Skip to Content

Tips Menulis Cerpen - "Show Me" vs "Tell Me"

Foto oichidan

Halo dan selamat datang di artikel pertamaku. Aku masih belum yakin apakah artikel ini akan bermanfaat atau tidak untuk orang, tapi ya sudahlah. Oh, dan tolong sesuaikan diri juga dengan gaya bahasa dan gaya menulisku. Aku bukan, dan sama sekali bukan, orang yang puitis. ^^v

Jadi, menulis cerpen, nih?

Banyak orang bilang, menulis adalah salah satu gerbang untuk mengutarakan apa yang ingin kita utarakan. Bahkan ada seorang penulis, aku lupa namanya, sampai membuat quote yang tidak salah bunyinya, "Penulis yang baik ingin dimengerti orang lain." atau apalah itu, aku lupa. Yang jelas, ketika kita bicara menulis, kita memang benar-benar menulis. Apa itu medianya di kertas, komputer, dan lain-lain.

Bagi banyak orang, terutama di Indonesia, menulis punya satu stereotip menurutku, yaitu pasti puisi, lagu atau cerpen. Temanya juga kebanyakan tema-tema yang umum, seperti masalah keluarga, cinta-cintaan, rindu kepada sang kekasih, atau lainnya. Aku sendiri tidak terlalu menyukai tema-tema seperti itu (dan itu yang membuatku bosan belajar sastra di sekolah ^^). Aku ingin memberikan penekanan bahwa menulis itu benar-benar mengutarakan perasaan kita, bukan hanya perasaan cinta atau rindu. Senang, galau, kesal, atau mungkin mempunyai pendapat tersendiri akan suatu hal? Semua bisa diutarakan lewat tulisan.

Makanya, pena adalah alternatif pedang di zaman globalisasi. (<- ceritanya mau coba bikin pake gaya bahasa agar terkesan puitis tapi gagal)

Jangan terlalu frontal!

Aku pernah mengunjungi beberapa situs sastra, membaca beberapa buku, artikel dan kritikan terhadap suatu kasus yang sedang nge-hot. Menurutmu, apakah artikel politik yang tengah bergentayangan dewasa ini adalah artikel-artikel yang netral? Bagiku, itu bukan artikel yang 'netral'. Itu artikel yang jelas-jelas memojokkan pihak tertentu, sehingga walaupun dia menulis menggunakan titel 'pers', sebenarnya itu berpihak kepada orang lain dan menurutku itu penyalahgunaan.

Ah, sudah, jangan terlalu politik. Nanti aku jadi kasus lagi di media, kasus kecil ini kan biasanya dibuat alay? (ups)

Tapi yang pasti, dalam menulis, camkan satu hal: anda ingin pembaca mengerti pesan yang ingin anda sampaikan. Penulis yang baik selalu ingin dimengerti orang lain, dan dia akan berusaha untuk membuat orang lain mengerti apa yang ingin dia sampaikan. Mengerti, sampai sini?

Sekarang, coba bandingkan dua buah potongan prosa berikut:

1. Ariel adalah seorang yang baik hati. Selain baik hati, dia juga adalah orang yang cantik. Kecantikannya membahana bagaikan terangnya bulan di malam hari, yang menyinari gelapnya hatiku di kala ia meringis kesepian.

2. Suatu ketika, Ariel bertemu dengan seorang pengemis. Pengemis, atau anak jalanan yang ditemuinya itu, terlihat begitu kotor. Pakaian yang dikenakannya sudah penuh oleh debu, jangan tanya wajah dan sekujur tubuhnya. Alas kaki pun tidak ada. Di tangan kanannya dipegang sebuah mangkok, lesuh dan berdebu pula permukaannya. Dengan wajah yang menyedihkan, dia berkata, "Pak.. Bu... Minta pa..."

Di dalam sakunya Ariel ada uang lima ribu rupiah. Tadinya, Ariel akan menggunakan uang ini untuk membeli semangkuk bakso. Namun, ia mengurungkan niatnya. Ia memanggil anak jalanan itu, membuka kaca helm yang tengah dikenakannya. Lampu merah menjadi tempat mendulang emas bagi para anak jalanan ini. Dengan senyuman yang asri, diberikannya uang lima ribu rupiah itu kepada anak jalanan berusia lima belas tahun itu.

Begitu lampu hijau, anak jalanan ini duduk bersandar di bawah pohon rindang. "Yang barusan... Siapa ya?" tanyanya, dengan hati yang berdebar-debar.

Pada potongan pertama, memang benar aku ingin membuat pembaca mengerti bahwa Ariel adalah orang yang bla-bla-bla... Tapi saya berani tebak, karakter Ariel yang baik hati lebih tergambar pada potpngan cerpen kedua, kan? Itulah yang ingin aku sampaikan daritadi.

Show Me, not Tell Me. Tunjukkan, jangan cuma omong doang

Seandainya setiap orang di Indonesia ini benar-benar "Show Me, not Tell Me", tidak akan lahir politikus Indonesia. (eh)

Pada dasarnya, jangan mengikuti aliran hidup para politikus. Mereka menganut aliran. "Tell me, not Show Me". Lebih percaya apa yang dikatakan orang lain terhadapnya tanpa mempedulikan kenyataan yang ditunjukkan. Karena itu kebijakan publik selalu dibuat asal-asalan. Mau bukti? Kurikulum baru? (eh, nyindir lagi).

Sama halnya dengan itu, cerita juga bagusnya menggunakan pola yang sama. Ketimbang memberitahu pembaca bahwa seseorang X atau Y, lebih baik tunjukkan kepada pembaca bahwa ia X atau Y. Mau contoh?

Sejak kelas sebelas, bahkan sejak kelas sepuluh, Aldian memang terkenal…aneh. Ia tidak bicara pada siapapun, maupun tidak mau diajak bicara oleh siapapun. Ia tidak mengeluarkan sepatah kata pun, bahkan ketika ditanya oleh guru. Kehadirannya bagai sebuah makhluk yang datang dan pergi tanpa dihiraukan sama sekali. Mulutnya bak dikunci rapat-rapat oleh sebuah kunci gembok bersegel tujuh lapis kutukan dari tujuh negeri berbeda. Tidak bisa dibuka, nyaris 99.9% tidak bisa dibuka sama sekali. Bahkan untuk menjawab ‘Ya’ atau ‘Tidak’, ia hanya menganggukan atau menggelengkan kepalanya.

DI bangkunya, yang dilakukan Aldian hanya duduk dengan mengubur kepalanya di atas meja, lalu memejamkan matanya sambil menunggu bel masuk sekolah. Bisa dikatakan ia mencoba tidur, namun ia tidak tidur. Ia mungkin saja hanya terlalu malas menghadapi lingkungan yang ada di sekitarnya, atau memang tidak ingin bicara dengan siapapun. Ditambah, di atas kepalanya, ia selalu menutupinya menggunakan tasnya. Makin menjadi-jadi kegiatan mengubur wajah yang ia lakukan ini.

Bel masuk sekolah sudah berbunyi. Seluruh siswa kembali bersikap di bangku mereka masing-masing. Guru pelajaran pertama, pelajaran Ekonomi, masuk ke kelas. Beliau memperkenalkan seorang siswa pindahan di kelas XII IPS. Perangainya tinggi dengan badan yang ramping, cowok, cukup berotot, rambutnya rancung-rancung pendek. Namanya Reno Januari, “Tapi teman-teman boleh memanggil saya cukup dengan ‘Reno’ saja. Mohon kerjasamanya untuk satu tahun kedepan!” katanya menutup sesi perkenalan.

Aldian menaruh perhatian kepada orang ini sampai satu kali mata mereka melakukan kontak. Lalu, Aldian kembali mengubur wajahnya di atas meja.

(Dikutip dari "Biskuit Kering", http://www.jendelasastra.com/karya/prosa/biskuit-kering)

Yang aku ingin tekankan pada potongan prosa tadi adalah bahwa Aldian adalah orang yang depresif, dan bahwa tertarik untuk menjadi teman Reno, namun terlalu malu untuk bahkan menyapanya. Aku sendiri masih belum 100% menjadi sastrawan ahli yang dapat menjelaskan hal-hal ini dengan baik sehingga pembaca paham. Tapi pada intinya, aku ingin menekankan satu hal.

Ketimbang memberitahu pembaca bahwa dia X atau ingin Y, tunjukkan kepada pembaca bahwa dia X atau ingin Y! Jangan cuma omong doang, tapi tunjukkan dengan perbuatan!

Jangan jadi politikus Indonesia makanya (eh). Udah ah nyindir terus, nanti jadi kasus lagi di media.


Sindiran-sindiran tadi hanya sindiran halus saja ya, tidak ditujukan kepada pihak spesifik manapun tertentu. Itu hanya opini pribadi penulis.

Memang kalau sindiran halus begini akan membuat kita bermasalah dengan orang yang tersinggung? Bukannya kalau dia tersinggung, berarti sebenarnya ia merasa tersindir karena sindiranku, berarti dia benar-benar melakukan apa yang saya sebutkan dalam sindiran itu ya?

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler