Skip to Content

Agama Bang Meggy

Foto Jafar Bin Ilyas

Tetanggaaku kontrakanku yang berprofesi sebagai tukang parkir malam itu sering kali  mengajakku bincang-bincang dengan premis sendawa yang berarti sebuah isyarat kalau dirinya tengah membutuhkan orang untuk diajak bicara. Pernah suatu ketika sepulang aku kerja sekitar jam setengah dua belas malam ia bersendawa tak kuhiraukan lantaran aku kerap kali merasakan jemu dengan topik bahasan yang diulasnya tak lepas dari kata menggurui setiap kali bercengkerama denganku. Ia lebih memilih melakukan ajaran kebaikan suatu agama ketimbang melakukan amaliyyah yang ditaklifkan kepada muslim. Menurutnya, apalah arti sebuah ibadah kalau ketimbang melakukan amaliyyah yang ditaklifkan kepada muslim. Menurutnya, apalah arti sebuah ibadah kalau memang bobot  amaliyyahnya kurang. Ia begitu percaya akan hokum alam yang berupa simbiosis mutualisme. Bila seseorang menanam kebaikan maka suatu ketika dipetiklah kebaikan pula. Terkadang miris melihat anaknya yang masih duduk di bangku kelas tiga SD itu meraung minta uang jajan yaminta uang jajan yang lebih. Saat keadaan semacam itu terjadi adegan ngibuli diaksikan oleh pria bertato itu. Perhatian anaknya itu diserongkan kepada hal lain yang sekiranya bisa membuat tangisnya terhenti. Ibunya yang jam segitu baru pulang dari menyetrika di rumah sebelah tersenyum lega dengan membawa potongan kue bekas anak majikan yang tak utuh lagi. Dan segmen semacam itu terulang setiap harinya. Heranku lagi, menjelang senja menyingsing teriknya, saat beberapa orang mulai sibuk melipatkan sarung, mukena dan sajadahnya untuk kemudian pergi ke langgar, pria yang sudah hempir dua belas tahun singgah dikontrakkan berukuran dua setengah meter kibik ini malah mengajak anaknya yang gembul itu berburu jangkrik pakan burungnya. Khawatir di tengah istirahat mereka malam hari nanti burung-burung peliharaannya kelaparan. Bersamaan dengan pulangnya masyarakat usai maghriban kembali lah Meggi dengan diboncengi anaknya serta. Profesinya selain memarkir pada malam hari adalah merawat burung-burung peliharaannya hingga datang petang. Maaf, bahkan kasarnya ia sering meniggalkan sholat karena keasyikan membantu orang lain. Entah lagi bila dalam keasyikannya membantu orang lain hatinya tak henti dari yang namanya dzikir menyebut asma ilahi. Bila kegiatan memandikan burungny kelar ia akan memangkas rumput di depan rumah-rumah gang perkampungan. Meski lidahnya berkata “aku tidak hendak meminta belas kasihan kalian bila aku rajin memangkasi rumput halaman kalian atau membersihkan selokan gang kalian. Namun, bila kalian memaksa untuk berterimakasih. Ulurkan saja ke anakku buat jajannya.” Ajaibnya si gembul anak kesayangan Meggy itu sering mengadu kepada ibunya kalau dirinya baru diberi uang oleh si ini si itu beberapa hari serampung ia melakukan rutinitas setelah memandikan burungnya itu. Dari situlah ia beriktikad semacam itu. Ia rela menomor duakan ibadahnya hanya lantaran menyempatkan waktu untuk membantu sesama.

Begitukah, citra methode pendidikan yang tengah dikencangkan warga muslim di Indonesia saat ini? Dan kalau memang seorang Meggy diletakkan sebagai figure teladan, dapatkah kita katakan  ia sebagai uswatun khasan kemudian bisa kita terapkan dalam kehidupan sehari hari yang secara tidak langsung mengikuti agama Meggy hingga Indonesia sohor akhirnya akan keramahan penduduknya   yang suka menolong? Namun, tak baik juga bila kemudian nasib warga Indonesia yang notabene muslim berada sama dengan Meggy otomatis image islamlah yang akhirnya buruk. Agama kok tidak sarat dengan ritual penyembahan dan beralih pada perbudakan tanpa balas jasa.

 

 

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler