Skip to Content

Analisa Teater Tradisi Mendu Natuna dalam Konteks Seni Pertunjukan

Foto Hafash Giring Angin

Oleh: Hafash Giring Angin

[Alumnus Pascasarjana Fakultas Seni Pertunjukan Institut Kesenian Jakarta. Bergiat di Penelitian Tradisi Nusantara]

 

Teater Mendu adalah teater tradisi bernuansa kerakyatan bersifat kolektif menggunakan berbagai media ekspresi terpadu antara lain teater, tari dan musik. bentuk penyajian teater ini dapat digolongkan dalam kelompok seni pertunjukan rakyat yang memiliki ciri khusus antara lain pementasannya didahului dengan bunyi tabuhan untuk mengundang penonton, pembukaan dengan nyanyian dan tarian, perkenalan (introduksi) para pemain satu persatu, dan nyanyi bersama yang dipimpin  pemain utama yang merangkap sebagai sutradara (pengantar), adegan bercerita, babak penyelesaian adegan berupa pertempuran, peperangan kemenangan dan kekalahan, yang ditutup dengan adegan penutup yaitu ditutupnya layar bagian akhir dari pertunjukan.

 

Teater tradisi Mendu bisa digolongkan sebagai teater bangsawan yang merupakan prototype teater tradisional yang umumnya terdapat di sumatera dengan latar belakang pendukung dominan; rumpun budaya Melayu. Tepatnya di Bunguran (pusat teater mendu), dan pulau Natuna- Anambas yang penyebarannya berlangsung ke sungai Ulu, pulau Lauto, Pian padang, Pulau tiga, Sedanau, Midai, Siantan dan Jemaja. Kesenian tradisional ini dikenal menjelang awal abad ke XX. Pengaruh teater bangsawan banyak ikut campur dalam urusan ini seperti menggunakan panggung secara lengkap dengan layar sebagai dekorasi. Karena jamaknya, hingga terasa banyak kesamaan antara Mendu dan Wayang Bangsawan. Sepanjang hayatya adaptasi bangsawan mendapat ciri-ciri khasnya sendiri. Ia mulai menyerap unsur-unsur setempat misalnya nama-nama tempat dan istilah-istilah lokal dan kebiasan-kebiasaan yang lazim dalam Wayang Bangsawan.

 

Cara bermain banyak diselingi nyanyian dan tarian yang diawali oleh bunyi gong sebagai isyarat lakon dimulai dan diiringi oleh gendang, biola dan sesekali musik pelengkap lain sebagai tambahan. Ia merupakan komposisi dalam tarian, nyanyian dan percakapan yang berpadu dengan menghidupkan watak untuk dilakonkan.  Dalam hal ini hadirnya teater bangsawan seperti Komedi Stambul dan Wayang Bangsawan memberi pengaruh yang sangat kuat pada perkembangan teater tradisonal Mendu dan merupakan arah perkenalan ke arah non tradisi. Pada periode transisi inilah teater ini mengalami transformasi dan perubahan khususnya dalam seni pemanggungan.

 

Dari penelitian dan literatur dapat dihimpun sebuah penjelasan bahwa sumber utama yang menjadi dasar lakon Mendu ini adalah cerita  hikayat tentang Jewa, jin dan putri-putri seperti disadur lakon Komidi Stambul dari hikayat 1001 malam epos atau cerita lama dan unsur cerita rakyat lokal. Kadangkala dicampur juga dengan keadaan kehidupan masyarakat setempat. Sementara musik adalah bagian integral dari pertunjukan ini, dimana naskah dan alur cerita dikisahkan oleh oleh Mahnijar (sutradara) secara lisan kepada para pelaku. Pementasan ini dilakukan di atas panggung dengan dekorasi yang sangat sederhana yaitu lukisan di atas kain atau triplek yang menggambarkan hutan, istana dan sebagainya selaras dengan seting cerita yang dibawakan.

 

Teater tradisi Mendu mempertimbangkan efek emosional yang akrabdan spontan, di mana antara pemain dan penonton walaupun terpisah  oleh panggung memiliki ciri keakraban yang saling respon sebagaimana ciri khas awal teater tradisional. dramaturgi pertunjukannya, ditandai oleh pergantian babak dan tertutupnya layar dalam beberapa adegan. jika dirunut pada mula sejarahnya, Mendu telah memberikan tanda bahasa dan kesejarahan yang memantulkan refleksi masyarakat yang ikut dihayati; misalnya tentang kepincangan kehidupan sehari-hari dalam bentuk kritik yang humoristik yang meliputi sejarah asal-usul, perkembangan, dan fungsi dalam masyarakatnya dengan tetap mengutamakan nilai-nilai keindahan moral dan ekspresi pertunjukan. Seperti yang nampak pada tokoh Dewa Mendu sebagai tokoh protagonis atau pun tokoh Raja Laksamalik tokoh antagonis yang dipertemukan dalam jalinan karakter dan ekspresi kontras. Dalam pertunjukan dan pengadegannya, tokoh-tokoh dalam Mendu ini dipertemukan dan dipertengkarkan.

 

Ditilik dalam sejarahnya, Mendu adalah media ekspresi dan refleksi untuk menggambarkan sebuah ujaran-ujaran tentang laku kebaikan dan keburukan yang tersirat dalam alur, rekaan lakon dan penggambaran watak, serta konvensi pembabakan di mana jalinan ceritanya berpadu dan bertumpu . Untuk mengkaji analisa perubaha, penulis membahas penafsiran plot dan cerita. Pertama aspek penceritaan ini  dimulai dengan setting kayangan Semandung Dewa Raja. Aspek artistika ini harus diselaraskan dengan nafas cerita yang melatari, tentang bagaimana artistik itu dibentuk, teknik pemeranan dielaborasi dan teknik penyampaian cerita itu dibentangkan ke dalam bentuk penafsiran dramatik. Ketiga aspek ini mesti diselaraskan sesuai dengan seting cerita sehingga aspek dramatiknya menjadi hidup. Setting pengadeganan dalam babak semenandung ini hendaknya digarap menarik karena ini merupakan babak awal untuk memancing emosi penonton. Jika dalam babak perkenalan ini sudah tercipta, maka untuk memvisualisasikan babak berikutnya akan mudah mengalir. Jadi kongkritnya babak pertama adalah sebagai babak penentu menariknya sebuah pertunjukan tradisi Mendu.

 

Semenandung Dewa Raja, Dewa Mendu dan Angkara Dewa adalah tokoh legenda yang memiliki legitimasi kedudukan terhormat dalam masyarakat tradisi. Untuk memerankan tokoh ini dalam sebuah panggung, tentu harus dilihat dalam kacamata tradisi di mana nilai-nilai tradisional ini terletak pada muatan budayanya seperti upacara, adapt istiadat dan lain-lainnya. Sebagai seni pertunjukan hal-hal yang berbau tradisi adalah syarat pertama yang menjadi fondasi penceritaan. Melihat dari struktur yang ada, aspek-aspek ritual sangat kuat di sini yaitu pada aspek upacara, aspek cerita, bentuk penyajian dan lakuan dramatik dan aspek artistik yang kesemuanya diselaraskan satu sama lain.

 

Dalam aspek upacara cerita Mendu senantiasa dimainkan dengan penuh pertimbangan. Secara teknis mementaskan peran dewa-dewa ini membutuhkan keselarasan antara laku dramatik dan lakD artistik pemeranannya. Dalam hal ini aspek pemerananlah yang memiliki porsi paling awal dalam kesejarahannya. Bagaimana memerankan Dewa Mendu dan Angkara Dewa dalam segala perwatakannya. Bagaimana pula mendesain anasir-anasir panggung di dalamnya. Menurut hemat penulis adegan pada babak awal ini sebaiknya dalam prosesi pertunjukannya harus memperhatikan struktur logika cerita. Pada adegan ini selayaknya diciptakan panggung yang mempunyai latar pemandangan hutan, bukit dan tanah terjal agar aspek penceritaan ini memiliki kolerasi yang padu antara aspek cerita dan pengadeganan. Hal ini akan menumbuhkan kesan pada penonton lewat dekorasi settingnya yang menarik.

 

Pada bangunan setting yang lain dekorasi kerajaan (baca : Langkadura) juga dapat ditarik sebuah setting yang menggambarkan suasana kerajaan. Aspek penokohan langkadura dan Siti Madewi dapat bermain apik di sini karena didukung pemandangan yang berlatar dekoratif seperti dekorasi Tasik Telaga Janggi. Apalagi dalam adegan ini banyak gradasi dan efek pemunculan menarik yaitu munculnya tokoh Siti Madewi dengan para dayang-dayangnya ditambah dengan adegan mistik penyihiran siti madewi yang menjelma gajah putih dalam sebuah komflik pribadi yang diciptakannya. Maka peran laksemalik dan sahabatnya pendekar bondan menjadi sebuah fotograf yang ekspresif. Pertengkaran kedua tokoh ini mengundang sebuah fraksi-fraksi psikologis yang menarik antara Langkadura dan Siti Madewi. Peristiwa kekecewaan dan dendam akan muncul di sini menjadi sebuah sentrum peristiwa yang saling menghidupkan. Kecamuk pikiran yang sedemikian dahsyat ini yang menjadi penyebab hidupnya suasana pemeranan.

 

Pada babak ketiga, gajah putih (baca : Siti Madewi) yang tengah meratapi nasibnya di dalam hutan ini menjadi adegan sedih yang tentu akan menjadi penawar sedapnya tontonan. Pukauan ini akan muncul kalau pemainnya memperagakannya dengan kesungguhan ditambah lagi munculnya kedua burung cacah (baca : Dewa Mendu dan Angkara Dewa menjelma burung) tentu akan menjadi jalinan cerita yang menarik karena terjadinya dialog, nyanyian dan tarian. Pertemuan ini tidak serta merta muncul dalam blocking dan movement yang berlangsung acak tapi dirancang dengan kesadaran panggung yang mempertimbangkan aspek-aspek penyutradaraan yang relevan dengan setting yang digagasnya.

 

Di sinilah aspek estetik penyutradaraan akan sangat berperan dalam menunjang aspek pemeranan setiap pemain selaras dengan perannya masing-masing. Ketika pertemuan ini berlangsung kemudian ditambah dengan prosesi penyembuhan terhadap siti madewi oleh dewa mendu adalah betapa peran-peran mereka membutuhkan tingkat proyeksi yang akurat seperti bagaimana dialog itu dihantar, bagaimana pula nyanyian dan unsur-unsur tetabuhan itu digemakan dan bagaimana pula rupa lampu dan artistic itu ditempatkan dalam setiap adegannya. Yang jelas antara aktor, penari dan pemusik dalam konsep seni pertunjukan sangat membutuhkan kerja ensamble yang kompak dan saling mengisi.

 

Dalam struktur cerita yang liris dramatik semacam ini maka jalinan peristiwa ke peristiwa yang lain menjadi sebuah adegan yang meloncat melalui tingkat kesadaran artistik pemainnya. Peristiwa komikal dan heroik diadaptasi dengan mempertimbangkan keleluasaan fisikal sempurna dan kelihaian aparatus ragawi yang multi ekspresi. Di samping penghayatan dan pernyataan ekspresi maka hal-hal lain yang menyangkut dengan olah tubuh dan vocal memang benar digarap melalui proyeksi yang tepat sasaran selaras dengan dramaturgi yang dianutnya. Siti madewi dan langkadura dalam adegan ini adalah tokoh yang harus dihidupkan dan dipertemukan. Ekspresi manja antara anak dan orang tua, ekspresi raja terhadap sikap kebangsawanannya merupakan sosok tipikal yang harus dimainkan dengan penuh kesungguhan. Seperti langkadura harus dipilih sosok gagah dan wibawa yang memiliki kebangsawanan dan siti madewi perawakan yang manis tutur budinya.

 

Prototipe  yang  bermunculan di sini di mana Siti Madewi dan ayahnya Raja Langkadura mengekspresikan kegembiraannya dengan penuh kebanggaan karena anaknya telah mendapatkan suami yang baik budi. Menyimak pengadeganan semacam ini, tentu seorang pemeran yang memainkan tokoh ini seyogyanya memerankan permainan yang benar-benar memperhatikan sosok tipikal dewa mendu, puteri cantik siti madewi dan langkadura sebagai raja bijaksana. Sebagai sutradara tentu ia harus mempertimbangkan peran dengan sosok gagah dan wibawa yang memiliki aura kebangsawanan. Misalnya seorang Raja dipilih sosok yang tinggi dan besar dan siti madewi dipilih yang berparas cantik dan lemah lembut.

 

Dalam adegan ini penulis nilai plot penceritaannya berjalan mengalir. Semua  memiliki struktur penceritaan yang mudah divisualkan ke dalam peranan. Perasaan sedih gembira dan duka nestapa menjadi catatan yang sangat menarik. Seorang sutradara sebelum mengarahkan permainan ini tentu ia harus meng-casting pemainnya yang sesuai dengan perannya. Hal ini untuk mendapatkan efek pemeranan yang sesuai dengan teks penceritaan. Pada lazimnya sebuah lakon akan menarik jika ceritanya memiliki bobot dan kualitas penceritaan yang bisa dipertanggung jawabkan. Seperti yang nampak pada cerita mendu ini dari awal sampai memliki efek penceritaan linear yang mudah jika divisualulkan ke dalam panggung proscenium atau dalam panggung arena. Semua tergantung pada bagaimana seorang master membesut ide-ide penceritaan ini menjadi menarik di atas panggung.

 

Sutradara harus benar-benar mempertimbangkan hal-hal teknis pemainnya dari mulai aspek pemeranannya sampai ke aspek dekorasi panggungnya. Kalau tidak struktur dramatiknya tidak akan terbangun. Seperti pada eksposisi (pengenalan), timbulnya komflik, komflik memuncak, klimaks dan pemecahannya adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam aspek-aspek pemeranan.Timbulnya komflik pribadi  yang terjadi pada diri Laksmalik ketika siti madewi yang berubah wujud menjadi manusia adalah unsur dramatik di mana pemerannya harus menampilkan ekspresi yang mewakili aspek penceritaan di dalamnya.

 

Dari semua rangkaian penceritaan yang ada di dalamnya harus digarap dengan detail terutama pada setting dan latar cerita, amanat dan tema di dalamnya.karena sejatinya, proses kerja sama yang terjadi dalam dunia teater dibagi dalam empat bagian dasar di mana semua seniman yang ikut campur di dalamnya mengambil peranan penting dalam menciptakan sebuah produksi yang ensemble (harmonis).

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler