Skip to Content

SASTRAWAN ANGKATAN TERBARU: TERBENTUKNYA CITRA SASTRAWAN INDONESIA (Bag. 02)

Foto SIHALOHOLISTICK

2.3 Peta Sastrawan Angkatan Terbaru

Secara umum kita masih dapat melihat peta sastrawan Indonesia tahun 1950, bah-wa sastrawan pada dasawarsa tahun 1950-an terdiri dari (1) sastrawan ‘veteran’ yang ke-mun­culannya  sudah  dimulai sejak zaman Balai Pustaka, (2) sastrawan prakemerdekaan yang kiprahnya diawali pada zaman Pujangga Baru dan zaman Jepang, (3) sastrawan  yang masa anak-anak dan masa remajanya dihabiskan di antara gejolak perang  revolusi. Yang disebut terakhir ini kemunculannya dimulai pada  awal sampai akhir tahun 1950-an.

Dilihat dari tahun kelahirannya, sastrawan ‘veteran’ dan satrawan prakemerdekaan lebih  dari separohnya adalah produk pendidikan Belanda. Sementara itu kiprahnya dalam kesusastraan  Indonesia  tahun  1950-an,  terutama  golongan  sastrawan  ’veteran’  nyaris tenggelam  digantikan  sastrawan  ’anak-anak revolusi’. Kalaupun ada  satu-dua  di antara mereka  yang  menerbitkan novel atau antologi puisi, karya itu sama sekali  tak menonjol; tak  mengundang daya tarik yang kuat meski secara tematis  memperlihatkan perubahan sikap pengarangnya semasa sebelum merdeka dan sesudah merdeka. Abdul Muis, misal-nya,  masih  menghasilkan tiga buah novel, Surapati (Balai Pustaka, 1950),  Robert Anak Surapati (Balai Pustaka, 1953), dan Hendak Berbakti (?, 1951). Dua yang disebut di awal merupakan  dua serangkai yang mengisahkan ayah-anak (Surapati dan Robert) yang diha­dapkan  pada persoalan kebangsaan; Surapati melawan Belanda untuk tanah  air In-donesia dan Robert memihak Belanda karena itu bangsa ibunya, Susana. Jadi dalam hal ini,  Abdul Muis  terkesan hendak menegaskan kembali persoalan perkawinan antarbang-sa  (Hanafi  – Corrie), sebagaimana yang disampaikannya dalam Salah Asuhan.

Marah Rusli juga masih menghasilkan dua novel, La Hami (Balai Pustaka, 1953) dan Anak dan Kemenakan (1953). Kedua novel inipun sama sekali tak memperlihat­kan kelebihan yang berarti. Yang pertama, menurut pengarangnya, bersumber dari peris­tiwa sebelum Gunung Tambora meletus tahun 1815. Di dalamnya, unsur mistik dan dunia supernatural mewarnai karakteristik tokoh-tokohnya. Sementara yang  kedua, terkesan hendak menegaskan konflik tua-muda (Datuk Meringgih dan Samsulbahri) yang di dalam Anak dan  Kemenakan, konflik  itu dimenangkan  golongan  tua,  karena golongan muda sengaja mengalah dan pergi meninggalkan Padang untuk memasuki dunia yang lebih luas.

Pengarang ‘veteran’ lain, seperti Matu Mona, Nur Sutan Iskandar, dan Panji Tisna masing-masing  masih  menghasilkan satu novel yang juga tidak begitu  menonjol. Nama-nama mereka praktis tenggelam, dan digantikan oleh golongan sastrawan berikutnya.

Golongan sastrawan prakemerdekaan, pendidikannya juga merupakan hasil pen-didikan Belanda. Kemunculan mereka umumnya sudah dimulai sejak zaman Pujangga Baru. Agak  berbeda dengan golongan sastrawan ‘veteran, golongan  sastrawan prake-merdekaan ini,  di samping menghasilkan sejumlah karya yang diterbitkan sebagai buku, juga karya-karya (puisi, cerpen, drama, esai dan karya terjemahan)  yang tersebar dalam berbagai majalah  dan surat kabar yang terbit tahun 1950-an itu. Golongan inilah  yang sebenarnya ‘ikut’  meramaikan  konstalasi kesusastraan Indonesia dasawarsa itu  yang sebagian  besar didominasi oleh sastrawan ‘anak-anak revolusi’.

Dapatlah  disebutkan  di sini beberapa di antaranya yang menonjol  yang terma-suk golongan sastrawan prakemerdekaan.

Muhammad  Dimyati  (=  Badaruzzaman) (lahir di Solo, 14  Juni  1913),  sesung­guhnya termasuk sastrawan tiga zaman. Sastrawan yang karya-karyanya hampir tak per-nah dibicarakan  ini, memulai karier kepengarangnya sejak zaman Pujangga Baru, tahun 1935 lewat dua novelnya, Siti Nurjanah dan Student Suleiman yang keduanya diterbitkan tahun 1935.[19] Waktu itu ia juga bertindak sebagai pembantu atau koresponden  majalah Pujangga Baru. Pada tahun 1940, novelnya yang berjudul Ramona, berhasil keluar se-bagai juara pertama dalam lomba penulisan roman yang diselenggarakan majalah Pedom-an  Masyarakat. Tahun berikutnya (1941), Muhammad Dimyati menghasilkan lagi novel berju­dul Gelombang Perkawinan. Belakangan, cerpennya yang berjudul “Tangan Men-tjentjang Bahoe Memikoel” berhasil keluar sebagai pemenang hadiah pertama sayembara yang dise­lenggarakan harian Asia Raja dan Djawa Baroe tahun 1943.[20]

Dalam tahun  1950-an  itu, sebenarnya Muhammad  Dimyati  termasuk sastrawan cukup menonjol. Paling tidak secara kuantitatif  ia menghasilkan satu novel, Yogya Didu-duki (Gapura, 1950), dua antologi cerpen, Pengorbanan dan Kebaktian (1950) dan Ma-nusia dan Peristiwa (1951) keduanya diterbitkan Balai Pustaka, 22 cerpen yang dimuat di  berbagai  majalah  yang terbit pada dasawarsa itu, dan  sejumlah  artikel kesusastraan. Sebelumnya, terutama tahun 1940-an, ia telah pula menghasilkan cerpen sekitar 17-an buah yang dimuat Pandji Poestaka, Keboedajaan Timoer, Djawa Baroe, Pantja Raja, Mimbar Indonesia, Siasat, dan Gema Suasana. Sangat mengherankan, A. Teeuw[21] nya-ris mengabaikan karya-karya Muhammad Dimyati. Bahwa nama Muhammad Dimyati di-sebut Teeuw tidak lebih dari “cuma” tiga kali, bahkan itupun dimasukkannya dalam pem-bicaraan  roman picisan, menunjukkan bahwa Teeuw sama sekali mengabaikan  karya-karya  yang  pernah  dimuat di berbagai majalah dan surat  kabar. Dalam konteks sistem pengarang, boleh jadi justru Dimyati yang paling mewakili citra pengarang Indonesia.

Pertama,  dibandingkan  pengarang lainnya, Muhammad  Dimyati  termasuk yang pendidikan  formalnya tidaklah begitu menonjol. Lulus HIS, ia kemudian  melanjutkan ke sekolah agama. Dari sana ia memilih menekuni bidang kewartawanan dan menetapkan untuk menjadi pengarang mengingat kondisi telinganya yang tunarungu mengharuskan-nya lebih banyak belajar sendiri. Selebihnya, ia lebih banyak membaca dan menulis, bah-kan belakangan ia menjadi pemimpin redaksi sebuah surat kabar lokal Yogyakarta.

Kedua, sebagai orang yang menyadari kondisi fisiknya yang demikian menjadi pe-ngarang merupakan pilihan yang tepat. Dalam hal ini, betapapun ia bekerja pada sebuah mediamassa, pekerjaannya sebagai wartawan justru bukan merupakan pekerjaannya yang utama.  Nyatanya, dengan profesi utamanya sebagai sastrawan atau pengarang, karena  ia juga menulis sejumlah esai, ia dapat menghidupi keluarganya dari penghasilannya sebagai pengarang. Satu  bukti bahwa profesi kepengarangan tidak sebagaimana yang diduga ba-nyak orang.[22] Menjelang wafatnya, cerpen Dimyati dengan nama samaran Abu Ubaidah, menghiasi lembaran majalah Hikmah, 14 November 1958. Tanggal 8 Desember 1958, ia meninggal dunia dengan sejumlah karya yang belum banyak dibicarakan orang.

Pengarang  lain yang termasuk golongan sastrawan  prakemerdekaan  adalah Aoh Karta Hadimadja (lahir di Bandung, 15 September 1911 dan meninggal di Jakarta, 17 Maret  1973). Seperti kebanyakan sastrawan yang lahir pada paroh pertama abad ke-19, Aoh adalah  produk  pendidikan Belanda dengan MULO (Meer Uitgebreid  Lagere On-derwijs) sebagai  pendidikan  formal  tertinggi  yang diikutinya. Lulus  MULO  ia bekerja sebagai pegawai  perkebunan  teh,  namun terpaksa dirawat di Cisarua  karena terserang penyakit paru-paru. Saat dirawat itulah, ia mulai bersahabat dengan buku-buku sastra yang  belakangan ternyata menjadi bagian dari kehidupannya.

Sejauh pengamatan, Aoh mulai memasuki dunia sastra lewat cerpennya “Berta-masya di Hari Minggu” dimuat majalah Pedoman Masyarakat, No. 26, 25 Juni 1941, se-buah majalah terbitan Medan yang dikelola Mohammad Yunan Nasution dan Hamka. Se-lepas itu,  beberapa esainya dimuat majalah ini. Satu cerpen lagi yang dimuat majalah  ini, berjudul “Mengobati Kekecewaan Orang” (Pedoman Masyarakat, 2, 14 Januari 1942).[23]

Sementara  itu,  puisi pertama Aoh dimuat di majalah Poedjangga Baroe,  No. 5, September 1941. Sejak itu sampai tahun 1949, ia menghasilkan 55 buah puisi lagi. Dalam kurun  waktu  yang sama, ia pun menghasilkan delapan buah cerpen,  termasuk cerpen-nya “Bukan  karena  Aku”  yang dimuat dua kali, yaitu dalam majalah Djawa Baroe, No. 8, 1944,  dan  surat kabar Asia Raja, 15 April 1944. Jumlah itu  sebenarnya  tidak terma-suk esai-esainya yang pernah dimuat Pedoman Masyarakat, Djawa Baroe, Poedjangga Baroe, surat kabar Asia Raja, dan beberapa media lain.

Melihat  jumlah  karya yang dihasilkan Aoh sebelum tahun  1950, kematangannya terjadi pada dasawarsa tahun 1950-an itu, betapapun secara kuantitatif tidak seproduktif masa  sebelumnya.  Sungguhpun  begitu  ia masih menghasilkan  10-an  buah cerpen  dan belasan puisi yang dimuat berbagai surat kabar dan majalah. Sementara dua  antologi pui-sinya, Zahra (1950), Pecahan Ratna (1952) dan antologi cerpen, Manusia dan Tanah-nya  (1952) diterbitkan Balai Pustaka, sedangkan dua buah dramanya, Lakbok (1951) dan Kapten Syaf (1951) muncul dalam majalah Poedjangga Baroe. Di samping itu, ia  masih sempat menerjemahkan puisi karya Robert  Burns, “Mengeluhlah Sayang Afton Sayang dan Mawar yang Merah, Merah yang dimuat majalah Siasat, 22 April 1959.

Pada awal tahun 1950-an, Aoh bekerja di Mimbar Indonesia dan  dipercaya untuk memegang rubrik “Kesusastraan”. Kemudian esai-esai yang pernah dimuat  dalam rubrik itu, ditambah dengan esai penulis lain, diterbitkan dalam bentuk buku, berjudul Beberapa Paham Angkatan 45 (Jakarta, Tinta Mas, 1952).

Dari biografi ringkas Aoh Karta Hadimadja, kita dapat melihat, sesungguhnya Aoh lebih banyak memusatkan perhatian pada profesinya sebagai penulis (: sastrawan) daripada sebagai pegawai Kantor Pusat Kebudayaan (zaman Jepang) dan pegawai per-kebunan (awal kemerdekaan). Ia lalu bekerja di Mimbar Indonesia, dan memegang Mim-bar Umum ketika berada di Medan, kemudian ke Balanda (1952–1956), menjadi penyiar BBC London seksi Indonesia (1959–1970), dan terakhir bekerja di Penerbit Dunia Pus-taka Jaya (1971-1973). Jadi pada awalnya, profesi kepengarangan masih ditempatkan sebagai pekerjaan ‘sambilan’ dengan  pekerjaan  utamanya sebagai pegawai. Belakangan, setelah bekerja di Mimbar Umum yang memaksanya untuk terus-menerus menulis, mem-beri keyakinan bahwa bekerja sebagai pengarang, tidaklah membuatnya kekurangan, bahkan kemudian membuka peluang untuk memperoleh pekerjaan dengan penghasilan yang memadai.  Dengan  demi­kian, bahwa profesi pengarang –setidak-tidaknya bagi Aoh–  merupakan  profesi yang ‘prospektif’ jika ia terus mengembangkan wawasannya dan melebarkan hubungannya secara  lebih  luas.  Berkat  jasanya di bidang kesusastraan itulah,  pemerintah  Indonesia memberikan Anugerah Seni pada tahun 1972.

Sebenarnya  banyak  sastrawan lain termasuk ke dalam golongan  sastrawan pra-kemerdekaan, masih terus berkarya pada dasawarsa tahun 1950-an itu. Beberapa di antaranya, Anas Ma’roef, Rustandi K. Kusumah, Buyung Saleh, MS. Azhar, Hr. Benda-haro, Rosihan Anwar, Bahrum Rangkuti, Saleh Sastrawinata, Bakri Siregar, Taslim Ali, Usmar Ismail, Suwarsih, Armijn Pane, Sanusi Pane, dan sederetan nama lainnya.

Dasawarsa 1950-an itu kesemarakannya dimungkinkan oleh peranan yang dima-in­kan para pengarang  ’anak-anak revolusi’. Mereka ada yang  mengawalinya  sejak tahun pertama dasawarsa itu dan menjelang akhir tahun 1950-an. Oleh karena itu, secara umum, golongan  sastrawan ini dapatlah dikelompokkan ke dalam tiga kelompok besar, yaitu  (1) mereka  yang telah berkarya sejak awal kemerdekaan, (2) mereka yang muncul pada  awal tahun  1950-an,  dan  (3) mereka yang mulai berkarya  menjelang berakhirnya dasawarsa 1950-an, namun menjadi sastrawan penting dalam tahun-tahun berikutnya.

Dari ketiga kelompok itu, kita juga masih dapat melihat peranan masing-masing; apakah lebih menonjol di bidang novel, cerpen, puisi, drama, esai atau karya terjemahan. Dilihat  dari peranannya ini, maka kita juga masih dapat mengelompokkannya lagi dengan menyebut para pengarang yang dianggap paling menonjol di antara bidang-bidang itu.

Kelompok pertama, dapatlah disebutkan di sini nama-nama antara lain, Pramudya Ananta Toer, Klara Akustia, Dodong Djiwapradja, S. Rukiah Kertapati, Utuy T. Sontani, Sitor Situmorang, Riyono Pratikto, Herman Pratikto, Hartoyo Andangdjaya, Suradal AM, Suripman, Trisno Sumardjo, Idrus, Muhammad Ali, S.K. Mulyadi, Asrul Sani, dan Rivai Apin. Dua yang disebut terakhir tak akan dibincangkan lagi. Di samping nama-na-ma  itu, tahun  1950-an  itu juga ditandai dengan munculnya para  pengarang keturunan Tionghoa yang  karya-karyanya dimuat di  majalah umum. Mereka antara lain, Khong Bo Ya,  Njoo Siong Seng, dan Tan Sioe Tjhay.

Untuk kelompok  pertama ini, Pramudya Ananta Toer  merupakan  tokoh penting dalam  penulisan novel dan cerpen. Dalam tahun 1950-an itu, Pramudya telah menghasil­kan  sembilan  buah novel dan 34 cerpen. Satu jumlah  yang  memperlihatkan produktivi­tasnya yang luar biasa. Dalam hal ini beberapa esainya juga patut dipertimbangkan meng-ingat visi dan sikap kepengarangannya memperlihatkan wawasan yang amat luas. Hal ter-sebut  terjadi  pada  awal tahun 1950-an sampai menjelang  berakhirnya dasawarsa itu. Memasuki tahun 1960-an, pemikirannya mengenai kesusastraan mulai condong dipenga-ru­hi oleh doktrin politik. Akibatnya produktivitasnya makin surut dan menjerumuskan karya-karyanya ke dalam bentuk sastra yang condong bernilai rendah. Paling tidak, sebu-ah cerpennya, “Paman Martil” [24] dapat dijadikan bukti kecenderungan itu.

Selain Pramudya Ananta Toer, tokoh penting dari kelompok ini adalah Sitor Si-tumorang. Untuk bidang puisi, ia termasuk penyair yang sangat istimewa. Betapapun  ia menghasilkan  sekitar  15-an cerpen dan dua drama pada dasawarsa itu, peranannya yang menonjol  justru di bidang puisi yang secara keseluruhan tampak dari ke-68 puisinya yang muncul  di berbagai media massa, termasuk antologi puisinya Dalam Sajak dan Wa-jah  tak Bernama,  keduanya  terbit  tahun 1955. Seperti juga Pramudya, memasuki ta-hun 1960-an, kekuatan kepenyairannya condong dipengaruhi kekuatan ideologi tertentu.

Sementara  Dodong  Djiwapradja  dan  terutama,  Klara  Akustia  tidaklah  begitu menonjol dibandingkan  Sitor. Walaupun demikian  Dodong  sebenarnya memperlihatkan kematangannya  tahun  1950-an,  jika kita membandingkan puisinya yang  muncul  tahun-tahun  awal kemerdekaan. Setelah memasuki tahun 1960-an, nama keduanya  benar-be-nar tenggelam dalam putaran politik. Hal yang sama terjadi pula pada diri S. Rukiah Ker-tapa­ti. Kepenyairannya muncul pada tahun awal kemerdekaan. Ia  juga  mulai matang pa-da tahun  1950-an itu, seperti diperlihatkan dalam antologi puisinya, Tandus (Ba-lai Pus-taka, 1952) yang berhasil menjadi pemenang Hadiah Sastra Nasional BMKN tahun 1952.

Beberapa nama lainnya dari kelompok ini adalah Utuy T. Sontani yang sebenar-nya lebih menonjol di bidang drama daripada puisi dan prosa, walaupun ia menerbitkan sebuah antologi cerpennya, Orang-Orang Sial (Balai Pustaka, 1951); Trisno Sumardjo dan Harto­jo Andangdjaja, dalam tahun 1950-an itu juga tidaklah begitu menonjol, namun belakangan keduanya banyak menerjemahkan karya-karya asing.

Untuk bidang cerpen, Idrus tahun 1950-an itu secara kuantitatif tidaklah menon-jol. Sebuah antologi cerpennya, Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma (Balai Pustaka, 1948) yang  memuat  12 cerpen, menurut Jassin[25] membawa gaya penulisan  baru  yang disebut kesederhaan  baru  (nieuwe  zakelijkheid). Yang justru menonjol dalam penulisan cerpen dasawarsa itu adalah Riyono Pratikto. Dalam sepuluh tahun itu, ia menghasil sedikitnya 95-an cerpen yang umumnya mengangkat cerita mistik dan dunia supernatural.

Pengarang  lain  yang  patut  disebutkan di  sini  adalah  Suripman  (P. Sengodjo), Herman  Pratikto,  Surandal AM dan Muhammad Ali. Tiga nama  yang  disebut pertama, secara  kualitas  dan  kuantitas, sebenarnya  memperlihatkan  kematangannya  pada tahun 1950-an  itu.  Namun  tahun-tahun berikutnya, karya mereka  tidak  pernah  lagi muncul. Kumpulan  cerpen  Suripman,  Pahlawan dan Kucing (Balai Pustaka,  1987) diambil dari cerpen-cerpennya yang pernah muncul tahun 1950-an itu.

Seperti telah disebutkan, dari kelompok ini muncul para penulis keturunan Tiong-hoa,  seperti Khong Bo Ya, Njoo Siong Seng, dan Tan Sioe Tjhay.  Nama-nama mereka muncul  pascamerdeka  atau pada akhir tahun 1940-an dan  karya-karya  mereka sebagi-an besar  diterbitkan di majalah Star Weekly dan Liberty terbitan Surabaya. Apa artinya para pengarang  keturunan Tionghoa ini dalam konteks perjalanan sejarah kesusastraan Indone­sia, dan lebih khusus lagi menyangkut sistem pengarang di Indonesia.

Tampak di sini, bahwa semenjak memasuki zaman Jepang, peta kepengarang sastra Indonesia  tidak  lagi didominasi oleh para pengarang Sumatra. Satu pertanda bah-wa  para pengarang di luar kelahiran Sumatra, terutama Jawa dan Sunda,  mulai ikut me-mainkan peranannya  dalam  perjalanan  kesusastraan  Indonesia. Tak  ada  lagi dominasi Sumatra (:Minangkabau).  Akibatnya, tema dan gaya, dan teristimewa bahasa Indonesia para  pen­garang  di luar Sumatra, memperlihatkan keberagaman yang amat dipengaruhi oleh  faktor tradisi budaya para pengarang yang bersangkutan.

Bahwa  sejak awal kemerdekaan sampai tahun 1950-an, bahkan sampai  kini, tidak sedikit  para pengarang keturunan Tionghoa menulis sejumlah karya sastra untuk pembaca Indonesia secara  umum, hal itu juga memperlihatkan bahwa soal-soal kesukuan dan  ke­daerahan (etnis), tidak lagi dipersoalkan. Satu hal membedakan para penulis ketu-runan Tionghoa tahun 1950-an dengan para penulis Tionghoa atau Cina peranakan, sebagaimana yang  telah  diteliti Claudine Salmon, adalah dalam hal  pemakaian  bahasa Indonesianya. Para  penulis  keturunan  Tionghoa tahun 1950-an  menggunakan  bahasa Indonesia  yang bukan bahasa Indonesia pasar (Melayu pasar).

Kelompok  kedua yang karya-karyanya baru muncul pada tahun 1950  sampai per­tengahandasawarsa itu adalah para pengarang Indonesia yang justru sangat menyema-rak­kan konstalasi kesusastraan Indonesia tahun 1950-an. Beberapa nama yang perlu dise-but­kan  di  sini  adalah M.S. Achmad, Sobron Aidit,  Trisnojuwono,  Bokor Hutasuhut, Ali Audah,  Yusack Ananda, Atto Ananda, Jamil Suherman, M. Alwi Dahlan, Suwardi Idris, S.M. Ardan, Harijadi S. Hartowardojo, Sugiarta Sriwibawa, Sukanto SA, Motinggo  Boesje,  Ramadhan  K.H.,  Muhammad  Diponegoro,  Nugroho Notosusanto, Toto  Sudarto Bachtiar,  Ajip  Rosidi, Iwan Simatupang, Rendra, dan sederetan nama lain  lagi.  Kecuali Achmad dan Atto Ananda, para penulis lain yang disebut di atas masih terus bergiat dalam kegiatan kesusastraan. Sobron Aidit, misalnya, betapapun setelah peristiwa G 30 S PKI, ia tinggal di luar negeri dan membuka restoran di Paris, beberapa puisinya belakangan masih sempat ia kirimkan ke Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin.

Yang  sangat menonjol dalam kelompok ini waktu itu adalah  Toto Sudarto Bachtiar yang  dalam dasawarsa itu telah menghasilkan 126 puisi; Ajip Rosidi (241  puisi dan  43  cerpen);  dan Rendra (151 puisi, 25 cerpen, dan  satu  drama). Motinggo Boesje yang  menghasilkan  dua drama dan 46 cerpen, mengawalinya  sejak cerpen  pertamanya, Berantas,  dimuat  majalah  Waktu,  29 Agustus 1954.  Setelah  itu karya-karyanya  terus mengalir  macam  pabrik  yang memproduksi barang tertentu. Nugroho Notosusanto dan Muhammad  Diponegoro juga tampil dengan gaya dan tema yang berbeda. Nugroho lebih banyak mengangkat pengalamannya tentang  sisi lain sebuah  revolusi  fisik, sedang-kan Muhammad  Diponegoto menampilkan kehidupan yang diwarnai dengan suasana keaga­maan, hal yang juga tampak dari karya-karya Djamil Suherman.

Sementara  itu, tiga nama yang menonjol tadi; Toto Sudarto Bachtiar,  Ajip Rosi-di dan Rendra, belakangan terus memantapkan namanya sebagai penyair penting dalam perja­lanan sejarah kesusastraan Indonesia. Rendra masih terus dengan kepenyairannya bersama-sama dengan kegiatannya di bidang drama. Toto Sudarto Bachtiar  mulai meng-alihkan kegiatannya ke bidang penerjemahan. Sedangkan Ajip Rosidi  bergiat dalam bera-gam bidang.  Boleh jadi tidak ada bidang dalam kesusastraan yang tidak dimasuki Ajip Rosidi, termasuk juga penerjemahan khasanah sastra asing dan daerah (Sunda).

Satu nama  lain  yang  dalam tahun 1950-an itu  kurang  begitu  menonjol, namun dalam tahun berikutnya menjadi sastrawan penting dalam perjalanan sejarah kesusastraan Indonesia adalah Iwan Simatupang. Dasawarsa tahun 1950-an itu, Iwan hanya meng-hasil­kan  satu cerpen (“Lebih Hitam dari Hitam”, Siasat,  No. 13, 1959) dan 20  puisi. Tahun berikutnya, terutama lewat empat novelnya, Merahnya Merah, Ziarah, Kering, Kooong,  ia nyaris tak pernah terpisahkan dari pembicaraan sastra Indonesia modern.

Ramadhan  K.H. dan Ali Audah dalam perkembangannya  menjalankan perananya sendiri-sendiri dalam kesusastraan kita. Audah kini lebih banyak memusatkan perhatian-nya ke bidang penerjemahan, sedangkan Ramadhan K.H., selain menulis puisi, menerje-mah­kan karya-karya asing, juga membuat buku biografi para tokoh penting negeri ini.

Kelompok ketiga yang  kemunculannya pada pertengahan  tahun 1950-an sampai akhir dasawarsa itu –sekadar menyebut nama-nama penting– antara lain, S. Anantaguna, Bastari  Asnin,  Ajatrohaedi,  Satyagraha Hoerip, M. Poppy  Hutagalung, Taufiq  Ismail, Kirjomulyo,  Sapardi  Djoko Damono, Agam Wispi, N.H. Dini, Mochtar Lubis,  Mansur Samin, dan Subagio Sastrowardojo.

Anantaguna  dapatlah dikatakan sebagai pengarang yang  tidak  sepenting  yang lainnya  yang disebut di atas, apalagi kemudian ia begitu terlibatan dalam  kegiatan politik (PKI). Ini sangat berbeda dengan Agam Wispi. Meski pada dasawarsa tahun 1950-an itu ia hanya menghasilkan dua cerpen,  dua drama, dan 41  puisi,  secara  keseluruhan karya-karyanya memperlihatkan kedalaman isi dan visi kemanusiaan.

Kirjomulyo  dalam bidang cerpen dan puisi, sebenarnya tidaklah  begitu menonjol, dengan menghasilkan sembilan cerpen dan 47 puisi. namun dalam bidang drama, ia cukup penting mengingat pada dasawarsa itu ia menghasilkan delapan drama.

Sementara Ayatrohaedi dalam perkembangan kepengarangannya tidaklah sepen-ting kakaknya, Ajip Rosidi.  Ia  lebih banyak  memusatkan  perhatiannya  pada arkeologi dan bahasa, betapapun sama sekali tak meninggalkan kegiatan di bidang sastra.

Yang masih terus  berlanjut kepengarangannya  sampai  kini  adalah Satyaghraha Hoerip  (cerpen), M. Poppy Hutagalung, Bastari Asnin (cerpen), dan teristimewa  Taufiq Ismail  dan Sapardi Djoko Damono. Dua yang disebut terakhir itu justru  menjadi penyair penting  yang masing-masing mempunyai keistimewaannya sendiri. Belakangan dua nama ini juga diundang dan dianugerahi berbagai hadiah dalam dan luar negeri.

3. Beberapa Kesimpulan

Dari  pembicaraan sejumlah pengarang yang muncul dalam dasawarsa tahun 1950-an itu, kita dapat menangkap beberapa hal penting dalam sistem pengarang kita.

Pertama, tidak sedikit di antara pengarang kita yang secara sadar mengandal­kan penghasilannya dari pekerjaannya sebagai pengarang. Beberapa di antaranya memang ada yang menempatkan profesi pengarang sebagai profesi yang dapat dilakukan bersama pe-kerjaan lain, sehingga kerja kepengarangan dianggap sebagai pekerjaan kedua.

Kedua, mengingat pada dasawarsa tahun 1950-an itu, muncul para pengarang non-Sumatra dan masuknya latar dan budaya daerah, dan tampilnya pengarang keturunan Tionghoa, maka “keindonesiaan” sastra Indonesia sebenarnya dibentuk pada periode itu.

Ketiga, pada masa itu juga para sastrawan kita, sering kali tidak hanya memusat-kan perhatiannya pada satu ragam sastra itu saja (puisi, prosa, drama, esai, terjemahan) maka sebagian besar pengarang tahun 1950-an adalah pengarang yang “serba bisa”.

Keempat,  pada tahun 1950-an itu juga beberapa  majalah  atau  lembaga sengaja menyelenggarakan lomba penulisan puisi, drama, cerpen, atau novel. Dari lomba inilah, muncul  pula nama-nama baru, sebagaimana yang dilakukan A.A. Navis  lewat cerpennya “Robohnya Surau Kami.” Cerpen inilah yang mengawali karier kepengarangannya.

Kelima,  mengingat pada tahun 1950-an itu juga banyak karya asing yang  diterje­mahkan ke dalam bahasa Indonesia, hal itu sekaligus juga membuka kemungkinan yang sangat  luas bagi pengarang lainnya untuk berkenalan dengan kesusastraan asing. Dengan demikian,  mereka  tidak hanya berangkat dari tradisi budaya  kedaerahannya  yang harus diejawantahkan lewat bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, tetapi juga lewat perke-na­lannya dengan sastra asing. Iwan Simatupang, adalah contoh yang baik, bagaimana perpa­duan Barat–daerah, diejawantahkan dalam kesusastraan yang berbahasa Indonesia.

Keenam,  bahwa  citra sumbang profesi pengarang di  mata  masyarakatnya, sama sekali  tidak  mengurangi  minat  dan keinginan para  pengarang  atau  ’calon’  pengarang, mengingat di  lingkungan para pengarang sendiri ada anggapan bahwa masyarakat kita masih terpaku pada cara berpikir kolonial. Begitu juga soal status kepriyayian, pada tahun 1950-an itu makin tidak populer sebagai status yang begitu tinggi nilainya.

Ketujuh,  ramainya pembicaraan mengenai karya sastra sebagaimana  yang dirintis H.B. Jassin sejak awal kemerdekaan dan semakin dimantapkan lagi pada  tahun 1950-an, membuka jalan bagi popularitas kritik sastra. Beberapa intelektual atau setidak-tidaknya yang  berasal dari lingkungan akademi, seperti Slamet Mulyana yang pada dasawarsa  itu menulis beberapa  drama; Nugroho Notosusanto, Subagio Sastrowardojo, Sapardi Djoko Damono,  M. Alwi Dahlan atau Taufiq Ismail, telah makin  menyadarkan banyak ka-langan bahwa kegiatan kepengarangan tidaklah semata-mata dilahirkan dari bakat alam, melainkan juga wawasan dan intelektual.

Kedelapan, bahwa pendidikan para pengarang kita tahun 1950-an itu sebagian besar adalah  pendidikan  Belanda. Minat terhadap ilmu pengetahuan yang telah  menjadi tradisi pendidikan Belanda, merupakan pengaruh positif yang tertanam dalam diri para pengarang Indonesia tahun 1950-an dan kemudian berlanjut hingga kini.

Kesembilan, bahwa hingga kini profesi pengarang dianggap sebagai bidang peker-­jaan  yang  ’tidak jelas’ sesungguhnya merupakan anggapan dari tradisi  berpikir kolonial. Bekerja di kantor tertentu dengan jadwal waktu tertentu, dan penghasilan yang juga terten­tu, adalah cara berpikir birokrat yang lahir di zaman kolonial Belanda.

Kesepuluh,  bahwa pengarang tahun 1950-an sebagian besar memperoleh pendi-di­kan Belanda dan dibesarkan dalam situasi perang kemerdekaan. Di  antara mereka juga tak dapat dilepaskan begitu saja faktor sosio-kultural dan agama yang melatarbelakangi-nya. Belum termasuk soal ideologi yang sering ikut mempengaruhi struktur formal karya sastra, sebagaimana terbukti saat memasuki tahun 60-an. Itulah yang membuat karya-karya sastra Indonesia menampilkan tema dan gaya pengungkapan yang  begitu beragam. Hal inilah yang membedakan kesusastraan kita dengan kesusastraan negara lain. ***

(msm/31/12/1996)


[19] Menurut H.B. Jassin dalam suratnya kepada M. Dimyati, 2 Maret 1952, (Surat-Surat 1943-1983, Gramedia,  1984,  hlm.   89)  novel M. Dimyati lainnya adalah  Gema  Revolusi,  Pancaroba,  Anak  Yatim, Nuraini, Siti Nurjanah, dan Di Balik Tabir Radio

 [20] Cerpen itu dimuat bersambung dalam majalah Djawa Baroe. Cerpen lain pemenang sayem-bara itu adalah  ”Hamid Pahlawan Perkoempoelan Anti–A.V.C. (Di bawah Bajangan  Djembatan)” kar-ya  A.S. Hadisiswojo (Pemenang Kedua), dan “Radio Masjarakat” karya Rosihan Anwar (Pemenang Ketiga).

 [21] Dalam  Sastra  Baru Indonesia 1, Teeuw menyinggung nama Muhammad Dimyati  sebanyak dua kali. Yang pertama sebagai salah seorang pengarang roman picisan (hlm. 110) dan yang kedua dalam catatan kaki  tentang  resensi novel Belenggu. Dalam buku Sastra Indonesia Modern II, Teeuw mengatakan:  ”Balai Pustaka  sesudah 1945, bahkan sejak sebelum Perang (lihat Jil. I: 107–111), sudah menerbitkan  novel-novel yang tak bisa dibedakan dari roman picisan — misalnya novel-novel karangan Achmad Djan. Satu-dua  orang pengarang  yang  melanjutkan  tradisi  ini ialah Abbas Hasan, Muhammad  Dimyati  (=Badaruzzaman)  …” Bagaimana  mungkin  Teeuw  mengatakan ini jika dalam jilid I (hlm. 110)  ia  mengatakan  belum  membaca karya-karya Muhammad Dimyati. Bagaimana mungkin pula Muhammad Dimyati melanjutkan tradisi penuli­san Achmad Djan jika kemunculannya dalam sastra Indonesia, Muhammad Dimyati justru yang lebih dahulu.

[22] Tentang riwayat hidup Muhammad Dimyati lihat Soebagio I.N. Sejarah Pers Indonesia,  Ja-karta, Dewan Pers, 1977. Lihat juga Soebagio I.N. Jagat Wartawan Indonesia, Jakarta, Gunung Agung, 1981.

 [23] Kratz luput mencatat cerpen ini, sehingga cerpen ini tak terdapat di dalam buku Kratz itu.

 [24] Pramudya  Ananta Toer, “Paman Martil,” Paman Martil, Djakarta: Jajasan Pembangunan,  1965.  Kumpulan cerpen ini diterbitkan dalam rangka menyambut Hari Ulang Tahun ke-45 Partai Komunis  Indone­sia (PKI). Secara intrinsik, cerpen ini sarat bermuatan propaganda PKI. Tokoh Paman Martil sendiri  digam­barkan sebagai buruh kere, mendadak lebih penting membaca koran daripada mengisi perut. Kata-kata  tokoh itu  yang  seperti  ini:  ”Mana ada komunis menyerah” atau “Tak ada  cara  komunis  menyerah,”  misalnya, terkesan sangat dipaksakan. Sebuah bukti terjadinya kemerosotan kualitas. Selain itu, pada tahun 1960-an itu Pram tidak banyak menghasilkan karya. Dalam hal ini, produktivitasnya juga menurun.

[25] H.B. Jassin, Tifa Penjair dan Daerahnja, Jakarta, Gunung Agung, 1953, hlm. 28, et seqq

 

DAFTAR PUSTAKA

Bradbury, Malcolm. The Social Context of Modern English Literature. London: Compton Printing Ltd., 1972.

Bunga Rampai Kenangan pada Balai Pustaka. Jakarta: Balai Pustaka, 1992.

Damono, Sapardi Djoko. Novel Indonesia sebelum Perang. Jakarta: Pusat Bahasa, 1978.

———————. “Penelitian Gagasan Modernisme dalam Sastra Indonesia Tahun 50-an.” Jakarta: Proyek Penelitian Universitas Indonesia, 1978.

———————. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: Pusat Bahasa, 1978.

———————. Novel Jawa Tahun 1950-an: Telaah Fungsi, Isi, dan Struktur. Jakar- ta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1993.

I.N., Soebagio. Sejarah Pers Indonesia. Jakarta: Dewan Pers, 1977.

————–.  Jagat Wartawan Indonesia. Jakarta, Gunung Agung, 1981.

Jassin, H.B. Tifa Penjair dan Daerahnja. Djakarta: Gunung Agung, 1953.

———–. Surat-Surat 1943-1983. Jakarta: Gramedia, 1984.

Kratz, Ernst Ulrich. Bibliografi Karya Sastra Indonesia dalam Majalah. Yogyakarta:            Gadjah Mada University Press, 1988.

Nagazumi, Akira. Bangkitanya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1908–1918. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1989.

Niel, Robert van. Munculnya Elit Modern Indonesia. Terj. Zahara Deliar Noer. Jakarta: Pustaka Jaya, 1984.

Noer, Deliar. Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900–1942. Jakarta: LP3ES, 1988.

Pendidikan di Indonesia 1900–1940. Jakarta: Depdikbud, 1977.

Quinn, George. Novel Berbahasa Jawa. Terj. R. Baribin. Semarang: Ikip Semarang Press, 1995.

Salmon, Claudine. Sastra Cina Peranakan dalam Bahasa Melayu. Jakarta: Balai Pustaka, 1985.

Tanaka, Ronald. System Models for Literary Macro-theory. Lisse: Peter de Ridder Press, 1976.

Teeuw, A. Sastra Baru Indonesia 1. Ende: Nusa Indah, 1978.

——–. Sastra Indonesia Modern II. Jakarta: Pustaka Jaya, 1989.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler