusaha bersungguh-sungguh agar pemerintah segera memulangkan mukimin Indonesia itu. Tetapi hati Mastika belum jua merasa puas sebelum mukimin itu selamat sampai ke Indonesia, dan di antara kaum mukimin yang banyak itu ada hendaknya kekasihnya turut serta. Ah, mau gila rasanya menanti-nanti kabar dari kekasihnya yang turut sengsara di Mekah itu.

                Wahai, apakah artinya segala harta kekayaannya, apakah artinya hanya dia yang hidup dalam kecukupan, tetapi diri kekasihnya menderita kesengsaraan di Tanah Suci?

 


Merah Daniel Bangsawan

          Merah Daniel Bangsawan dilahirkan di Palembang, Sumatera Selatan, 1919. Sastrawan Kalimantan Selatan zaman Belanda (1930-1942) ini sering menggunakan nama samaran Merda. Publikasi karyanya, antara lain, di Majalah Borneo Simbun (Banjarmasin, 1942-1945) dan Majalah Suara Hulu Sungai (Kandangan, 1945).

         Selain sastrawan, ia juga wartawan, politikus dan birokrat. Pernah menjadi anggota DPRD I Kalsel, Wedana Tanah Laut (1958-1960) dan Kepala Direktorat Pemerintahan Masyarakat Desa (PMD) Kalsel di Banjarmasin.

 

Merah Daniel Bangsawan

HIDUP DI PULAU BERTUAH, MULAI SUSAH

 

Kalimantan Pulau Bertuah

Kekayaannya melimpah ruah

Mas, intan, minyak, dan batu bara

entah apalagi di bawah sana

 

Di tanahnya tumbuh karet, kayu, rotan

kelapa sawit dan tengkawang

Buah-buahannya pun tidak terbilang

jeruk, rambutan, durian

Kasturi, cempedak, maritam

lupa jumlahnya, berapa

Ternak, unggas, ikan laut dan ikan darat

sulit tandingannya

Intan permatanya terkenal di mana-mana

Semua itu kurnia Allah untuk khalifah-Nya di bumi

Semestinya tak pantas

kalau anak negerinya sengsara

tak wajar

kalau mereka melarat

kalau penguasanya peka terhadap hati nurani

kalau mereka utamakan kepentingan bangsa

menghayati amanat penderitaan rakyatnya

bukan amanat nafsu keparat

sang konglomerat

 

Pulau Pinang, Binuang, 1993

 

(Banjarmasin Post, Minggu, 4 Juli 1993)

 

 

NASIB  KAMI

 

Kami yang diam di kaki-kaki pegunungan Meratus

Dari Kotabaru sampai Tabalong dikatakan Orang Bukit

Di antaranya urang Gunung Ulin dan Harakit

Kami bermukim di sepanjang kaki Meratus

Kami pewaris sah bumi ini

Diberikan oleh Yang Maha Penguasa Jagat Bumi ini

 

Sejak nenek datuk kami

Sejak sanggah waring kami

Hidup kami tenteram sungguh pun bagawi sehari suntuk

Malamnya nyanyak taguring

 

Kami sudah mengalami zaman raja

Zaman Walanda, zaman Jepang

Zaman NICA, zaman perjuangan

Ujar Walanda pejuang itu ekstrimis

Zaman Merdeka, Orde Lama gerombolan

Tuhuk kuncang kirap babukahan

 

Zaman Orde Baru zaman aman

ujar urang Zaman Pembangunan

Malahan sudah handak tinggal landas

Di sekeliling kami sudah mulai hiruk-pikuk

Bunyi sensaw kayu ganal-ganal

Bunyi buldoser, ujar, traktor, ujar, eksipator, ujar

Motor keluyuran ganal-ganal

Membawa kayu ganal-ganal

Membawa batu harang hibak-hibak

 

Hutan nang sabanarnya hutan kayunya ganal-ganal

Kada sanggup kami batabang lawan kapak lawan parang

Wayah ini sudah terang benderang

dapat ditabang urang

sebab alatnya alat canggih

 

Bumi kami tabulangkir dapatnya buldoser

dapatnya traktor, dapatnya eksipator

Ujar habar bumi kami banyak baisi batu harang

Kalu bahari di wadah kami

Ada Demang Kepala Adat

Ada ngarannya Kiai Halat

Lawan pamandirannya kami taat

Tukang atur hak ulayat

Sakira jangan tahual papadaan kaum karabat

 

Wadah manugal dasar spesial

Lain pada gasan bakabun

wadah batanam tanaman karas

batanam paring, batanam paikat

Kalu manugal kami dasar baputar-putar

Asal jangan mangakat pahalatan urang

Sebab ada Kiai Halat

Kalu tahual sidin mahalat

Tapi wayah ini kami takibar-kibar sumangat

Kami dipadahakan parambah hutan

Panabang liar, panambang liar

Nang marusak lingkungan hidup

 

Wadah kami manugal tumatan bahari

Wadah kami mandulang matan bahari

Kada kawa didatangi lagi sebab

sudah jadi hak KP, ujar

Apa artinya

kami kada tahu

 

Ooooooooiiiii!

 

Kamana kami kawa mangadu

amun mandulang ditimbaki

amun manugal ditangati

sebab merusak lingkungan hidup, ujar

kaya apa kami sakira kawa hidup

kalu tatarusan kaya ini

 

Kalu kaya ini tatarusan

Napa pang ada

Tarus ai kakaya nia

Sakali Bukit

Tatap Bukit

Makin sahari

Makin sakit

Nang kaya ini sakalinya

Lapahnya urang mardika...............?


Pulau Pinang, Binuang, Mei 1993

 

(Banjarmasin Post, Minggu, 4 Juli 1993)

 


Abdul Muin Cuty

Abdul Muin Cuti (AC) dilahirkan di Kampung Kelayan, Banjarmasin, 1914, karyawan Puskesmas Muhammadiyah di Banjarmasin. Mulai menulis puisi sejak 1930.

 

Abdul Muin Cuti 

TANAH AIR

 

Sawah dan ladang terhampar luas

Tanaman subur tumbuh menghijau

Burung putih terbang di angkasa

 

Tanah air luas bangsa bebas

Rakyat makmur bangsa menghimbau

Hidup bangsaku Indonesia Raya

Di sana-sini nyiur melambai-lambai

Sawah terbentang berbuah emas merata

Kaum petani hidup gembira

Di sinilah kami berbaris menuju pantai

Pantai bahagia Indonesia Mulia

Tanah Air kita kaya raya 

 

(Majalah Terang Bulan, Surabaya, Nomor 3/Maret/1939. Koleksi Artum Artha, 1983)

 

 

BAHASAKU BAHASA INDONESIA

 

Jika lambaian daun kelapa

Atau daun nyiur melambai di tepi pantai

Kulihat seolah memanggil kita

Untuk bersatu berjuang berbakti

Membela persada Ibu Pertiwi

Jika aku dan kawan-kawan sejati

Atau pujangga bersatu mengikat janji

Setia sumpah membela negeri

Hai! Marilah kita berkorban selalu

Demi kebangsaan dan kemuliaan bangsaku

 

Bahasaku bahasa Indonesia

Bahasa persatuan se-Nusantara

Bahasaku bahasa ibunda

Bahasa Indonesia nan kaya raya 

 

(Koleksi Artum Artha, 1983)

 

 

KH Zafry Zamzam

KH Zafry Zamzam (ZZ) dilahirkan di Kampung Sirih, Kecamatan Simpur, Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, 15 September 1918. Nama aslinya Muhammad Japri (Mansyur, 1995:1). Pendidikan Madrasah Islam dan Volkschool ditempuhnya di Kandangan (1929), Pondok Pesantren Darussalam di Martapura (1935), dan Kweekschool Islam di Gontor, Ponorogo, Jawa Timur (1937). Ketika menjadi guru di Alabio (1937), ia dipecat oleh Belanda, karena mengajarkan lagu Indonesia Raya kepada anak didiknya (Antemas, 1986:58-59). Saat itu, ia anggota pergerakan nasional yang bernaung di sejumlah ormas noonkooperatif, seperti Musyawaratthothalibin (Kandangan, 1931), Partai Islam Indonesia (1936), dan Syarikat Kerakyatan Indonesia (1946).

Tahun 1948, ia menjadi anggota legislatif di Dewan Banjar. Ia juga menggelorakan nasionalisme melalui tulisan di Majalah Bingkisan (Alabio, yang didirikannya 1937), Majalah Republik (Kandangan, yang didirikannya 1946), dan di koran/majalah lain.

Akibat aktivitas perjuangannya itu, ia sering berurusan dengan aparat keamanan Belanda, berulang kali pula masuk penjara. Mulai menulis sejak 1930-an. Publikasi karyanya, antara lain, di Majalah Bingkisan (Alabio, 1937), Majalah Purnama Raya (Kandangan), Majalah Republik (Kandangan, 1946), Kalimantan Berjuang (Banjarmasin, 1950), Majalah Intansari (Banjarmasin), dan Banjarmasin Post (1971-1976). Nama samaran yang dipakainya sebagai sastrawan, antara lain, Daldali, Djimjini, Isyah, Kelana, dan Zam.

Tahun 1948, ketika kaum republiken mendirikan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), ia terpilih sebagai Ketua PWI Kalsel, tapi kemudian (1950) mengundurkan diri, karena diangkat sebagai PNS, dengan jabatan Kepala Jawatan Penerangan Kabupaten Hulu Sungai Selatan di Kandangan, lalu Kepala Jawatan Penerangan Provinsi Kalimantan Selatan di Banjarbaru (1959).

Ia pernah menjadi Rektor IAIN Antasari Banjarmasin dan anggota MPRS di Jakarta (1966-1971). Selain menulis karya sastra, ia juga menulis buku Mencari Kepribadian Sendiri (1959), Pengantar Ilmu Dakwah dan Etika (1962), dan Syeikh Muhammad Arsyad al Banjari (1974). Ia wafat dan dimakamkan di Kota Banjarbaru, 23 Desember 1972. Tahun 2004, 2 buah puisinya dimuat dalam antologi puisi bersama La Ventre de Kandangan (Mozaik Sastra HSS 1937-2003,Burhanuddin  Soebely, 2004:41-42):

 

KH Zafry Zamzam 

KELANA

 

Tak putus-putusnya jalan ini

Berliku-liku

Menurun mendaki

Banyak simpang

Membawa bimbang

Jauh berjalan banyak dilihat

Lama hidup banyak dirasa

Suka duka penuh hikmat

Berjalan lurus tak putus asa

Sekali dalam petualanganku

“ngembara”

Aku sampai di sebuah taman

Pandangan indah, segar, nyaman

 

Pelbagai tanaman tumbuh berseri

Bunga-bunga melambai menawan hati

Di sebelah taman terhampar laut

Jernih membiru, menggelombang

Sambil beriak menebah pantai

 

Dalam memandang hati terpaut

Kupetik serangkum kembang

Kusauk air menyiram semai

Kusiram pagi dan petang

Bunga kutanam depan pondok tirisku

Kusiram pagi dan petang

Jika tumbuh mengembang

Kan kurangkai seindah cita

Untuk hiasan sanggul ibunda

Tanda cinta pembalas jasa 

 

 

KENANGAN DOA

 

Aku terkenang almarhum ayahku

Naik sepeda

Dari Sirih ke Martapura

Hanya mengantarkan

Segantang beras

Secupak sepat

Sesikat pisang

Untuk anaknya yang lagi menuntut

 

Aku teringat ibuku sakit

Mengirimi duit

Sebinggul ringgit

Pusaka diberikan, karena miskinnya

 

Oh, Tuhanku

Ampuni keduanya

Curahi rahmat-Mu

Sepanjang masa

Amin 

 

Banjarbaru, 1958 

 


Kasyful Anwar

Kasyful Anwar (KA) dilahirkan di Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, 1918. Pendidikan Thawalib School (Medan). Di masa revolusi fisik (1945-1949), ia menjadi Pimpinan Palang Merah di ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan. Ketua DPRD II Kabupaten Hulu Sungai Selatan (1955-1958), menjabat Bupati Hulu Sungai Selatan (1959), dan (1960-1963) Bupati Hulu Sungai Selatan definitif (Artha, 1992 : Wawancara, 20 Desember 1992).

Menulis puisi sejak 1930-an. Publikasi karyanya, antara lain, di Majalah Abad Dua Puluh (Medan) dan Majalah Terang Bulan (Surabaya). Sering menggunakan nama samaran Kesuma Amandit (Artha, 1992: Wawancara, 20 Desember 1992). Meninggal dunia dan dimakamkan di Kandangan, 10 Januari 1996.

 

Kasyful Anwar 

IBU PERTIWI

 

Padi di gunung, padi di sawah ladang

Emas perak pusaka bangsa

Kilau-kemilau di tanah persada

Beginilah untung bakti janji berjuang

Menghempas darah membela nusa

Himbau-menghimbau mencapai cita

 

Dalam cita suara sebangsa

Gugur satu tumbuh seribu

Bangkit berbaris nyanyi bernyanyi

Dalam cita bangsa-bangsa sentausa

Makmur bahagia sepanjang masa

Membela bangsa Ibu Pertiwi 

 

(Majalah Terang Bulan, Surabaya, Nomor 5/Mei/1939. Koleksi Artum Artha, 1983)

 

 

NYIUR MELAMBAI

 

Jauh di pantai selatan

Di pantai landai nyiur melambai

Seamsal dia bendera tanah airku

Akan kupanggul tiang bendera pertiwi

Kupertaruhkan demi bumi

Tanah air Indonesia 

 

(Majalah Terang Bulan, Surabaya, 1939. Koleksi Artum Artha, 1983)

 

 

SUARA TANAH AIR 

 

Suara tanah air

Tiap bunga kesuma persada

Kian harum berseri wangi

Menyembahkan bakti

Pada nusa, bangsa

Biarkan badai coba menyerpih

Kesuma bunga pertiwi

Mekar dan berlaku sesudah mati 

 

(Koleksi Artum Artha, 1983)

 


HMAS Amandit

HMAS Amandit (HMASA) dilahirkan di Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, 1919. Nama aslinya Mukery Ansyari, pegawai bank. Menulis puisi dan cerpen sejak 1930-an. Publikasi karyanya, antara lain, di Majalah Terang Bulan (Surabaya) dan Majalah Purnama Raya (Kandangan, 1943) (Artha, 1992: wawancara, 20 Desember 1992).

 

HMAS Amandit 

PATRIOT TANAH AIR

 

Bertopi merah berbaju putih

Bertongkat hulu gading murni

Berjanji serah maju berlatih

Di darat bersatu di laut berani

 

Engkau patriot tanah air

Maha perkasa membela nusa bangsa

 

 

SERIBU BUNGA

 

Seribu bunga jadi minyak wangi

Setetes demi setetes dipercikkan ke tangan

Harum seribu sejuta bergantian

Kami teladani bunga bangsa

Meneruskan tetes darah perjuangan 

 

(Koleksi Artum Artha, 130992:4)

 

 

Arthum Artha

Arthum Artha (AA) dilahirkan di Parincahan, Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, 20 Agustus 1920. Nama aslinya M. Husrien. Menempuh pendidikan dasar di Perguruan Parindra Taman Medan Antara, Kandangan (1939). Pernah menjadi guru bantu di almamaternya, tapi kemudian lebih menekuni pekerjaan sebagai wartawan.

Pemimpin Redaksi Majalah Jantung Indonesia (Kandangan, 1948), Kalimantan Berjuang (Banjarmasin, 1948-1951), Tugas (Balikpapan, 1950-1951), Indonesia Merdeka (Banjarmasin, 1952-1954), dan Utusan Kalimantan (Banjarmasin, 1957-1960). Tahun 1961-1963, ia menjadi Ketua PWI Kalsel.

Menulis puisi, cerpen, esai sastra, dan roman/novel sejak 1930-an. Banyak menggunakan nama samaran, antara lain Bujang Jauh, Emhart, HR Bandahara, M. Ch. Artum, M. Chayrin Artha, dan Murya Artha. Publikasi karyanya, antara lain, di Majalah Keinsyafan (Gorontalo, yang rubrik sastranya dikelola HB Jassin), Majalah Terang Bulan (Surabaya), Majalah Mimbar Indonesia (Jakarta), Majalah Panca Warna (Jakarta), Majalah Mutiara (Jakarta); Majalah Gelanggang (Jakarta, rubrik Siasat), Majalah Pelopor (Jakarta), Majalah Zenith (Jakarta), Majalah Waktu (Medan), Majalah Lukisan Pujangga (Medan), Majalah Pahatan (Banjarmasin), Majalah Bandarmasih (Banjarmasin), Banjarmasin Post (1971-2000), Dinamika Berita (1995-2000), dan Tabloid Wanyi .

Roman/novelnya, antara lain, Kumala Gadis Zaman Kartini (Penerbit Gemilang, Kandangan, 1949), Tahanan yang Hilang (Penerbit Pustaka Dirgahayu, Balikpapan, 1950), Kepada Kekasihku Rokhayanah (Penerbit Mayang Mekar, Banjarmasin, 1951), Putera Mahkota yang Terbuang (Pusat Bahasa, Jakarta, 1978), dan Kartamina (Pusat Bahasa, Jakarta, 1978).

Antologi puisinya Unggunan Puisi Banjar (Pusat Bahasa, Jakarta, 1978), dan Dunia Semakin Panas (Penerbit Pustaka Artha Mahardaheka, Banjarmasin, 1997) adalah buku kumpulan cerpennya. Bukunya yang lain: Masalah Kebudayaan Banjarmasin (Banjarmasin, 1974), Album Pembangunan Kalimantan (Banjarmasin, 1975), Wartawan-Wartawan Kalimantan Raya (Banjarmasin, 1981), dan Hassan Basry Bapak Gerilya Kalimantan Pejuang Kemerdekaan (Banjarmasin, 1999).

Di masa revolusi fisik (1945-1949), ia anggota organisasi kelasykaran di Kandangan, seperti GEPERINDO (1945) dan GERMERI (Gerakan Rakyat Mempertahankan Republik Indonesia, 1946). GEPERINDO adalah organisasi kelasykaran yang memproduksi, mereproduksi, dan menyebarluaskan pamplet-pamplet politik antiBelanda. Ketika Hassan Basry membentuk ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan, ia staf bagian penerangan.

Selepas revolusi fisik, ia lebih menekuni kariernya sebagai sastrawan, wartawan dan anggota legislatif. Pernah menjadi Ketua DPRD II Banjarmasin (Fraksi Nahdlatul Ulama, 1953-1961), Ketua PWI Kalsel (1961-1963), Kepala Seksi Sejarah dan Kebudayaan di Kantor Pemerintah Daerah Tingkat I Kalimantan Selatan (1964-1965), Ketua Seksi D DPRD II Banjarmasin (Fraksi ABRI dari unsur DHD Angkatan 45, 1967-1972), dan Pimpinan Museum Banjarmasin (1965-1972) -- cikal-bakal Museum Lambung Mangkurat di Kota Banjarbaru sekarang. Meninggal dunia di Banjarmasin, 28 Oktober 2002, dimakamkan di kampung halamannya di Parincahan, Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan.

 

Arthum Artha

INDONESIA

 

Angin penghabisan dari Pantai Laut Selatan

Mengheningkan cipta bagi segala pejuang

Keraguan telah mati

Persatuan di atas kebangsaan

Meluap ke atas meninggikan derajat bagi tanah air

Lalulah musyafir yang hanya menangis

Lihat!

Fajar tiada lagi

Telah tiba giliran matahari

beraja di kota asing

Penuh kesabaran dan ketabahan melawan awan hitam

Dan lingkungan dunia murca tinggal memandang sendu

Satu persatu diam beku dan berkurban air untuk menyiram bibit

Serta bunga yang harum mekar

 

Di antara putus dan rusak

Tunas muda muncul dengan umat sedunia

Bebas

Pun anggapan

Maruto zaman

Perihal agama dan keyakinan

Bebas

 

Anggapan kaum di sebelah barat bagi kita

Buktikan nihil, kita berada di muka sekali

Laut, selalu bebas, gelombang dan ombak

Adalah bahan-bahan perjuangan menyambut hidup

Bersama ini asam garam

 

Yang datang dari laut dan darat

Ia satu!

 

 

GELAP 

 

Kawan!

Katakan sekarang juga:

-aku-

menjerit membangun

di bulan terang…

kebiasaan lupa…

dalam teratak tiada lilin

dapat mengatur hati

apa hasrat hari ini

siapa masih menjilat bulan

ada yang mungkin

mati kelaparan!

Dikejar ruang sempit perang!

Ke luar dari ruang dada

Maka kembali

Ke ruang itu pula

Dan –cerminku telah pecah

Bingkai jadi bangkai 

 

(Majalah Mimbar Indonesia, Jakarta, 2 Desember 1950)

 

 

KHATULISTIWA

 

Pada hari-hari panas yang lalu dan mendatang

Ada sekarang tiba giliranku

-kasih penjelasan

dalam keadaan di bawah sinar khatulistiwa

di jarak datarannya dan langit

sekarang tumbuh giliranku

kasih penjelasan dari penjelmaan hidup

-orang kedua dari laut lumpur berbau

-tidak harum, cuma bintang kasih pedoman

 

ini di bawah bulan terang

untuk sejenak bicarakan

antara kekasihmu

dan kekasihku

dan boleh periksa bekas berpijak

pada revolusi

aku tidak perlu meneken undangan

dari satu daftar baru

-cuma ada bicarakan nota-nota lama

-dan aku cuma kenal batas masing-masing

--seperti karang dan lumut kotor kuning

di bawah bulan terang:

engkau raja

aku pengintai seribu mata

ranggas dari pada datuk putih

 

Dan, -hai kawan yang tegak melihat

Perlukah garis tebal

Penjelasan sekali lagi?

Tokh aku dan kau, sama di jarak khatulistiwa 

 

(Majalah Zenith, Jakarta, dan antologi puisi bersama Perkenalan di Dalam Sajak, Cetakan II, 1974)

 


BULAN DAN BANGKAIKU

 

Dilintas, dihimpit zaman,

priode itu sudah lalu

hanya semut dalam genggamku

menghitam jadi pahlawan.

 yang lain tiada aksara

walakin asalnya manusia

 

         bayangan saja menangkis

         dalam himpitan kini

         dalam timpasan takdir

         dan burung menyanyi sendu

         betapa jadinya diriku.

 

Engkau jelmakan bahagia

bahagia dari bulan,

orang gembira terus!

sekalipun si miskin.

 

         Kini telah berlaku

         kekuatan gaib

         disergap nasib

         jasmaniku tinggal tengkorak

         yang lainnya terserak

 

Semut dan lainnya

puspa dan alamnya

dan bayang-bayang menyerbu

menutup segala ciptaanku.

 

(Majalah Pancawarna, Jakarta, No.4, Th.I, 10 Desember 1948,  dengan nama samaran M.Chayrin Artha)

 


FIRMAN  TUHAN

 

bukan sekali ini

aku mengucapkan firman Tuhan

tembus telingamu Surti.

Tiga puluh juz

sudah kutiupkan di telinga

masihkah, percaya buaya !

 

Surti!

kemaren, Narti, berlebaran

Kau bersalaman

Aku di pintu, menanti jarimu

namun pecah air mata

senyummu tak kunjung ria

 

Lebaran, kau usap

dan aku terdarah tahun 1949

pendarahan kuusap

firman Tuhan merayapi dada.

 

Banjarmasin, 1949

 


G E L A P

 

Kawan!

katakan juga

“aku”

menjerit membangun

di bulan terang......

kebiasaan lupa......

 

dalam teratak tiada lilin

dapat mengatur hati

apa hasrat hari ini

 

siapa masih menjilat bulan

ada yang mungkin

mati kelaparan

 

dikejar ruang sempit persegi

keluar dari ruang dada

maka kembali

ke ruang itu pula

 

dan – cerminku telah pecah

bingkai jadi bangkai

 

(Majalah Mimbar Indonesia, Jakarta, No.48, 2 Desember 1950, dengan nama samaran Mulya Artha)

 

 

PERAWAN MANIS

 

Di bawah hiburan pelangi indah,

berdiri aku menyongsong wangi

awan mendung kembali cerah

menanti datang perawan suci.

 

Alang-kepalang indah semampai,

bibir seulas menipis limau

kulihat datang sudah melambai

giginya sebaris manis kemilau.

 

Hari petang mentari hilang,

senjakala mulai kuning

bertambah cantik  perawan sayang

hamba menyapa mulai nyaring.

 

Akh, tiada terpikir olehku dosa,

berlinang mata membuat dosa

bisikan hati hilangkan rasa

malu di bathin kenyang di mata.

 

Berkali-kali tabuh berbunyi,

adzan Islam memeluk agama

aku masih menaruh berahi

perawan malam memeluk rupa.

 

Akh, kalau ini masih perawan,

bukan isteriku sepanjang zaman

hidupnya bebas di atas jalan

biar manisnya di indah badan.

 

(Surat Kabar Kalimantan Berjuang, Banjarmasin, 1950)

 

 

BINTANG BERGESER OMBAK BERSAMBUNG

 

Pekat dan hitam awan bermain gila-gilaan

laksana ombak di laut diganggu kapal lalu

tiba di pantai menyerang lagi:

Gelagat dan malam, gusar geser-geseran

tiada berhenti maut menyusur kalbu

mana saatnya menyerang sampai mati.

 

Bintang bergeser dan ombak bersambung jompak

karang di pantai patah, remuk beribu-ribu

anak nelayan kehilangan kemudi:

Demikian kehidupan insan yang congkak

badan jasmani di pukul setiap waktu

menandakan ia tak sanggup berbakti.

 

(Surat Kabar Kalimantan Berjuang, Banjarmasin, 1950)

 

 

SURAT DARI KUBUR

 

Jassin,

aku pernah hidup di Yogya, Yogya bau

di Maguwo lagi

 

orang-orang yang datang dari gunung Tengger

orang yang lapar dan menantang manusia kota

orang inilah yang dustakan merdeka

Kau tahu

merangkak saja dia, tanpa izin di kaki lima

malunya debu lalu lari terbang-terbang

 

Ya,

ngerti sekali kami dari tanah seberang

mendaki dan seberangi lautan

sama halnya Kau ngerti di kota federasi

pandai-pandai bermain hati

 

Aduh, terasa gentar dan genyar di atas kubur

pelarian tapak-tapak orang kota

setahun dan mungkin seabad lagi

kubur tidak terjenguk, pensiun sama maut, cuma

 

Kalau bumi akan belah,

Jassin,

mungkin hati akan belah

dan nanti dunia belah dua

berjumpalah semua kota, desa, dosa segala

(seperti cerita jakarta-Yogya)

memisahkan pahlawan dan jasa semerah darah.

 

Balikpapan, 1951

 

(puisi ini ditolak majalah Zenith)

 

 

PENGALAMAN  HIDUP

 

Malioboro

Siang-siang para siswa banjir keringat

Kepulangannya habis telaah masyarakat

Soal hidup atau mati

Terus atau kawin saja

 

Pernah Krishnamurti bilang:

Midas, adalah raja dalam dongeng

Segala sesuatu yang dijamahnya menjadi emas

 

Juga aku bilang

Catatan malam “lailatul kadr”

Segala sesuatu yang dilintasinya menjadi

Seperti firman:

Kun-faya kun .........., dan jadilah intelek-ulama

Atau jadilah negara ini – merdeka –

Hanya dan cuma;

Malioboro ini tempat pembuangan macam-macam ganda

dan agenda jaga

 

Kalau aku hidup di terik mentari

seperti kau juga berjoang mati-matian

mengapa kita tidak sekaligus merdeka

Daerah kami seperti:

kodok lapar

seperti rambut putus terserak.

Setiap wanita yang kujumpai

pergi melengos

dan ini priya, Daerah Operasi

medio, satu-dua-tiga

mati konyol dihempaskan lagu perjoangan.

 

Banjarmasin,

Malam kabut sekali.

 

Tidak ada yang misterius

Tidak ada susu siswa yang jalan hidup

Tidak ada isme antara panca dan sila

Kau juga menamakan hidup

-          bebas dari segala bayangan tahta

-          Aku terhindar

-          dari takdir Raja Emas

Juga Aku,

terlepas dari catatan

Intelek-ulama dan kaya-raya

Kita cuma, pejoang yang hinggap

 di kaki-kaki – Malioboro – Banjarmasin

 

Dan habislah akal manusia

menghindarkan jangka perjoangan

Raja Emas mati sendiri

pengikut kami, asyik dalam telaga pancasila

-          N o n  dan  C o –

 

Mari kita jaga

perbatasan ini semua

 

Biar mengering kekayaan orang lain

Dan kita akan kembali

dalam daerah operasi kebudayaan sendiri.

 

Banjarmasin, 22 Juli 1954

 

(Majalah Gajah Mada, Yogyakarta, No.5, Th.V, Agustus 1954, dengan nama samaran M.Ch.Arthum)

 

 

MARI  BERDIRI!

 

Tahun ini akhir surat cinta

Sudah kubilang

Tidak lagi bertanding rupa

 

Adikku manis!

Tahun genap berbilang gempa

Longsor daging dada

Lalulah kita bersama duka

 

Mari berdiri!

Lekas mendekat, mendekap

Petir senjakala kirim api

 Mari berdiri!

Lari! Lekas ke waduk wisata alam,

Sekali mendekap. Tutup rahasia!

 

Aku lari, Adik lari

Lari menjunjung api

Biar terbakar buah rindu

Di bumi masih ada

Hakim, hukum dan kebebasan!

Penghargaan dengan piagam

Dewi mahakasih!

Tuangkan!

Tuangkan buah hati dadamu

Sanggan pusaka jiwa

Di sini kita patri

Cita-citaku, sekujur cintamu

 

Ini kuberikan!

Segala piala berisi-isi buku-buku

Ilmu dunia – akhirat

Segala godaan

Pasti pupus

Rebut piala ini

Kita berangkat pagi!

 

Kerinduan dan harapan!

Angan bersama rayuan

Yang lalu buang ke laut, lepas

Malam kan kembali

Menjunjung peti kemas

Jangan cemas

Putih dadaku, terima dadamu

Taman merdeka

Kita jaga. Kita terjang musuh segala

 

Hayo Mahakasih!

Bangkit membawa kencana piaga.

 

Banjarmasin, 30 Desember 1993

 

(Surat Kabar Banjarmasin Post, Minggu, 13 Februari 1994)

 

 

Bang Dul Raja Maling

Cerpen Artum Artha

 

                Konon menurut sepanjang ingatan orang tua-tua yang masih hidup di kota dan desa, di jurang dan lereng gunung, di pantai, sungai dan di dangau-dangau, lepau, di sawah ladang, bahwa ada suatu tahun sial. Sekitar tahun 1930-1935, keadaan zaman menurun. Harga getah para sadapan, getah para gumpalan, getah para asapan terlalu rendah. Terkadang penjualnya marah. Hati panas. Getah dibawa pulang saja. Dibuang ke sungai. Sungai jadi berbau busuk. Atau dibakar saja di tengah-tengah ladang. Rumput ladang apalagi rumput ilalang jadi terbakar musnah. Di kota melihatnya seperti ada kejadian terbakar di puncak-puncak gunung. Memang getah itu sengaja dibakar di puncak gunung yang ditumbuhi rumput ilalang tinggi. Akibatnya pohon-pohon kayu yang usianya sudah tua turut terbakar. Kian menjadi api di gunung. Pernah suatu kali kejadian serdadu-serdadu Belanda diperintahkan mendaki Gunung Madang, kalau-kalau di situ ada lagi pemberontakan seperti pada tahun 1862-1868. Suatu pemberontakan Tumenggung Antaluddin sebagai persiapan menyerang tangsi Belanda di kota. Kiranya bukan.

                Puncak Gunung Madang terbakar, karena getah asapan yang timbunannya hampir satu ton itu dibakar habis. Nyala apinya mengerikan juga. Ke situlah hamba-hamba wet militer Belanda itu patroli. Ternyata hanya api gunung. Satu manusia jua pun tidak tampak. Tidak jauh dari jurang Madang terdengar ada orang berteriak: “Tolong, api, maling. Maling, api. Tolong.”

                Serdadu-serdadu Belanda jadi bingung. Mereka berlarian menuju ke suara “maling”. Dalam suasana malam yang gelap sukarlah juga gerakan serdadu itu kemana arah dan tempat suara orang yang minta tolong. Tetapi kewajibannya harus menolong penduduk dari ancaman bahaya maling dan api. Lebih-lebih ada perkiraan dakwa, pemberontak punya seribu siasat licik untuk memancing orang-orang Belanda. Pengalaman dalam gerakan pertempuran gerilya beberapa puluh tahun yang silam ternyata banyak akal muslihat yang diatur oleh orang-orang Gunung Madang. Sehingga terjebak beberapa anak pasukan KNIL yang meronda di sepanjang jalan kaki Madang.

                “Benarkah sekali ini suara orang minta tolong: api dan maling?”        

                Kepala pasukan patroli KNIL itu bertanya kepada seorang Sersan Mayor: “Mas Sonto, apakah betul suara itu? Tidakkah cuma suara tipuan saja? Periksa dulu. Selidiki sesungguhnya. Baru kita serempak ke sana. Atau kalau akal jahat kaum pemberontak, Mas Sersan kasih kode saja. Kau tentunya hafal kode-kode KNIL dalam bahaya, bukan?”

                “Siap, Tuan Letnan. Saya sendiri saja mencoba ke sana. Nanti saya kasih kode: silang dua kali nihil. Silang sekali ada orang biasa. Lengkung dua dan silang dua, itulah bahaya kecil dan besar. Tegak, saya siap tunggu bantuan cepat. Siap. Saya ke sana Tuan Letnan.”

                Tuan Letnan Dories memerintahkan Sersan cepat. Sepucuk senjata senapan dan sepucuk pistol lagi dengan kelewang dan bayonetnya ada pada Sersan Mayor Mas Sonto itu.

                Tiba pada tikungan lereng jurang Madang, ia melihat ada seorang perempuan berlari. Sesekali kelihatan jatuh terjerembab ke tanah. Bangun lagi. Lari lagi. Rambutnya panjang terurai. Hanya kain yang lekat pada tubuhnya. Dalam suasana malam samar-samar, kelihatan perempuan itu berdada montok sekali. Sebentar si perempuan bertahan di bawah pohon karet yang condong ke barat. Terdengar nafasnya terengah-engah.

                Jarak beberapa meter Sersan Sonto mengintainya. Adakah orang lain yang membuntutinya? Adakah lelaki yang berdiri jauh di belakangnya? Hampir sepuluh menit mata Sonto mengawasi, memaksakan dua biji matanya menyinari malam gelap. Dengan senter batu baterai, ia arahkan cahaya ke bawah pohon karet. “Hanya seorang diri perempuan itu. Gadis, janda atau perawan tua? Tapi, ah, montok sekali dadanya.”

                Mas Sonto memasuki daerah perempuan yang sedang tersandar itu. Benar juga, hanya dia perempuan tunggal. Tatkala Mas Sonto memeluk batang getah itu, terpukaulah badan si perempuan.

                “Jangan aku dipeluk malam-malam. Siapa? Bang Dul? Siapa? Bang Dul? Siapa, Mamat? Ah, siapa?” (Tubuh perempuan itu menggigil dirasakan Mas Sonto).

                Betul, betul, kiranya perempuan ini gadis tulen puteri gunung. Untung aku sekali seumur hidupku memeluk puteri gunung. Licinnya kulit puteri gunung ini. Bisik Mas Sonto. Ia lupa janji dinas dengan Letnan Dories. Sudah lebih satu jam belum juga memberi tanda kode-kode. “Ada apa Sonto di sana?” ujar hati Letnan Dories.

                Letnan Dories memanggil-manggil sekalian anak buah pasukannya. “Siap, berkumpul! Tunggu perintah!”

                “Sampai sekarang, lebih satu jam. Sersan Mas Sonto belum kasih kode pada kita. Ada apa, di sana?” ujar Dories berkata perlahan kepada bawahannya.

                “Mungkin dia tersesat jalan, Tuan Dories. Maklum malam dan dia belum pernah ke Madang ini.”

                “Ya, saya kuatir sekali. Kalau sesat saja tidak apa-apa. Saya kuatir kalau terjebak pemberontak. Atau barangkali ada perempuan turun menyadap karet, disergap oleh Sonto. Kira-kira, apa gitu, Kopral Singgih?”

                “Ha, haa, haaa, serba mungkin, boleh jadi saja, hahaa,” sahut Kopral Singgih, tertawa campur batuk.

                Letnan Dories kasih komando, “Siap berangkat menyusul gerakan Sersan Mas Sonto. Berbaris biasa. Sebab tidak ada gerakan apa-apa. Tidak ada gerakan pemberontak malam hari.”

                “Langkah kaki biasa,” demikian perintah komando Letnan Dories dan ia bersiul-siul. Sepanjang jalan ronda malam kala itu tenang saja.

*

                Di bawah pohon karet itu telah terjadi adu tenaga antara seorang manusia tak dikenal. Dan perempuan berdada montok itu sudah lenyap dari pandangan Mas Sonto. Sonto sedang berkelahi melawan perampok Bang Dul, Raja Maling. Betapa kuatnya Sonto, tapi keahlian tidak lawan kesigapan Raja Maling, Bang Dul. Sekali kuntau tiba jotosan di muka Sonto. Terjatuhlah Sonto dan kepalanya terbentur pada akar batang karet. Ketika itulah Bang Dul cepat memutuskan tali pistol. Dan hilang melarikan diri. Dia menang dalam pertempuran kelahi melawan Sersan Sonto. Senjata api pistol kaliber 24, cukup hebat dimiliki Bang Dul Raja Maling.

                Sejak itu Bang Dul lebih congkak lagi. Sebab pistol lekat di pinggangnya. Aksi benar Bang Dul. Dan orang-orang di Gunung Madang, bahkan di kota, menjadi takut.

            Malam yang sial itu Letnan Dories kekalahan taktik. Dan Sonto menderita bengkak pada dagu dan kepalanya. Pistol telah lenyap dirampas maling Bang Dul yang jaya.

          Desa dan pinggiran kota kurang aman. Hampir saban malam Sabtu dan Jumat ada-ada saja gangguan. Maling, pencurian dn perampokan. Perampok, begal, maling, pengacaunya tidak dapat dibekuk. Belum diketahui siapa kepala gerombolan pengacau, siapa kepala perampok di desa dan pinggiran kota, dan siapa pula tokoh maling yang ulung selama hampir dua bulan.

          Bang Dul mengirimkan sehelai surat kepada Pak Lurah Kampung Kaliring dan Asisten Kiai wilayah Simpur.

          “Saya, Bang Dul selalu ada di antara dua desa dan kota. Siap melawan dan siap pula menyerah. Kalau ada musuh yang mau menangkap saya, diharap saja memberi tahu dulu kepada saya. Saya siap menunggu di mana saja. Mau berunding asal saling menguntungkan. Bagi orang-orang termasuk Pak Lurah yang mau menangkap saya secara kekerasan akan saya lawan dengan kekerasan pula. Pistol dan parang bungkul serta keris siap membantunya. Kalau perlu menghamburkan darah dan daging. Agar maklum.”

                                                                     Bang Dul, Raja Maling Simpur

 

                Agak gemetar bibir Pak Lurah Iman. Ia melaporkan kepada Asisten Kiai. Asisten Kiai Simpur merangkap Kota sangat terkenal namanya di kalangan lurah-lurah. Sebab keberaniannya dan dua buah senjata apinya. Penakawan-nya beberapa orang. Semuanya gagah-gagah, tukang berkelahi.

                Siapakah Asisten Kiai yang disegani itu? “Anandri”, demikian namanya. Isterinya dua orang. Yang muda baru saja dikawininya. Seorang perawan Gunung Madang yang punya kebun karet hasil warisan peninggalan orangtuanya (meninggal dunia karena dibunuh maling beberapa tahun yang lalu). Pembunuhnya sampai perempuan itu kawin dengan Kiai masih belum diketahui. Orang kampung menduga  juga tiada lain, hanyalah Bang Dul.

           Mendengar laporan Lurah Iman, betapa geramnya hati Anandri dan ia memerintahkan kepada Lurah Iman. “Tangkap hidup atau mati. Jangan biarkan semau-maunya saja hidup di kampung. Lurah Iman harus berani. Mufakat dengan orang kampung. Kalau tak sanggup menangkap, Lurah saya berhentikan nanti. Paham, Lurah?”

          “Inggih, Tuan Kiai. Kami mufakat. Tangkap maling Bang Dul.”

          Di mana-mana orang-orang duduk minum dan makan, mengobrol, selalu membicarakan tentang maling Bang Dul. Bang Dul Raja Maling.

          Penghulu Muda Haji Yusuf telah kecurian kopiah haji dan sorbannya, yang disangkutkannya pada paku dinding bambu dekat pintu muka. Ia lupa menyimpannya, karena lelah setelah datang menyembahyangkan orang mati lemas akibat banjir Sungai Kalang.

          Di bawah sangkutan kopiah-sorban itu, didapati oleh Haji Yusuf secarik kertas kecil sudah rusak, ada tulisan huruf Arab-Melayu, bunyinya singkat: “Tuan Penghulu. Ulun minta rela, sebaik-baiknya sedekah, ialah bila sedekah itu sampai ke tangan yang sangat menghajatkannya. Tuan Penghulu punya pakaian terlalu berlebihan. Tahun ini kulihat Tuan Haji memakai pakaian ala orang Arab Kurais kuno. Sangat menarik hati ulun. Kopiah haji dan sorban yang ada, cukup saja ulun nang memakainya. Sampai ketemu di Hari Raya Idul Adha (beberapa hari lagi). Terima kasih (Ulun Bang Dul).

          Penghulu tidak marah. Cuma bibirnya kumat-kamit: “Dasar nakal Bang Dul!” Kehilangan kopiah haji dan sorban itu dilaporkan oleh Haji Yusuf kepada Kiai Anandri di Simpur. Anandri tambah meluap marahnya.

         “Orang kehilangan ayam jago, kehilangan karung beras dan berasnya, kehilangan kuda, kehilangan sapi, kerbau. Macam-macam. Malah Sersan Mas Sonto kehilangan pistol. Dirampas Bang Dul. Letnan Dories sangat marah. Dan Kiai sepakat akan menembak mati Bang Dul di mana saja ketemu. Siang atau malam. Letnan Dories bilang pada Kiai Anandri: “Saya mau tembak Bang Dul. Tapi saya ingin wawancara dulu dengan Bang Dul. Saya mau lihat isterinya yang tercantik. Siapa perempuan yang baru diculiknya dan dikawininya sonder Penghulu Yusuf,” ujar Dories kepada Anandri.

                Anandri tertawa: “Itu perempuan cantik, seorang penari gandut yang lincah. Ratu muka perawan Gunung Madang. Cantik, memang cantik, Tuan Dories.”

          “Ya, saya mau ketemu isterinya itu. Kalau perlu, ya, itulah kalau perlu, akh, sok, saya tembak juga Bang Dul.”

          Tertawa lagi Kiai Anandri: “Bang Dul akan mati di tangan saya. Dan Tuan Letnan jangan kuatir. Dalam waktu dekat sebelum Hari Raya Haji mendatang, Bang Dul sudah beres. Dan isterinya akan saya gotong, kalau suasana mengizinkan di waktu malam.”

          Kiai itu sekali lagi tertawa panjang. Dan Letnan Dories turut ketawa panjang.

          “Kita orang sama-sama kerja, Kiai.”

          Di kantor Kontrolir Kota berkas maling Bang Dul cukup tebal. Berkas Bang Dul diistimewakan wadahnya. Khusus satu tempat dan di situ cuma ada ‘Berkas Bang Dul Raja Maling Simpur’.

         Kontrolir Spijtman memerintahkan kepada Asisten Kiai Simpur Kota, Anandri, agar Bang Dul jangan sampai mati di tengah jalan. Bang Dul diharapkan masih hidup dibawa ke kota, sehingga maksud tumpukan berkas Bang Dul Raja Maling dapat membuka rahasia, apa yang ada di balik layar pengacauan, pemberontakan dan gerombolan “Kuda Putih Madang Merdeka”.

          Kiai Anandri mengatakan, sedapat mungkin Bang Dul dapat ditawan, ditangkap hidup. Andaikata dalam bahaya terpaksa ditembak mati, daripada jumlah korban akan bertambah banyak.

          “Ya, kalau terpaksa, itu sih, apa boleh buat, Kiai,” tukas Kontrolir.

          Sesudah hujan gerimis, baru saja jamaah surau selesai menunaikan ibadah sembahyang, Kiai Anandri mengumpulkan opas-opasnya; empat orang dan seorang pengawal (Pangerak Pembakal), yang khusus tugasnya jadi penyelidik. Ia harus lebih dahulu memasuki Kampung Kaliring dan sekitarnya. Diduga pada malam gelap itu Bang Dul masih berada di rumah isterinya yang kedua. Andaikata tidak ada di situ, patilah ia mengembara sekitar Kampung Tabihi dan Karang Jawa, Sungai Kudung. Rencananya hendak merampok rumah Utuh Bulat yang baru saja menjual kebun karetnya (uangnya untuk bekal naik haji tahun 1357 Hijriyah – “Haji Akbar”, kata orang).

          Pangerak yang bernama Umpau itu mula-mula menyelidiki kampung Sungai Kudung. Kemudian Tabihi. Terus ke Karang Jawa. Ternyata tidak ada seorang jua pun yang dapat mengatakan tentang adanya usaha Bang Dul untuk memasuki ketiga buah anak kampung itu. “Kami sekampung di sini sudah berjaga-jaga kuat sekali. Semua rumah memasang jerat. Tombak suligi juga sedia. Setiap waktu dapat membunuh Bang Dul,” begitu kata penduduk kepada Pangerak Umpau.

           Umpau terus saja melanjutkan perjalanannya ke Kaliring. Ia singgah sebentar di rumah Lurah Iman, tapi dia tidak ada di rumah. Kata isterinya sedang mencari Bang Dul, yang malam kemarin menggedor rumah Aluh Hirang. Sebuah jam dinding telah hilang dicurinya.

          Setiap orang yang kehilangan dan kecurian, pastilah Bang Dul yang dibawa dan disebut namanya. Bang Dul juga marah-marah. Sebab senantiasa setiap ada orang kecurian barang, semuanya Bang Dul yang punya gara-gara. Kabarnya ada seorang pencuri yang dicincangnya hingga mati di bawah pohon gandaria di Kampung Telaga Langsat. Ternyata pencuri yang mati itulah yang melakukan perampokan di Kampung Tatakan, Binuang.

          Umpau terus saja memburu dan mengepung Bang Dul.

          Kiai Anandri sudah berangkat meninggalkan rumahnya. Dengan 4 orang opas mereka menuju Kota Amandit. Tiba di kota terlebih dahulu lapor kepada Kontrolir Spijtman, agar Kontrolir mengetahui tugas dinasnya di malam hari.

          Kontrolir memberi Spijtman tambahan puluhan biji peluru senapan dan pistol. Juga beberapa biji roti, keju dan menteganya tambah dengan dua blik ikan kaleng sardines.

          Kiai mengucap terima kasih.

          “Ha, kita makan besar malam ini,” ujar salah seorang opas Kiai.

          “Nanti kita singgah di warung Aluh Putih di muara Tabihi sana,” ujar Kiai.

          “Benar. Di situ baik. Orangnya baik. Minuman dan makanan murah dibanding dengan di warung Sarman.”

         Waktu itu sudah jam 10 malam. Malam gelap. Udara tebal hitam di langit. Seakan air hujan akan turun nanti dengan lebatnya.

          “Suatu kesempatan yang baik bagi maling dan orang-orang jahat kalau mau berbuat jahat – kalau malam begini,” kata Opas Marun yang suka mengisap pipa dengan tembakau Semarangnya.

          Mereka singgah sebentar di warung Aluh Putih. Minum dan makan roti. Pisang goreng panas tidak ada. Kiai Anandri bertanya pada Aluh Putih:

          “Aman sajakah di sini?”

          “Aman saja. Tapi dua malam yang lalu rumahnya Sarman kecurian sepeda Raleigh. Baru saja dibelinya di toko Cina,” sahut Aluh Putih. Lalu ia meniup api di dapur.

          “Kira-kira siapa malingnya?” tanya Opas Marun.

          “Ah, siapa lagi yang berani, selain Bang Dul juga.”

          “Nah, Bang Dul lagi,” ujar Marun.

          “Kalau begitu kira-kira ada di mana Bang Dul?” tanya Kiai sungguh-sungguh.

          “Kira-kira ada sekitar Kaliring saja. Tadi ada isterinya kemari. Katanya Bang Dul sudah dua malam tidak ada di rumah.”

          “Barangkali dia ada di salah satu surau, karena malam ini Kamis. Biasanya dia sembahyang tengah malam. Atau pada malam Jumat dilakukannya. Itu kata orang-orang Kaliring.” Begitu Aluh Putih menerangkan.

          Jam di tangan Kiai menunjukkan sudah jam 10 lewat 30 menit. Setelah Kiai sembahyang, harga minuman dan sebungkus rokok sigaret cap Gajah, mereka berangkat.

          Aluh Putih segera pulang menutup warungnya. Sepi. Dingin. Rumah-rumah sepanjang jalan Kampung Ambarai hingga Kaliring semuanya tertutup rapat. Cahaya lampu pelita ada juga beberapa buah yang terlihat berkelap-kelip. Sebuah rumah agak besar di Ambarai dengan pekarangannya yang luas kelihatan dari luar sedikit terang. Opas menuju rumah itu.

           “Tuan Kiai, barangkali rumah ini, tempat isteri muda si Bang Dul Raja Maling. Coba-coba kita ketuk.”

           Kelima hamba wet itu diam sebentar memperhatikan suasana rumah dan sekelilingnya. Lima buah sepeda disandarkan pada kandangnya. Asisten Kiai Anandri menerangi dengan lampu senternya. Tidak ada tanda-tanda menunjukkan tempat rahasia. Yang ada hanya tumpukan buah kelapa beratus-ratus banyaknya dan alat penangkap ikan sungai di kolong rumah itu.

           Seorang polisi mengintip. Telinganya dipasang di sisi dinding. Tidak terdengar sesuatu suara. Polisi Marun dengan pipanya mencoba mengetuk pintu dan dinding rumah itu. Berulang kali namun belum terdengar ada jawaban.

            “Biarlah kita istirahat sebentar di halaman rumah ini. Aku merasa payah selama dalam perjalanan mengayuh sepeda,” ujar Asisten Kiai Anandri.

           “Jauh juga kita mengayuh sepeda. Lebih 8 kilometer,” ujar Opas Marun. “Saya juga payah. Keringat banyak keluar,” tambahnya.

           Semuanya lalu menyandarkan sepedanya masing-masing di kandang halaman rumah. Semuanya memasang rokok. Malam yang mulai larut itu udaranya mulai berubah. Dingin tapi tidak melembabkan badan.

           Opas Marun mengetuk pintu rumah. Lebih keras. Berulang kali diketuknya, namun belum ada jawaban yang terdengar. Opas yang lain mengetuk di belakang rumah.

           “Siapa?” tanya suara dari dalam.

           “Kami Tuan Asisten Kiai dan Opas Kota,” sahut Marun.

           “Ada apa Tuan Kiai?” tanya suara perempuan.

           “Kami mau singgah sebentar. Haus minta tolong air minum,” sahut Marun.

           “Tuan Kiai dan polisi?” tanyanya lagi.

           “Kiai Anandri  dan Marun, tahu,-kenal?”

           “Ya, tahu, kenal,” sahut orang dalam dan pintu dapur pun sudah terbuka.            “Masuk saja. Kami hanya tiga orang di rumah ini. Bapa dan Uma dan aku seorang,” sahut perempuan muda. “O, Tuan Kiai. Siapa lagi Tuan Kiai? Masuk, masuk. Masuk saja semuanya. Jangan ragu-ragu. Kami ingin membuat wadai dan pais pisang talas. Masuk saja,” ujar perempuan muda kepada Kiai.

            “Ramah tamah benar rupanya,” suara seorang polisi lebih muda dari polisi Marun.

           Asisten Kiai masuk. Disusul oleh polisi Marun. Yang lain tinggal menjaga di luar.

           “Kami perlu benar. Mau tanya sedikit,” kata Kiai. Matanya melirik wajah perempuan muda. Tersenyum perempuan muda itu. “Betulkah, menurut keterangan, di sini rumahnya isteri Bang Dul?”

           Perempuan itu terdiam. Tiba-tiba datang ibunya.

           “Betul. Ada apa Tuan Kiai?” tanya ibu perempuan muda itu. Namanya Sarhanah.

           “Siapa nama isteri Bang Dul ini?” tanya Kiai bernafsu.

           “Ia anakku. Namanya Masrara. Isteri si Dullah Bajau. Tapi si Dullah Bajau, jarang benar tidur di sini. Seringkali di lain tempat. Ia kesana kemari. Kecuali kalau malam Kamis atau malam Jumat baru datang. Tapi malam Kamis ini Dullah tidak ada. Entah ke mana. Siang tadi sebentar singgah di sini. Ke mana Dullah, Masrara?”

           Kiai Anandri dan Marun sedikit kerucut dahinya, namun sedikit senyum. Tanda-tanda jejak kaki Bang Dul sudah ada. Mudah saja mengikutinya.

           “Di sini isteri Bang Dul, bukan?” tanya Kiai lagi.

           “Betul.”

           “Masrara, isteri pertama, kedua atau ketiga dari Bang Dul?”

           Sarhana diam. Masrara memalingkan mukanya ke arah ibunya.

          “Masrara, anakku ini, isteri yang kedua. Ia terpaksa saja kawin. Maklumlah dengan si Dullah Bajau. Masrara selamanya ketakutan. Tetapi, nasi sudah jadi bubur. Masrara pada suatu malam diculiknya. Dipaksanya kawin. Dan bapaknya, apa boleh buat, harus mengawinkannya, sebab penghulu juga menjamin. Lebih baik kawin yang halal daripada kawin lacur, ujar penghulu,” terhenti Sarhanah berkata-kata.

          “Nasib, memang nasib. Tapi aku siap membantu Tuan Kiai, kalau perlu,” kata Masrara sambil memberikan air minum dan hidangan kue-kue.

          “Kami sebentar saja Marhanah. Masrara, kami malam ini sekadar menjadi penunjuk jalan. Kami mau menolong Masrara supaya Bang Dul, menantu Sarhanah, dapat ditangkap. Boleh?”

          “Kami setuju,” sahut Sarhanah.

          “Tapi, bagaimana ayahnya Masrara?” tanya Marun.

          “Biarlah. Bapak Masrara masih tidur. Dia sakit-sakit, karena sering kali bertengkar dengan Dullah. Pernah hampir terjadi perkelahian. Sama-sama memainkan parang dan tombak. Untung Kepala Kampung segera datang dan orang-orang kampung sini meleraikannya,” tutur Sarhana dan air matanya kelihatan berlinang di pipinya, tanda dia sakit hati benar. Masrara, satu-satunya anak kesayangannya, seorang penari klasik gandut, diculiknya ketika pulang malam sesudah pertunjukan gandut di kota. Masrara gadis cantik, dewasa. Perawan yang selalu jadi rebutan para pemain judi. Tapi Masrara belum mau kawin.

          Malam kian sunyi menjelang tengah malam. Masrara dilepaskan Sarhanah mengikuti Asisten Kiai. Jarak yang harus ditempuh masih tiga kilometer lagi baru sampai ke rumah Kepala Kampung Iman di Kaliring. Bagaimanapun ricuhnya perasaan Kiai dan Masrara, namun Masrara harus turut Kiai duduk di antara stang dan sadel sepeda. Kiai mendayung sepeda. Dan Masrara, seolah-olah dalam pelukan Kiai dalam malam gelap. Empat orang polisi masing-masing dua orang di muka dan dua orang di belakang.

          Belum satu kilometer jarak yang ditempuh, keringat Masrara sudah keluar. Timbul nafsu Kiai karena bau perempuan yang segar di malam hari walaupun cuma dalam pelukan di panggar sepeda.

         “Ada empat polisi. Kalau tidak, ah, kucium Masrara ini,” ujar suara hatinya.

         “Sedikit lagi kayuhan sepeda kita sampai di tempat Pembakal,” ucap Masrara sambil menoleh Kiai yang bernafas terengah-engah itu. “Kasihan Kiai ini, malam-malam, payah membawa diriku yang malang,” keluhnya.

         “Aku tidak merasa payah. Sejauh kayuh masih kuat membawa Masrara,” sahut Kiai dan bahu Kiai mendekap ke bahu Masrara.

         Tiba-tiba dua orang polisi yang di muka itu terhenti mengendarai sepedanya. Keduanya turun. Tangannya memberi isyarat kepada Asisten Kiai. Asisten Kiai dan Masrara berhenti. Dan turun keduanya.

         “Ada apa polisi?” tanya Kiai Anandri.

         “Barangkali itu pengawal kita dan Lurah Iman, sedang menunggu. Baiknya kita berjalan saja Kiai,” katanya.

         Semuanya berjalan kaki. Masing-masing menuntun sepedanya.

         Ketemu pengawal. Berjumpa Lurah Iman. Lurah Iman bilang: “Tuan Kiai, di sini tidak ada Bang Dul. Sudah kami tanyakan pada beberapa buah rumah, yang biasanya disinggahi oleh Bang Dul. Kata salah seorang, Bang Dul sekitar jam 11 malam ini pergi ke seberang sungai. Di situ ada sebuah surau kecil. Barangkali dia melakukan sembahyangnya, waktu tengah malam nanti.”

          “Lalu, bagaimana caranya kita harus menuju ke seberang sungai itu. Ada jembatan atau titian saja?” tanya Kiai sambil memasang sigaretnya. Masrara kelihatan gelisah mendengar keterangan Iman.

         “Ya, kita harus menyeberang sungai. Ada dua buah sungai kecil, yang akan kita seberangi. Titian sungai cukup kuat. Batang kayu dan bambu,” sahut Iman.

         “Kalau begitu, silahkan dulu Iman dan dua polisi ke situ.” Tangan Kiai memegang tangan Masrara.

          Iman dan dua orang polisi berangkat.

          “Nah, Masrara. Apa Mas tinggal di sini seorang diri saja atau bagaimana, baiknya?”

          “Ah, aku tinggal di sini saja, tapi dibantu oleh seorang polisi, yang mana saja,” ujar Masrara.

          “Saya mau membantu. Asal Kiai izinkan,” sahut seorang polisi yang termuda.

          “Kalau Masrara ini tinggal di sini, saya kira meskipun dibantu polisi, saya tetap kuatir. Andaikata Bang Dul ada di sini dan ketemu isterinya malam-malam begini ada di sini, saya kira,- pasti dia marah. Marahnya Bang Dul tak dapat ditahan. Ia akan memukul isterinya bahkan sifatnya tidak mau dua kali. Ia akan lebih kejam. Kuatir sekali aku, Bang Dul akan membunuhnya.” Polisi itu benar-benar kuatir. Masrara tambah takut. Tangannya kian erat dipegang Kiai.

          “Tetapi, biarlah aku mati di tangan Bang Dul, dia juga lakiku meskipun dia seorang perampok, pembegal, pencuri dan pembunuh. Biarlah aku hancur jadi korban Bang Dul.” Masrara rupanya mau nekat mati.

         “Aku Asisten Kiai bertanggung jawab untuk Masrara. Orang tua Masrara tentunya percaya padaku, akulah penjaga jiwa Masrara. Sebab itu Masrara harus turut aku menyeberang.” Kiai itu menoleh kepada Masrara.

         “Apa boleh buat kalau tak diizinkan. Apa boleh buat.”

         Masrara memandang bintang di langit dan telinganya memperhatikan suara-suara  burung malam. Seram terasa suasana malam itu.

         “Kita berangkat semua menyeberang sungai. Kami lebih dahulu. Dua polisi menyusul di belakang. Masrara kupanggul saja di belakang. Mau Masrara?” ajak Kiai.

          Masrara diam. Gelisah. Dingin sedikit badannya. Tiba-tiba berkata Masrara: “Kalau sudah nasib diriku, ayolah aku hidup sementara di pundak Kiai malam ini.”

         “Dengan segala hati-hati aku membawa Masrara ke seberang sungai.”

         “Tapi hati-hati benar. Di sungai yang kedua itu sedikit dalam. Di situ pernah terjadi seorang perempuan terjatuh, tenggelam, lemas. Kemudian mati dibawa arus.”

         “Jatuh aku, jatuh Masrara. Tenggelam aku, tenggelam Masrara. Mati Masrara, matilah aku.”

         “Kalau kehendak demikian, ayolah. Kita ditakdirkan Tuhan setitian berdua, mati bersama. Tapi mudah-mudahan jangan.” Masrara siap naik ke punggung Anandri, Kiai yang sudah mulai kebirahian itu.

         Sedikit Kiai membungkukkan dirinya, Masrara melompat naik ke punggung Kiai. Bluk! Terjatuh keduanya, tertiarap keduanya. Kedua polisi tertawa, sebentar terdiam, takut kalau dimarahi Kiai.

          “Mengapa Masrara seperti pahlawan perang naik kuda perangnya. Aku kurang makan hari ini. Pelan-pelan sedikit, Masrara. Tubuhnya berisi benar. Pelanlah sedikit.”

         “Kukira Kiai cukup bersiap.” Masrara kian lincah bicara dengan Kiai. Hati kecilnya memang mulai memikat Kiai. Andaikata nanti menjadi lakinya, betapa bangga orang kampung. Perempuan desa kawin dengan lelaki kota. Pangkat Asisten Kiai lagi. Senang benar hati Masrara. Tidak lagi ada kesedihan dalam kalbunya.

          Kiai Anandri sekali lagi membungkukkan badannya. Masrara memegang bahu Anandri. Pelahan sekali mendekap belakang Kiai. Tangannya kuat sekali memegang bahu kiri-kanan Kiai. Sesekali Masrara memeluk leher Kiai. Sedikit menipis sentuhan pipi Masrara ke pipi Anandri. Senang alang kepalang hati Kiai. Timbul birahi lelaki malam. Anandri tertawa kecil.

          Dua buah titian selamat dilintasi oleh Kiai dan Masrara. Menyusul dua orang polisi. Keduanya cepat saja menyeberang titian sungai-sungai itu. Malam gelap itu menunjukkan jam 12 lewat 15 menit (menurut jam tangan Kiai).

         Tiba di seberang sungai. Berhenti di bawah pohon gandaria yang bercabang banyak dan rimbun daunnya. Ada buahnya masak-masak.

        “Aku letih menggendong Masrara. Tapi hatiku segar benar,” ujar Kiai kepada Masrara.

         Masrara menyahut: “Biar letih tapi selamat. Dan seperti pahlawan membawa pahlawan, sama-sama senang yang ditunggang ada yang menunggang.” Masrara mulai berani mencubit bahu Kiai Anandri. Anandri diam. Kuatir kalau terdengar oleh Bang Dul yang pasti bersembunyi dalam surau. Hanya beberapa puluh depa saja lagi sampai di surau.

         “Aku hendak buang air kecil dahulu,” ujar Masrara. Lima langkah saja jauhnya dari tempat Kiai berdiri, Masrara buang air kecil.

         Persiapan pengepungan untuk membekuk batang leher Bang Dul sudah diatur. Dua orang Opas Polisi menjaga dekat tempat arah kiblat. Dua orang lagi menjaga pintu di kiri-kanannya. Masrara disuruh bersembunyi kira-kira tiga depa dari sisi lantai surau. Ia diselubungi dengan kain sarungnya sendiri. Selendangnya dijadikan tutup kepala. Kebetulan ada selembar tikar di situ. Rupanya orang lupa membawa masuk ke surau. Tikar itu dijadikan tutup seluruh tubuh Masrara. Kelihatan Masrara seperti orang mati saja.

         “Masrara, jangan bersuara, tidak boleh bergerak. Nafas harus ditekan, sementara kami mengintai Bang Dul dalam surau ini,” bisik Kiai Anandri ke telinga Masrara.

         Masrara tidak berkata sepatah juapun.

         Sudah hampir seperempat jam dilakukan pengintaian. Bang Dul masih melakukan sembahyang. Entah sembahyang apa ibadahnya lewat tengah malam ini. Kemudian dari celah dinding lapuk kelihatan Bang Dul menghisap rokok. Setelah habis, sebatang lagi disambungnya. Tiga batang rokok sudah diisapnya. Ia memasang pipa lagi. Tercium bau asap pipa Bang Dul.

         “Rupanya tembakau Bang Dul, tembakau keluaran negeri Pilipina,” bisik Kiai kepada dua orang polisi.

         “Baunya wangi sekali,” sahut polisi yang termuda.

        “Kalau nyata Bang Dul di situ bersandar, tunggulah dengan sabar. Masing-masing baca kulhuallah. Lima kali berturut-turut,” perintah Kiai. “Aku menilik di celah-celah jendela itu,” katanya lagi.

         Kiai mundur dan menuju ke bawah jendela surau. Ditiliknya orang bersandar di dekat arah kiblat itu. Benar. Itulah Bang Dul sedang menikmati tembakau pipanya. Asap pipa tambah mengepul.

         Kiai mundur tiga langkah ke belakang. Ia menyentuh kaki Masrara. Tidak bergerak. Dibukanya tikar. Dibukanya selimut. Dilihatnya tubuh. Betapa mesra dan terpuji eloknya Masrara. Disentuhnya dada Masrara. Diam. Dibukanya tangan Masrara. Diam. Dipegangnya pinggang Masrara, diam. Dijepitnya hidung Masrara dengan dua jari, diam. Masrara diam. Matanya kelap-kelip. Pipinya disenter oleh Kiai. Ya, Masrara, sabar menanti apa kehendak Kiai dalam malam samar-samar terang. Masrara tiada lain sebagai sosok patung wanita yang genit dibuat dan diukir oleh pengukir patung. Malam itu yang jadi pengukirnya hanya satu orang. Pengukir tubuh Masrara, Asisten Kiai Anandri sendiri.

         Di bawah usapan angin malam yang mendinginkan tubuh dan hanya binatang-binatang yang melihatnya, Anandri benar-benar telah mengukir tubuh Masrara dengan lahap. Betapa mesranya pengukir itu memuja dan menikmati ukirannya terhadap tubuh Masrara.

         Selesai Anandri mengukir tubuh Masrara. Masrara duduk bermasygulkan diri.

         “Nasibku, jatuh ke tangan macan kota,” ujarnya.

         Kiai Anandri memerintahkan siap tempur mengganyang Bang Dul. Cepat Kiai Anandri menerjang pintu surau, cepat lagi Bang Dul memarangnya. Hampir sekali parang luka parah leher Anandri. Tapi karena tendangan polisi muda yang terlatih main silat dan kuntau, Bang Dul terjungkir ke lantai. Pergulatan terjadi. Ketika kedua polisi mencoba untuk menjerat tangannya, Bang Dul memainkan silatnya pula. Tersungkurlah kedua polisi itu. Melihat gelagat pergulatan yang seru itu, dua polisi datang membantu. Menyergap Bang Dul. Bang Dul tidak mau kalah akal.

          “Ular!” katanya berteriak. Kelima hamba wet itu terkejut. Kesempatan itu dipergunakan Bang Dul memarang leher Anandri. Kena sebelah pipi kiri. Empat polisi bergelut mengurung Bang Dul. Maksudnya supaya dapat ditangkap hidup. Dipersembahkan kepada Tuan Kontrolir Kota dan agar diketahui oleh masyarakat seanteronya. Tetapi Bang Dul tidak mau menyerah. Semua kekuatan dan ilmunya yang ada dihabiskannya dalam pertempuran sengit di tengah surau itu. Ketika Bang Dul tepat menyerang Anandri, tak sabar lagi Anandri memainkan senjata apinya. Bang Dul juga siap untuk menembakkannya.

          Dalam pertarungan saling membidik itu Bang Dul kalah ketangkasan. Sekali bidik kena kepala Bang Dul. Pistol Bang Dul juga meletus kena dinding dekat pintu. Bang Dul tersungkur berlumuran darah tak sadar. Seperti kilat empat Opas Polisi membalut lukanya dan mengikat kaki tangan Bang Dul.

         Pintu dan jendela surau dibuka semuanya. Lampu dinyalakan. Kelihatan persiapan senjata Bang Dul ada lima buah. Sebuah pistol hasil rampasannya, dua bilah parang tajam, satu bilah keris dan sebilah tombak, tajam berkilat. Dalam surau itu suara jadi hiruk-pikuk. Orang-orang kampung bangun dan berdatangan. Malam sudah pukul 2 dekat dinihari.

         Masrara yang terlena tidur merasakan lelah dan nikmatnya juga terbangun. Ia masuk surau.

         “Bang Dul. Engkau lakiku, mati. Bang Dul, aku tak boleh sentuh Bang Dul. Malam ini aku berbuat pekerjaan haram. Karena itu, lemahlah kekuasaan Bang Dul. Kiai juga kualat dan aku sebagai saksi dunia akhirat. Siapa salah tetap dan terus dikutuk Tuhan.”

         Semuanya diam.

         Malam dinihari. Bang Dul Raja Maling mati terbunuh. Masrara, Anandri, menunggu nasib, entah bagaimana. Empat Opas Polisi dan seorang pegawai turut jadi saksi.          Malam yang untung, tapi serba sial itu ditinggalkan oleh rombongan hamba-hamba wet. Yang tinggal mayat Bang Dul.

         Masrara turut ke kota dipanggul lagi oleh Anandri.

         “Dasar laki-laki,” ujar Masrara kepada Anandri.

         “Aku berdosa kepadamu, Masrara. Kepada orangtuamu dan kepada Bang Dul lakimu itu. Aku minta maaf kepadamu, Masrara.”

          “Yang kita kerjakan di lingkungan surau itu, Kiai, suatu perbuatan binatang sebagai dosa tak berampun. Aku juga penuh dosa. Hanya Tuhan kita Yang Maha Kasih Sayang dapat memberi ampun, janganlah kepadaku yang terlalu hina ini.”

         Jatuh berlinang air mata Masrara. Lakinya mati terbunuh ditembak Anandri. Tubuhnya diukir oleh Anandri. Lingkungan surau yang suci dinodai oleh Masrara dan Anandri.          Mudah-mudahan aku diizinkan Tuhan, sempat jua naik haji ke Mekkah Tanah Suci, keluh dan permohonan Anandri kepada Tuhan.

         Suatu malam.

         “Aku telah berdosa membunuh seorang lelaki yang punya isteri tiga orang. Ketiganya telah jadi janda. Aku telah berdosa menodai kehormatan seorang perempuan yang ada lakinya. Aku telah berdosa besar mengotori kesucian lingkungan surau di Kampung Kaliring.”

         Anandri mengucapkan kata-kata itu kepada isterinya, ketika akan melakukan ibadah sembahyang dan airmatanya jatuh berderai dan tangisnya tersedu sedan. Kelihatan tubuhnya lunglai.

         Bagaimanapun peristiwa itu sudah berlalu. Masyarakat merasa aman. Perdagangan besar dan kecil dari desa ke kota umumnya tidak ada angguan lagi. (Majalah Mingguan Senang,  No.0327, 30 Juli 1973)

Ahmad Basuni

Ahmad Basuni (AB), dilahirkan di Margasari, Kabupaten Tapin, Kalsel, 8 Agustus 1922. Sarjana Muda (BA) Fakultas Ilmu Politik Universitas Gajahmada, Yogyakarta. Sejak muda, ia sudah menjadi wartawan. Tahun 1943, bekerja di Majalah Kesadaran Kalimantan  dan Purnama Raya (keduanya terbit di Kandangan). Tahun 1944-1945, di Majalah Semarak (Barabai), dan Borneo Shimbun (Kandangan). Pada 20 Agustus 1945, ia melakukan tindakan heroik: memuat teks Proklamasi Kemerdekaan RI di Borneo Shimbun dan membacakannya di panggung terbuka pasar malam, di alun-alun Kandangan. NICA berusaha menangkapnya, tapi ia berhasil lolos.

Beberapa waktu kemudian, barulah NICA dapat menangkapnya. Setelah cukup lama di penjara, ia akhirnya dibebaskan. Sekeluar dari penjara, ia ke Yogyakarta, bergabung di organisasi kelasykaran Ikatan Pejuang Kalimantan (IPK) Yogyakarta, menetap di sana dan kembali menekuni pekerjaan sebagai wartawan. Ia pernah menjadi  Pimpinan Redaksi Masa Kini dan Majalah Suara Muhammadiyah.

Menulis puisi, cerpen, dan esai sastra sejak 1930-an, sering menggunakan nama samaran Adni Wia. Publikasi karyanya, antara lain, di Majalah Purnama Raya (Kandangan, 1942), Majalah Puspa Wangi (Kandangan, 1943), Majalah Semarak (Barabai, 1944), Borneo Shimbun (Kandangan, 1944-1945), Masa Kini (Yogyakarta), Majalah Suara Muhammadiyah (Yogyakarta), dan Banjarmasin Post. Tahun 1985, ia menerima Hadiah Seni (sebagai Seniman Pembina) Gubernur Kalsel. Tahun 1989, romannya, Ambang Keruntuhan Kerajaan Banjar, dimuat sebagai cerita bersambung di Banjarmasin Post. Meninggal dunia dan dimakamkan di Yogyakarta, 10 November 1990.

 

Ahmad Basuni 

SERULING TANAH AIR

 

Berbunyilah seruling tanah air

Maka dendangkan lagu petani

Bayu bertiup memuput pasir

Beta bangkit membela pertiwi

Maklumlah aku

Melati dan seruling

Saling berpadu

Seruling bergandeng

 

Kini kudengar seruling tanah air

Lagu kebangsaan mengajak persatuan

Kini kudengar seruling tanah air

Lagu persatuan, satu kebangsaan 

 

(Majalah Terang Bulan, Surabaya, Edisi Nomor 11/November/1939.  Koleksi Arthum Artha, 1983).

 

 

PILIPINA MERDEKA

 

Pilipina!

Merdekalah kau Pilipina

Merdeka

 

Kami masih bertarung

Dengan lawan lama

 

Tapi,

Peluru meriam

Menyerang Indonesia

 

Kami senyum

campur darah

Tak menyerah

 

Kepada rakyat Pilipina Manila

Di Istana Malakanyang

Di bekas jajahan senjata Amerika

Indonesia kirim salam

Dengarlah!

Kami terus bertempur

Kami kibarkan bendera

Siang malam

 

Sang Dwi Warna

Merah putih

Takkan gugur

 

Kami bersorak

Dan kita dirikan

Tugu menara merdeka

Pilipina Indonesia

Serumpun se Asia Raya 

 

(Koleksi Artum Artha, 1997)

 

 

Esai

Bahasa dan Sastra Banjar

Ahmad Basuni

 

         Tuan J.E.Tatengkeng, salah seorang pujangga Indonesia, Kepala Perwakilan Kebudayaan Indonesia Timur di Makasar, yang beberapa bulan yang lalu telah mengadakan penyelidikan tentang bahasa Banjar di Kalimantan menerangkan kesannya, bahwa 80% dari perbendaharaan bahasa daerah Banjar itu berasal dari bahasa Melayu.

         Apa yang dikatakan oleh J.E.Tatengkeng itu memang benar. Dan dapat dikatakan, bahwa bahasa Banjar itu pada dasarnya (pada pokoknya) adalah bahasa Melayu. Malah bukan di dalam bahasa saja, tetapi pun di dalam perasaan di waktu perasaan kebangsaan Indonesia belum berapa dikenal, orang-orang suku Banjar menyebutkan dirinya orang Melayu.

 

Pengaruh Jawa dan Melayu

         Di dalam hubungan raja-raja dan kebudayaan maka daerah Banjar sesungguhnya mempunyai hubungan rapat dengan raja-raja dan kebudayaan Jawa. Di masa Hindu dengan raja Majapahit dan di masa Islam dengan Demak, Pajang dan Mataram.

         Menurut cerita yang umum dikenal di kalangan penduduk, salah seorang raja yang terkenal di masa Hindu yang memerintah di kerajaan Kuripan (Amuntai) yaitu Pangeran Suryanata yang kawin dengan puteri pujaan Kuripan, Junjung Buih, adalah seorang putera dari Raja Majapahit, tadinya bernama Raden Putera. Suryanata sesudah menjadi raja di Kuripan mengadakan aturan: jangan meniru pakaian dan adat istiadat bangsa lain, melainkan pakaian dan adat istiadat di kerajaan Majapahit.

         Demikian pula ketika seorang putera raja, yaitu Raden Samudera akan merebut tahta dari pamannya yang mendurhaka, Pangeran Temanggung di masa kerajaan bertempat di Daha (Negara), maka bantuan raja Jawa (sebagian mengatakan raja Demak, sebagian menerangkan Sultan Mataram, Senapati) yang dimintanya pun sampai ke zaman raja-raja Islam, adat istiadat yang berasal dari Majapahit demikian pun keseniannya, tetap dihormati oleh rakyat. Demikian pula susunan pemerintahan umumnya meniru cara di kerajaan di Jawa, yang kemudian sedikit demi sedikit disesuaikan dengan kehendak dan peraturan Islam.

         Tetapi walaupun hubungan dengan Jawa demikian rapatnya, bahasa Jawa tidak sampai ditiru oleh penduduk dan tidak menjadi bahasa penduduk. Hanya saja banyak kata-kata Jawa yang terasa dipakai dengan cara yang dihormati, ialah di dalam keraton (sirap) kerajaan Banjar, yang ketika itu disebut bahasa dalam. Nama-nama pakaian, pangkat, alat-alat kerajaan-kerajaan memakai kata-kata Jawa. Dan bahasa Jawa sebagai bahasa yang terhormat hanya dipergunakan di bagian cabang atas atau merupakan bahasa dalam ilmu kesenian.

         Sementara itu pengarang Suluh Sejarah Kalimantan, Amir Hasan Bondan, mengenai bahasa yang dipakai di daerah Banjar pada khususnya dan di Kalimantan pada umumnya, mengatakan sebagai berikut: ahli sejarah belum dapat menentukan dengan pasti bahasa apakah yang dipakai orang di Kalimantan dalam masyarakat ramai pada zaman purba sekali. Juga di zaman setelah Empu Jatmika (anak saudagar Keling, India, yang mendarat di sekitar Margasari, Amuntai sekarang, A.Bsn) dan Lambung Mangkurat (putera Empu Jatmika yang mendirikan kerajaan Kuripan, Amuntai, A.Bsn) tiba di Kalimantan orang belum dapat menyelidiki kepastiannya bahasa apa yang dipakai sebagai bahasa pertemuan di kalangan suku-suku bangsa di Kalimantan. Hanya di dalam Islamlah dapat diketahui, bahwa sebagai pokok dari bahasa pertemuan yang dibasakan oleh penduduk yaitu, bahasa Melayu campuran (percampuran bahasa Melayu, Jawa, Hindu dan Dayak, diaduk merupakan bahasa perhubungan).

          Saya tidak akan membicarakan bahasa yang dipakai di zaman purba sekali. Cukup dengan menyelidiki yang dipakai sekitar kedatangan Empu Jatmika di Kalimantan yang mendirikan Candi Laras di Margasari pada lk.th.1400. Sebelum Empu Jatmika datang, di sekitar daerah Banjar sudah ada beberapa negeri yang berisi penduduk. Penduduk ini sudah mempunyai bahasa perhubungan sehari-hari. Bahasa apa yang mereka pakai. Bukan bahasa Dayak, melainkan sudah bahasa Melayu. Mereka berbahasa Melayu oleh sebab: 1.Nenek moyang mereka ada yang memang berasal dari Melayu, 2.Penduduk yang kebanyakan bekerja sebagai pedagang, banyak berlayar ke daerah Melayu dan berhubungan dengan orang-orang Melayu, 3.Orang-orang Melayu kemudian makin banyak yang datang ke daerah Banjar, dan tinggal menetap pula hingga menjadi orang Banjar. (Sebenarnya kata Banjar mulai dikenal di zaman raja Islam yang pertama, Sultan Suriansyah. Mula-mula bernama Bandarmasih, kemudian disebut Banjarmasin).

         Berdasar keadaan demikian, maka dapat dimengerti, mengapa bahasa Melayu yang menjadi pokok dasar bahasa Banjar, sebab bahasa Melayu digunakan dalam perhubungan sehari-hari oleh penduduk, sedang bahasa Jawa yang walaupun di zaman kebesaran Majapahit kekuasaannya sampai ke Kalimantan, tetapi oleh karena bahasa Jawa itu banyak dipakai di kalangan atas, tidak menjadi bahasa penduduk.

         Bangsa-bangsa lain yang datang di Banjar menjumpai suatu suku yang umumnya berbahasa Melayu. Mereka ini tinggal di tepi pantai dan di tepi-tepi sungai, yang mudah didatangi dan berhubungan dengan bangsa-bangsa lain, berhubung dengan pekerjaan mereka kebanyakan sebagai pelajar, penangkap ikan dan pedagang. Penduduk yang dinamai penduduk asli, yaitu Suku Dayak, sukar berhubungan dengan bangsa-bangsa pendatang, karena mereka itu diam jauh di hulu-hulu sungai dan pegunungan serta tempat kediamannya terpencil-pencil, berkelompok-kelompok.

         Berkembangnya agama Islam merupakan suatu sebab yang utama bagi berkembangnya bahasa Melayu. Pelajaran agama di surau-surau dan di masjid-masjid, ataupun di rumah-rumah, diadakan dalam bahasa Melayu. Kitab-kitab agama dikarang dalam bahasa Melayu.

         Berdasar keadaan dan sebab tersebut, maka bahasa Melayu menjadi bahasa penduduk, dan dengan melalui perkembangan selanjutnya, menjadi apa yang kita sebutkan bahasa Banjar.

         Oleh perhubungannya dengan berbagai bangsa itu, maka di dalam bahasa Banjar selain yang menjadi pokok utama bahasa Melayu, terdapatlah kata yang berasal dari bahasa Jawa, Dayak, Arab, Portugis, Tionghoa, India, Inggris dan Belanda. Bukan saja bahasa Melayu, yang di antaranya mengalami perubahan sebutan (lafaz) ketika dipergunakan oleh penduduk, pun kata-kata dari bahasa asing umumnya mengalami perubahan sebutan dari sebutan asalnya.

 

Huruf Melayu

        Betapa besarnya pengaruh Melayu di kalangan Suku Banjar, dapat pula diketahui dari sebutan mereka terhadap huruf Arab. Mereka mengatakan, huruf Arab yang digunakan untuk menuliskan bahasa Melayu (kemudian bahasa Indonesia) karena mendapat tambahan beberapa huruf yang tidak terdapat pada huruf Arab yang asal, sebab harus digunakan untuk menuliskan bahasa Melayu, adalah huruf Melayu. Yang mereka katakan huruf Arab, ialah huruf yang dipakai oleh Qur’an dan kitab-kitab agama yang memakai tulisan dan bahasa Arab.

          Di waktu huruf Latin belum berapa berkembang dan lebih-lebih di waktu huruf Latin itu oleh penduduk diterima dengan perasaan ragu-ragu karena fanatisme yang meluap-luap yang mengatakan huruf Latin itu adalah huruf Belanda, sedang bangsa Belanda adalah bekas musuh mereka yang mereka sebutkan bangsa kafir, maka huruf Melayu itulah yang satu-satunya berkembang di kalangan penduduk. Hanya saja karena pelajaran mengenai huruf Melayu itu tidak dilakukan menurut sistim ilmu pelajaran maka tidak banyak penduduk yang pandai menuliskannya, hanya pandai membacanya.

          Sesudah pemerintah Belanda mendirikan sekolah-sekolah rakyat, maka huruf Melayu itu menjadi satu mata pelajaran yang wajib, mulai dari Kelas III sampai tamat Kelas V. Mengetahui, umumnya anak-anak yang bersekolah rakyat tersebut segera pandai menulis huruf Melayu itu dan mudah belajar bahasa Qur’an, maka keengganan orang-orang tua untuk menyekolahkan anaknya makin berkurang, dan dengan demikian, di samping huruf Melayu itu, maka huruf Latin pun berkembang pula.

 

Dialek Bahasa Banjar

         Dengan berdasar dengan daerah kediaman yang mempengaruhi pula kepada perbedaan dialek dalam bercakap, maka di dalam garis besarnya orang Banjar dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu Banjar Kuala dan Banjar Hulu. Yang termasuk di dalam bagian Banjar Kuala, ialah orang-orang Banjar yang tinggal di daerah Banjarmasin, Martapura dan Pelaihari. Pun orang-orang Banjar yang tinggal di daerah Kuala Kapuas; Sampit, juga Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur, biasanya dimasukkan pula kepada Banjar Kuala. Yang masuk dalam bagian Banjar Hulu, seperti Rantau, Margasari, Negara, Kandangan, Barabai, Amuntai, Kelua dan Tanjung (penulis karangan ini sendiri termasuk dalam bagian Banjar Hulu, karena dilahirkan  di Margasari).

         Saya masukkan kedua bagian tersebut ke dalam daerah Banjar, karena berdasar kepada ketika kerajaan Banjar masih berdiri, daerah tersebut menjadi daerah dari kerajaan Banjar tersebut, baru kemudian sesudah Belanda mulai campur tangan dan menanam kekuasaan, beberapa kerajaan-kerajaan yang tadinya termasuk dalam kerajaan Banjar, memisahkan diri dan menjadi kerajaan sendiri. Tapi walaupun demikian bahasa Banjar dan perasaan Banjar, tetap hidup di daerah tersebut.

         Antara penduduk kedua bagian tersebut, yaitu Banjar Kuala dan Banjar Hulu, terdapat perbedaan di dalam lagu berbicara dan ada pula perbedaan di dalam sebutan (lafaz). Perbedaan di dalam sebutan, umumnya di dalam melafazkan huruf: o, e, dan e. Umpamanya dalam melafazkan orang, botol, soto, oleh orang-orang dari Banjar Kuala, diucapkan dengan huruf o yang bulat menurut huruf ejaannya. Tetapi orang-orang Banjar Hulu menyebutkannya: urang, butul, sutu. Demikian pula sen, kepeng, koreng, orang-orang Banjar Hulu melafazkannya: sin, kiping, kuring. Selanjutnya kata-kata tebal, selam, yaitu kata-kata yang mempunyai huruf e, orang-orang Banjar Kuala mengucapkannya sebagai tulisan tersebut, sedang orang-orang Banjar Hulu menyebutkannya: tabal, salam, jadi e menjadi a.

          Tapi sebaliknya ada pula sebutan orang-orang Banjar Kuala yang menyimpang dari sebutan umum, yaitu a dibunyikan e, hingga penganten, menjadi pengenten, sedang sate menjadi sete dan saleh menjadi seleh. Ada pula yang huruf a menjadi o, seperti alon-alon menjadi olon-olon.

          Perbedaan yang nyata di dalam lafaz tersebut, umumnya terdapat di kalangan penduduk yang belum berapa biasa menggunakan bahasa Indonesia atau terlalu kuat memegang keBanjarannya. Mereka sudah belajar bahasa Indonesia di sekolah-sekolah dan biasa bercakap dengan bahasa Indonesia, kurang menampakkan kejanggalan di dalam sebutan itu.

          Dan sebagai juga bahasa Indonesia, maka bahasa Banjar tidak memakai bahasa dua tingkatan yang tertentu untuk sesuatu golongan, tidak sebagai bahasa Jawa. Kata-kata menghormat atau sebaliknya menghina, cukup diucapkan dengan cara mengucapkannya saja, umpama dengan suara pelahan atau keras. Perbedaan di dalam dengan orang tua atau orang sebaya, atau yang lebih muda, hanya di dalam kata-kata ganti orang (personal pronoum). Umpama orang yang tua menyebutkan dirinya: aku (Banjar Kuala: unda), orang yang muda ulun, orang yang tua berkata kepada sebaya dengannya atau yang lebih muda daripadanya: ikam (Banjar Kuala: nyawa), orang-orang yang lebih muda menyebut yang lebih tua: sampian. Demikian lagi dia, bagi yang muda dia disebut sidin, bagi yang muda sebaya: inya.

 

Kesusasteraan Banjar

          Dan yang perlu pula saya kemukakan, ialah bahasa Banjar yang benar-benar bahasa Banjar hanya digunakan dalam hubungan percakapan sehari-hari di antara penduduk. Tetapi di dalam tulisan, baik untuk buku-buku dan surat-surat, bahasa Banjar percakapan itu tidak dipakai. Untuk ini dipakai bahasa Melayu yang lebih umum, dan dewasa ini dipakai bahasa Indonesia. Di dalam pertemuan-pertemuan kekeluargaan masih digunakan bahasa Banjar, tetapi didalam pertemuan yang bersifat umum atau pertemuan-peretmuan pemerintah resmi dan yang diadakan oleh organisasi-organisasi yang cara sekarang, digunakan bahasa Melayu umum (bahasa Indonesia).

         Kalau saya mengatakan di sini: kesusasteraan Banjar, maksud saya bukan kesusasteraan yang memakai bahasa Banjar percakapan melainkan memakai bahasa Banjar dalam tulisan, yaitu bahasa Melayu umum yang digunakan oleh penulis-penulis Banjar. Dan di dalam tulisan-tulisan atau karangan-karangan tersebut lahirlah apa yang hidup di dalam jiwa, kecakapan dan perasaan mereka itu sebagai penduduk daerah Banjar.

          Dibanding dengan kesusasteraan daerah-daerah di Indonesia lainnya, lebih-lebih dibanding dengan kesusasteraan bahasa Jawa, maka kesusasteraan Banjar yang tertulis sedikit sekali. Kesusasteraan yang tertulis baru dimulai sesudah zaman Sultan-Sultan Islam, ada yang berupa prosa seperti kitab-kitab tentang soal-soal agama Islam dan di masa Sultan Adam Al Wasikbillah (1828-1857) berupa Undang-Undang Sultan Adam yang dikeluarkan tahun 1835. Di samping itu ada kesusasteraan berupa prosa yang hanya menjadi hafalan di luar kepala antara lain yang dikenal dengan mamang Ni Kudampai, yaitu menjumpai anaknya bernama Si Angui.

          Kesusasteraan berupa puisi, di antaranya ada yang sudah tertulis menjadi buku dan ada pula yang hidup dari mulut ke mulut. Yang hidup dari mulut ke mulut lebih menunjukkan bahasa Banjar percakapan. Puisi tersebut terdiri dari syair, pantun dan nyanyian.

          Untuk menjadi bandingan dengan bahasa Indonesia kita sekarang, baiklah saya salinkan sekadar catatan dari susunan kalimat dan bahasa yang dipakai oleh Undang-Undang Sultan Adam tersebut.

          Kalimat pembuka dari Undang-Undang Sultan Adam tersebut berbunyi: “Pada hejrat sanat 1251 pada hari Chamis yang kelimabelas hari bulan Almuharam jam pukul sembilan pada kutika itulah aku Sultan Adam membuat undang-undang pada sekalian rakyatku supaya jadi sempurna agama rakyatku dan atekad mereka itu supaya jangan jadi banyak perbantahan mereka itu dan supaya jadi kemudahan segala hakim menghukumkan mereka itu aku harap jua bahwa jadi baik sekalian hal mereka itu dengan sebab undang-undang ini yang 31 Pasal”.

          Dengarlah pula betapa orang bahari menceritakan sumpah yang dilakukan oleh ibu Si Angui, yuaitu Ni Kudampai sebagai berikut :

          “Riang-riang ari bujangga, riang-riang ari pikulun. Barakat aku asal titis dewa batara, barakat aku asal disambah didungkul orang, barakat aku rumsa mangandung inya, sangang bulan sangang hari. Mudah-mudahan sidi pangucapku, kabul permintaanku di dunia ini jua, inya batarima dolatnya. Baluman pacah riak di bibir, buih di muntung, situ sini ari kadap gulita, kilat patir sambar manyambar, guntur mandaram-daram, ujan sapui-sapui lalu turun ribut basar” (dari Suluh Sejarah Kalimantan, Amir Hasan Bondan).

 

Syair

         Syair itu ditulis dengan huruf Arab (huruf Melayu), umumnya ditulis dengan tangan memakai lidi enau (sagar, Banjar) dan ada pula satu dua yang pernah dicetak di percetakan batu di Singapura. Tidak banyak penduduk yang mempunyai kitab syair itu. Ada yang suatu daerah hanya sebuah dua buku saja, apalagi kalau buku itu ditulis dengan tangan. Karena itu maka harga kitab itu mahal dan oleh itu pula disimpan dengan hati-hati sebagai menyimpan kitab-kitab agama.

         Di masa yang lampau, syair itu biasa dibaca di waktu malam menjagai (jagongan, Jawa) pengantin, anak lahir dan berkhitan. Dalam garis besarnya syair dibagi atas 3 bagian, yaitu: 1.berdasar cerita atau hikayat, 2.berdasarkan pendidikan atau fatwa agama Islam, dan 3.bersifat sindiran (ibarat).

          Karangan syair yang berdasar cerita yang terkenal ialah: Hemop karangan Usup bin Abd Rahim bin Kyai Rona Manggala, Syair Ganda Kesuma, Syair Brahma Syahdan (keduanya karangan Haji Gusti Ali), Jaya Keniti karangan Muhd. Ali Margasari, Saputera, Madi Kencana, Ranggandis, Carang Kulina dan Sitti Jubedah.

          Syair yang berdasarkan pendidikan agama ialah Syair Mayat karangan Haji Pangeran Musa (seorang alim pengarang Darun Nafis, hidup di masa Sultan Adam) dan Tajul Muluk karangan Kiai Mas Ahmad Dipura.

          Syair ibarat ialah Syair Ringgit, Syair Karuang dan lebih agak modern namanya ialah Syair Rokok Ambre. Di antara syair ibarat ini, dua buah dikarang oleh wanita, yaitu Syair Ringgit oleh Haji Umi binti Kiai Temenggung Kartanegara di Barabai dan Syair Rokok Ambre oleh Nyai Airmas, bunda dari Haji Umi isteri dari Kiai Temenggung Kartanegara tersebut.

          Marilah saya salinkan sebait dari Syair Hemop itu, sebagai berikut:

 

          Hemop bercakap di kota Intan,

          Jindral Perkenel hadir sekalian,

          Ampat buah kece cakap melawan,

          Menanggar Kapitan Panjang Kapitan Bahman.

 

          Dari Syair Ganda Kesuma kita salinkan sebagai berikut:

 

          Ganda Kesuma mengunus cincinnya,

          Ke jari puteri dimasukkannya,

          Cincin puteri diambilnya,

          Betukar cincin yang keduanya.

 

           Yang-yang kasuma dewa susunan,

           Itulah cincin kakanda tuan,

           Kalau pun kakang mati di medan,

           Cincin akan percintaan.

 

           Dalam Syair Mayat, Haji Pangeran Musa bersyair antaranya sebagai berikut:

 

           Alkisah tersebut suatu madah,

           Menghabarkan nyawa tatkala pindah,

           Tubuh lesu urat pun lemah,

           Jangan lupa akan zikir Allah.

 

           Barang siapa tahukan iman

           Bersungguhlah mengikut zirman

           Supaya sampai bernama budiman,

           Dunia akhirat mendapat nyaman.

      

           Tatkala disoal munkar dan nankir,

           Menjawab tiada lagi berfikir,

           Atekadnya sah amalnya mahir,

           Lidahnya fasih menyebut zikir.

 

           Kalau Syair Hemop menceritakan tentang peperangan antara Kompeni Belanda dengan orang-orang Tionghoa, yang baik nama orang Belanda maupun nama orang Tionghoa diubah oleh pengarangnya dengan nama lain (Hemop berasal dari Christoffel Hoffman) berdasar kepada apa yang didengar oleh pengarangnya, hingga di samping kehebatan perang terdapat kelucuan, maka di dalam Syair Ganda Kesuma pendengar dibawa kepada alam kayangan, percintaan dan kesaktian.

                Sedang dengan mendengarkan Syair Mayat, pendengar dibawa menginsyafi kelemahan diri di hadapan ke MahaBesaran Allah, dan ketakutan kepada azab neraka. Tidak heran, kalau pendengar lebih-lebih kaum wanita atau orang-orang yang sudah tua, akan keluar air matanya menangis karena terharu dan timbulnya keinsyafan. Syair ini tidak sedikit manfaatnya dalam menghasung hati umat Islam supaya taat berbakti kepada Allah, rajin mengerjakan ibadat dan berusaha menjauhkan maksiat.

          Dari Syair Mayat tersebut dapatlah pula diketahui, bahwa oleh alim ulama Banjar di kala itu, syair sudah digunakan untuk maksud yang lebih tinggi dan luhur. Keindahan bahasa dan susunan kata-kata tidak hanya untuk soal-soal percintaan antara bujang dan gadis atau membangunkan keberanian untuk membela kehormatan yang dicintai, tetapi juga untuk mencari dan mendekati keredhaan Ilahi.

          Syair tersebut dibacakan dengan berlagu, di antaranya yang terkenal ialah lagu hujan panas, tinggalung sangkut, tangah malam dan tanah varat. Yang pandai dan biasa bersyair bukan saja terdiri dari kaum laki-laki tetapi juga wanita, ada yang bersyair sendirian atau berganti-ganti merupakan pertandingan.

 

Pantun

           Sebagai juga dengan syair, maka di dalam masyarakat Banjar, pantun pun di waktu yang lampau mempunyai lapangan yang luas. Pantun itu dilagukan dengan beberapa macam lagu dan digunakan untuk beberapa macam maksud. Buku Suluh Sejarah Kalimantan menyebutkan semacam dari pantun itu, yaitu pantun tarasul, pantun meminang, pantun bertanding (baturai, Banjar), pantun pelipur, pantun pujian, pantun lucu, pantun meratapi nasib dan pantun insyaf.

           Yang lebih menarik hati dari semua pantun itu ialah pantun tarasul. Dengan pantun ini kita dapat pula mengetahui suatu macam adat yang unik yang berlaku di masa yang lampau di daerah Banjar. Pantun ini khusus digunakan oleh seorang pemuda (pria) yang jatuh cinta kepada seorang gadis (wanita). Untuk menyatakan rasa cinta dan gelora asmaranya, dikirimnya patun tarasul itu kepada gadis (wanita) yang menawan hatinya. Pengirimnya memakai nama samaran, sedang namanya yang asli disampaikan dengan lisan oleh orang yang diutus untuk menjadi perantara yaitu orang yang menyampaikan pantun itu.

           Kertas yang dipakai untuk pantun tarasul itu istimewa pula. Bukan semacam kertas yang biasa kita pakai, melainkan selembar kertas atau beberapa lembar kertas yang disambung-sambung yang panjangnya sampai 2 meter. Pinggir kertas itu sekelilingnya diberi hiasan bunga-bungaan. Hiasan ini ada mengandung maksud. Melati berarti kesucian hati, mawar maksudnya cinta yang tidak berhingga, cempaka adalah peringatan kehormatan dan kenanga suatu tanda sama-sama menaruh cinta. Hiasan bunga kenanga itu dibuat oleh pihak gadis (wanita) untuk menyatakan bahwa cinta arjunanya itu mendapat sambutan semestinya, hingga walaupun isi pantun balasannya seolah-olah menolak, sang arjuna sudah tahu bahwa ia tidak bertepuk sebelah tangan.

          Selain dari hiasan bunga, di bagian muka kertas oleh pemuda yang mengirimnya dibuat lukisan seekor naga dan seekor ular lidi. Naga lambang dari pemuda dan ular lidi lambang dari pemudi. Maksudnya pula, bahwa lambang kedua hewan itu melambangkan percintaan antara pemuda dan pemudi.

           Sebelum dikirim, surat pantun tarasul itu diasapi dahulu dengan dupa dan kemenyan dan diberi harum-haruman. Surat itu digulung dan diikat dengan benang emas atau sutera. Biasanya pemuda yang mengirim pantun itu, memulai suratnya dengan pantun merendahkan diri, mengaku dirinya seorang yang hina. Ia berpantun:

 

           Dengan bekal si hina tani,

           Datang ke hadapan kumala insani,

           Tunduk menghadap junjungan yang gani,

           Seraya bermadah di bawah ini.

 

           Ia selalu menerangkan dengan kata-kata yang halus dan beriba-iba tentang penyakit di jiwanya yang menyebabkan jantungnya bergoyang serasa gempa. Sesudah itu diterangkannya betapa mimpinya ketika ia jatuh terhantar, ia bertemu dengan seorang tua yang mengatakan kepadanya, bahwa tabib yang ampuh mengobat penyakitnya itu, adalah kekasihnya itu.

          Pada akhirnya ia mengharapkan kemurahan dan balasan cinta gadis itu dengan pantunnya:

 

          Jikalau tiada kiranya tuan

          Seorang puteri nyata bangsawan

          Hatinya murah lagi dermawan

          Penolong hamba tani tak keruan

 

          Bukan kepalang besar harapnya

          Akan mendapat obat yang dihajatnya

          Menyembuhkan sakit penggoda jantungnya

          Dari pada kumala puteri adanya

 

          Selain pantun tarasul, saya ingin mengemukakan suatu macam pantun lagi, yaitu pantun pujian. Pantun ini antaranya ditujukan untuk memuji kecantikan seorang wanita. Di sini digunakan kata-kata ibarat (kiasan) yang untuk kita sekarang sudah dianggap kiasan kuno, tapi di masa itu dirasakan benar-benar sampai ke tulang sumsum.

          Dengarlah dua bait dari pantun pujian ini:

 

          Rambut mamak memayang mekar

          Tumit kaya bawang sesihung

          Pacak bibir menggula sekar

          Telur betis menelur burung

 

          Pipi kaya pauh nang lunak

          Jeriji halus menyugi landak

          Kuku panjang nang kaya unak

          Betis nang kaya selungsung pudak

 

Nyanyian

         Sebelum masuk dan berkembangnya lagu-lagu baru, di kalangan penduduk Banjar sudah ada beberapa lagu dan nyanyian yang digunakan untuk maksud-maksud tertentu. Nyanyian itu disertai dengan alat-alat bunyian, seperti gendang, biola, rebab, terbang dan lain-lain, dan ada pula yang hanya dengan suara saja. Di kalangan keraton, tembang dan seni suara Jawa mendapat perhatian istimewa.

          Nyanyian yang terkenal (dalam hal ini saya sengaja tak usah memberikan contoh-contohnya) ialah nyanyian menari, nyanyian ladon, madihin, lamut, mengayun anak, mencari madu lebah (mamuai wanyi, Banjar), ahui (ketika mengirik padi), tambang (pendayung perahu), ayun apan, kuriding (semacam alat bunyian, dibunyikan dengan mulut), nyanyi japin dan gandut.

         Nyanyian menari digunakan untuk sesuatu upacara, dengan memakai lagu pembukaan dinamai lagu Mas Mirah disusul dengan lagu Mas Bangun, dan kalau tarian itu diadakan untuk sesuatu hajat dipakai lagu Burung Mantuk. Nyanyian ladon dipakai pada pembukaan permainan yang dinamakan permainan mamanda alias Abdulmuluk, semacam komedi bangsawan rakyat yang percakapannya memakai nyanyian.

         Yang masih paling meriah mendapat perhatian di antara nyanyian-nyanyian itu, ialah madihin. Bahkan di RRI Banjarmasin, madihin ini menjadi suatu acara tetap. Pemain madihin boleh seorang, dan untuk lebih meriah 2 orang, yang bernyanyi gilir-bergilir hingga merupakan pertandingan dengan masing-masing memukul terbang besar. Isi nyanyiannya berbagai macam. Ada yang menyebutkan nama-nama negeri, makanan, buah-buahan, pohon-pohonan, pakaian, bahkan sampai kepada hukum-hukum Islam dan soal-soal percintaan. Penyanyi madihin yang mahir, untuk membalas nyanyian lawannya, pandai saja membuat syair-syair nyanyian baru ketika bermain.

          Nyanyian mengayun atau menidurkan  (mandundang, Banjar) anak, terbatas pada kaum wanita (ibu) yang sedang menidurkan anaknya dalam buaian. Isinya melukiskan kecintaan dan pujian kepada anaknya, pengharapannya dan diiringi dengan doa supaya anaknya itu menjadi orang yang benar, berguna, beriman, selamat dan sehat afiat.

***

          Demikian telah saya coba mengemukakan kepada pembaca tentang bahasa Banjar, pertumbuhan dan perkembangannya, serta sekadar uraian dan contoh-contoh dari prosa dan puisi yang terdapat di kalangan penduduk suku Banjar. (Majalah Misjkah, Yogyakarta, No.1, Th.I, Triwulan IV, 1954)

 

 

Yusni Antemas (Anggraini Antemas)

         Yusni Antemas (Anggraini Antemas) dilahirkan di Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Utara, 22 April 1922. Menulis puisi, cerpen, artikel seni budaya, esai sastra, roman/novel dan naskah drama, sejak 1940-an. Publikasi karyanya, antara lain, di Surat Kabar Borneo Shimbun (Banjarmasin, 1942-1945), Surat Kabar Terompet Rakyat (Amuntai, 1947), Surat  Kabar Menara Indonesia (Amuntai, 1947-1948) dan Surat Kabar Kalimantan Berjuang (Banjarmasin, 1949-1952).

          Karyanya juga dipublikasikan di Majalah Waktu (Medan), Majalah Indonesia (Bandung), Majalah Nasional (Yogyakarta), Majalah Suara Rakyat (Surabaya), Majalah Cermin (Surabaya), Majalah Sketmasa (Surabaya) dan Majalah Varia Nyata (Surabaya). Roman/novelnya: Melamar Puteri Purnama (CV Rapi, Banjarmasin, 1981), Si Bunglon Jadi Detektif (CV Rapi, Banjarmasin, 1981), Menghindar dari Telaga Kematian (CV Rapi, Banjarmasin, 1981), Tunas-Tunas Mekar Pagi (Depdikbud RI, Jakarta, 1981) dan Mendulang Intan (Depdikbud RI, Jakarta, 1981).

         Di masa revolusi fisik, aktif berjuang melalui organisasi Pemuda PRI (1944-1945) dan GERPINDOM (1945-1949). Dengan pangkat Letnan Muda, ia bergabung dengan BPPKI (Kompi Amuntai) di bawah pimpinan M.Yusi. Sering keluar-masuk penjara, bahkan, oleh NICA, sempat akan dihukum gantung di Tanjung.

        Ia juga wartawan dan penulis yang produktif. Pernah bekerja di Majalah Megaria (Banjarmasin, 1975-1979), Majalah Museugrafia (Banjarmasin) dan Surat Kabar Utama (Banjarmasin, 1967-1978). Pada 17 Agustus 1975, menerima Hadiah Seni Gubernur Kalsel atas prestasinya di bidang kebudayaan.

 

Yusni Antemas

UNTUKMU  PAHLAWANKU

 

Pahlawanku!

Jika boleh aku bicara padamu

dalam nafas bayu pagi tanggal tujuh belas

ini hari kami bangga dalam dada dan hati

persembahkan satu karya

yang dibuat memang untukmu

Pahlawanku!

Jika kau masih bisa lihat

sana sini masih ada puing bersayap

dan ratap tangis sisa-sisa revolusi

yang parah bakar ini daerahmu

kau tentu akan lagukan senandung duka

tapi darahmu mulai mengering

bersama tulang-tulangmu yang kini abadi di pangkuan ibu

kau resapi ini bumi hijau tanpa minta upahan

yang kau bikin permadani empuk pewaris-pewarismu

 

Pahlawanku!

Jika kau masih bisa lihat

ini bukan tugu kami

tapi tugumu, pahlawanku!

yang kami bikin dari empat musim

musim rontok dimana daun-daun pada gugur

dan tanah kerdil menggersang

kecuali hanya siraman darah dan airmatamu

 

Tapi kini, pahlawanku!

Namun tugumu selesai sudah

lihat......o, lihat pahlawanku

tugumu teguh megah didasari pangkuan Pancasila

teratai merah merekah merindukan embun pagi

merangkum 17 bambu runcing

bambu runcing yang dulu kau pegang dalam perjuanganmu

dan garuda rajawali berkepak

bersayap mas atas puncakmu, akh pahlawanku

ini semua kami bikin demi kegagahberanianmu

 

Pahlawanku!

Jika nanti mawar melati hiasan tamanmu

menyebar wangi di celah-celah pucuk hijau

pada tiap-tiap tanggal 17 agustus dan 10 nopember

akupun tahu........

itu adalah getaran jiwamu

membisikkan panas atas keningku

“teruskan, teruskan revolusi kami

atas dasar satu sembilan empat lima”

 

Amuntai, 17-8-1959

 

(dari Antologi Sajak 10 Penyair Hulu Sungai Utara, 1973)

_____________________

(Puisi di atas dibacakan penyairnya pada upacara peresmian Tugu Pahlawan di Amuntai, 17 Agustus 1959)

 


Haspan Hadna

Haspan Hadna (HH), dilahirkan di Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, 9 Maret 1923. Nama lengkapnya Haspan Hadna Adrian Nadi. Lulusan HIS dan MULO (keduanya di Kandangan). Sejak muda, ia sudah menjadi wartawan. Tahun 1935-1939, bekerja di Majalah Terang Bulan (Surabaya). Tahun 1943, menerbitkan Majalah Purnama Raya (Kandangan), tapi majalah ini kemudian diberangus Jepang. 

Tahun 1944, ia bekerja di Borneo Shimbun (Banjarmasin). Setelah Majalah Purnama Raya (Kandangan) dilarang terbit, ia terpaksa bekerja di surat kabar Jepang itu. Tahun 1945, di Borneo Shimbun (Kandangan), dan Sinar Hulu Sungai (Kandangan).

Tahun 1946, ia bekerja di Majalah Menara Merdeka (Banjarmasin), dan Kalimantan Berjuang (Banjarmasin, 1946-1953). Tahun 1951-1953, ia menjadi Ketua PWI Kalsel. Tahun 1957-1964, bekerja di Utusan Kalimantan (Banjarmasin). Tahun 1982, bekerja di Majalah Industri Swadaya (Banjarmasin). Menulis puisi, cerpen, dan esai sastra sejak 1930-an. Publikasi karyanya, antara lain, di koran/majalah tempatnya bekerja. Pada 1 April 2005, ia meninggal dunia dan dimakamkan di Banjarmasin. 

 

Haspan Hadna 

SISA CINTA

 

Adalah cinta di dalam dada

Hidup berkobar meronta-ronta

Segala cinta di rongga dada

Sudah kukikis kubuang rata

Tinggal sedikit sisa cinta

Cinta bernyala di Indonesia

Kutulis sisa cinta

Kukikis semua dosa

Kulukis gulana jiwa

Hanya untuk Indonesia 

 

(Majalah Terang Bulan, Surabaya, Edisi Nomor 9/September/1939. Koleksi Artum Artha, 1983)

 

 

DI TEPI SUNGAI MAHAKAM

 

Di tepi sungai Mahakam

Berdiri hamba bulan purnama

Air membiru di sungai Mahakam

Riak ombak terus tuju muara

 

Kudengar bunda pertiwi bersuara

Banjir di sungai di waktu malam

Bergerak merombak tawa mereka

Engkau Mahakam di zaman purba

Semarak jasa dimuliakan bangsa

Kini aku meneruskan cinta

Bagi pertiwi nusa tercinta 

 

(Koleksi Artum Artha, 060992)

 

 

Hassan Basry

Brigadir Jenderal (Purnawirawan) H. Hassan Basry (HB), dilahirkan di Padang Batung, Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, 17 Juni 1923. Menempuh pendidikan dasar di Volk School Padang Batung, Kandangan (1929-1932), Holland Inslansche School (HIS),  Kandangan (1933-1939), Madrasah Tsanawiyah al Wathaniyah, Kandangan (1940-1942), dan Kweek School Islam di Pondok Modern Gontor, Ponorogo (1942-1945).

Tahun 1951-1955, ia melanjutkan pendidikan di Universitas al Azhar (1951-1953), Kairo (Mesir), American University (1953-1955) dan Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (SSKAD), Bandung (1956).

Menulis puisi, cerpen, dan roman/novel sejak 1930-an. Sebagai sastrawan, sering menggunakan nama samaran Hiba Budi (HB). Publikasi karyanya, antara lain, di Majalah Terang Bulan (Surabaya -- salah satunya cerpen Hampir Mendung Cerah pun Tiba), dan Majalah Purnama Raya (Kandangan, cerpen Bulkis Gadis Manis).

Setelah menyelesaikan pendidikan di Pondok Pesantren Gontor, Ponorogo, ia sempat menjadi guru di sekolah menengah pertama di Malang. Tatapi, ia kemudian lebih dikenal sebagai Bapak Gerilya Kalimantan. Sebagai Komandan Batalyon ALRI Divisi IV (A) Pertahanan Kalimantan, ia berhasil mempersatukan para pejuang kemerdekaan di Kalimantan.

Gerak kiprahnya sebagai pejuang kemerdekaan dimulai 1945, ketika berada di Surabaya. Situasi politik yang memanas membuatnya terpanggil memanggul senjata. Awalnya, ia menjadi anggota PRIK (Pemuda Republik Indonesia Kalimantan) Surabaya. 13 Oktober 1945, ia meninggalkan Surabaya, menyusup ke Kalsel, yang saat itu masih dikuasai NICA (Netherland Indies Civil Administration), dan membentuk Lasykar Syaifullah dan Banteng Indonesia di Haruyan (1946).

18 November 1946, ia menerima tugas membentuk pasukan perlawanan militer (setingkat batalyon) di Kalsel. Tugas itu diberikan Letkol Zakaria Madun, melalui dua kurir rahasia (Letnan Asli Zuhry dan Letda Mursyid), yang berhasil menerobos blokade laut Belanda. Letkol Zakaria Madun adalah Panglima ALRI Divisi IV (A) Pertahanan Kalimantan (yang bermarkas di Mojokerto). Pada 18 November 1946, berdirilah Batalyon Rahasia ALRI Divisi IV (A) Pertahanan Kalimantan. Sejak itu, NICA (Belanda) tidak dapat lagi menjalankan pemerintahannya secara efektif, karena selalu diganggu oleh pasukan Hassan Basry.

Belanda semakin merosot kekuasaannya ketika ia, pada 17 Mei 1949, memproklamasikan pemerintahan Gubernur Tentara. Pada 2 September 1949, di Munggu Raya, Kandangan, ditandatangani perjanjian gencatan senjata antara pemerintah Indonesia (diwakili Jenderal Mayor Suhardjo Hardjowardojo) dengan pemerintah NICA (diwakili A.G. Deelman).

1 November 1949, Batalyon Rahasia ALRI Divisi IV (A) Pertahanan Kalimantan dilikuidasi menjadi Kesatuan Angkatan Darat Divisi Lambung Mangkurat, dengan Letkol Hassan Basry sebagai Panglima Divisi (1949-1951). Selanjutnya, ia menjadi Panglima Kodam X Lambung Mangkurat Kalsel (1956-1961), dengan pangkat Kolonel, dan Deputy Wilayah Komando Antar Daerah Kalimantan (KOANDAKAL), dengan pangkat Brigadir Jenderal (1961-1963).

Selain memangku jabatan kemiliteran, ia juga pernah memangku jabatan sipil, di bidang sosial, politik, dan pendidikan, antara lain Anggota Dewan Nasional di Jakarta (1957-1960), Presiden Universitas Lambung Mangkurat (1958-1963), Anggota MPRS (1960-1966), Ketua Yayasan 17 Mei Kalsel di Banjarmasin (1963), Ketua Umum Lembaga Pendidikan Indonesia di Jakarta (1966), Anggota Dewan Paripurna Pusat Legiun Veteran RI di Jakarta (1970), Ketua Umum DHD Angkatan 45 Kalsel di Banjarmasin (1970), dan Anggota DPR/MPR (1978-1982).

Meninggal dunia di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta, 15 Juli 1984, dimakamkan di Pemakaman Khusus Simpang Tiga Liang Anggang, Kota Banjarbaru, 16 Juli 1984. Berkat jasa perjuangannya pada revolusi fisik (1945-1949), Presiden RI (Megawati Soekarnoputri) menerbitkan Surat Keputusan Nomor 110/TK/Tahun 2001, tanggal 3 November 2001, tentang penetapan Brigjen H. Hassan Basry sebagai Pahlawan Nasional. Ia orang kedua dari Kalsel yang ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional, setelah Pangeran Antasari (1968).

 

Hassan Basry 

MELATI DI GUNUNG PADANG BATUNG

 

Tumbuh subur melati gunung

Berputik berbunga menyebar wangi

Aku tafakur diri beruntung

Melirik jasa bunga melati

Kupetik sekuntum bunga melati

Ah, jangan!

Biarkan melati mekar berbakti 

(Koleksi  Artum Artha, 1999)

 

 

LAGU SUBUH 

 

Dinihari berangsur subuh,

terang ke pagi

Tubuh yang dingin, darah yang panas

Kini terpadu jiwaku ALRI

Berjuang kita maju menumpas

Angkara penjajah, bencana negeri

Pasukan siapkan, jiwa hidupkan

Raga teguh sehari semalam

Kesatuan divisi menjaga benua

Singkirkan kaum antimerdeka

Merdeka! Tekad rakyat Republik Indonesia

Seteru kita NICA Belanda

Semboyan Maju Tetap Merdeka!

 

 

RINDANG BANUA 

 

Sungai tabuk banyunya dalam

Zaman dahulu beraja di mata

Rasa remuk hati di dalam

Mengenang bangsa banyak yang luka

Teluk Baintan benteng di hulu

Zaman raja madah seloka

Betapa rawan tanah airku

Dibagi-bagi oleh Walanda

 

 

PADI TANAH AIR 

 

Susah sungguh bertanam padi

Burung-burung sering mengganggu

Resah tubuh semalam berbakti

Maju beruntung membela negeriku

 

Jika pipit menukik tanaman

Bunda menghalau, aku memburu

Beta sakit, ah, mulut bergumam

Buah padi kupetik setiap waktu

 

Kini beta telah dewasa

Kujunjung senjata penebas lalang

Kini beta sudah berdaya

Jiwa bergelora lekas berjuang! 

 

(Majalah Terang Bulan, Surabaya, 1939)

 

 

NAFSU

 

Kau kejar segala daya kenafsuan

Menghitami garis-garis hidup memekat

Ke puncak tinggi lagi tambah lagi

Legalah dadamu 

 

 

KELEMAHAN 

 

Dingin memagut merasuki tulang

Pudar daya remang-remang hati pedih

Kurabai jalan kabur

Darah melunak dingin kelemahan

- mendingin dalam

Bentakku pengasib dalam hati menghunjam

Buntu segala harapan sungguh

Dilucuti segala bentuk daya lagi 

 

(Dikutip dari Burhanuddin Soebely, 2004 : 37)

 

 

Gusti Solichin Hasan

          Gusti Solichin Hasan dilahirkan di Kampung Sungai Jingah, Banjarmasin, 7 Juni 1925. Pendidikan MULO (Banjarmasin) dan Cinedrama Institut Jakarta (1948). Dikenal sebagai pelukis kaliber internasional, selain menulis puisi, cerpen dan esai sastra (sejak 1950-an). Karyanya dimuat di Majalah Sastra (Jakarta), Majalah Budaya (Yogyakarta, 1957) dan Majalah Bandarmasih (Banjarmasin).

          Di zaman Belanda dan Jepang, sering keluar-masuk penjara, sehubungan dengan aktivitasnya dalam Ikatan Pejuang Kalimantan (IPK) Yogyakarta. Lama menetap di Yogyakarta. Pada 1953, bekerja di Kantor Jawatan Kebudayaan Kanwil P & K Yogyakarta, dan Jawatan Kebudayaan Kanwil P & K Kalsel di Banjarmasin (1954-1955).

            Tahun 1956, ia kembali ke Yogyakarta. Sejak itu, ia lebih menekuni profesinya sebagai pelukis, sering mengikuti pameran lukisan tingkat nasional maupun internasional. Ia Lukisannya dipamerkan di RRC, Brazil (bersama Affandi), India, Belanda, Perancis, Singapura dan Malaysia. Tahun 1960, ia hijrah ke Denpasar (Bali), hingga akhir hayatnya. Atas prakarsa PWI Kalsel dan Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan, 7 Januari 1993 kerangka jenazahnya dipindahkan dari Denpasar ke pemakaman khusus Taman Makam Bahagia di Kota Banjarbaru.

 

 

Kawan-Kawan Sederhana

Cerpen Solihin Hasan

 

                Tujuh tahun yang lalu. Hanya di ujung sana dilindungi rumpunan-rumpunan bambu sebuah rumah baru berdiri, rumah tembok berkaca, atap genteng. Sungguh ganjil rumah tembok semacam ini di sudut yang begitu sepi dan terpencil, dan tidak laras dengan keadaan sekitarnya. Rumah-rumah desa beratas ijuk dan lalang yang tebal, lumbung-lumbung padi gemuk-gemuk juga beratap ijuk, balai latihan gong, warung kopi sedikit diperbesar dari dulu di tepi lorong yang sempit, pintu gerbang pura penuh ukiran dan patung-patung, sanggah-sanggah dengan atapnya muncul di atas tembok pura penuh lumut dan sana-sini batu merahnya rontok. Sebuah meru tinggi bertumpang sembilan, balai sajen, rumpun-rumpun bambu, pohon beringin tua, semak-semak, sungguh ganjil dan tidak laras.

-                  Rumah siapa itu –

-                  Saya pak –

                O, menantu Pak Guru (Nama Kasta), orang yang disegani dan mungkin terkaya.

-                  Bagus, jawabku. Aku tahu tidak mengatakan yang sebenarnya: lebih baik dia

membuat rumah tembok bergaya Bali meskipun pakai atap genteng juga, seperti yang pernah aku lihat di Denpasar, dan bagus. Tapi aku adalah tamu dan tidak ingin mengecewakan dia, yang bangga sekali akan rumah barunya. Tapi setelah kami dekati aku jadi kasian padanya. Ruangan dalamnya agak kotor seperti biasanya rumah-rumah Bali di desa. Prabot-prabot tani itu dan alat-alat penangkap belut janggal kelihatannya bersandar dan berselewiran di dinding ruang tamu. Dari jendela kaca itu aku melihat sebuah lemari kuno besar, pintunya sebelah sedikit terbuka, bagian bawahnya diisi dengan kelapa yang sudah dikuliti dan di atasnya barang-barang pecah-belah.

-                  Mriki pak –

        Pak Guru menyilahkan aku ke rumahnya. Dulu aku juga tidur di rumah dia. Meskipun

beberapa kawan mengajak aku tidur di rumahnya saja, tapi malam ini aku pilih rumah Pak Guru juga. Bukan memilih tempat, tapi ingin membungahkan dia yang telah menganggap aku seperti keluarganya sendiri.

                Segera ruangan depan rumah ini penuh dengan kawan-kawan. Banyak di antaranya aku lupa namanya. Memang agak sukar mengingatkan nama-nama Bali yang sederhana tapi aneh-aneh bunyinya itu: Nyoman Rabig, Made Rubeg, Luh Rawit, Ktut Reneng, Gung Gumbreg, Ida Bagus Nyana dan sebagainya itu.

                Mereka adalah kawan-kawan baik dan aku ingat benar orang-orangnya, raut mukanya, tampan-tampan dan simpatik.

                Itu Wayan Gadung datang, penari terbaik di desa itu bersama gadis-gadis penari lainnya. Tapi mereka sudah lebih besar sekarang dan montok-montok, sudah gadis-gadis remaja. Satu persatu mengasih tangan padaku, seperti dulu mereka lakukan juga ketika aku kembali tengah malam buta dari perjalanan sesat yang menggemparkan desa kecil ini. Ya, aku masih ingat betul, siapa-siapa orangnya yang mencari aku ke laut dan menemukanku. Dan Wayan Radu..............

-          Mana Wayan Radu! seruku. Anak yang kupanggil segera merangkulku dari belakang dengan tertawa berteriak: Saya pak, ini saya! Dia masih tetap gemuk dan lucu dan dia inilah yang sering menemaniku kemana-mana.

        Saya betul-betul kehabisan ketawaku, otot-otot di pelipis dan di pipiku jadi tegang dan terasa sakit. Kangen bertahun-tahun ini biar pupus.

        Aku dijamu makanan Bali, buah-buahan, kuwe-kuwe dan minuman. Kami makan-minum bersama-sama, bercerita banyak, dan ketawa yang lepas. Beberapa kawan main suling dan rebab. Ini adalah kebiasaan mereka tiap malam. Sebenarnya aku cape dan mengantuk, tapi selalu saja ada kawan-kawan datang, salaman lagi, ngomong dan tanya-tanya lagi, ketawa-ketawa lagi. Begitu sampai tamu yang terakhir pamitan. Sudah jam satu malam.

        Sekarang sepi sendirian. Tidak terasa malam yang ditaburi ketawa yang padat tadi lenyap. Satu-satu tinggal ngiang-ngiang dalam telinga dan mengendap. Pak Guru sudah lama mendengkur di kamar sebelah. Sebentar terdengar kecap-kecap mulutnya atau giginya yang beradu seperti orang menggaruk-garuk dinding.

        Di luar gelepar angin melalui atap lalang dan berderai di dedaunan menyapu-nyapu malam. Tapi dalam kamar ini terasa panas dan lembab. Aku rebahkan badanku yang cape di atas bale-bale yang keras dan bantal yang kaku. Bau yang dulu juga. Bau yang kukenal sejak lama: kecut, anyir, amis, entah apa lagi raginya yang tepat. Tapi aku sudah menjadi biasa dan sebentar sudah tak terasa mengganggu. Hanya bale-bale yang atos ini memang menyakitkan pinggang. Ah, hanya satu malam saja. Besok toh aku sudah balik ke Denpasar karena pekerjaanku. Dulu juga aku pernah tidur beginian bersama-sama beberapa kawan pelukis di rumahnya ibu Ktut Reneng di Kedaton Denpasar. Dan itu terjadi berbulan-bulan, enak saja, sudah menjadi biasa. Ya, tujuh tahun yang lalu itulah kami mulai melukis di Bali bersama enam orang kawan-kawan pelukis. Aku dapat uang dari hasil lukisanku yang laku di exposisi G.. di Taman Siswa Jakarta. Tiga ratus rupiah NICA. Kami lalu melukis di Denpasar, Sanur, Ubud, Kintamani dan Denpasar kembali. Kawan-kawan pada pulang, karena selain uangnya habis, juga surat jalan sudah habis waktunya. Hanya empat bulan. Kecuali aku yang merasa tak cukup waktu dengan empat bulan hanya untuk bisa mengenal Bali, mengajukan permohonan pada pemerintah NICA supaya diperpanjang waktuku sampai bertahun-tahun. Tapi hanya dapat tambahan tiga bulan, jadi semua tujuh bulan. Mulai hari itu aku mengembara sendirian melalui lorong-lorong di desa-desa menskets atau melukis. Banyak malam aku habiskan dengan menonton latihan menari di Banjar Lebah, di Sanur atau tari janger di Kedaton. Demikian aku banyak berkenalan dengan para penari dan penggamel. Mula-mula hanya berkenalan saja, tapi lama-lama aku tertarik pada mereka dan menanyakan bagaimana caranya mereka menghidupkan seni tari di desanya, bagaimana dengan kehidupan para penari dan penggamelnya, dengan perkumpulan-perkumpulan kesenian lainnya. Aku kagum juga dengan usaha-usaha mereka membangun desanya dengan perkumpulan-perkumpulan yang bermacam-macam itu. Dan hasilnya baik sekali. Tapi sedihnya juga orang-orang sederhana ini telah dipermainkan orang-orang yang ingin mengambil keuntungan dari mereka. Untuk menanggap gong selama dua jam main di salah satu hotel untuk turis umpamanya, yang mestinya dapat sekian ratus rupiah, hanya dapat separohnya saja. Separohnya masuk kantong orang lain. Dan untuk pelukis, mereka dapat bahan-bahan dari orang lain, lalu menjual lukisannya pada orang itu dengan harga murah yang menjualnya kembali dengan harga yang lipat ganda. Kasihan mereka. Timbullah niatan di hatiku untuk membantu kawan-kawan ini dengan sedapatku, mengumpulkan mereka di suatu tempat, merundingkan dan memberitahukan akan keadaan mereka sebenarnya dan menganjurkan mereka membentuk perkumpulan gabungan dari segala gong yang ada di Denpasar. Usaha ini telah dikerjakan dan terbentuklah sebuah perkumpulan gabungan gong yang diberi nama Cinta Manik. Perkumpulan ini jadi meluas sampai anggotanya juga dari gong-gong dari Tabanan. Orang-orang tidak bisa mempermainkan merek lagi dan segalanya diurus oleh perkumpulan. Baru-baru ini perkumpulannya melawat ke Jawa dan main di berbagai kota: di Jakarta, Bogor, Bandung dan Cirebon juga di Jogya. Sebagian anggotanya ada yang ikut rombongan kesenian ke luar negeri, Kolombo, Singapura dan Peking.

        Sikuku terasa sakit. Memang kalau tidur di bale-bale atos ini permulaannya badan seluruhnya terasa seperti diremet-remet, apalagi kalau tidur miring. Tapi ya, hanya satu malam ini, besok malam tidur di Denpasar.

        Angin malam menyusup melalui celah-celah jendela yang renggang dan terasa dinginnya di kaki. Aku lipat kakiku, membungkuk dan menyurup ke dalam sarung seperti keong menyembunyikan dirinya, seperti ini kulakukan biasanya juga tujuh tahun yang lalu, juga di bale-bale ini. Ai, ketemu lagi dengan bale-bale! Kuraba pinggirnya yang kukuh dari kayu jati tebal. Masih seperti dulu. Selalu aku berpegang pada tepinya yang kukuh ini apabila akan membalikkan badanku. Dialah yang pertama menampung badanku dan memberikan kehormatan padaku untuk merebahkan badanku di atasnya. Dan dialah yang banyak mendengarkan keluhan-keluhan nafasku dan menerima pengaduan-pengaduan dari debaran jantungku dengan murah hati. Dan mengapa aku sampai begitu jauh berjalan sampai berkenalan dengan bale-bale ini. Dan lemari tua ini. Dan kamar yang baik ini. Tapi itu memang karena keinginanku. Seleraku untuk mengetahui sebanyaknya apa yang menarik perhatianku seperti Bali ini, yang selama ini merenggut dan membuka nyalang mataku. Bali yang begitu bagus dengan keseniannya dan orang-orangnya yang ramah, baik hati, sangat sederhana, jujur, tapi juga miskin. Miskin dalam benda, kebutuhan dan persoalan yang begitu sedikit. Buta dan tertutup akan dunia sekitarnya, hampir-hampir seperti museum dari makhluk yang bernyawa dan berkebudayaan, ditonton oleh orang luar; dengan perlengkapan yang hampir-hampir tak layak untuk manusia, ya sungguh tak layak. Tapi toh orang-orang pandai bisa bertepuk dada tentang Bali hanya untuk satu sudut, sudut keseniannya saja. Dan kalau kita lihat bagaimana pendidikannya, pembangunannya.

        Ya, tentu bersabar juga. Tentu akan membangun juga dan mendasari pembangunan itu dengan kebudayaan dan kesenian yang begitu asli dan tinggi: arsitekturnya, seni hiasnya, ukirnya, patung dan lukis, gamelan dan tari dan lainnya. Apabila tidak, maka Bali hanya akan tinggal kenang-kenangan masa silam saja, reruntuhan dan puing-puing saja yang mengingatkan kita akan peninggalan-peninggalan kejayaan nenek-moyang yang pernah tinggi dan dibanggakan, dan puas kalau para turis sudah mengangguk-anggukkan atau menggeleng-gelengkan kepalanya. Jangan, jangan sampai begitu. Pemerintah harus membangun tapi dengan bijaksana bersama-sama rakyatnya memperhatikan akan kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan mereka.

        Apakah orang-orang bijaksana itu juga memikirkan ini seperti juga aku memikirkannya? Barangkali tidak pernah. Tapi barangkali juga sudah, malah sudah masuk dalam rencana, hanya menunggu waktu, waktu yang baik. Tapi kapan.......?

        Tanganku tak terasa menampar-nampar dinding. Bayangannya yang hitam menggeletar karena lampu minyak sawit yang kecil ditiup angin ikut menampar-nampar tapi kemudian lemah jatuh pelan-pelan dan terkulai.

        Lolong anjing dekat pura mengejutkanku. Mula-mula keras meninggi kemudian pelan dan dalam, panjang dan tersedu-sedu. Anjing-anjing lainnya datang membantu dengan tingkah yang sama tapi nadanya berlainan. Koor yang aneh dan sumbang, ditujukan ke langit, ngeri dan menyayat-nyayat, mula-mula khidmat kemudian kacau pecah berkeping-keping, tinggal lengking-lengking kecil, jarang-jarang dan tercecer di sudut-sudut malam.

        Aku tarik sarungku sampai ke pundak, menyusupkan muka ke bantal. Tadi sebenarnya aku sudah mengantuk, tapi sekarang keningku terasa panas. Barangkali darah-tinggiku kumat lagi. Biasanya memang begitu kalau aku melupakan istirahat, kebanyakan kerja, sembrono makan. Soalnya sedikit sekali: hidup yang beres dan ketenangan. Sebenarnya aku kemari ini hanya ingin menemui kawan-kawan baik ini saja toh. Biar rindu selama ini dipuaskan.

        Bau amis dan lembab bantal ini menyesakkan nafasku. Aku menelentang lagi, merenggangkan kaki dengan tangan di bawah kepala. Bayangan kasau dari bambu yang berbentuk payung itu menggelepar-gelepar seperti sarang labah-labah. Seperti mau mengurung aku. Tapi, ah, tidak, itu hanya bayang-bayang saja. Kalau siang dia manis sekali. Batang-batang bambu yang dipernis kekuning-kuningan diikat ruas-ruasnya dengan rotan yang dicat merah, dengan balok-balok pendukungnya diukir dan digambari dengan warna-warna merah muda, kuning dan biru muda. Bagus sekali. Biasanya kalau dulu aku mau tidur siang sejenak aku menikmati keindahan yang sederhana ini lalu tertidur dengan warna-warna di mata. Konon kabarnya rumah ini umurnya sudah tua sekali, tapi toh hiasan dalamnya masih seperti baru. Apalagi hanya tujuh tahun ini, hampir-hampir tidak membawa perubahan apa-apa. Juga jendela berjerajak kayu ini, masih seperti dulu. Ya, dari jerajak jendela ini dulu tangan-tangan pada beruluran memberi salam padaku ketika pulang dari perjalanan sial itu. Tapi, ya, bukan sial, malah membawa kenangan baik, kenangan yang tak akan pernah kulupakan. Kenangan yang syahdu, yang dalam, yang indah. Lucu juga di tengah-tengah kawan-kawan sederhana ini. Apa yang tidak mungkin terjadi di kota, bisa terjadi, seperti cerita dalam buku-buku saja. Tapi memang sungguh-sungguh terjadi begitu. Aku juga sama-sekali tidak menduga, tidak mengira.

        Tidak mengira juga akan sampai ke desa yang terpencil ini. Memang ini akibat keinginan-keinginanku yang begitu besar dan serakah.

        Dulu di Denpasar aku punya kawan-kawan penari dan penggamel, yang memang sengaja aku kumpulkan untuk tiga kali seminggu mengikuti semacam kursus mengenai kesenian, maksudku agar mereka mengetahui juga sedikit-sedikit akan dunia luar, punya perbandingan-perbandingan lalu mengenal dirinya sendiri. Mereka ini semuanya bisa membaca dan menulis dan bisa berbahasa Indonesia meskipun tidak lancar.

        Aku hanya ngomong saja, menerangkan tentang kesenian kehidupan para seniman-seniman di Jawa dan seniman-seniman besar di Eropah lalu kehabisan bahan dan mendongeng melantur saja seenaknya. Mereka memang suka bertanya, dan selalu diulang-ulang. Mereka datang dari tempat yang jauh-jauh kadang berpuluh kilometer jalan kaki, melalui sawah-sawah. Aku jadi terharu atas kesungguhan mereka. Kadang-kadang pagi-pagi sudah ada di rumah, membantu aku, membawakan kotak cat atau apa saja kalau melukis di luar, padahal kursus diadakan sore hari.

        Setelah berlangsung kira-kira satu setengah bulan, aku benar-benar kehabisan bahan. Buku-buku tidak ada dan dongeng-dongeng itu aku akhiri saja. Salah seorang pengikut yang tertua paling setia dan bersungguh-sungguh, mendekatiku dan berkata,

-                  Pak Jawa –

        Aku memang selalu dipanggil Pak Jawa. Mereka tahu namaku tapi rupanya memang agak sukar menyebutnya dan karena aku datang dari Jawa mereka sebutkan saja aku Pak Jawa.

-          Barangkali ini adalah pertemuan kita yang terakhir. Tapi  saya merasa berhutang budi sama Pak Jawa. Saya tidak bisa membalasnya. Barangkali Dewa bisa membalaskan budi yang baik. Tapi kalau Pak Jawa tidak begitu repot, tidak keberatan, nah, saya persilahkan  bapak datang ke desa saya di Tabanan. Di sana saya punya gong dan saya sendiri melatih, saya sendiri memimpin. Barangkali ada baik untuk bahan-bahan bapak, ya. Saya tahu sekali bapak pinter kesenian tari biar tidak menari. Jadi bapak biar kasi kretik.......apa namanya itu, kalau tariannya atau agem-nya sama menggamelnya tidak baik, tidak alus. Tapi kalau baik biar bapak puji supaya dia lebih giat –

-          Jauh dari sini –

-          Hanya empat puluh kilometer naik bis, lalu sedikit jalan kaki. Ongkos-ongkos sudah bapak jangan pikir. Saya semua yang tanggung –

        Ini kebetulan aku pikir. Kesempatan baik ini jangan dilalaikan, meski aku hanya punya uang dua perak NICA waktu itu.

-                  Baik, dan kapan kita berangkat –

-                  Dua hari lagi pak, saya tulis surat dulu biar disambut dengan meriah, ya –

        Lucu juga. Ini lakon Petruk Jadi Raja, aku pikir.

        Kubalikkan badanku ke kiri. Di dinding ada samar-samar bekas coretanku dulu, gambar gadis Bali, cantik. Masih utuh gambarnya, meskipun samar-samar aku masih dapat mengikuti garis-garisnya. Coretan fantasi saja di waktu iseng. Tapi tepat, sederhana bentuknya seperti juga orangnya, sederhana ramah dan baik hati. Memang di mana-mana aku disambut dengan ramah, ketawa yang tidak dibuat-buat, selalu mengelilingiku dengan gerak-geriknya yang tidak malu-malu dan bebas. Ya, aku dimanjakan berlebih-lebihan. Mereka menerimaku dengan gembira. Dari jauh mereka sudah datang menyambutku seperti mengelu-elukan kedatangan seorang menteri. Kakiku dicucikan dari lumpur bekas jalan kaki melalui sawah sejauh tujuh kilo.

        Aku dan Pak Nyoman Ridet, guru menari, guru gamel, komponis itu yang membawaku ke desa ini, didudukkan di atas bale-bale yang lebar dan tinggi, dijamu makanan Bali yang sudah biasa aku rasai.

        Malam itu Pak Nyoman mau memperlihatkan hasil pimpinannya, gong-nya, kepadaku. Aku dan Pak Nyoman didudukkan di atas korsi. Klian, Pak Guru dan lainnya di atas bangku. Di belakang kami penuh penonton penduduk desa itu sendiri.

        Pak Nyoman memberi isyarat, dan mulai dengan serempak dan gemuruh, merenggut-renggutku. Belum bermain dua menit, tiba-tiba Pak Nyoman berteriak: - Stop !  Stop !! –

        Seluruh bunyi berhenti tiba-tiba, seperti api disiram air. Sunyi dan tegang. Aku sendiri juga kaget. Aku lihat Pak Nyoman matanya berkilat-kilat.

-                  Bagaimana ini! – katanya keras dalam bahasa Bali.

-          Baru beberapa bulan ditinggalkan sudah jelek mainnya. Kenapa begitu kacau dan gugup. Baru main di muka Pak Jawa sudah gugup, belum lagi main di muka Bung Karno. Bagaimana saja jadinya –

        Suaranya lantang dan keras.

        Salahnya Pak Nyoman. Kenapa dia tadi memuji-muji aku dalam pidatonya sebelum gong dimulai: - Saudara-saudara. Titiang perkenalkan, Pak Jawa, pelukis ulung, pinter dalam segala kesenian, paham seni tari, paham seni gamelan. Titiang ini gurumu, tapi masih belajar sama Pak Jawa –

        Nah, reklame jual obat. Akibatnya mereka kagum dan gugup.

-          Sudah! Lupakan Pak Jawa, - sambungnya lagi – Anggap Pak Jawa tidak hadir. Anggap Titiang saja yang hadir. Coba main lagi! –

        Semua tangan bergerak, memperbaiki duduk masing-masing, menekuni gamelannya dengan badan tegak dan sungguh-sungguh, kemudian ........byarrr !!!  Gamelan gong berdesir bergema di desa yang sepi itu. Bunyinya yang dahsyat tapi bening itu menyusupi tulang-tulangku, segala persendianku. Seakan aku ikut bersama mereka, ikut menahan nafas, ikut membakar, ikut mengalir kadang-kadang menurun dengan derasnya, kadang berputar pelan-pelan dan mengasyikkan.

        Seorang gadis penari kecil Wayan Gadung tampil pelan-pelan ke tengah lingkaran dengan malu-malu dan menundukkan kepala. Tapi tiba-tiba dia mengangkat kepalanya, dan kerlingnya, dan tangannya, jari-jarinya......, ah, aku tidak melihat lagi seorang gadis kecil, tapi seorang bidadari atau dewa yang turun ke bumi. Perkasa betul dia. Seluruh tarian itu dikuasainya.

        Begitulah nomor demi nomor berjalan dengan lancar dan mengagumkan. Selesai tarian, Pak Nyoman menyuruh aku berpidato sebentar menyatakan pendapatku. Kukatakan bahwa aku kagum akan mereka. Belum pernah aku menyaksikan pertunjukkan sebagus itu. Aku nyatakan kekaguman dan kepuasanku. Juga kepada Pak Nyoman sebagai guru yang bijaksana. Pak Nyoman ketawa girang. Dia menaruh tangannya di pundakku dan berjalan berdempetan waktu kami pulang ke rumah aku menginap ini.

        Seperti sore tadi itulah mereka mengerumuniku dan di beranda rumah ini juga. Menghujaniku dengan berbagai pertanyaan, kadang-kadang menggelikan tapi juga kasian: ada katak di Jawa pak, ada belut pak. Ada kelapa pak, ada pura, ada sawah, ada babi.

        Waktu itu jam sebelas malam. Salah seorang di antara mereka menjawilku dari belakang.

-          Pak, memperkenalkan. Saya Klian, Kepala Kampung. Saya dengar Pak Jawa pelukis ulung, guru kesenian. Kami semua merasa bangga bapak sudi datang di sini dan maaf seadanya serba sederhana ini. Selain itu kami ingin memajukan permohonan, kalau bapak tidak keberatan, kami ingin dapat kenang-kenangan dari bapak. Perkumpulan gong kami sudah lama ingin membuat tenda. Dulu kami pernah liat di Singaraja. Apakah bapak bisa membuatkan untuk gong kami.-

                Ini dia langkah yang mujur, pikirku. Aku hanya punya uang dua rupiah NICA. Barangkali aku di sini bisa dapat uang cukup untuk bekalku nanti. Biasanya membuat dekor begini pukulannya banyak apalagi kalau diborongkan.

-                  Tentu bisa, jawabku. Berapa biji dan berapa besarnya –

        Mereka berunding sebentar, mencoret-coret dengan jari di meja. Lalu pikir-pikir.

-                  Satu biji pak, ukurannya dua meter –

        Dua meter! Kasian pikirku. Itu bukan dekor. Itu gambar biasa. Lalu kuterangkan arti dekor dan fungsinya untuk tarian dan lakon. Dan kugambarkan berapa besar dekor ketoprak atau wayang wong di Jawa. Kubawa-bawa pula dekor ballet.

-          Untuk tarian saudara paling sedikit empat setengah kali tiga meter sudah cukup, kataku. Dan berapa tarian saudara punya –

-                  Empat tarian pak –

-                  Nah, bikin empat biji ukuran empat setengah kali tiga meter –

        Mereka berunding lagi, mencoret-coret lagi di meja, berpikir dengan sungguh-sungguh. Menunjuk-nunjuk dengan tangannya pada balok-balok sepanjang emper. Mengulang-ulangnya beberapa kali. Lalu menghela-hela nafas.

-          Tidak bisa pak, katanya lembut. Uang kas gong kami tidak cukup. Sekarang belum musim manyi, belum lagi ongkos bapak –

                Sayang. Keinginannya begitu sungguh-sungguh. Tiba-tiba aku dapat pikiran. Aku mau menunjukkan pada mereka dekor sebenarnya dan ingin melihat mereka berbahagia, bisa menari di depan dekor.

-          Begini saja. Uang yang ada dibelikan saja kain dan cat. Tentang saya jangan dipikir. Asal saja saya dijamin selama membikin tenda itu. Bagaimana? –

        Mereka berunding lagi sebentar, lalu mata semua memandang kepadaku.

-                  Setuju pak –

        Demikianlah sebulan lebih aku membikin dekor itu. Geli juga kalau mengingatkan pengalaman-pengalaman yang lucu selama itu. Empat warung kopi yang ada di desa itu semuanya tidak mau menerima uang bayaranku kalau aku jajan di warungnya. Akhirnya aku malu sendiri dan malas untuk jajan. Sekali pernah kupaksakan membayarnya, dengan menaruhkan uang itu di ujung meja dan pergi cepat-cepat. Gadis warung itu diam saja. Sebentar sesudah sampai di rumah, Pak Guru menghampiriku dan memasukkan semacam benda keras dan gemerincing ke dalam sakuku dan berbisik: - Jangan bayar lagi –

        Ketika aku menonton wayang kulit atau arja atau angklung di desa lain yang jauh, selalu Pak Guru menutupkan ke dalam tanganku uang ketip banyak sekali. Untuk minum kopi, katanya.

        Pengawalku sepasukan dan selalu setia mengikutiku sampai pagi. Kerap kali aku dibawa ke gadis-gadis cantik yang berjualan sepanjang jalan sekitar perayaan itu. Hanya untuk ngobrol, mengganggunya, memujinya atau merayunya: bunga yang di telinga itu saya minta, ya?  Gadis itu selalu tersenyum kemalu-maluan.

        Kalau aku memasuki warung kopi di desa lain dan biasanya di sana banyak pemuda-pemuda yang sedang berkelakar, aku lalu diperkenalkan sebagai orang Jawa. Serentak pemuda-pemuda itu berhenti berbicara dan memandangiku. Selama aku di warung kopi itu tidak satu yang angkat bicara, kecuali kalau kutanya. Mereka memang selalu merasa rendah dengan orang-orang Jawa. Barangkali pengaruh dari cerita-cerita jaman Majapahit.

        Ketika aku sedang melukis dekor, mereka selalu mengerumuniku dan duduk dengan diam-diam dan takzim. Kalau aku sedang diam sambil memandangi dekor, memikirkan dan menimbang-nimbang di mana warna-warna yang belum harmonis, komposisinya yang belum kompak, selalu aku diganggu dengan tawaran-tawaran: minum kopinya, pak, makan pisangnya, pak, kuwenya, pak. Dan benar-benar aku kesal.

        Suatu pagi aku sedang menyelesaikan dekor yang penghabisan, melukiskan sebuah pintu gerbang pura, pohon beringin, Gunung Batur serta danaunya. Mereka berbisik-bisik dari tadi rame sekali. Tiba-tiba seorang mengajukan permintaan.

-                  Pak, kawan-kawan minta bapak bikinkan burung belibis mandi di danau itu –

        Mati aku. Bagaimana aku bisa melukiskan belibis mandi di danau, sedang pohon-pohon cemara yang berjejer di pinggir danau itu saja kecil-kecil sebesar jari. Tapi itu khas berpikirnya orang-orang Bali dalam lukisannya. Komposisinya jadi bersusun-susun ke atas sampai benda yang paling jauh: Ada sawah, seekor katak sedang melompat. Ular mengejar katak, gadis terkejut, takut sama ular, si pemuda angkat tangan mau lempar ular dengan batu. Di sekeliling pura banyak pohon cempaka, di tanah bunganya berserakan. Di dahannya ada burung gagak lagi makan tokek. Di ujung tangkai sana ada sarang burung, anak kecil naik pohon mau ambil sarang, induknya beterbangan berkeliling ketakutan paruhnya dibuka lebar-lebar. Di bawah pohon kambing-kambing ditambat, si gembala memegang suling melihat ke adiknya yang sedang naik pohon. Di atas tanduk kerbau sedang berkubang bertengger burung jalak, jalak-jalak lainnya berebut belalang di tanah. Seekor burung kuntul lagi makan kepiting dekat kubangan. Kepiting lainnya menjepit leher kuntul itu hingga kesakitan dan kuntul lainnya kaget terbang ketakutan sambil menoleh, dan seterusnya. Begitu cerita lukisannya bersambung-sambung tak putus-putus sering rame sekali dan padat. Hanya dibatasi lebar doek saja. Tapi itu memang khas Bali.

        Tidak enak kalau aku tidak meluluskannya. Lama juga aku memikirkan bagaimana caranya supaya burung belibis bisa masuk di dekor itu. Akhirnya dapat juga jalan. Aku lukiskan pancuran dan rawa di sebelah pintu gerbang dan di rawa itu seekor burung belibis sedang mandi. Bukan main senangnya mereka. Seluruh kampung berbisik dari mulut ke mulut dan semuanya datang melihat.

        Geli juga aku memikirkannya.

        Kokok ayam berderai mewarnai malam.

        Pak Guru menggumam. Rupanya dia mengigau. Aku menelentang lagi dan terasa sakit seperti kesemutan. Ah, sebenarnya aku ingin istirahat dari jalan jauh ini. Seluruh badanku terasa penat, tapi tak mau tidur-tidur juga. Kepalaku menjadi panas. Malam tambah beku, tapi kenapa pikiran meloncer dan meleleh-leleh juga. Barangkali karena aku banyak ketawa sore tadi, banyak ngomong, kebanyakan makan dan campur apa saja. Perutku terasa panas. Barangkali dengan membuka jendela itu angin dingin bisa menyejukkan kepalaku dan mudahan bisa tidur.

        Jendela kungangakan. Memang angin sejuk masuk dan udara nyaman sekali. Di luar gelap, hanya lampu lentera yang biasanya dipakai untuk mencari belut malam-malam dan digantung di rumah gedung berkaca itu menerangi sepetak kecil halaman rumah. Lalu daun-daun pohon jeruk hitam bergerak-gerak ditiup angin dan melentur ke tanah karena buahnya yang sarat. Selain itu bayangan hitam saja. Di mana-mana bayangan hitam.

        Aku tiduran lagi. Sekarang menghadap ke jendela. Angin basah memukul mukaku. Tidurlah, tidurlah badan yang penat. Besok ada kerja di Denpasar, semoga bisa istirahat. Kupejamkan mataku pelan-pelan seperti orang mau tidur. Nafas kutarik dalam-dalam dan mengaturnya seperti orang sedang tidur. Kulemaskan seluruh anggota badanku biar lepas segalanya. Senyap, senyap, nafas, dengkur, gedebar jantung, kokok ayam, tangis bayi, nyanyi cacing, nyari cacing, ah busyet!  Jendela itu lagi berkereot ditiup angin dan tertutup sebelah. Kapan toh tertidur ini. Kapan.........

        Aku menelentang lagi memandangi jendela dengan mata lesu setengah tertutup. Jendela itu dulu juga pernah kubukakan saja semalam-malaman supaya kawan-kawan bisa melihat aku sudah pulang dengan selamat dan tertidur. Tapi aku tak tahan hati dan selalu pergi ke jendela dengan air mata bergenang dan satu persatu bersalaman dengan mereka, laki perempuan yang datang berbondong-bondong dari pantai dari mana-mana. Mereka mencariku kemana-mana di malam yang buta itu masing-masing membawa obor atau senter. Gerombol-gerombol dari empat lima orang, semua, semua penduduk Bongan kecuali yang tua-tua. Sungguh aku tidak mengira.

        Dan siapa................?!

        Suara itu semakin mendekat, melayap bersama angin melalui pepohonan, mengusap dan menyejukkan kening benar. Pasti itu Made Rawig, pikirku. Dia pemain suling yang dikagumi. Aku kenal benar iramanya yang halus tersedu-sedu. Pasti dia Made Rawig.

        Sebentar terdengar kaki orang berjalan didekat jendela, dan ..........

-                  Kenapa jendelanya tidak  ditutup?! –

        Aku terduduk dan betul-betul dia Made Rawig.

-          Selamat malam, pak. Kenapa jendelanya tidak di tutup, ulangnya. Nanti masuk angin –

-          Biar dingin, sahutku pelan. Made mau ke mana –

-          Cari belut di sawah, pak –

-          Jam berapa sekarang –

-          Jam setengah empat –

-          Jam setengah empat! ......... sama siapa –

-          Sama adik saya, itu dia! –

        Seorang anak laki-laki umur 16 tahun membawa lampu suar dan alat-alat penangkap belut di bahunya dan sebuah keranjang.

-                  Sudah bangun, pak!  Mari ikut cari belut –

-                  Sebenarnya saya ingin, tapi cape sekali – sahutku lesu.

-                  Ya, selamat tidur lagi, pak. Nanti jendelanya saya tutupkan –

        Bunyi suling berdesir lagi, mengalun tertegun-tegun tapi pasti, mengusap kening, mengusap dinihari, mengusap dada yang kering ini.

        Sayup-sayup ..........................

        Sayup-sayup ..........................

 

(Majalah Budaya, Yogyakarta, No.2, Th.VI, Februari 1957)

 Titiang :  saya.

Manyi   : musim mengetam.

 

 

Maseri Matali

          Maseri Matali dilahirkan di Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, 15 Juni 1925. Dalam menulis, ia banyak menggunakan nama samaran, antara lain Agy Karma, Mayasari, Mantan Murni,  MN Amandit, Nyala dan Syah Karma. Menulis puisi dan cerpen sejak 1940-an, karyanya dipublikasikan di Majalah Terang Bulan (Surabaya), Majalah Pustaka Timur (Yogyakarta), Majalah Purnama Raya (Kandangan) dan Surat Kabar Borneo Shimbun (Kandangan).

          Antara 1945-1949, ia terlibat dalam revolusi fisik merebut kemerdekaan RI, sehingga ditetapkan sebagai anggota veteran. Setelah revolusi (sekitar 1950-1968), ia memublikasikan karya-karyanya di majalah dan surat kabar, seperti Majalah Puspa Wangi (Kandangan), Majalah Suara Foni (Balikpapan), Majalah Piala (Kandangan), Majalah Jantung Indonesia (Kandangan), Majalah Menara Merdeka (Ternate), Majalah Pancawarna (Medan), Majalah Waktu (Medan), Majalah Bhakti (Denpasar), Majalah Mimbar Indonesia (Jakarta), Majalah Panca Raya (Jakarta) dan Majalah Spektrum (Jakarta).

          Puisi-puisinya mendapat perhatian khusus dari Paus Sastra Indonesia, HB.Jassin. Puisinya, Setitik Embun, dijadikan lagu oleh komponis Muchtar Embut, dan selalu menjadi lagu wajib pada Pemilihan Bintang Radio di Tanah Air.

          Meninggal dunia di Kandangan, 27 Desember 1968. Oleh sastrawan Kandangan, puisi-puisi karyanya diterbitkan dalam antologi Nyala (1969). 17 Agustus 1981, mendapat Hadiah Seni Gubernur Kalsel (Mistar Tjokrokoesoemo) atas prestasi dan dedikasinya di bidang sastra.

 

Maseri Matali

P I A L A

 

Kita bertengkar di sini

Di sisi piala, minum air piala

Entah berapa lama air membeku

Piala punya Belanda

Kita musuh Belanda

Habiskan air dan piala

Sampai lumat

Tak berdosa,

Tak sebangsa.

 

 Kosongkan piala

        Lemparkan pecahan piala

        Dan kita bikin kendi

        Bukan piala lagi.

 

(Majalah Jantung Indonesia, Kandangan, 1945)

 

 

KETOKAN

 

Ketok keras nyaring tiada halangan larang hukum

biar pintu bilik ini berantakan atau porak-lindu

dan helaian daunnya akan terdampar berkaparan

terserak di ambang tiada bernama.

Kelak, kalender berbicara dengan angkanya: kepastian

yang tiada dapat dielakkan.

 

Penerang bilik ini pasangkan lilin baru dan setanggi

menanti bara dipedupaan

bakar-habis sampai puas sekali ini :

lilin baru menerangi seisi kamar serta setanggi

memadat wangi hingga pagi membubung

gaib meresap ke nafas cinta.

 

Ingatkan waktu pagi sedang naik

heningkan cipta :

__ peringati pahlawan gugur __

Dan aku turut serta sumpah setia

kepadamu dan kepada diriku sendiri

aku maklum selemas ini angin bertiup

mengetok pintu tiada berdaun

menyarak nyala lilinku di dalam kabut

arus-asap-wangi-setanggi.

 

(Majalah Mimbar Indonesia, Jakarta, No.46, 10 November 194)

 

 

TERAJU GILA

 

Engkau serakah menyilap mata semata

gagang kemudi direngkuh hati: mainan nelayan

Dan harapan kau isi penuh dengan muluk puja :

bahagia senantiasa meliputi sepanjang kehidupan

 

Telah kau akhiri suatu tradisi

usang dihari-hari yang panjang,

dan itu teraju paling muka ke belakang

kau pakai mainan selaku judi !

Engkau gila dan teraju

gila beraja nafsu.....

 

Buang .......!

Buang!!

Lemparkan segera ke dasar kali mati

atau ke laut maut!

 

Biarkan terhunjam dilintas riwayat

laun habis kikis di makan karat.

 

(Majalah Pancawarna, Jakarta, No.2, Th.I, 1 November 1948)

 

 

BAMBU SULING

 

Ini suling kecil

meruas-bambu tiada berbuku

berlubang-lubang, pintu nafas-lepas

tiada berdaun.

Bibir kasih telah melekat

ke pintu Ibu

sebentar angin gasak-menggasak

keluarga buru memburu.

__ panas nafas merangkuh lagu __ bebas __

Gagah merdu.

 

Kutiup suling ini sekuat nafas, hingga

saat tetirah sekejap lagi

selaras keras agar nyaring dan tegas,

biar didengar orang ini lagu :

“Suling memuja Rumpun Hidup”

 

Berikan getar jiwa merdeka

ke lagu sulingku

kawan.

 

(Majalah Mimbar Indonesia, Jakarta, No.48, 27 Nopember 1948)

 

 

MABUK PUJA

 

Engkau deru berlalu, geraman pada masa ini berpadu

Adalah tiada menjadikan kengerian bagiku

Pintaku: Tegang di sini!

 

Aku mau juga ini deru

Gerak membangun, geram menggugah:

Pelaku kaku.

 

Sadarkan semua anggota panca-indera

Biarkan membising kau berlalu,

Membising dan menggeram selalu.

 

Pada ini musim kering aku minta

Engkau berjanji: Deru menjau dari sini __

Dan aku sebentar menjadi arca: Raja

Yang baru dinobatkan.

 

Sekarang akulah pertanda: punya segala rakyat

Raja Baru

Pada masa yang ditinggalkan.

Sebentar pujian mendesing, gemuruh bagai sorak

sorai tentara pulang: Menang perang!

Deru tiba berlalu, menerjang segala ketegangan

Dan aku :

Terbenam di bawah lapisan debu tebal.

 

Aku lupa pada deru,

Dan

Aku lupa arca sendiri.

(Majalah Mimbar Indonesia, Jakarta, No.42, 15 Oktober 1949)

 

 

HARAPAN

 

Bertahan aku di pangkalan – sepi – sendiri

diantara ragam bayangan yang menekan

Dan kenangan meniti pada kelampauan waktu

peristiwa: - Dara hilang yang  bukan mati

dan duka cerita jejaka mengutuk cinta –

 

Angin dingin sepoi menepis pipi

Dan air menitik di ujung rambut

-       adalah derita dan garapan –

di depan, pedupaan lagi hangat membara

dan tiang asap membubung tinggi

 

 angin dingin sepoi menepis pipi

di pangkalan – sepi – sendiri

 

Di kejauhan, dipenghabisan pandangan mata

Dipermukaan antara laut dan langit

Tampak juga menzarrah kapalku mendekat

Bila pedupaan mendingin dan asap sudah tiada

Tinggal juga harapan: Tibalah kapalku

Sebelum senja mendatang

Kekasih !

 

(Majalah Bandarmasih, Banjarmasin, Juni 1978,  puisi di atas belum pernah dipublikasikan)

 


SEBUAH  LAGU  DI LEMBARAN  ALBUM

                                                       untuk:  Zainab

 

Dilembar pertama pada album lukisanmu

kau tuliskan sebuah lagu jelas untukku,

-    lagu singkat pengembaraan antara pulang ke pulau –

Dan aku sudah berulang kali mwngajak padamu, minta lagu

itu kau nyanyikan sejenak di depanku.

 

Ah, hatiku yang kosong masih juga mau menunggu

Padamu yang kini membisu dengan pandangan penuh ragu

 

Aku hanya dapat mendengar nyanyian laguku sendiri

-    lagu yang belum bernama –

Dan engkaupun belum juga pernah tahu suaraku karena

selalu menghilang bila tiba di pantai ranahmu.

 

Akan tertegun jugakah kau

sampai bertolak sebuah perahu kecil yang rapuh ini,

Menjauh dari pantai tenang dan sepi

Di kesuraman senja hari.

 

Ah, hatiku yang lagi kosong masih juga mau menunggu

Padamu yang kini membisu dengan pandangan penuh ragu.

 

(Majalah Bhakti, Jakarta, No.5, 5 September 1952)

 

 

Asyikin Noor Zuhry

         Asyikin Noor Zuhry dilahirkan di Margasari, Kabupaten Tapin, 2 November 1925. Nama aslinya Asikin Zuhri, Purnawirawan TNI AD. Sering menggunakan nama samaran Azsada dan Asynoor Z. Menulis puisi, cerpen dan esai sastra sejak 1940-an, karyanya dipublikasikan di Majalah Gerak (Banjarmasin, 1945), Majalah Mimbar Indonesia (Jakarta) dan Banjarmasin Post (1971-1981). Editor buku Biografi Ir. Pangeran Mohammad Noor (1980).

         Pada revolusi fisik, aktif berjuang mempertahankan kemerdekaan RI, bergabung di TKR Kalimantan Selatan sebagai Perwira Penghubung (Liasion Officer), untuk wilayah DKI Jakarta, Yogyakarta dan Banjarmasin. Bersama Hijaz Yamani, mendirikan Himpunan Sastrawan Indonesia (HIMSI) Kalimantan Selatan, 19 September 1979. Meninggal dunia di Banjarmasin, 30 Agustus 1981. Pada 17 Agustus 1994, ia menerima Hadiah Seni Gubernur Kalsel (Ir.HM.Said), atas  prestasi dan dedikasinya di bidang sastra.

 

Asyikin Noor Zuhry

BATU  BENAWA

 

Batu Benawa

Sudah lama batu-batu bersatu

Sudah lama batu-batu menggunung

Satu kesatuan satu jadi seribu

Bertahan teguh melawan badai menudung

Maka Batu Benawa

Diteladan oleh perwira Putera Indonesia.

 


SM. Darul

          Sam Martin (SM) Darul dilahirkan di Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, 1926. Nama aslinya Darul. Menulis puisi sejak 1942. Pedagang ketupat di Pasar Kandangan, wartawan Majalah Piala (Kandangan, 1947). Puisi-puisinya dipublikasikan di Majalah Piala (Kandangan), Majalah Purnama Raya (Kandangan) dan Majalah Terang Bulan (Surabaya).

 

SM. Darul

PANDU SASTERA

 

Pena bergerak

berpesawat jari

ia menari dan

menari jua

menuruti irama

alunan jiwa

bebas!

 

__ Di tengah-tengah

kekacauan revolusi:

masa dan bahasa,

tegaklah para satria

jiwa baja – jiwa perwira

__ hangus!

di tungku panas berbara

lebur!

dalam kawah leburan

dan menjelma, menjadi

pandu sastera sejati

 

Satria!

selama jari

lemas bergerak

dan selama pena

masih bergita

melancar – berjejak

menjalin sajak ......

terus – teruslah

menari!

 

 

Aliansyah Ludji

          Aliansyah Ludji dilahirkan di Alabio, Kabupaten Hulu Sungai Utara, 1927. Menulis puisi, cerpen,  esai sastra dan roman/novel sejak awal 1940-an. Karyanya dimuat di Majalah Mimbar Indonesia (Jakarta), Majalah Gelanggang/Siasat (Jakarta), Majalah Getaran Masyarakat (Banjarmasin), Surat Kabar Pengharapan (Banjarmasin), Surat Kabar Terompet Masyarakat (Amuntai) dan Surat Kabar Borneo Shimbun (Banjarmasin), Majalah Senang (Jakarta), Surat Kabar Banjarmasin Post (Banjarmasin) dan Surat Kabar Dinamika Berita (Banjarmasin).

            Buku roman/novelnya yang sudah terbit, antara lain, Bom Meletus di Balikpapan (Banjarmasin, 1947), Memperebutkan Mawar di Candi Agung (Banjarmasin, 1954), Intan Berlumur Darah (Bandung, 1956) dan Manusia Jalang (Bandung, 1957).

          Ia juga seorang wartawan. Pernah menjadi Ketua PWI Kalsel (1963-1965) dan anggota DPRD I Kalsel (1965-1971). Di masa revolusi fisik (1945-1949), berjuang mempertahankan kedaulatan RI di Kalimantan Selatan, sempat dipenjara NICA di Amuntai, Kandangan, Marabahan, Tanjung dan Buntok. Setelah kemerdekaan, ia diakui sebagai anggota Veteran.

 

 

Kepala Hantu dari Teluk Tapah

Cerpen Aliansyah Ludji

 

MATA gadis itu mulai berkaca-kaca. Semula hanya titik perlahan, satu demi satu, kemudian makin lama makin deras. Ia tak dapat lagi menguasai dan mengendalikan perasaan hatinya yang sedemikian pilu dan sedihnya.

                Ia merasa heran, mengapa ayahnya yang sedemikian sayang kepadanya memaksanya kawin dengan Temanggung Guntum. Padahal ia tak setuju, bahkan juga tak mencintainya.

          Timbul tafsirannya, bahwa ayahnya memperlakukan sebagai barang dagangan yang selalu memperhitungkan untung rugi.

          Sebagai seorang gadis apakah ia tak berhak untuk memilih, tak berhak untuk saling jatuh cinta?

          “Kau bukan milik pribadimu, Rindan, bukan milik ayahmu, melainkan milik Suku Lawangan. Demi kepentingan suku bangsa kitalah, maka kau akan kukawinkan dengan Temanggung Guntum,” kata Kakak Sirang kepada anaknya.

          “Papa lupa, bahwa Suku Lawangan tidak menuntut dan tidak mengharuskan Rindan kawin dengan seseorang. Bukankah saya bebas menentukan pilihan?”

          “Kau lupa, Nak. Papa adalah Kepala Suku Dayak Lawangan. Seorang kepala suku, seorang kepala negara, seorang pemimpin, dalam segala gerak-gerik, tindak-tanduk dan perbuatannya haruslah mendahulukan kepentingan rakyat dari kepentingan diri sendiri atau keluarganya. Kalau terjadi sebaliknya, maka kedudukan seorang pemimpin tak ada artinya lagi.”

          “Tetapi Rindan telah mempunyai pilihan sendiri dan telah saling mencinta dengan Dambung Runjat,” balas anak gadis itu.

          “Lupakanlah kekasihmu itu, Nak!”

          “Sebagai seorang rakyat, saya memprotes kebijaksanaan kepala suku yang telah memaksakan kehendaknya sendiri dan merampas kebebasan saya.”

          “Baiklah, jika kau keberatan, calonkanlah Dambung Runjat untuk bertarung melawan Temanggung Guntum. Siapa yang menang, berhak mengawininya.”

          “Itu berarti salah seorang harus tewas. Tidak, ini adalah suatu pembunuhan. Rindan tidak bisa menerima keadilan semacam itu. Lebih baik Rindan menjadi korban daripada melaksanakan adat gila ini,” bantahnya.

          “Bila kau menolak, maka dengan sendirinya Temanggung Guntum yang menjadi suamimu.”

         “Papa kejam, Papa tahu bahwa Runjat tidak mampu melawan Guntum.”

         “Wakilkanlah kepada orang lain,” bujuk ayahynya.

         “Curang, karena Papa sudah tahu tak ada kesatria yang berani.”

         “Nah, berarti pilihan Papa sangat tepat, hanya kau yang salah pilih.”

         Rindan tak dapat lagi menjawab. Ia segera lari ke biliknya dan menghambur ke tempat tidur, lalu menangis melepaskan kesedihan hatinya.

         Ia sedih, ia pilu atas keputusan ayahnya yang sama sekali tidak menghiraukan cinta kasihnya terhadap Runjat.

         Ayahnya termenung di luar. Ia ingin menjumpai dan membujuk. Namun demi kepentingan sukunya yang memerlukan orang kuat dan disegani, ia harus menabahkan hati.

         Perang batin melanda dadanya antara kepentingan anak yang dikasihi dengan kepentingan rakyat. Tetapi akhirnya jiwa kepemimpinannya yang menang.

         Rindan adalah putri tunggal kepala Suku Dayak Lawangan. Mereka tinggal di tepi Sungai Lunjau Bambulung, Kalimantan Tengah (sekarang termasuk Kabupaten Barito Selatan).

          Anak gadis itu cantik. Kulitnya kuning langsat sebagaimana biasanya suku Dayak. Karena kecantikannya, ia menjadi kembang bukan saja bagi Suku Lawangan, tetapi juga bagi suku-suku lainnya. Tidaklah mengherankan, kalau kehadirannya di dunia menjadi piala rebutan para kesatria. Tetapi gadis itu telah menjatuhkan pilihannya kepada seorang kesatria tampan yang bernama Dambung Runjat. Malangnya, ayahnya telah memilih dan menerima Temanggung Guntum untuk menjadi calon menantunya.

          Temanggung Guntum adalah seorang kesatria muda yang sakti mandraguna. Dengan bermenantukan Temanggung Guntum, maka amanlah Suku Lawangan dari gangguan suku lainnya yang suka berperang. Dan dari dia juga diharapkan akan lahir seorang keturunan yang sakti. Harapan ayahnya itu bukan tidak dipahami oleh Rindan, tetapi ia enggan berkhianat karena telah melakukan janji setia dengan Runjat.

          Besok paginya, Rindan minta izin kepada ayahnya untuk meninggalkan betang, katanya untuk menenangkan hati ia perlu beristirahat di pondok sambil menjaga kebun.

         Ayahnya tidak keberatan, karena memang sudah menjadi kebiasaan dalam sukunya, kaum wanita membantu keluarga dalam bertani atau berkebun.

         “Berhati-hatilah menjaga diri, jangan sampai engkau mencoret muka ayahmu dengan arang.”

         Gadis itu berlalu dari hadapan orang tuanya.

         Hari-hari yang murung dilalui sang gadis di kebunnya. Pada suatu malam, Runjat datang menemuinya di pondok.

         “Usahakanlah, agar perkawinanku dengan Guntum gagal,” pinta gadis itu. Runjat termenung.

         “Menantang Guntum dalam adu kepandaian, berarti bunuh diri, sedang kalau aku melarikan kau, nama ayahmu akan tercemar. Bukankah engkau sendiri tidak setuju dengan salah satu cara itu?”

         “Benar, karena membawa akibat yang tak menyenangkan,” sahut Rindan.

         “Kalau begitu, marilah kita berserah diri saja kepada nasib.”

         “Tidak, tidak.....kita harus berusaha,” Rindan masih mendesak dalam kebuntuan.

         Kemudian keduanya kehabisan kata-kata, lalu masing-masing berdiam diri. Runjat bermalam di sana, namun keduanya tak dapat tidur.

 

***

 

PUNCAK acara perkawinan Rindan dengan Temanggung Guntum ialah mempertemukan mempelai dalam suatu persandingan. Sejak beberapa hari yang lalu, telah berdatangan kaum keluarga dan undangan ke rumah calon mempelai pria dan wanita.

          Ayam, babi, kerbau, dan sapi menjadi korban untuk dijadikan hidangan dalam kenduri besar-besaran. Keramaian sebagai adat kebiasaan tidak ketinggalan, seperti Nampaknanrek, Amburuhu, Tari Gelang, Sewek dan sebagainya.

          Hari ini mempelai pria akan diantar ke rumah mempelai wanita dengan cara adat. Serombongan gadis-gadis menjadi pengiring mempelai pria. Mereka membawa kunyit yang telah ditumbuk halus, dicampur dengan air kapur, arang kayu dan minyak kelapa. Sedangkan para pemudanya membawa batang kayu suli dan tongkat-tongkat yang ujungnya dihiasi dengan tengkorak-tengkorak manusia.

         Ketika rombongan pihak mempelai pria bertemu dengan menunggu mempelai wanita yang berada di jalanan, maka terjadilah semacam perang-perangan, yaitu simbur-menyimbur.

         Dari pihak mempelai pria terdiri dari gadis-gadis, sedang dari pihak mempelai wanita terdiri dari pemuda-pemuda yang juga telah menyiapkan air kunyit secukupnya.

         Simbur-menyimbur ini dilakukan sambil bersorak-sorai, sehingga situasi menjadi riuh dan masing-masing pihak menjadi basah kuyup dengan air kunyit.

         Setelah air kunyit habis, maka mempelai pria menuju halaman. Tetapi sebelum masuk terlebih dahulu harus melalui rintangan yang berupa pohon kayu di pintu pagar. Salah seorang pengawal tertua mengajukan berbagai pertanyaan yang harus dijawab oleh pihak mempelai pria. Selesai tanya-jawab, kepada mempelai pria diberikan sebuah mandau untuk memotong rintangan, kemudian baru dipersilakan masuk ke halaman.

         Di halaman, mempelai pria masih diuji ketangkasannya untuk membunuh seekor babi yang galak. Bila berhasil, barulah ia diperbolehkan naik ke tempat persandingan yang terletak di teras muka betang. Sementara hadirin bersorak-sorai di halaman dan jalanan, mempelai melakukan upacara adat Ngelakar, kemudian bersanding.

*

KEHADIRAN Temanggung Guntum di betang besar itu tidak dipedulikan Rindan. Empat bulan lamanya kesatria itu berusaha membujuk, merayu dan mengambil hati isterinya, namun sia-sia saja. Anak kepala suku itu tetap berkeras kepala.

          Temanggung Guntum kewalahan. Tidak mempan bujuk rayu, segala macam jampi dan ramuan obat guna-guna dicobanya. Tetapi tidak juga mengubah pendirian gadis itu.

          “Berterus teranglah, Rindan, mengapa engkau selama ini tidak mengacuhkan kehadiranku di sini,” demikian pada suatu malam Guntum terpaksa bicara kepada isterinya.

         “Engkau mau apa? Aku tidak suka kepadamu. Jangan kau kira, engkau dapat membeli diriku dengan kesaktianmu. Engkau mengotori betang ini dan mengotori seluruh negeri,” Rindan tak dapat menahan sakit hatinya.

          “Kau menyinggung perasaanku, Rindan. Andaikata orang lain berkata begitu, sudah pasti akan kuputar batang lehernya.”

         “Engkau mau membunuhku? Silakan!” Rindan menepuk dada menantang.

         “Jadi, apa maksudmu, Rindan!”

         “Enyah dari sini!”

         “Kalau itu yang kau kehendaki, baiklah. Untuk sementara aku akan menyingkir, tetapi nanti aku akan datang untuk mengambil milikku, yaitu kau.”

         Rindan terdiam.

         Esok paginya, Temanggung Guntum berangkat meninggalkan isterinya tanpa pamit. Sebagai manusia ia merasa sedih, tetapi sebagai seorang kesatria ia pantang mundur dan harus tetap konsekuen terhadap ucapannya sendiri.

          Sebenarnya setelah melangsungkan perkawinannya dengan anak kepala suku itu, tubuh Temanggung Guntum dihinggapi penyakit puru (framboesia). Mula-mula hanya tumbuh satu, tetapi kemudian dengan cepat menjalar ke seluruh tubuhnya dan menimbulkan nanah.

          Apakah penyakit ini sesuatu kebetulan belaka, ataukah suatu perbuatan guna-guna dari musuh yang ingin memisahkan dirinya dari Rindan, ia sendiri tidak tahu.

         Segala obat dan akar-akaran tidak dapat menolong, begitu pula segala jampi dan tenung tidak bisa menghilangkan penyakit itu. Akibatnya, Temanggung Guntum merasa rendah diri. Karena itulah ia menganggap lebih baik menyingkir.

          Ia berjalan menuju ke Teluk Tapah. Kalau penyakitnya tidak bisa sembuh, ia merasa lebih baik ia dimakan hantu.

          Teluk Tapah bagi Suku Dayak Lawangan merupakan rimba yang angker. Penghuninya dikenal sebagai makhluk-makhluk hantu yang kejam dan ganas, suka memakan manusia. Karena itu tak ada orang yang berani mendekati daerah pantangan ini.

         Menjelang sore, Temanggung Guntum tiba di sana. Ia sengaja merebahkan diri di tengah jalan, agar cepat bertemu dan dimakan hantu. Sang hantu yang menemukannya merasa sangat heran atas keberanian manusia yang satu ini.

         “Hai, manusia yang tolol, mengapa engkau datang ke sini!”

         “Jangan banyak omong, cepatlah makan aku. Mati berarti lepas menanggung malu,” jawab Temanggung Guntum. Temanggung Guntum lalu menceritakan keadaan penyakitnya dan penghinaan yang dilontarkan isterinya.

          “Aku bisa menyembuhkan penyakitmu,  tetapi maukah kau bertukar kepala dengan kepalaku?” ajak sang hantu.

          “Jangankan kepala, seluruh tubuh pun aku bersedia, asal penyakitku bisa disembuhkan.”

          Hantu segera menjilati seluruh tubuh Temanggung Guntum. Aneh, suatu keajaiban terjadi. Penyakit kulitnya lenyap semua dalam waktu beberapa menit saja, tanpa meninggalkan bekas. Kemudian, dengan tangan kanannya sang hantu mencabut kepalanya sendiri dan dengan tangan kirinya mencabut kepala Temanggung Guntum, lalu mempertukarkannya secepat kilat.

          Keajaiban kedua terjadi pula dalam beberapa detik. Keduanya telah bertukar kepala dengan tidak mengeluarkan darah.

          “Sekarang kesaktianmu bertambah. Tetapi ingat, engkau harus menjauhi lebah hitam yang keluar dari pohon kayu, karena binatang itu dapat membunuhmu.”

         Temanggung Guntum lalu disuruh pulang menemui isterinya.

         Kini Temanggung Guntum telah bertambah sakti. Malah maha sakti. Bunyi suaranya bagaikan guntur. Mulutnya kalau dibuka bisa menyemburkan api, tenaganya bertambah puluhan kali. Memperoleh kesaktian baru ini Temanggung Guntum tidak segera pulang. Ia ingin mencoba kesaktiannya di dalam hutan.

        Kedatangan Dambung Runjat ke betang menemui Rindan adalah di luar perhitungan, karena sejak anak gadis itu dikawinkan orang tuanya, mereka tidak pernah mengadakan hubungan lagi. Malam itu mereka berbicara sambil berbisik, agar tidak terdengar oleh orang lain. Pertemuan ini berlangsung di dalam bilik. Kedua manusia yang saling mencintai itu tidak dapat lagi mengendalikan rindu dendamnya, kesempatan ini dipergunakan Runjat untuk bermalam. Malangnya, peluang ini membawa akibat yang tak diharapkan.

         Setelah berminggu-minggu berkelana di dalam hutan, Temanggung Guntum mendadak pulang. Karena kepergiannya melalui pertengkaran dengan isterinya, ia merasa segan langsung naik ke betang. Ia menyusup ke bawah bilik isterinya.

         “Runjat, cepat bangun, hari sudah pagi!” terdengar suara Rindan memanggil seseorang dengan perlahan, hampir tidak terdengar, di bawah. Tetapi, Temanggung Guntum yang mempunyai pendengaran sangat tajam, dapat menangkap suara itu dengan jelas. Ia naik pitam. Kini tahulah ia bahwa isterinya menyembunyikan laki-laki lain di dalam biliknya. Guntum cepat keluar dari bawah betang dan berteriak dari halaman.

                “Runjat, cepat ambil sarapan pagi di luar, atau aku sendiri yang mengantarnya ke dalam!”

                Suaranya bergemuruh bagai guntur sehingga seisi betang terbangun. Kedua manusia yang ada di dalam bilik menjadi kaget. Buru-buru mengambil pakaiannya, namun sudah terlambat. Temanggung Guntum yang rupanya tidak sabar lagi sudah menyerbu dan menerjang pintu bilik sampai bobol.

         “Jahanam perusak rumah tangga orang, apakah kau mau mati di dalam atau di luar!”

         Suara gunturnya bagai memecahkan anak telinga. Dari mulutnya menyembur api. Runjat kehilangan semangat, sekujur tubuhnya gemetar karena merasa bersalah.

         “Jangan, Guntum, jangan diapa-apakan dia!” cegah Rindan.

         Guntum tidak peduli. Kemarahannya meluap menyaksikan Runjat dalam keadaan polos, tidak berbusana. Dengan tenaganya yang besar, ditangkapnya Runjat dan dikepitnya ke luar. Runjat meronta dan berusaha melepaskan diri, namun sia-sia. Bagaikan ranting kayu yang ringan, tubuh Runjat dilemparkan Guntum ke halaman sehingga terbanting ke pohon durian besar.

         Dalam keadaan polos, tubuh Runjat patah remuk di dalam. Daya lemparan Guntum begitu kuat dan hebatnya, sehingga nyawa Runjat putus seketika itu juga.

         “Sekarang, tiba giliranmu, Rindan. Ayo, panggil papamu, panggil kakekmu, panggil datukmu, biar bertempur seribu pukulan dengan aku.”

         Rindan ketakutan. Ia menangis. Ia kehilangan akal. Semuanya memang salahnya sendiri.

         “Ampun, Guntum. Aku berdosa. Maafkan aku. Aku berjanji akan setia selamanya kepadamu.” Ia menyembah, mencium kaki suaminya.

         Temanggung Guntum masih marah. Tetapi ia tidak berniat untuk menyiksa isterinya. Ia segera turun ke tanah. Untuk melampiaskan kemarahannya, pohon durian yang ada di halaman didorongnya sampai tercabut dan tumbang. Untung tidak kena betang besar. Semua penghuni betang ketakutan.

         Melihat isterinya minta ampun dan menangis ketakutan, jiwa kesatria Guntum tersentuh. Diangkatnya isterinya itu. Semua yang melihat menahan napas, khawatir Rindan akan dicabik-cabik. Tetapi ternyata kesatria itu membawa isterinya masuk ke bilik, lalu menutupkan pintunya dari dalam. Tak ada yang berani mendekat. Rindan masih ketakutan, ia berpasrah diri. Ternyata, Guntum hanya membaringkannya, lalu membelai rambutnya, menciuminya. Kemudian ikut membaringkan diri di samping isterinya, lalu tidur.

         Dalam bilik dan seluruh betang jadi sunyi.

*

SEJAK itu, Rindan benar-benar menjadi seorang isteri yang setia dan selalu membaktikan diri kepada suami. Namun, kebahagiaan suami-isteri ini belum juga lengkap, karena sudah empat tahun mereka berkumpul belum juga memperoleh keturunan.

         Sementara itu, berita kematian Dambung Runjat akhirnya sampai juga ke telinga adiknya yang bernama Dambung Kitok. Dambung Kitok telah lama diasingkan di udik Sungai Takuwan, karena mengidap penyakit lepra.

         Hati Dambung Kitok membara ketika berita kematian itu sampai ke telinganya. Merasa hidupnya tidak berguna lagi, maka ia memutuskan untuk menuntut balas atas kematian saudaranya. Dambung Kitok lalu berangkat dengan bersenjatakan sebuah tombak, sebilah mandau yang tersisip di pinggang, dan sebuah sumpitan dengan anak sumpit (jarum) beracun.

         Berminggu-minggu ia menempuh perjalanan menuju Sungai Lunjau, kemudian menuju betang tempat Temanggung Guntum tinggal. Setibanya di halaman, ia menantang Guntum sambil berdiri di atas lesung tunggal.

         “Hei, Guntum, aku Kitok, adik Runjat, ingin memenggal kepalamu. Ayo, cepat keluar!” teriaknya.

         Temanggung Guntum mendengar tantangan menjadi tidak sabar. Isterinya berusaha untuk menahannya, tetapi sia-sia. Guntum segera membuka pintu luar, berdiri berkacak pinggang di ambang pintu. Kitok yang terlebih dulu sudah menyiapkan sumpitannya, segera menghembuskan sumpitannya keras-keras setelah melihat sasaran empuk. Anak sumpit yang sangat beracun itu menembus dada Guntum. Ia terjatuh ke lantai. Kitok secepat kilat naik ke betang dan mengayunkan mandau-nya menebas batang leher Guntum.

        Kepala Guntum putus dan darah menyembur.

        Rupanya Temanggung Guntum tidak mengetahui, bahwa yang dikatakan sang hantu lebah hitam yang keluar dari pohon kayu itu sebenarnya maksudnya adalah sumpitan suku Dayak.

         Dengan rasa puas karena dendam sudah terbalas, Kitok pergi meninggalkan betang. Tetapi beberapa langkah berjalan tubuhnya mendadak menjadi sasaran beberapa buah tombak yang dilemparkan dari dalam betang. Kitok tersungkur ke tanah, jiwanya langsung melayang.

        Rindan keluar dan berteriak setelah melihat kepala suaminya putus.

        Ia meratapi kepala suaminya, menciuminya dan membawa kepala itu ke bilik.         Berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan, Rindan menangisi kepala suaminya di dalam bilik. Keadaan dirinya sudah tidak dihiraukannya lagi.

        Segala nasihat orang tua dan kaum keluarganya tidak dipedulikannya lagi. Ia terus menangis, tidak mau makan, tidak mau minum dan tetap berkurung di dalam bilik mendampingi kepala suaminya sebagai bukti kesetiaannya terhadap Temanggung Gultum.

         Akhirnya, Rindan meninggal dalam mendampingi kepala suaminya. Kaum keluarga dan sukunya yang mencintai Rindan, meneruskan tradisi itu dan menyimpan kepala Temanggung Guntum.

         Kini tengkorak kepala hantu dari Teluk Tapah ini sudah berumur beberapa ratus tahun. Sampai sekarang disimpan di Balai Adat suku Dayak Lawangan di kota Ampah, Kabupaten Barito Selatan, Kalimantan Tengah, kira-kira 400 km jalan darat dari Banjarmasin.

          Kepala itu bukan saja dihormati, tetapi juga kemudian menjadi benda keramat suku Dayak Lawangan untuk berbagai keperluan. (Majalah Senang, 00629, 13 Mei 1984)

____________________

betang:  rumah adat Suku Dayak, semacam lamin.

 

 

Zainal

         Zainal dilahirkan di Banjarmasin, 7 Oktober 1927. Menulis puisi dan cerpen sejak 1940-an. Sering menggunakan nama samaran Fourzani Wati dan Fourzani al Haddy Noor. Karyanya dipublikasikan di Majalah Terang Bulan (Surabaya), Majalah Purnama Raya (Kandangan), dan lain-lain. Ia juga wartawan, pernah bekerja di Surat Kabar Borneo Simboen (Banjarmasin, 1944-1945), Surat Kabar Kalimantan Berjuang (Banjarmasin, 1946-1952), Surat Kabar Indonesia Berjuang (Banjarmasin, 1952-1960), Kepala Perwakilan LKBN Antara di Banjarmasin (1960-1980) dan Surat Kabar Banjarmasin Post (Banjarmasin, 1980-1988). Meninggal dunia di Banjarmasin, 13 Januari 1999.

 

Zainal

KAMI BERANGKAT BERJUANG

 

Kalau tuan mewah di kota,

kami di desa adalah mewah darah.

Kalau adinda mewah bercinta,

kanda adalah mewah memuja gairah.

 

(Surat Kabar Borneo Shimboen, Banjarmasin, 1945)

 

 

 

Bab V

Penutup

 

Tahun 1930-an, ketika sastrawan Kalsel zaman Belanda (1930-1942) mulai memublikasikan karyanya, para pemuda Tanah Air sedang dimabuk euforia Sumpah Pemuda, yang diikrarkan dalam Kongres Pemuda di Jakarta, 28 Oktober 1928. Dapat dipahami jika berita, feature, opini, dan karya sastra di surat kabar dan majalah republiken saat itu dimuati semangat Sumpah Pemuda, ide-ide nasionalisme, dan gagasan Indonesia merdeka.

Karya sastra yang ditulis dan dipublikasikan sastrawan Kalsel saat itu, secara tematis, selaras dengan zamannya: mengungkapkan impian anak bangsa untuk memiliki Tanah Air yang merdeka. Namun, keinginan itu tidak dapat diungkapkan dengan leluasa. Sastrawan yang karyanya mengkritik penguasa (dan oleh karenanya dinilai “subversif”) harus berhadapan dengan pemerintah kolonial. Mereka akan ditangkap, dituduh melakukan “delik pers”, dan dipenjara.

Dalam memperjuangkan kemerdekaan Tanah Air, sastrawan Kalsel zaman Belanda (1930-1942) maupun zaman Jepang (1942-1945) aktif menulis karya sastra yang menggugah rasa cinta kepada tanah air dan perlawanan terhadap kolonialisme. Hal tersebut menjadi bukti, bahwa kesusastraan Indonesia modern di Kalsel adalah bagian tak terpisahkan dari kesusastraan Indonesia modern.

 

 

Daftar Pustaka

Antemas, Anggraini. 1986. Mutiara Nusantara (Seri Kalimantan). Amuntai: Penerbit Mega Sapura. Cetakan I.

Artha, Artum. 1981. Lintasan Sejarah Pers di Kalimantan (Wartawan Wartawan Kalimantan Raya). Banjarmasin. Cetakan I.

Aziddin, Yustan. 1975. Data Seni Sastra (dimuat dalam laporan hasil penelitian Data Kesenian Daerah Kalsel). Banjarmasin: Proyek Pengembangan Kesenian Daerah Kanwil Depdikbud Kalsel. Cetakan I.

Faruk. 1999. Pengantar Sosiologi Sastra (dari Strukturalisme Genetik sampai Post-Modernisme). Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar. Cetakan II.

Ganie, Tajuddin Noor. 1993. Karya Sastra Berwawasan Kebangsaan: Ide Kebangkitan Nasionalisme dalam Sejumlah Karya Sastra Sastrawan Afdeling vfan Borneo 1930-1943. Banjarmasin: Media Masyarakat, Sabtu, 8 Mei 1993, halaman 5.

Ganie, Tajuddin Noor. 1995. Ensiklopedi Lokal Kesusastraan Indonesia di Kalsel. Banjarmasin. Penerbit Puskajimastra Kalsel. Cetakan I.

Ganie, Tajuddin Noor. 2002. Profil Sastrawan Kalsel 1930-1999. Banjarmasin: Skripsi S1 STKIP PGRI, tidak diterbitkan.

Ganie, Tajuddin Noor. 2010. Sejarah Lokal Kesusastraan Indonesia di Kalimantan Selatan 1930-2009. Banjarmasin: Pusat Pengkajian Masalah Sastra Kalimantan Selatan.

Ganie, Tajuddin Noor. 2010. Antologi Biografi Sastrawan Kalsel 1930-2009. Banjarmasin: Pusat Pengkajian Masalah Sastra Kalimantan Selatan.

Saleh, M. Idwar. 1995. Sejarah Daerah Kalimantan Selatan. Banjarmasin: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Kanwil Depdikbud Kalsel, Banjarmasin. Cetakan I.

Seman, Syamsiar. 2002. Hassan Basry Bapak Gerilya Kalimantan. Banjarmasin: Penerbit Lembaga Studi Sejarah Perjuangan dan Kepahlawanan Kalimantan Selatan. Cetakan I.

Soebely, Burhanuddin. 2004. La Ventre de Kandangan (Mozaik Sastra HSS 1937-2003). Kandangan: Cetakan I

Yamani, H. Hijaz. Kegiatan Para Sastrawan Kalimantan Selatan dari Waktu ke Waktu. Tabloid Wanyi Banjarmasin. Edisi 21/Tahun I/1-15 Pebruari 2000, Edisi 22/Tahun I/16-29 Februari 2000, dan Edisi 23/Tahun I/1-15 Maret 2000.

 

 

Data Narasumber

            Tajuddin Noor Ganie, M.Pd dilahirkan di Banjarmasin, 1 Juli 1958. Sejak 1978 bekerja di Kantor Departemen Tenaga Kerja Kota Banjarmasin. Mulai 1 Juni 2006, bertugas di Balai Hiperkes dan Keselamatan Kerja Provinsi Kalimantan Selatan di Kota Banjarmasin. Tahun 2002, menyelesaikan S1 di PBSID STKIP PGRI Banjarmasin sebagai wisudawan terbaik. Sejak 2002, menjadi dosen tamu di almamaternya, mengampu mata kuliah kritik sastra, penulisan kreatif sastra, prosa fiksi dan drama, puisi, sastra Banjar, semiotika, sosiologi sastra, teori sastra dan sejarah sastra. Tahun 2005, menyelesaikan S2 di PBSID FKIP Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin dengan predikat sangat memuaskan.

     Sejak 1980, menulis puisi, cerpen, esei sastra, dan folklor Banjar di berbagai koran, majalah, dan jurnal terbitan lokal, nasional, dan luar negeri (Brunei Darussalam). Beberapa kali mengikuti pertemuan sastrawan di tingkat lokal, nasional, dan internasional (Malaysia). Menerima penghargaan Pemuda Pelopor Bidang Seni Budaya dari Menteri Negara Pemuda dan Olahraga (1991), Hadiah Seni (bidang sastra) Gubernur Kalsel (1998), Penulis Naskah Fiksi Keagamaan Departemen Agama Republik Indonesia (2002), dan anggota tim penulis Biografi Walikota Banjarmasin (Drs. H. Midfai Yabani, MM): Dari Wali Kelas Menjadi Walikota (2005). Alamat rumah: Jalan Mayjen Soetoyo S., Gang Sepakat RT 13 Nomor 30, Banjarmasin 70119, telepon (0511) 4424304, 08195188521, e-mail tajuddinnoorganie@yahoo.com

 

Maman S. Tawie dilahirkan di Lok Paikat, Kabupaten Tapin, 25 September 1957. Alumnus STM Hastemsin Banjarmasin, PNS di Mapolda Kalsel di Kota Banjarmasin. Menulis Puisi, esai sastra dan cerpen sejak 1980-an, dipublikasikan di Banjarmasin Post, Dinamika Berita, Radar Banjarmasin (semuanya terbit di Banjarmasin), Angkatan Bersenjata, Berita Buana, Pelita, Merdeka, Kompas, Suara Karya, Majalah Zaman dan Majalah Sastra Horison (semuanya terbit di Jakarta) dan Eksponen (Yogyakarta).

Manuskrip antologi puisi tunggalnya, antara lain, Panas Matahari (1980), Sajak-sajak Dahaga (1981), Dinding Kaca (1982), Tonil (1985), Kebun di Belakang Rumah (1995) dan Nyanyian Dusun (2000). Antologi puisi bersama yang memuat puisinya, antara lain, Jam (1980), Dahaga BPost ’81 (1982), Siklus Lima Penyair Kalsel (1983), Terminal (1984), Puisi Indonesia 1987 (DKJ, TIM, Jakarta, 1987), Tamu Malam (1982), Festival Poesi Kalimantan (1992), Pemberontak yang Gagal (1998), Datang dari Masa Depan (Sanggar Sastra Tasik, Tasikmalaya, 2000), Perkawinan Batu (DKJ, TIM, Jakarta, 2005), dan Seribu Sungai Paris Barantai (Antologi Puisi Sastrawan Kalimantan Selatan, Aruh Sastra Kalimantan Selatan III, Kabupaten Kotabaru, 2006).

Tahun 1999, menerima Hadiah Seni (bidang sastra) Gubernur Kalimantan Selatan (Drs. H.M. Syachriel Darham). Alamat rumah: Jalan Bandarmasih RT 27 Gang 6 Nomor 67 Banjarmasin.

 

 

 

 

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler