Skip to Content

SASTRAWAN ANGKATAN TERBARU: TERBENTUKNYA CITRA SASTRAWAN INDONESIA (Bag. 01)

Foto SIHALOHOLISTICK

Maman S. Mahayana

1.1 Pengantar

Kehidupan dunia kesenimanan di Indonesia, khususnya yang menyangkut citra kesastrawanan kita, baik di dalam kehidupan kemasyarakatan, maupun dalam kehidupan-nya selaku  warganegara sebuah bangsa, sering kali dipandang secara tidak proporsional, jika tidak dapat dikatakan dilecehkan. Profesi kesastrawanan atau pekerjaan sebagai pe-ngarang dianggap tidak lebih baik dari profesi atlet, pegawai negeri atau pengusaha. Ci-tra sastra­wan  sebagai warga masyarakat yang tidak jelas pekerjaannya dan dengan sendi-rinya tidak jelas  penghasilannya, menyebabkan banyak anggota masyarakat yang meman-dang  rendah profesi itu. Padahal, profesi sastrawan, tidaklah berbeda dengan profesi lain. Ia  mempun­yai tempatnya sendiri dalam kehidupan sosialnya. Ia juga mempunyai peranannya  sendiri yang  juga tidak kalah pentingnya dari profesi lain. Di dalam kehidup-an sebagai  wargane­gara,  banyak  pula sastrawan kita yang dikenal luas di tingkat dunia. Tidak sedikit karya sastra Indonesia yang sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Dengan  sendirinya, mereka  juga dikenal oleh bangsa lain. Jika salah seorang atlet kita berhasil  menjadi  juara dalam kejuaraan tingkat dunia, mendapat penghargaan luar biasa dari  masyarakat  dan pemerintah,  lalu  mengapa  hal  yang sama tidak dilakukan  kepada sastrawan  kita yang meraih  hadiah  tingkat dunia? Atau mengapa tidak ada penghargaan sama sekali kepada sastrawan kita yang karya-karyanya telah diterjemahkan ke dalam berbagai  bahasa dan dipublikasikan di berbagai negara?

Itulah yang terjadi dalam dunia kesastrawanan kita. Status sosial sastrawan kita sering  dianggap  lebih  rendah daripada seorang  pegawai  pemerintah,  pengusaha, atau bahkan pedagang. Mengapa penghargaan masyarakat hampir selalu demikian? Untuk menjawab persoalan  itu, terpaksalah kita melihat ke belakang, terutama  pada dasawarsa tahun  1950-an. Pada  masa itulah, sesungguhnya pembentukan citra sastrawan Indonesia ‘dimulai’ dan kemudian terus bergulir hingga kini.

1.2 Kerangka Teoretis dan Sumber Data

Pembicaraan  citra sastrawan secara umum termasuk ke dalam pembicaraan sis-tem makro-sastra, yang di dalamnya dibicarakan sistem pengarang (sastrawan). Dalam hal  ini, yang  menjadi pusat perhatiannya adalah latar belakang pendidikan sastrawan, lingkungan sosial,  ideologi yang dianut, agama, kebudayaan yang melahirkan  dan mem-besarkannya, penghasilannya, serta persoalan yang berkaitan dengan sistem penerbitan-nya. Masalahnya,  bahwa sastrawan adalah anggota masyarakat, sama halnya seperti ang-gota masyarakat lain. Ia  tidak dapat melepaskan dirinya dari lingkungan sosial, tradisi kebudayaan, dan hal  lain yang  berkaitan  dengan itu. Jika sastrawan mempublikasikan karyanya,  ia langsung berhadapan dengan penerbit dan masyarakat pembacanya.

Dalam  kaitan  dengan persoalan itu, pembicaraan citra  sastrawan Indonesia lebih dipusatkan pada sistem pengarang di Indonesia tahun 1950-an yang  memang menjadi se-macam dasar bagi pembentukan citra sastrawan Indonesia. Meski pembicaraannya lebih khusus  menyangkut sistem pengarang tahun 1950-an, tidaklah berarti kita  hanya mem-bi­carakan  para  pengarang Indonesia yang karya-karyanya pada tahun  1950-an  itu per-nah diterbitkan sebagai buku. Cara demikian tidak hanya berarti menggelapkan nama-nama pengarang  yang karya-karyanya lebih banyak dipublikasikan dalam lembaran  surat kabar atau  majalah,  tetapi juga menafikan keberadaan pengarang-pengarang  baru  yang kiprah dalam  kegiatannya  bersastra, dimulai tahun 1950-an dan  dalam tahun-tahun ber-ikutnya justru berperan sangat penting dalam perjalanan sejarah kesusastraan Indonesia pascaperang. Sesungguhnya, penelitian yang dilakukan A. Teeuw[1] merupakan contoh yang amat baik, betapa penelitian yang semata-mata berdasarkan penerbitan buku, meng-undang munculnya pengaburan data. Perhatikan pernyataan Teeuw berikut ini.

Pada  hakikatnya,  Rivai  Apin menulis sajaknya yang  terakhir  dalam  bulan Agustus  1950 … dan sejak itu ia giat di bidang kebudayaan yang  lain.  Juga Asrul Sani tidak banyak lagi menulis sajak sejak 1950 dan cerpen-cerpen pun tidak  banyak.  … Sejak 1950, ia tidak lagi memainkan peranan  penting  apa pun di bidang kehidupan sastra …

Di bagian lain, Teeuw mengungkapkan:

Pada awal 1960-an, kita pun bertemu untuk pertama-tama nama-nama seperti antara  lain, Taufiq Ismail, Sapardi Djoko Damono, dan Goenawan  Moeha­mad.[2]

 Bahwa  Rivai Apin kemudian bergiat dalam bidang kebudayaan yang lain, tidak-lah serta-merta  ia meninggalkan kegiatannya menulis karya kreatif (: sastra). Tercatat, dalam tahun 1950, lima buah puisinya dimuat majalah Siasat (tiga buah) dan Indonesia (dua buah).  Sampai  tahun 1957, Rivai Apin masih menghasilkan empat buah puisi  lagi. Jadi, dalam  tahun 1950-an itu, ia masih menghasilkan  sembilan puisi; satu jumlah  yang sama yang termuat dalam antologi puisi Tiga Menguak Takdir (1950).[3] Empat buah puisi  Apin  dari  antologi Tiga Menguak Takdir yaitu Kebebasan, Elegi, Batu  Tapal dan Tugu dimuat  pula  dalam Budaya (No. 8, Agustus 1954), Zaman Baru (No.11, Agustus 1957; No.  23-24,  1958) dan Bintang Merah (No. 8/14, 1958).  Kemudian  pertengahan 1956 cerpennya “Rumah Tangga” dimuat pula dalam majalah Indonesia No. 8, Juni 1956.

Karya-karya  Rivai  ini juga belum termasuk beberapa esai kesusastraan  yang se-benarnya dapat dijadikan petunjuk, bagaimana perhatiannya terhadap kesusastraan.

Hal yang sama juga dapat kita lihat pada diri Asrul Sani, yang menurut A. Teeuw, sejak 1950 tidak lagi memainkan peranan penting apa pun di bidang kesusastraan. De-lapan buah  puisi  Asrul Sani yang termuat dalam antologi Tiga Menguak  Takdir, ke-cuali  puisi berjudul  ”Surat dari Ibu” selebihnya adalah puisi yang pernah dimuat majalah Indonesia, Mimbar  Indonesia dan Siasat. Seluruhnya, sejak puisi Anak Laut dimuat ma-jalah  Siasat, No. 54, II, 1948 sampai terbit antologi Tiga Menguak Takdir, Asrul Sani telah menghasil­kan 19 puisi dan lima buah cerpen; setelah antologi itu terbit sampai tahun 1959, ia  masih menghasilkan  tujuh  buah  puisi–dua di antaranya termuat dalam  Tiga Menguak  Takdir, enam  buah cerpen, enam terjemahan puisi, dan tiga terjemahan drama. Jadi sungguh tak beralasan jika Asrul Sani dikatakan “tidak lagi memainkan peranan pen-ting apa pun di bidang kesusastraan.

Sementara itu, nama Taufiq Ismail, Sapardi Djoko Damono, dan Goenawan Mo-hamad  yang  menurut A. Teeuw muncul pertama kali awal tahun  1960-an  juga tidak sepenuhnya  sesuai,  kecuali  yang disebut terakhir. Sebelum  tahun  1960,  Taufiq Ismail sedikitnya sudah menghasilkan satu cerpen dan 18 puisi yang dimuat lima majalah; Kisah, Siasat,  Mimbar Indonesia, Gadjah Mada, Media, dan Indonesia. Di samping itu, ia juga telah menerjemahkan dua cerpen asing (Kisah Turunnja Iblis di Division Street karya Nelson Algreen, Siasat, No.13, 22 Djuli 1955, dan  Kolonel  dan Sangkar Burungnja karya Harry Brown, Merdeka, No. 11, 14 April 1958) dan lima puisi karya Taniyus Abduh (Tiga Pepatah), Engenio Montale (Laut Tengah), Chalil Matrau (Kenangan pada Dunia Kanak-Kanak); ketiganya dimuat Siasat, 26 Agustus 1959, Vincenzo Cardarelli, Fajar dan Patricia Hooper, Pulang, (Siasat, 2 September 1959 dan November 1957).[4]

Demikian pula nama Sapardi Djoko Damono. Sejak pemuatan puisinya Tjerita Burung (Merdeka,  No. 11, April 1958) sampai Tamu Malam Natal  (Mimbar Indonesia, No. 13,  24 Desember 1959), ia telah menghasilkan 21 buah puisi  yang dimuat majalah Mimbar Indonesia, Konfrontasi, Merdeka, dan Widjaja.[5]

Demikianlah, bahwa  pembicaraan  sistem pengarang  yang  terlalu mengandalkan data yang berupa terbitan buku dan mengabaikan karya sastra yang muncul di media massa –surat kabar dan  majalah– dapat menimbulkan begitu banyak  kekosongan dalam pen­gungkapan  data  lainnya  yang sesungguhnya amat penting. Jadi tidak  dapat lain, dalam pembicaraan  ini  pun, penelitian yang telah dilakukan Sapardi Djoko Damono dan Ernst Ulrich  Kratz merupakan sumber andalan dalam penelitian ini. Pemeriksaan pada sumbernya hanya dilakukan jika ada data yang meragukan dan dipandang perlu untuk melakukan cek  ulang. Sekadar contoh, sebuah cerpen karya S. Marjati yang berjudul Dua  Kali  Sial, tercatat  dimuat  dalam majalah Kunang-Kunang No. 5, Februari 1953. Dalam  penelitian Sapardi  Djoko Damono, nama majalah itu hanya tercatat sekali, sedangkan dalam peneli­tian E.U. Kratz,  nama  majalah  ini sama sekali  tak  tercatat. Se-telah  melihat  Katalog Majalah Terbitan Indonesia Koleksi Perpustakaan Nasional dan memeriksanya di  Perpustakaan Nasional ternyata majalah Kunang-kunang adalah ma-jalah anak-anak yang diterbit­kan  Balai Pustaka pertama kali tahun 1949 dan berhenti penerbitannya tahun 1954. Balai Pustaka  kemudian melanjutkan  penerbitan  majalah ini, tidak lagi untuk  kanak-kanak, melainkan  untuk  para pelajar. Nama majalahnya pun di-ganti dengan  nama  Teruna  yang mengakhiri penerbitannya tahun 1980.

1.3 Tujuan

Dengan  mempertimbangkan  data yang bersumber dari majalah  dan  surat kabar, maka diharapkan,  akan  terungkapkan, bagaimana sistem pengarang  di  Indonesia tahun 1950-an; bagaimana peranan sastrawan di tengah masyarakatnya; bagaimana penghidup-an atau mata pencahariannya; bagaimana pula pandangan masyarakat terhadap profesi pengarang;  benarkah, sebagaimana yang dikatakan Sapardi Djoko Damono,  ”Ditinjau dari satu  segi, sastrawan dihormati setinggi-tingginya; ditinjau dari segi yang lain yakni mata pencaharian  ia  cenderung  direndahkan.”[6] Lalu mengapa pula  dapat  terjadi demi-kian? Marilah kita periksa masalahnya sebagaimana yang menjadi tujuan penelitian ini.

2.1 Terbentuknya Citra Sastrawan Indonesia

Sinyalemen  Sapardi Djoko Damono agaknya sangat beralasan mengingat kecen-derungan  masyarakat kita, sampai sekarang, masih menempatkan profesi pengarang se-bagai profesi  yang tak jelas penghasilannya, tidak punya masa depan, kehidupannya serba  cuek (:tidak  peduli),  menggelandang dan serba bebas. Pandangan yang  demikian seolah-olah dilegitimasi  oleh calon seniman yang lebih mementingkan penampilan dari-pada  karyanya; rambut gondrong, pakaian aneh-aneh lengkap dengan aksesorisnya. Apa-kah dengan penampilan yang  seperti  itu, ia hendak menutupi ketidakmampuannya dalam berkarya atau sengaja agar ia mendapat predikat sastrawan yang sebenarnya masih be-rupa ‘angan-angan’. Lalu apa yang melatarbelakanginya sehingga pandangan masyarakat terha­dap pengarang (seniman) –inheren pula dengan profesinya– seperti itu? Sebelum kita membicarakan persoalan itu lebih jauh, mari kita telusuri ke masa sebelum perang.

Pada  awalnya,  terutama sejak masa pertumbuhan kesusastraan  Indonesia, pro-fesi pengarang  hampir  tidak dapat dipisahkan dari profesi wartawan.  Profesi  sastrawan atau wartawan ini, lekat pula dengan citra mereka sebagai golongan terpelajar, intelek-tual,  dan kaum pergerakan nasional. Boleh dikatakan, sastrawan masa itu, termasuk go-longan intel­ektual,  setidak-tidaknya,  mereka adalah lulusan sekolah-sekolah Belanda ke-cuali  Hamka yang  lebih  banyak memperoleh pendidikan di luar itu. Dengan perkataan lain sastrawan sebelum perang adalah sastrawan dengan latar belakang pendidikan Belan-da.  Profesinya sebagai  pengarang bukan pekerjaannya yang utama, melainkan pekerjaan penunjang  atau pekerjaan  yang  sama sekali tak akan menjadikannya sebagai orang yang lebih terhormat dibandingkan pekerjaan di luar itu, betapapun  hanya orang-orang terten-tu saja  yang mampu melakukan kerja kepenga-rangan. Jadi meskipun ia bekerja di peme-rintahan, dunia pendidikan ataupun kewartawanan, mengarang (menjadi sastrawan) tidak menjadikan dirinya lebih rendah atau lebih tinggi dari profesi lain. Dalam pandangan ma-syarakat Indonesia sebelum perang, tidak ada profesi yang lebih tinggi kedudukannya selain pekerjaan  sebagai ambtenaar (pegawai pemerintah). Masuk dan menjadi  pegawai pemerintah, berarti ia masuk sebagai kelompok yang umumnya disebut priyayi.[7]

Satu hal yang sangat mungkin bagi rakyat biasa untuk mengangkat status sosial-nya dan kemudian masuk ke dalam kelas priyayi adalah dengan menempuh pendidikan Belanda dan bekerja sebagai pegawai pemerintah. Paling tidak, dengan pendidikan Belan-da, beta­papun  ia bekerja sebagai pegawai partikelir, pegawai swasta, ia masih tetap akan dipan­dang dengan status sosial sebagai priyayi.

Sesungguhnya adanya perubahan sosial yang menyangkut status kepriyayian se-ba­gai  status capaian (achievement) erat kaitannya dengan perubahan  kebijaksanaan ko-lonial Belanda dalam bidang pendidikan bagi penduduk pribumi di tanah jajahan. Dija-lankannya politik etis memaksa pemerintah Belanda mengadakan perluasan pendidikan bagi golongan bumiputra. Surat Menteri Jajahan (Pleijte) pada Gubernur Jenderal (Van Limburg Stirum), tanggal  2  Maret  1918 mengungkapkan perlunya segera perluasan HIS  dan  pendidikan rendah bumiputra. Dalam surat itu selanjutnya diungkapkan:

… jumlah guru yang telah dihasilkan oleh lembaga pendidikan yang telah ada      dan yang akan didirikan dalam tahun ini (1918: MSM), hampir-hampir  tidak    cukup  untuk  memenuhi  permintaan guru dalam jangka  waktu  tujuh  tahun             yang akan datang. Akan ada kekurangan 650 tenaga pengajar, yang dianggap   dapat dicukupi dengan tenaga didikan bebas dan sekolah guru swasta. Jumlah permintaan  guru yang ditentukan ini didapat dari rencana pendirian sekolah, yang    meliputi 62 sekolah bumiputra kelas 2 dan tujuh sekolah HIS per tahun. Apakah            perluasan jumlah sekolah itu tidak dapat dilaksanakan lebih cepat?

Mengenai  HIS  perluasan  perlu  sekali  dilaksanakan  lebih  cepat,  karena     hasrat ke pendidikan ini sangat besar sekali dan ternyata dalam membanjirnya   anak-anak  yang  akan masuk ke sekolah (yang) ada… Perluasan  HIS  secara agak besar-besaran hanya mungkin jika dapat tersedia guru bumiputra …[8]

 Perluasan  pendidikan  bagi  golongan pribumi, di  samping  karena  desakan agar politik etis dijalankan, juga karena Belanda sendiri memerlukan tenaga terampil yang ber-pendidikan  Barat untuk menjalankan birokrasinya di Indonesia. “Dari perluasan dan perkembangan pendidikan inilah ditemukan akar dari perubahan sosial yang mempe-ngaruhi elite Indonesia.”[9] Lalu bagaimana dampaknya? Robert van Niel mengungkapkan:

Hal  ini  pada gilirannya membuahkan beragamnya elite Indonesia. Bila di tahun 1900 kelompok priyayilah yang menjadi kaum bangsawan dan adminis­tratur menjelang tahun 1914 kelompok  ini  bertambah  dengan  sejumlah pegawai pemerintah, teknisi-teknisi pemerintah dan cendekiawan yang  sama-sama  memerankan peran elite dan yang di mata rakyat  biasa Indonesia  di  desa-desa tercakup ke      dalam yang umumnya disebut “priyayi”.[10]

 Hal senada diungkapkan Akira Nagazumi,[11] bahwa pembaharuan dalam bidang pendidikan ini  telah mempercepat erosi terhadap kedudukan  istimewa  kaum bangsawan tradisional.  ”Pendidikan formal menurut pola Barat telah menjadi keharusan bagi orang-orang Jawa yang menginginkan perbaikan kedudukannya di dalam masyarakat kolonial.”

Begitulah, kemunculan sastrawan-sastrawan Balai Pustaka dipandang sebagai go-longan elite, bukan karena profesi kepengarangannya, melainkan karena mereka terma-suk kaum terpelajar yang memperoleh pendidikan Barat (:Belanda). Dengan begitu, pro-fesi pengarang dianggap sama halnya dengan profesi lain yang pencapaiannya harus lewat pendidikan tertentu. Akibatnya, pekerjaan mengarang tak diperlakukan sebagai satu pro-fesi khusus, tetapi sebagai pekerjaan sambilan atau pekerjaan yang dilakukan di luar pe-ker­jaan rutin yang secara periodik mendapat gaji atau penghasilan dalam jumlah tertentu.

2.2 Profesi Sastrawan sebelum Perang

Untuk memperoleh gambaran bagaimana profesi pengarang Indone­sia sebelum perang, berikut ini akan dipaparkan biografi ringkas beberapa sastrawan kita.

Abdul Muis (3 Juli 1886-17 Juli 1959)[12] pengarang Salah Asuhan (1928) misal-nya, mengawali penulisan novelnya tahun 1927, saat ia sudah meninggalkan kegiatannya politiknya dalam Sarekat Islam selama lebih dari satu dasawarsa (1912-1924). Waktu itu, ia dilarang mengunjungi semua daerah di luar pulau Jawa dan  Madura sebagai  akibat yang dituduhkan kepadanya mengenai peristiwa Toli-Toli di Sulawesi Tengah, Juni 1919, pemogokan  pegawai  pegadaian  di Jawa, 11 Februari  1922,  dan  keterlibatannya dalam membantu masyarakat Minangkabau dalam memperjuangkan hak tanahnya yang berkait-an dengan pajak (Belasting). Setelah ada larangan itu, Abdul Muis tinggal di Garut tahun 1924 sebagai petani. Betapapun novelnya Salah Asuhan  telah  membuat namanya begitu populer, aktivitasnya sendiri sebagian besar dicurahkan dalam bidang kewartawanan dan politik. Bahkan pengangkatannya sebagai Pahlawan Nasional, bukanlah  karena  jasanya di  bidang kewartawanan dan kesusastraan, melainkan dalam politik,  yaitu  dianggap te-lah berjasa dalam pergerakan kebangsaan ketika ia menjadi anggota Sarekat Islam.

Pendidikan formal Abdul Muis, sepenuhnya adalah pendidikan Belanda. Lulus ELS (Europese  Lagere  School) tahun 1900, ia masuk STOVIA (School ter Opleiding van Inlandse  Artsen)  selama tiga tahun dan ke luar dari sekolah kedokteran itu karena sakit. Selanjutnya,  berkat bantuan J.H. Abendanon, Direktur Pendidikan di Hindia Timur (Department Orderwijs en Eerredienst), ia bekerja di departemen itu sebagai juru tulis (klerek), satu jabatan yang waktu itu hanya dapat dimasuki orang-orang  Indo-Belan­da. Hanya dua tahun bekerja di situ (1903-1905), ia lalu bekerja di Bank Rakyat (Volkscre-dietwezen).  Tak tahan melihat penyelewengan yang dilakukan para pejabat bank itu,[13]  ia memutuskan pindah pekerjaan, bergabung dengan Abdul Rivai yang waktu itu menjadi pemimpin  Bintang Hindia, sebuah majalah progresif terbitan Amsterdam, 1901-1908. Abdul Muis sendiri bertindak selaku wartawan dan pemimpin redaksi majalah itu di Ja-karta dalam edisi bahasa Indonesia,[14] membantu Dr. Tuhuteru. Berakhirnya penerbitan majalah ini akibat dihentikannya dukungan keuangan pemerintah, memaksanya pindah dan bekerja di surat kabar Belanda, Preanger Bode yang juga tidak bertahan lama.

Selanjutnya tahun 1912, Abdul Muis bersama A. Widiadisastra, seorang warta-wan asal Banten  yang pernah bekerja di surat kabar Medan Priyayi pimpinan Tirto Adi-suryo dan Mohammad Yunus seorang Arab dari Palembang yang bersedia menjadi pen-dukung keuangannya, mendirikan surat  kabar Kaum Muda, sebuah  surat  kabar progre-sif  yang berbahasa Indonesia yang belakangan amat diperhitungkan keberadaannya oleh pemerintah Belanda.  Sejak  itulah, Abdul Muis mempunyai hubungan yang erat dengan tokoh-tokoh Islam.Atas permintaan Tjokroaminoto, ia bersama Suwardi Suryaningrat, yang kemudian lebih dikenal dengan nama Ki Hadjar Dewantara, dan Wignyadisastra, bergabung dengan Sarekat Islam. Ketiganya kemudian menjadi Ketua (Abdul Muis), Wa-kil Ketua (Suwardi Suryaningrat) dan Sekretaris (Wignyadisastra) Sarekat Islam Cabang Bandung.  Jabatan terakhirnya dalam karier politik adalah sebagai anggota Volksraad.

Dalam dua dasawarsa abad XX, Muis lebih banyak berkecimpung di dunia ke-war­tawanan  dan Sarekat Islam. Setelah kegiatan politiknya ditinggalkan, ia mengarang novel Salah Asuhan. Selepas itu sampai pascaperang, ia menghasilkan sebuah novel  lagi Pertemuan  Jodoh  (1933)  dan beberapa novel terjemahan. Pada awal  tahun 1950-an, ia menghasilkan novel dua serangkai, Surapati (1950) dan Robert Anak Surapati (1953).

Dengan  gambaran biografi ringkas Abdul Muis, kita dapat melihat  bahwa profe-si mengarang  tidaklah  diperlakukan dan ditempatkan sebagai  pekerjaan  utama, melain-kan pekerjaan yang dilakukan dalam “waktu senggang”, meskipun  sebenarnya keuntung-an material yang diperoleh dari karyanya itu cukup besar,apalagi untuk ukuran waktu itu.

Berapa tepatnya royalty yang diterima seorang pengarang  novel  untuk karyanya yang  diterbitkan  Balai Pustaka? Mari kita periksa pernyataan  Sutan  Takdir Alisjahbana berikut ini mengenai honorarium yang diterimanya untuk novelnya, Tak Putus Dirundung Malang yang diselesaikannya ketika ia cuti dari pekerjaannya sebagai guru.

Masa  cuti  itu  saya pergunakan pergi ke Bandung,  berobat  di  rumah  sakit Cimahi.  Di rumah sakit itulah saya menyelesaikan roman Tak Putus  Dirun­dung Malang itu.  Saya kirimkan ke Balai Pustaka. Pada  tahun  1929  saya mendapat honorarium dari Balai Pustaka, kalau saya tidak  salah,  sebanyak  250 gulden. Ketika itu jumlah itu sangat banyak bagi saya.Coba  bayangkan, gaji  saya  cuma 110 gulden. Dengan uang itu dapat saya  membayar  antaran untuk kawin dengan Raden Ajeng Rohanidah H. di Bengkulu.[15]

 Ada  dua hal yang dapat ditarik dari pernyataan Sutan Takdir Alisjahbana  itu.

Pertama,  novel  Tak  Putus Dirundung Malang diselesaikan ketika  Alisjahbana cuti  dari pekerjaannya sebagai guru. Jadi jelas pekerjaan mengarang memerlukan waktu tersendiri. Paling  tidak,  pekerjaan  mengarang diperlakukan sebagai  pekerjaan  nomor sekian  dari serangkaian  pekerjaan  rutin yang diutamakan atau yang menjadi mata pen-caharian  seseorang. Kedua, penghasilan atau penghargaan material (honorarium) yang diterima Alisjah­bana untuk novelnya itu, sebenarnya relatif besar untuk ukuran masa itu. Bahwa ia  kemu­dian dapat membayar antaran untuk menikah dengan seorang putri bang-sawan, menunjuk­kan bahwa honorarium yang diterimanya lebih dari sekadar cukup.

Ketika  lamaran  Alisjahbana  untuk menjadi redaktur  Balai  Pustaka  diterima, ia secara sadar meninggalkan pekerjaannya sebagai guru. Namun waktu itu pekerjaan re-dak­tur bahkan pemimpin redaksi sekalipun, tidaklah populer, jika tidak dapat dikatakan tidak ada  artinya,  sebagaimana dinyatakan Alisjahbana. Hal itu berarti pula pekerjaan sebagai pengarang, lebih tidak populer lagi, meski honorariumnya sangat memadai.

Sebagai perbandingan,  saat  Alisjahbana menerbitkan majalah Pujangga Baru, ia masih bekerja di Balai Pustaka dengan gaji 150 gulden, sedangkan  Armijn Pane sebagai guru di Taman Siswa, menurut Alisjahbana, paling banyak mendapat 15 gulden. Jadi, penghasilan sebagai guru tidaklah menjanjikan materi yang berlebihan. Namun keduduk-annya di mata masyarakat, pekerjaan guru dipandang lebih terhormat. Hal itu juga diung-kapkan Achdiat K. Mihardja saat ia tak bekerja di pegawai pemerintah (ambtenaar).

Begitu tamat AMS (SMA) jurusan sastra-budaya Timur, saya langsung beker­ja sebagai guru Taman Siswa di Kemayoran, Betawi. Kemudian jadi redaktur surat    kabar harian dan majalah. Kemudian lagi buka warung jualan keperluan rakyat se-     hari-hari. Akhirnya kami membeli “pabrik” kue dan  roti …  Tapi selama  itu  saya pun bekerja sebagai wartawan “freelance”  dan  menulis  di pelbagai  surat  kabar     dan majalah, baik yang  berbahasa  Indonesia,  Sunda, maupun Belanda.[16]

 Ketika itu Achdiat Karta Mihardja ditawari oleh Raden Satjadibrata untuk bekerja di Balai Pustaka dengan permulaan sebagai volontair (magang) dengan  gaji sebulan 40 gulden. Sesudah  tiga bulan baru diangkat sebagai pegawai tetap dengan pangkat adjunct hoofredacteur  (wakil  pemimpin redaksi) dengan gaji permulaan 70 gulden. Lalu berapa penghasilan Achdiat ketika itu dari usaha pabrik kue dan roti miliknya itu?

…saya keluarkan buku catatan keluar-masuknya keuangan pabrik kue dan roti   itu. Hampir tak percaya meneer Satja ketika melihat jumlah keuntungan bersih dari pabrik  itu.  Rata-rata per bulan  150  gulden  … akhirnya  saya terima  juga tawaran itu. Terutama atas desakan ibu saya yang  sangat  menginginkan anaknya menjadi seorang ambtenaar. Ibu, juga Bapak, adalah keturunan menak … ambte-naar BB (Binnenlands Bestuur)…saya dapat  merasakan betapa iba hati ibu dan bapak yang telah begitu bersusah payah  menyekolah­kan  anaknya … hasilnya koq cuma menjadi guru Taman Siswa yang  gajinya cuma 20 gulden sebulan… kemu-dian jadi “tukang nulis di koran” …  kemu­dian  buka  warung  … jual kue dan roti. Wah, semua  itu  kan  tidak  punya kedudukan sosial apa-apa …[17]

 Begitulah  bahwa  pada  zaman sebelum perang,  kedudukan  pegawai pemerintah (ambtenaar) dipandang sebagai status yang terhormat. Balai Pustaka sebagai lembaga pemerintah, juga  telah  menempatkan para  pegawainya,  dalam  pandangan masyarakat, sebagai pegawai pemerintah. Dalam hal ini, profesi lain pun, sejauh tidak berada di ba-wah lembaga  pemerintah,  cenderung  ditempatkan dalam status  yang  lebih  rendah. Se-orang pedagang, misalnya, betapapun secara materi penghasilannya lebih besar daripada pegawai pemerintah, dalam status sosialnya,  ia tetap dipandang  lebih rendah. Dalam hal ini, pandangan kepriyayian pada masa itu condong diukur berdasarkan pendidikan dan status kepegawaiannya dan bukan dari profesi, keahlian dan penghasilannya dalam peker-jaan tertentu. Pandangan ini yang terus berkembang  di masyarakat hingga pascaperang.

Dalam kaitannya dengan profesi pengarang, juga masalahnya sama. Terlebih lagi mengarang dianggap sebagai ‘bukan pekerjaan’. Dengan demikian tidaklah mengherankan jika masyarakat kita, sampai kini, masih tetap  melihat kedudukan sastrawan dengan nada yang ‘sumbang’. Akibatnya, dapat dipastikan, sebagian besar masyarakat kita, tidak hanya tidak punya keinginan menjadi pengarang, melainkan juga cenderung tidak mau tahu mengenai  berbagai  hal  yang berkaitan dengan  profesi kepe-ngarangan; penghasilannya, peranannya dan syarat (tak tertulis) yang dituntut profesi itu.

2.3 Profesi Sastrawan sesudah Perang

Selepas perang sampai pihak Belanda mengakui kedaulatan Indonesia akhir tahun 1949,  dibandingkan para  pegawai  negeri atau  pedagang  (pengusaha),  para pengarang sebenarnya  lebih dapat ‘bertahan hidup’. Modalnya, pengetahuan, kemahiran memainkan bahasa,  dan ketajaman menangkap situasi zamannya, memungkinkan seorang  pengarang dapat  ”bertahan  hidup”  dalam situasi apa pun. Itulah yang terjadi pada  diri  HB  Jassin, J.A.  Dungga, Darsyaf Rahman, Pramudya Ananta Toer, Achdiat Karta  Mihardja,  Idrus, Asrul Sani, Rivai Apin, dan sederetan nama lain yang sebelum perang (zaman  pra-Jepang dan zaman Jepang) sudah memainkan peranannya dalam kesusastraan Indonesia.

Achdiat  Karta  Mihardja  yang waktu itu sedang dalam  kepayahan  keuangan dan menganggur  berkepanjangan,  dalam arti tidak mempunyai  pekerjaan  tetap sebagai-mana lazimnya  pegawai  kantor, dalam situasi seperti itulah ia menulis  novelnya, Atheis. Lalu berapa honor yang diterimanya waktu itu? Inilah pernyataannya:

… ada satu kegembiraan yang belum pernah saya alami  sebelumnya. Yaitu mene-          rima  honor untuk buku saya Atheis yang di  zaman  itu (1949) sudah cukup bagi       istri saya untuk langsung membikin rumah di Jalan Tembaga, Galur, Jakarta.[18]

Bagaimanakah pandangan masyarakat terhadap status sosial pengarang dalam da-sawarsa 1950-an? Bahwa apa yang terjadi pada tahun 1950-an, sebenarnya tidak terle­pas dari berbagai faktor yang melatarbelakanginya. Ketika terjadi peruba­han sosial akibat me-luasnya perkembangan pendidikan yang diterapkan pemerintah koloni­al Belanda, status kepriyayian tidak hanya berdasarkan keturunan, melain­kan juga berdasarkan capaian yang dapat diraih melalui jalur pendidikan. Akibatnya, jalur profesi tidak lebih penting daripada status kepegawaian yang terkait dengan pemerintahan.

Pada saat yang bersamaan, sebenarnya jalur profesi di bidang kewartawanan, ikut memainkan peranan penting dalam pergerakan kebangsaan. Namun, itupun yang dilihat bukan profesi  kewartawanannya, melainkan status kepegawaian  dan  tingkat pendidikan yang dicapainya. Itulah sebabnya, tokoh wartawan macam Tirto Adhi Suryo,  Adinegoro, Abdul  Muis dan sastrawan-sastrawan ‘veteran’ seperti Merari Siregar, A. St.  Pamuntjak, Sutan  Takdir  Alisjahbana, Marah Rusli, Sanusi Pane, dan Armijn Pane, di  dalam  status sosialnya, tidaklah dilihat dari profesinya, melainkan dari status kepriyayiannya.

Peranan  mereka dalam kehidupan bangsa ini kemudian menjadi tak  menonjol dan surut ke belakang, saat perang kemerdekaan berkecamuk selama hampir setengah dasawar­sa (1945–1949). Yang muncul sebagai tokoh penting dalam tahun 1950-an ada-lah  mereka yang berjasa dalam perang kemerdekaan. Dengan begitu, muncul pula priyayi model  baru yaitu mereka yang pendidikan formalnya tidak menonjol, namun berjasa da-lam perang  kemerdekaan,  hanya karena ia  punya keberanian  untuk  memanggul senja-ta.  Dengan demikian, citra sastrawan–wartawan sebagai pejuang moral,  makin ter­puruk oleh mereka yang bergerak di bidang kemiliteran dan politik. Itulah citra sastrawan dalam pandangan masyarakat kita dan terus berlanjut hingga kini.


[1] A. Teeuw, Sastra Indonesia Modern II, Jakarta, Pustaka Jaya, 1989, hlm. 1–2.

 [2] Ibid., hlm. 11.

[3] Tiga  Menguak Takdir adalah antologi bersama, Chairil Anwar (menyertakan 10 buah  puisi),  Rivai Apin (menyertakan sembilan buah puisi), dan Asrul Sani (menyertakan delapan buah puisi).

 [4] Sapardi Djoko Damono dalam lampiran “Penelitian Gagasan Modernisme dalam Sastra  Indonesia Tahun 50-an” (Jakarta, Proyek Penelitian Universitas Indonesia, 1978) tidak mencatat satu pun puisi  Taufiq Ismail,  sementara  puisi Sapardi Djoko Damono tercatat hanya 15 puisi. Sementara  itu,  E.U.  Kratz (1988)  mencatat  21  buah puisi. Sampai tahun 1982, batas akhir penelitian yang  dilakukan  Kratz,  Sapardi Djoko  Damono  tercatat telah menghasilkan 191 puisi, tidak termasuk puisi yang  diterbitkan  dalam  bentuk buku. Sedangkan Taufiq Ismail tercatat telah menghasilkan 134 puisi.

 [5] Ibid.

 [6] Sapardi Djoko Damono, 1993, Op. Cit.

 [7] Mengenai perubahan sosial yang terjadi di Indonesia akibat kebijaksanaan kolonial Belanda secara luas dibicarakan Robert van Niel, Munculnya Elit Modern Indonesia, terj. Zahara Deliar Noer, Jakarta, Pustaka Jaya, 1984. Sebuah novel yang juga mengangkat proses pencapaian status priyayi dalam masyarakat  Jawa ditulis Umar Kayam, Para Priyayi, Jakarta, Grafiti Press, 1993.

  [8] Pendidikan di Indonesia 1900–1940, Jakarta: Depdikbud, 1977, hlm. 49, et seqq.

[9] Robert  van  Niel, Munculnya Elit Modern Indonesia, terj. Zahara Deliar  Noer,  Jakarta,  Pustaka Jaya, 1984, hlm. 75.

 [10] Ibid.

 [11] Akira Nagazumi, Bangkitanya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1908–1918, Jakarta,  Pusta­ka Utama Grafiti, 1989, hlm. 25.

[12] Agak lucu memperhatikan tahun kelahiran Abdul Muis ini. Bakri Siregar menulisnya tahun  1890 yang  sama dengan Zuber Usman dan Teeuw. Sedangkan Ajip Rosidi, Pamusuk Eneste dan  W.  Shamsuddin M.  Yusoff menyebutnya tahun 1886, sementara Deliar Noer tahun 1878. Dalam buku Album  90  Pahlawan Nasional, disebutkan Abdul Muis lahir tahun 1883. Yang seragam adalah tahun meninggalnya, yaitu 1959.

 [13] Menurut  Rinkes,  sebagaimana yang dikutip Deliar Noer, bahwa Abdul  Muis  berhenti men-jadi pegawai Bank Rakyat karena kekecewaannya terhadap penyelewengan yang dilakukan pejabat bank  itu. (Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900–1942, Jakarta, LP3ES, 1988, hlm. 122.

 [14] Bintang Hindia edisi bahasa Indonesia berisi terjemahan artikel-artikel dari majalah yang  terbit di Amsterdam itu.

 [15] Alisjahbana, “Sekilas Riwayat Hidup Perjuangan Budaya dan  Pengalaman  Pribadi Selama di Balai Pustaka” Bunga Rampai Kenangan pada Balai Pustaka, Jakarta, Balai Pustaka, 1992; 22.

[16] Achdiat K. Mihardja, “Sekeping Kenangan” Bunga Rampai Kenangan pada Balai  Pusta­ka, Jakarta, Balai Pustaka, 1992, hlm. 67, et seqq.

 [17] Ibid.

 [18] Ibid., hlm. 82.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler