Skip to Content

SURAT KEPERCAYAAN GELANGGANG DAN MANIFES KEBUDAYAAN

Foto SIHALOHOLISTICK

SURAT KEPERCAYAAN GELANGGANG DAN MANIFES KEBUDAYAAN

 

Surat Kepercayaan Gelanggang, merupakan pernyataan sikap para pengarang yang tergabung dalam “Gelanggang Seniman Merdeka”. Pernyataan tersebut untuk pertama kali di muat dalam gelanggang (Siasat, 23 Oktober 1950). Isi pernyataan antara lain: Ciri keindonesiaan mereka ditandai oleh wujud pernyataan hati dan pikiran mereka. Mereka tidak akan memberi suatu ikatan untuk kebudayaan Indonesia , tetapi pemikiran suatu penghidupan kebudayaan baru yang sehat. Isi dari Surat Kepercayaan Gelanggang


> Isi Surat Kepercayaan Gelanggang

SURAT KEPERCAYAAN GELANGGANG

Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri. Kami lahir dari kalangan orang banyak dan pengertian rakyat baru kami adalah kumpulan campur baur dari mana dunia-dunia baru yang sehat dan dilahirkan. Keindonesiaan kami tidak semata-mata karena kulit kami yang sawo matang, rambut kami yang hitam, atau tulang pelipis kami yang menjorok ke depan, tapi lebih banyak oleh apa yang diutarakan oleh wujud pernyataan hati dan pikiran kami. Kami tidak akan memberikan suatu kata ikatan untuk kebudayaan Indonesia. Kalau kami berbicara tentang kebudayaan Indonesia, kami tidak ingat kepada melap-lap hasil kebudayaan lama sampai mengkilat dan untuk dibanggakan, tetapi kami memikirkan suatu penghidupan kebudayaan baru yang sehat. Kebudayaan Indonesia ditetapkan oleh kesatuan berbagai-bagai rangsang suara yang dilontarkan dari segala sudut dunia dan yang kemudian dilontarkan kembali dalam bentuk suara sendiri. Kami akan menentang segala usaha yang mempersempit dan menghalangi tidak betulnya ukuran nilai. Revolusi bagi kami adalah penempatan nilai-nilai baru atas nilai-nilai usang yang harus dihancurkan. Demikianlah kami berpendapat bahwa revolusi dan tanah air kami belum selesai. Dalam penemuan kami, kami mungkin tidak selalu asli; yang pokok ditemui itu adalah manusia. Dalam cara mencari, membahas dan menelaah kami membawa sifat sendiri. Penghargaan kami terhadap keadaan keliling (masyarakat) adalah penghargaan orang-orang yang mengetahui adanya saling pengaruh antara masyarakat dan seniman.
Jakarta, 18 Pebruari 1950


III. MANIFES KEBUDAYAAN
a.Naskah Manifes Kebudayaan

MANIFES KEBUDAYAAN

Kami para seniman dan cendekiawan Indonesia dengan ini mengumumkan sebuah Manifes Kebudayaan, yang menyatakan pendirian, cita-cita dan politik Kebudayaan Nasional kami.

Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sektor kebudayaan di atas sektor kebudayaan yang lain. Setiap sektor berjuang bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai kodratnya.
Dalam melaksanakan Kebudayaan Nasional, kami berusaha menciptakan dengan kesungguhan dan sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk mempertahankan dan mengembangkan martabat diri kami sebagai Bangsa Indonesia di tengah masyarakat bangsa-bangsa.

Pancasila adalah falsafah kebudayaan kami.
Jakarta, 17 Agustus 1963
( Drs.H.B.Jassin - Trisno Sumardjo, - Wiratmo Soekito – Zaini - Bokor Hutasuhut - Goenawan Muhammad - A.Bastari Asnin - Bur Rasuanto - Soe Hok Djin - D.S.Moeljanto - Ras Siregar - Hartojo Andangdjaya - Sjahwil - Djufri Tanissan - Binsar Sitompul - Drs. Taufik A.G.Ismail - Gerson Pyok - M.Saribi Afn. - Pernawan Tjondronagaro - Drs.Boen S.Oemarjati )


b.Penjelasan Manifes Kebudayaan
1.Pancasila Sebagai Falsafah Kebudayaan 

Dalam pengertian kami yang bersumber dalam hikmah Pancasila, kebudayaan bukanlah kondisi obyektif, apalagi hasil sebagian barang mati.
Dalam pengertian kami, kebudayaan adalah perjuangan manusia sebagai totalitas dalam menyempurnakan kondisi-kondisi hidupnya. Kebudayaan nasional bukanlah semata-mata Kebudayaan Nasional bukanlah semata-mata ditandai oleh “watak nasional”, melainkan merupakan perjuangan Nasional dari suatu bangsa sebagai totalitas dalam menyempurnakan kondisi-kondisi hidup nasionalnya.. predikat kebudayaan adalah perjuangan dengan membawa konsekuensi-konsekuensi yang mutlak dari sektor-sektornya.
Sepenuhnya pengertian kami tentang kebudayaan seirama dengan Pancasila karena Pancasila adalah sumbernya, sebagaimana Bung Karno menyatakan:
“Maka dari itu jikalau bangsa Indonesia ingin supaya Pancasila yang saya usulkan itu menjadi suatu realiteit, yakni jika kami ingin hidup menjadi satu bangsa, satu nasionaliteit yang merdeka, yang penuh dengan perikemanusiaan, ingin hidup di atas dasar permusyawaratan, ingin hidup sempurna dengan spciale rechtvaardigheit, ingin hidup sejahtera dan aman, dengan ketuhanan yang luas dan sempurna, janganlah lupa akan syarat untuk menyelenggarakannya, ialah perjuangan, perjuangan, dan sekali lagi perjuangan”.
 Maka pengertian Kebudayaan Nasional adalah perjuangan untuk memperkembangkan dan mempertahankan martabat-martabat kami sebagai bangsa Indonesia di tengah masyarakat bangsa-bangsa. Jika kepribadian Nasional yang merupakan implikasi dari Kebudayaan Nasional kita adalah apa yang oleh Presiden Soekarno dirumuskan sebagai “freedom to be free”, maka Kebudayaan Nasional kita digerakkan oleh suatu Kepribadian Nasional yang membebaskan diri dari penguasaan (campur tangan) asing, tetapi bukan untuk mengasingkan diri dari masyarakat bangsa-bangsa, melainkan justru untuk menyatakan diri dengan masyarakat bangsa-bangsa itu secara bebas dan dinamis sebagai persyaratan yang tidak ditawar bagi perkembangan yang pesat dari Kepribadian dan Kebudayaan Nasional kita yang pandangan dunianya bersumber pada Pancasila.

Kami ingin membuktikan, bahwa falsafah demokrasi Pancasila menolak semboyan “The End Justifies the Means” (Tujuan menghalalkan segala cara), sehingga sebagai falsafah demokrasi Pancasila adalah humanisme cultural yang pengejawantahannya harus kami perjuangkan dalam setiap sektor kehidupan manusia. Semboyan akultural “The End Justifies the Means” tersebut yang tidak mengakui perbedaan antara tujuan dengan cara, mengakibatkan orang menuju tujuan dengan menyisihkan pentingnya cara mencapai tujuan itu.

Demikian umpamanya di bidang penciptaan karya-karya kesenian di mana orang lebih mementingkan aspek propagandanya dari pada aspek keseniannya adalah contoh dari pelaksanaan semboyan “The End Justifies the Means” sebagai semboyan yang bertentangan dengan Pancasila. “The End Justifies the Means”- apabila orang mengemukakah apa yang bukan kesusastraan sebagai kesusastraan, apa yang bukan kesenian sebagai kesenian, apa yang bukan ilmu pengetahuan sebagai ilmu pengetahuan, dan sebagainya.

Perkosaan sepertinya bukanlah cara insaniah, melainkan cara alamiah. Perkosaan adalah mentah, sedang penciptaan karya mengalahkan kementahan dengan cara manusia untuk menciptakan manusia yang damai. Kesenian sebagai penciptaan karya manusia akan abadi hanya apabila bukan saja tujuannya adalah kemanusiaan, tetapi juga caranya kemanusiaan dan itulah implikasi yang paling hakiki dari Pancasila sebagai falsafah demokrasi yang kami perjuangkan secara prinsipal.

Adapun bahaya bagi kebudayaan yang paling mengancam datangnya dari wilayahnya sendiri, tetapi yang terang ialah bahwa sumber pokok dari bahaya tersebut terletak dalam kecenderungan-kecenderungan fetisy sebagai kecenderungan yang non-kreatif. Adapun kecenderungan tersebut manifestasinya tidak hanya dalam pendewaan, melainkan terdapat juga dalam persetanan sebagai umpamanya kami kenal dalam wilayah kesenian. Sebagaimana fetisy-fetisy itu bermacam-macam, demikian pula kesenian fetisy. Sebagaimana terdapat fetisysme dari jiwa pelindung di samping fetisysme dari jiwa pendendam, demikianlah terdapat kesenian yang mengabdi kepada jiwa pelindung dengan memberikan sanjungan-sanjungan secara berlebih-lebihan pula. Tidak jarang terjadi bahwa kedua macam kesenian fetisy itu mempunyai pretensi “kesenian revolusioner”, tetapi dalam hal demikian, maka kesenian fetisy itu kita namakan kesenian dengan pengabdian palsu.

Kesenian kreatif, berlawanan dengan kesenian fetisy, tidak mencari sumbernya dalam fetisy, melainkan dalam dirinya sendiri, sehingga dengan ini kami menolak fatalisme dalam segala bentuk dan manifestasinya. Kesenian kreatif yang kami perjuangkan dengan menyokong Revolusi tidaklah bersumber dalam fetisysme dari jiwa pelindung, sebaliknya mengkritik penyelewengan-penyelewengan dari Revolusi tidaklah pula bersumber dalam fetisysme jiwa pendendam. Kami tidak memperdewakan Revolusi, karena kami tidak mempunyai pengabdian palsu, sebaliknya kami pun tidak mempersetankan Revolusi, karena kami tidak pula mempunyai pengabdian palsu. Tetapi kami adalah revolusioner.

Kami tidak lebih dari manusia lainnya, direncanakan namun merencanakan, diciptakan namun menciptakan. Itu saja dan tidak mempunyai pretensi apa-apa. Kami pun tidak akan takut kepada kegagalan-kegagalan kami sendiri, karena kegagalan-kegagalan itu bukanlah akhir perjuangan hidup kami.

2.Kepribadian dan Kebudayaan Nasional

Dalam dunia kesenian Indonesia dikenal “humanisme universal”. Tafsiran kami tentang istilah tersebut adalah sebagai berikut:
Apabila dengan “humanisme universal” dimaksudkan pengaburan kontradiksi antagonis, kontradiksi antara kawan dan lawan, maka kami akan menolak “humanisme universal” itu. Misalnya sebagqaimana yang dilakukan NICA dahulu, di mana diulurkan kerjasama kebudayaan di satu pihak, tetapi dilakukan aksi militer di lain pihak.
Sebaliknya kami menerima “humanisme universal” apabila dimaksudkan, bahwa kebudayaan dan kesenian itu bukanlah semata-mata nasional, tetapi juga menghayati nilai-nilai universal, bukan semata-mata temporal, tetapi juga menghayati nilai-nilai External.

Apabila dengan kebudayaan universal itu dimaksudkan bukan kondisi obyektif, melainkan perjuangan manusia sebagai manusia sebagai totalitas dalam usahanya mengakhiri pertentangan antara manusia dan kemanusiaan, maka kami menyetujui ajakan untuk meneruskan kebudayaan universal itu, karena dengan demikian kebudayaan universal itu merupakan “kekuatan yang menggerakkan sejarah”, dan itu sepenuh-penuhnya sama dengan pikiran kami, bahwa kebudayaan universal itu adalah perjuangan dari budi nurani universal dalam memerdekakan setiap manusia dari rantai-rantai belenggunya, perjuangan yang memperjuangkan tuntutan-tuntutan Rakyat Indonesia, karena rakyat di mana-mana di bawah kolong langit itu tidak mau ditindas oleh bangsa-bangsa lain. Tidak mau dieksploitasi oleh golongan-golongan apapun, meski golongan itu adalah bangsanya sendiri. Mereka menuntut kebebasan dari kemiskinan dan kebebasan dari rasa takut, baik yang karena ancaman di dalam negeri, maupun yang karena ancaman dari luar negeri. Mereka menuntut kebebasan untuk menggerakkan secara konstruktif aktivitas sosialnya, untuk mempertinggi kebahagiaan individu dan kebahagiaan masyarakat. Mereka menuntut kebebasan untuk mengeluarkan pendapat, yaitu menuntut hak-hak yang lazimnya dinamakan demokrasi.

Jadi “humanisme universal” janganlah menyebabkan orang bersikap indeffernt (acuh tak acuh) terhadap semua aliran (politik), sehingga dengan “humasnisme universal” orang harus toleran pada imprealisme dan kolonialisme. Kami tetap mencari garis pemisah secara tegas terhadap musuh-musuh dan sekutu-sekutu Revolusi, musuh-musuh dan sekutu-sekutu Kebudayaan, tetapi ini tidak berarti bahwa kami mempunyai sifat sektaris dan chauvinis, karena sikap yang demikian itu adalah justru mengaburkan garis pemisah tersebut.

Musuh kami bukanlah manusia, karena kami adalah anak manusia. Musuh kami adalah unsur-unsur yang membelenggu manusia, dan karenanya kami ingin membebaskan manusia itu dari rantai-rantai belenggunya. Dalam perlawanan kami terhadap musuh-musuh kami itu kami tetap berpegang pada pendirian dan pengertian, bahwa sejahat-jahatnya manusia namun ia masih tetap memancarkan sinar cahaya Ilahi, sehingga konsekuensi kami ialah, bahwa kami harus menyelamatkan sinar cahaya Ilahi tersebut.

Maka kepercayaan yang kami kumandangkan adalah, bahwa manusia adalah makhluk yang baik, dan karena itulah maka kami bercita-cita membangun suatu masyarakat manusia yang baik itu, sesuai dengan garis-garis sosialisme Indonesia.

Dengan begitu teranglah posisi terhadap masalah “humanisme universal”. Kami menampilkan aspirasi-aspirasi nasional, yaitu pengarahan-pengarahan kepada pembedaan diri di tengah-tengah masyarakat bangsa-bangsa, bagi merealisasikan kehormatan, martabat (dignitas), prestise dan pengaruh, tetapi kami ingin menjaga agar pengarahan-pengarahan tersebut tidak menuju ke arah kesombongan nasional dan chauvinisme dalam segala bentuk dan manifestasinya.

Adapun implikasi dari aspirasi-aspirasi nasional ini adalah, bahwa bangsa Indonesia sebagai suatu bangsa yang mempunyai kebebasan untuk mengembangkan kepribadiannya, artinya bangsa Indonesia dapat terus menerus menyesuaikan diri dengan perkembangan sekitarnya, tetapi caranya adalah unik dan dinamis. Untuk dapat mempunyai sifat dinamis inilah, maka bangsa Indonesia harus mempunyai kesenian sebagai sektor kehidupan kebudayaan, yaitu kesenian yang sepenuhnya merupakan pancaran kebebasan, kesungguh-sungguhan yang sejujur-jujurnya.

3.Politisi dan Estetisi

Dalam dunia kesenian Indonesia juga dikenal istilah “realisme sosialis”. Menurut sejarahnya, penafsirannya ada dua macam:

Yang pertama: Realisme sosialis langsung merupakan kelanjutan dari konsepsi kultural Josef Stalin. Dalam tahun-tahun 30-an dengan berkembangnya fetisy, barang pujaan yang seakan-akan mengundang suatu kekuatan ghaib, maka kebudayaan Rusia terancam dengan amat mengerikan. Dengan Stalin maka metode kritik seni adalah deduktif, artinya konsepsinya telah ditetapkan lebih dahulu untuk “menertibkan” kehidupan kesenian yang telah “ditertibkan” itu adalah adanya konsepsi yang sama dan sektaris tentang kritik seni. Itulah sebabnya, maka jiwa obyektif yang berpangkal pada budi nurani universal tidak selaras dengan realisme sosialis, sehingga kami menolak realisme sosialis dalam pengertian itu, dasarnya ialah paham politik di atas estetik.

Yang kedua: Realisme sosialis menurut kesimpulan kami dari jalan pikiran Maxim Gorki, yang dipandang sebagai otak dari realisme sosialis itu, yakni bahwa sejarah yang sesungguhnya dari rakyat pekerja tyak dipelajari tanpa suatu pengetahuan tentang dongengkan kerakyatan yang secara terus menerus dan pasti menciptakan karya sastra yang bermutu tinggi seperti Faust, Pertualangan Baron von Munchaussen, Gargantua dan Pantagruel, Thyl Eulensiegel-nya Coster, dan Prometheus Disiksa karya Shelley, karena dongengkan kerakyatan kuno purbakala itu menyertai sejarah dengan tak lapuk-lapuknya dan dengan cara yang kahas.

Di situ sebenarnya Gorki telah menggariskan politik sastra yang berbeda dengan realisme sosialis ala Stalin, karena pada hakikatnya Gorki telah menempuh politik sastra universal. Sesungguhnya politik sastyranya itu bersumber dalam kebudayaan tidak sebagai suatu sektor politik yang searah dengan garis Manifes ini.

Berdasarkan fenomena-fenomena sejarah, maka seorang ahli sejarah mengatakan, bahwa kebudayaan dari satu periode senantiasa kebudayaan dari kelas yang berkuasa. Akan tetapi sejarah juga mengatakan, bahwa justru karena tidak termasuk kelas yang berkuasa, maka orang berhasil membentuk kekuatan baru yang terbentuk di tengah-tengah penindasan kekuatan lama, merupakan faktor positif yang menentukan perkembangan kebudayaan dan kesenian.

Sebagaimana terjadi di Prancis, sejarah mengajarkan, bahwa kekuatan yang dibentuk oleh borjuasi revolusioner, adalah kekuatan yang menentukan dalam melawan penindasan monarki mutlak. Tetapi sayang, bahwa elan kreativitas yang menyala-nyala bersama-sama kekuatan baru itu menjadi padam setelah kekuatan borjuasi revolusioner itu menjadi sempurna. Bahkan kekuatan politik yang sempurna itu merintangi kesenian dan kebudayaan. Penindasan baru yang dilakukan oleh kekuatan baru itu di bidang kesenian dan kesusastraan khususnya telah menyebabkan timbulnya kekuatan baru dengan lahirnya Angkatan 1830 yang mula-mula dipelopori oleh Victor Hugo dan kemudian dilanjutkan oleh Theophile Gautier.

Maka dapatlah kami mengambil kesimpulan, bahwa paham politik di atas paham estetik yang merumuskan politik adalah primer dan estetik adalah sekunder, dilihat dari sudut kebudayaan dan kesenian adalah suatu utopia. Sebab paham itu jika dilaksanakan dengan jujur hanya akan memupuk dan menghasilkan perasaan-perasaan kekecewaan, dan jikalau dilaksanakan dengan tidak jujur akan dapat merupakan tipu muslihat kaum politisi yang ambisius.

Sebagai realis, kami tidak mungkin menerima setiap bentuk utopia karena menyadari, bahwa dunia ini bukan surga. Karena berpikir secara dialektik maka kami mengaku kenyataan-kenyataan lingkungan sosial kami senantiasa mengandung masalah-masalah, dan setiap rintangan-rintangan baru. Oleh karena itu kami tidak pernah berpikir tentang suatu zaman, di mana tak ada masalah lagi karena setiap pikiran yang demikian itu adalah terlalu “idealis” dan karenanya tidak ilmiah.

Pekerjaan seorang seniman senantiasa harus dilakukan di tengah-tengah dunia yang penuh dengan masalah-masalah, analog dengan pekerjaan seorang dokter yang senantiasa harus dilakukan di tengah-tengah dunia yang penuh dengan penyakit-penyakit. Apabila dunia ini sudah sempurna, tidak perlu lagi ada seniman. Oleh karena itu paham yang sudah dirumuskan, bahwa politik adalah primer dan estetik adalah sekunder dan tidak memahami realisme, karena apabila kekuatan politik telah sempurna, maka tidak perlu lagi kesusastraan dan kesenian, tidak perlu lagi estetika. Seandainya pada satu ketika kekuatan yang dibentuk itu telah menjadi sempurna, maka masalah apakah yang akan dibahas kesenian revolusioner yang sebagai estetik murni baru mulai sesudah itu? Tidak lebih dan tidak kurang dari masalah yang dibahas oleh kaum estet, yaitu mereka yang mempunyai paham estetik di atas politik, sehingga bersifat borjuis.

Tidak berlebih-lebihan kiranya apabila kami mengambil kesimpulan, bahwa paham politik di bawah paham estetik itu tidak memberikan tempat kepada estetik sebelum pembentukan kekuatan politik menjadi sempurna, sehingga selama jangka waktu pembentukan kekuatan politik itu tidak ada persoalan tentang estetik, sedangkan paham estetik di atas politik hanya dapat dilaksanakan apabila mendapat sandaran kekuatan politik yang sempurna pula.

Maka kami dapat menarik kesimpulan selanjutnya, bahwa kedua paham kesenian tersebut mengandung kontradiksi-kontradiksi. Berbeda dengan paham itu adalah paham kami, yaitu paham yang tidak mengorbankan politik bagi estetik, tetapi sebaliknya tidak pula mengorbankan estetik bagi politik. Karena pengorbanan tersebut tidak menunjukkan adanya dinamika, dan di dalam hal tidak adanya dinamika maka fungsi estetik murni adalah suatu imperialisme estetika. Dalam kondisi ini, maka transformasi revolusioner dari negara kapitalisme ke arah negara sosialis tidak akan mengubah secara revolusioner kondisi-kondisi kulturalnya. Berlawanan dengan itu kami menghendaki perubahan kondisi-kondisi kultural itu secara revolusioner ke arah masyarakat sosialis – Pancasilais. 

Menurut keyakinan kami, maka masyarakat sosialis-Pancasilais yang kami perjuangkan secara kultural – revolusioner itu adalah suatu keharusan sejarah yang tidak dapat dihindarkan oleh siapapun, tetapi terutama oleh kami sendiri.

Demikianlah penjelasan Manifes ini diumumkan.
Jakarta, 17 Agustus 1963.


Literatur Pancasila terdiri dari 
Bung Karno: “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme”
Pidato “Lahirnya Pancasila”
Dr. H. Roeslan Abdul Gani: “Manipol-Usdek, Pidato Radio”
Wiratmo Soekito: “Peranan Institusi-Institusi Dalam Memperkembangkan Sosialisme Kreatif”
Harian Semesta: “Rivalitas Kelas Persoalan Sosial”

Tanggal 8 Mei 1964 Bung Karno melarang Manifes Kebudayaan dengan alasan yang tertera dalam surat pelarangan sebagai berikut: “Karena Manifesto Politik RI sebagai pancaran Pancasila telah menjadi Garis Besar Haluan Negara dan tidak mungkin didampingi dengan Manifesto lain, apalagi manifesto itu menunjukkan sikap ragu-ragu terhadap Revolusi dan memberi kesan berdiri di sampingnya”.

Atas nama pendukung Manifes Kebudayaan, tanggal 10 Mei 1964 Wiratmo Soekito, H.B.Jassin, dan Trisno Sumardjo, mengirim surat kawat kepada Presiden Soekarno yang menyatakan “mematuhi larangan tersebut”, selanjutnya atas nama para pendukung Manifes Kebudayaan di seluruh Indonesia, tanggal 19 Mei 1964 Wiratmo Soekito, H.B.Jassin, dan Trisno Sumardjo mengirim surat kepada Presiden Soekarno yang isinya “memohon maaf”.

Mengenai permintaan ini Wiratmo Soekito memberi penjelasan demikian: “... kami minta maaf, karena telah terlambat memenuhi keinginan Pemimpin Besar Revolusi untuk mengubah Manifes untuk membuat Manifesto yang baru. Jadi, jelaslah, bahwa tujuan permintaan maaf itu bukannya untuk mengakhiri larangan Manifes”.

 


Sumber: http://sihalohoarzainal.blogspot.com/2011/04/surat-kepercayaan-gelanggang-dan.html 

Komentar

Foto falkhi

Gara-gara kolom opini kompas,

Gara-gara kolom opini kompas, akhirnya penasaran dengan surat kepercayaan gelanggang. trims infonya

Foto falkhi

sangat lengkap dan sempurna ,

sangat lengkap dan sempurna , makasi juga atas pengetahuan'nya ini..

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler