Skip to Content

SENO, SUKAB, DAN SENJA

Foto SIHALOHOLISTICK

Mengimani Seno sebagai sosok pembual memang bukan suatu kekeliruan bahkan kesalahan. Seno hadir sebagai sosok sastrawan dengan fisik keras namun lembut. Seno mampu melahirkan karya-karya yang mumpuni untuk membuat banyak orang keracunan. Mereka terbuai dengan bualan-bualan yang sebenarnya hanya suatu hal sepele. Racun yang membuat ketagihan. Seno merupakan suatu perwujudan manusia yang penuh keanehan karena bisa membuat banyak orang terpesona dengannya. Tapi dibalik dari bualan-bualannya tersebut terdapat sebuah metafora yang terkadang-kadang membuat suatu yang ironis. Dibalik kata-katanya yang lembut dan bisa dikatakan romantis, ternyata sebagian besar isi karya Seno adalah sebuah ejawantah dari kondisi sosial. Kondisi sosial yang pedas namun disulap Seno menjadi suatu yang cerdas.

Sejak kecil, Seno yang bernama lengkap Seno gumira Ajidarma ini berada dalam lingkungan keluarga yang ilmiah. Tapi entah kenapa Seno mampu menarik dirinya dari sebuah dunia yang menurutnya sangat membosankan itu. Ayahnya Prof. Dr. MSA Sastroamidjojo, guru besar Fakultas MIPA Universitas Gadjah Mada tak mampu berbuat banyak agar membuat Seno kembali ke jalur resmi yang telah dibuatnya. Seno berkembang menjadi sosok yang pembangkang. Sejak remaja ia di kenal sebagai remaja yang selalu membangkang peraturan sekolah. Ia selalu menentang aturan-aturan sekolah yang menurutnya sangat formal dan mengikat kebebasannya. Bahkan ia pernah minggat dari rumahnya dan berpetualangan ke beberapa daerah, hanya untuk mencari pengalaman yang bebas karena ia terinspirasi pada cerita petualangan Old Shatterhand di rimba suku Apache, karya pengarang asal Jerman Karl May. Namun karena kehabisan uang, ia pun kembali pulang. Ia kembali sekolah. Bukan Seno kalau hanya menurut, ia hanya mau bersekolah di sekolah yang membolehkannya berambut gondrong dan tidak memakai seragam.

Sifatnya yang liar membuat imajinasinya juga liar. Konsekuensi keliaran Seno menjadi pedang tajam atas semua karya-karyanya. Pada mulanya Seno meyakini kalau menjadi seniman adalah fokus pada penampilan seperti rambut gondrong, hidup santai, dan sak kepenake dewe. Sejurus dia kemudian menyadari bahwa penampilan bukan suatu jalan untuk menjadi seorang seniman. Ia harus mempunyai karya untuk menjadi seorang seniman. Ia mulai menulis sejak ia berusia 16 tahun. Setelah itu,ia seperti air yang mengalir dengan karya-karya yang mumpuni. Seno Gumira Ajidarma yang lahir di Boston tersebut juga memiliki intelektualitas dalam bidangnya, ia adalah lulusan Sarjana, Fakultas Film & Televisi, Institut Kesenian Jakarta, kemudian mengmbil S2 ilmu filsafat dan meraih gelar doktor dengan disiplin ilmu sastra. Gelar magister dan doktor ia raih di Universitas Indonesia.

Kemunculan sosok Seno dalam kesusastraan Indonesia juga tak lepas dari kemunculan sosok Sukab yang ia munculkan dalam dunianya sendiri. Bisa dikatakan, ada Seno pasti ada Sukab. Seolah-olah Sukab adalah interprestasi dari Seno itu sendiri. Namun Seno adalah pencipta Sukab dan Seno selalu membuat Sukab selalu direndahkan, dilecehkan dan dihinakan. Jika Seno membuat Sukab seperti itu dan selama ini masyarakat berkeyakinana bahwa Seno adalah Sukab, maka hal itu sama saja mengatakan Seno bunuh diri dengan karya-karyanya.

Proses kreatif Seno yang sering memunculkan tokoh Sukab dalam karyanya karena Seno senang mendengar kata Sukab yang terdengar enak di telinga. Seno menyatakan “Nama itu suka muncul begitu saja setiap kali saya membayangkan sosok “rakyat” yang saya kutip dari sebuah tulisan. Seno suka bermain-main dengan Sukab. Seno suka membunuh karakter Sukab. Seno membuat tokoh Sukab menjadi absurd. Di beberapa karya Seno yang bertokoh Sukab, Sukab selalu berganti-ganti karakter. Sukab pernah menjadi nama penggiring bola absurd, Sukab pernah mati, Sukab pernah menjadi pemotong senja, Sukab pernah menjadi remaja tujuh belas tahun, Sukab pernah menjadi tokoh tambahan yang hanya sekadar numpang lewat saja dan Sukab juga menjelma dengan karakter-karakter lainnya.

Seno suka membuat dunianya sendiri menjadi sebuah dunia yang entah tidak dapat dimengerti siapapun, namun ia bisa membuat dunia itu nyaman untuk ditinggali siapa pun. Seno mengasingkan dunia yang telah ada dan nyata. Seno suka bergulat dengan senja, entah sudah berapa ratus kali ia menuliskan senja dalam karya-karyanya. Senja seolah adalah objek yang penuh dengan keindahan. Lihat saja dalam cerpen Seno “Sepotong Senja untuk Pacarku”, ia membuat suatu cerita yang tidak bisa diterima dengan akal sehat. Bagaimana bisa senja dibungkus dengan sebuah kartu pos. Tapi hal itu menjadi mungkin dan masuk akal bagi Seno. Senja adalah sebuah pengorbanan besar atas nama cinta. Betapa cinta mengalahkan semuanya. Cinta kadang juga menjadi sebuah keegoisan yang begitu besar. Hal ini bisa kita petik dari kisah Sukab yang memotong senja. Betapa Sukab sangat egois karena memotong senja, padahal senja adalah keindahan yang berhak dinikmati jutaan umat di bumi ini.

Lihat juga senja dalam cerpen “Tujuan Negeri Senja”. Seno menggabungkan antara setting nyata dan setting bualan (imajinasi). Dua dunia yang berlainan digabung menjadi satu menjadi sebuah cerita yang tidak masuk masuk akal, namun gampang dicerna dan dinikmati. Seno membual dengan keberadaan loket di stasiun Tugu yang menjual karcis untuk menuju Negeri Senja yang jika orang pergi ke sana pasti tidak akan bisa kembali lagi. Negeri senja ibarat sebuah surga, semua orang ingin ke sana, namun setelah di sana, ia tak bisa kembali lagi ke dalam dunia ini. Bisa dikatakan Seno selalu membuat sebuah repetisi tentang Sukab dan Senja, namun betapa bodohnya kita yang selalu nyaman bila dicecoki dengan bualan-bualan Seno.


Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler