Skip to Content

SEMANGAT PROFETIK SASTRA SUFI DAN JEJAKNYA DALAM SASTRA MODERN

Foto SIHALOHOLISTICK

Oleh: Abdul Hadi W.M.

Segi penting yang kerap ditekankan oleh para ahli dan pengamat yang tajam dalam membicarakan relevansi sastra keagamaan yang mendalam, termasuk sastra Sufi, ialah segi profetiknya. Segi ini, yang akan saya sebut sebagai ‘semangat profetik’ apabila diteliti memang penting untuk dikaji. Ia merupakan segi yang sentral, pusat bertemunya dimensi sosial dan transendental di dalam penciptaan karya sastra. Dimensi sosial menunjuk pada kehidupan kemanusiaan kita yang bersifat profan, dan dimensi transendental menunjuk pada tujuan kehidupan yang lebih tinggi, yang berpuncak pada Yang Gaib di atas sana. Dimensi yang kedua ini memberikan kedalaman pada suatu karya, menopangnya dengan nilai-nilai kerohanian, membuat suatu karya seni bersifat vertikal atau meninggi.


Sesungguhnya cita-cita semua sastra keagamaan memang begitu, seperti hakiki ajaran agama itu sendiri, yaitu menyatukan dimensi sosial dan transendental. Oleh karena itu, ketika Kuntowijoyo membicarakan perlunya menegakkan kembali ‘etika profetik’ dalam Temu Budaya 1986 di TIM, yaitu etika yang selain berakar di bumi juga berakar di langit, dia juga menunjuk pentingnya sastra profetik dikaji. Pentingnya sastra profetik, dan relevansinya bisa dilihat pada semakin anthusiasnya orang dan pemikir dewasa ini membicarakan dan mengulas karya-karya para penyair dan sastrawan profetik seperti Goethe, Dostoyevski, Jalaluddin Rumi, Mohammad Iqbal, T. S. Eliot, Frederich Hoelderlin dan lain-lain. Dari karya karya mereka, yang di antaranya telah ditulis ratusan tahun yang lalu, telah ternyata, bahwa tersimpul pesan profetik dan kerohanian yang sangat diperlukan oleh banyak manusia modern.

Tidak saja di lapangan sastra atau estetika karya-karya yang profetik bisa muncul sebagai suatu alternatif, tapi juga di bidang filsafat, pemikiran sosial keagamaan dan wawasan budaya. Di lapangan filsafat, sebagaimana diulas secara panjang lebar oleh Roger Garaudy dalam dua buah bukunya Janji-janji Islam dan Mencari Agama Abad Duapuluh, ia hadir untuk mempertanyakan kembali keberadaan filsafat analitik dan rasionalisme atau historis materialisme, yang sedang mengalami jalan buntu oleh karena dasar-dasar epistemologisnya yang meragukan, serta ekses-eksesnya yang mengasingkan manusia dari Tuhan dan dirinya sendiri. Malahan tonggak-tonggak utama dari karya-karya profetik mempertanyakan kembali hubungan politik dengan moral dan agama, yang telah retak sejak modernisme dicanangkan, seperti kita lihat pada karya-karya Jalaluddin Rumi, Goethe, Dostoyevski, TS. Eliot dan Mohammad Iqbal.

Itulah sebabnya dengan anthusias Mohammad Iqbal kembali mengkaji karya-karya Rumi dan Goethe, dan dari pengkajian itu dia banyak menimba gagasan bagi penciptaan karya-karyanya yang profetik. Sesungguhnya, keadaan zaman dan tantangan sejarah pulalah yang membuat Iqbal demikian anthusias mengemukakan gagasan sastra profetik yang bercorak keagamaan, dengan menempatkan intuisi intelektual di tempat utama dalam memperoleh pengetahuan langsung atau pandangan yang visioner.

Tantangan tersebut terutama datang dari materialisme dan rasionalisme helenistik.Segi penting lain dari sastra profetik itu ialah tolok ukurnya yang hakiki, seperti dikatakan Ali Syari’ati, yaitu sebagai sumber penemuan jati diri manusia dan penyebab mekarnya kemungkinan-kemungkinan transenden. Sebab itu, ia tidak semata mengacu ke bumi, melainkan serentak dengan itu membawa kita ke langit melalui lubuk hati terdalam insan, oleh karena di dalam hati kita memang ada jendela untuk melihat Tuhan, seperti ayat suci menyatakan. Atau, untuk meminjam kata-kata Amir Hamzah dalam sajaknya “Padamu Jua”:

Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai, pulang perlahan
Sabar setia selalu

Amir Hamzah dalam sajaknya itu telah menyampaikan berita profetik yang penting. Mungkinkah manusia menemukan dirinya tanpa terlebih dahulu menemukan Tuhannya, pencipta yang menjadi sumber keberadaannya? “Janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri.” (Q.S. 59:19) Di sinilah pangkal kekusutan filsafat-filsafat moderen, yang begitu anthusias mengajak manusia kembali kepada dirinya, namun justru manusia kian dijauhkan dari dirinya, atau tepatnya jati dirinya, sehingga problem keterasingan manusia modern dari dirinya juga menjadi tanggung jawabnya. Bagaimana mungkin manusia mengenal jati dirinya tanpa manusia itu memiliki kesadaran semesta dan kesadaran akan asal usul kerohaniannya?

Adanya berita profetik dalam suatu karya sastra itulah, kata Roger Garaudy, yang membuat sastra bisa memberikan alternatif pada filsafat analitik dan materialistik. Dramawan Prancis, Eugene Ionesco, telah mengeritik seni dan sastra modern seperti berkembang di Barat, dan kemudian ditiru, kadang tanpa sikap kritis di Timur. Menurut Ionesco, dalam esei yang berjudul “Facing Inferno” (Encounter, Februari 1972), seni modern telah kehilangan perspektif metafisik dan spiritual oleh karena kelewat humanistik, psikologis dan sekular. Dengan begitu penikmatnya hanya diberi cakrawala atau batas pandangan sempit, yaitu dunia yang ini semata-mata. Ia mengajar manusia takluk pada materi dan senang diperbudak kekuasaan dunia. Jauh sebelumnya, penyair Inggris yang pernah meraih Hadiah Nobel, T. S. Eliot telah mengecam kecenderungan sekuler kebudayaan dan sastra Barat. Eliot berpendapat bahwa kebudayaan tidak akan bisa mengalami masa cerah tanpa dilandasi nilai-nilai keagamaan.

T. S. Eliot memiliki gagasan sastra profetik, yang membuat karyanya The Wasteland menjadi salah satu sumber inspirasi bagi gerakan-gerakan sastra moderen di berbagai negeri, terutama di Mesir dan Jepang setelah Perang Dunia II. Seperti Eliot di Barat, penyair Sinkichi Takahashi di Jepang berdiri kokoh di tengah gerakan sastra non-religius, memaklumkan perlunya penyair modern kembali ke nilai-nilai spiritual dan keagamaan.

Dalam Konperensi Penyair Asia II di Seoul, Korea, (September 1986) penyair Jepang Akiya Yutaka menegaskan hal yang serupa. Kata Akiya Yutaka, doa dan cinta serta sembahyang sangat penting dalam penciptaan puisi. Penyair modern, katanya, mempunyai tugas yang amat berat, namun harus dipikulnya, yaitu memberikan pencerahan dan ikut menyeimbangkan dunia yang berat sebelah pada kehidupan materialistik, dengan nilai-nilai kerohanian. Suara Akiya Yutaka ini adalah suara para penyair profetik dan penyair Sufi seperti Rumi, `Attar, Ibn Sina, Goethe, Hoelderlin, Walt Whitman, Emerson, Tagore, Rilke, Mohammad Iqbal, Hamzah Fansuri, Khalil Gibran, Saleh Abdul Sabur, Ali Ahmad Said dan lain-lain. Suara semacam itulah yang telah melahirkan damba untuk mengembalikan semangat profetik dalam sastra, oleh karena hanya dengan damba dan semangat semacam itulah manusia biasa menemukan kembali cahaya dan dimensi kedalaman yang hilang. Kata Danarto, “Lebih lima puluh tahun lamanya sejak peralihan abad ini dunia kita dilanda perang yang mengerikan dan sia-sia. Yang kita butuhkan sekarang adalah Tuhan, sehingga pencarian terbaik adalah berhubungan langsung dengan Tuhan”. Pada bagian akhir dramanya “Dalam Bayangan Tuhan”, Arifin C. Noer menurunkan nyanyian sekelompok orang yang tak berdaya ditindas tirani kemiskinan dan kekuasaan, orang-orang yang sekarat dan tersumpal mulutnya, tak lagi memiliki kemerdekaan:

Biarkan Tuhan bicara
Dengarkan Tuhan bicara
Awan membentuk barisan
Angin memenuhi ruangan
Hujan memerintah lautan

Biarkan Tuhan bicara
Dengarkan Tuhan bicara
Biarkan Tuhan bicara
Dengarkan Tuhan bicara
Gunung bergerak perlahan
Hutan meranggas kerontang
Sungai mampat di hulu dan muara
Biarkan Tuhan bicara
Dengarkan Tuhan bicara

Biarkan Tuhan bicara
Dengarkan Tuhan bicara
Gunung bergerak perlahan
Hutan meranggas kerontang
Sungai memapat di hulu dan muara
Biarkan Tuhan bicara
Dengarkan Tuhan bicara

Begitu bersahaja nyanyian ini, namun mengandung kekhusyukan dan mampu melahirkan pencerahan batin. Darinya kita mendengar berita profetik dan pesan pencerahan. Drama Arifin C. Noer ini melukiskan proses dehumanisasi dan demoralisasi dalam kehidupan modern, tema-tema yang disukainya sejak lakon-lakonnya yang awal seperti, “Mega-mega” dan “Kapai-kapai”. Mengiringi nyanyian sekelompok manusia ini, terdengar pembacaan ayat suci melatarinya, sebelum layar ditutup sebagai tanda lakon bagian pertama usai.

Penyair Palestina Ali Ahmad Said berkata: “Bumi kita sekarang adalah bumi pertentangan-pertentangan. Kita menganjurkan kemerdekaan, akan tetapi tidak melaksanakannya. Kita melepaskan diri dari perbudakan lahir untuk jatuh kembali pada perbudakan jiwa dan batin. Bumi kita adalah bumi ketakutan dan kericuhan, tapi bersamaan dengan itu, kita melihat alamat api. Karena itu hidup merupakan bagian dari pengembaraan rohani dalam rangka membina kembali sejarah manusia dan kejayaannya”.

Danarto, Arifin C. Noer dan Ali Ahmad Said, tiga pengarang Muslim yang terkemuka, pada dasarnya telah mengatakan kepada kita pentingnya mendudukkan kembali ‘wahyu ilahi’ di tengah peradaban yang dibentuk oleh materialisme, rasionalisme, positivisme dan semacamnya. Lebih satu abad yang lalu, penyair Jerman Hoelderlin telah berkata:

Yang paling dekat adalah Tuhan
Namun sulit kita pahami
Bilamana bahaya muncul
Akan bertambah pula yang akan menyelamatkannya

(dalam “Patmos”)

Bait puisi Hoelderlin yang dijadikan bahan acuan pokok oleh filosof Martin Heidegger dalam pembicaraan filsafatnya, yang mengecam peradaban modern dengan tajam itu, mengingatkan kita pada apa yang telah difirmankan dalam al-Qur’an, bahwa Tuhan itu lebih dekat pada manusia dibanding pembuluh darah manusia sendiri. Untuk menyampaikan berita profetik pulalah penyair kontemporer Korea Selatan, Cho Byun-hwa menulis dalam sajaknya “Pohon Musim Dingin”:

Seperti agama
Pohon musim dingin
Menjulang ke langit

Penyair Indonesia Sutardji Calzoum Bachri pun menulis dalam sajaknya “Walau” berita profetik, yang sempat didengar oleh manusia modern di tengah kebuntuan dan kehidupan jiwanya yang koyak-moyak:

walau penyair besar
takkan sampai sebatas Allah

dulu pernah kuminta tuhan
dalam diri
sekarang tak

kalau mati
mungkin matiku bagai batu tamat bagai pasir
jiwa membubung dalam baris sajak
Tujuh puncak membilang-bilang
nyeri hari mengucap-ucap
di butir pasir kutulis rindu-rindu

walau huruf habislah sudah
alifbataku belum sebatas Allah

Kurang lebih setengah abad yang lalu, penyair Lebanon Khalil Gibran, yang menimba ilham buat sumber penulisannya dari para penyair Sufi, menulis:

Kusua rahasia mimpimu di ladang-ladang
Kujumpa keagunganmu di lembah-lembah
Kutemukan kehendakmu dalam batu-batuan
Dan diam kekalmu yang dalam dan rahasiamu di gua-gua

Kaulah keabadian dan bibirnya
Senar gitar abad-abad dan jari jemarinya
Gagasan tentang hidup dan pelambang-pelambangnya

Penyair Jepang, Tamura Ryuichi, mendengar berita gembira itu dengan telinga batinnya dan menyampaikan berita profetik itu dalam sajaknya ‘Tiga Suara’:

Sebuah suara datang dari jauh
dari seberang ufuk nun begitu jauh
lebih lembut dari segala bisikan
lebih nyaring dari jerit apa pun
lintas lautan-lautan dalam kata
lebih menukik ke dalam dibanding sejarah
dibanding tujuh mil kedalaman samudra Emden
lewat lautan yang hilang, hanya penyair bisa mendengar
Mencabik udara beku bumi
menenggelamkan armada paling berani
memerintah raja-raja, kota-kota indera kita
merecai pelaut-pelaut kita yang sudah mati dan kebosanan kita
suara itu datang dari seberang ufuk nun begitu jauh

“Suara itu,” kata Ryuichi selanjutnya, “datang lewat waktu satu-satunya, waktu yang merangkum semua waktu.” Pesan sajak ini senada dengan pesan sajak Ali Ahmad Said, yang menyatakan bahwa dia membawa neraka dalam dirinya dan memanggulnya, namun dalam kekacauan itu dia masih melihat adanya cahaya yang mesti dibangkitkan dengan perjuangan, ketabahan dan kekuatan rohani.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler