Skip to Content

AYO SASTRA SUMUT, KITA BICARA POLITIK

Foto SIHALOHOLISTICK

Oleh: Yulhasni

(Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UMSU)

Terlalu mengenyampingkan ranah politik dalam sastra, pada sisi lain membuat pelbagai realitas rakyat tak tertampung. Meski wacana sastra dan politik diskursus yang telah usang, akan tetapi itu akan tetap ditagih pembaca sebagai wujud tanggung jawab pengarang. Tentu saja, tidak serta-merta semua pengarang menyetujui konsep ini.

Bicara soal ini, tentu saja tidak bisa mengabadikan konsep “Sastra kiri”, atau sastra Marxis, sebuah gerakan di awal abad ke-20, yakni realisme sosialis. Itulah sebuah periode ketika Maxim Gorki berdiri sebagai pelopornya.
Selain di Rusia, gerakan ini berpengaruh luas, di antaranya di daratan Cina dan Indonesia, yang berawal dari penolakan terhadap sastra (dan seni pada umumnya) “borjuis”, sebagaimana Karl Marx menolak sistem kapitalisme. Sastra realisme sosialis lebih menekankan pada “visi” ketimbang “bentuk”. Sastra harus merupakan representasi kondisi obyektif masyarakat yang diasingkan oleh sistem kapitalisme yang menindas. Sastra realisme sosialis atau sastra kiri, berempati pada derita rakyat melarat, pada mereka yang disampahkan oleh masyarakat dan yang kehidupannya dipojokkan, misalnya pencuri, pelacur dan buruh.

Diskursus sastra dan politik, saja tidak terlepas dari sejarah pertempuran Lekra dan Manikebu pun pernah mengisi sejarah percaturan konsep karya sastra. Manifes adalah pro-kemanusiaan yang begitu universal, sehingga enggan menjadikan seni semata sebagai medium eksploitasi ideologi dan politik, lebih suka pada kebebasan karya termasuk bentuk bahasa, pencarian struktur. Karyanya pun lebih bicara tentang kemanusiaan yang tak terjebak politik partisan, mengeksplorasi bahasa, permainan struktur dan bereksperimen bentuk penyajian teks. Karya yang berada di dalam partai, seperti Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN, yang berafiliasi dalam naungan Partai Nasional Indonesia atau PNI), membawa gagasan organisasinya, peduli pada kelompok tertentu. Alhasil isi karya para seniman LKN, misalnya, jadi bernuansa slogan dan perjuangan sosial dan kerap disindir sebagai pamflet politik.

Barangkali saja diskursus itu tidak akan pernah berakhir meski dengan bentuk dan cara yang berbeda. Inilah yang saya maksud, sastra tidak terbebas dengan politik. Sayangnya, jika sastra diarahkan ke ranah politik, kecurigaan pun akan muncul dengan sendirinya. Dalam bentuk kreativitas tingkat lokal Sumatera Utara, kita pun pantas menanyakan, apakah kreativitas yang berkembang pesat di bidang sastra juga diikuti dengan keinginan untuk bicara politik?

Dalam perbendaharaan khazanah sastra Sumatera Utara, memang kita perlu menggali sejarah perkembangan arah dan genre apa yang menjadi model penggarapan dari setiap tahunnya di Sumut. Hal ini akan mendapatkan sebuah kepastian situasi apa yang telah terjadi di daerah ini pada masa-masa sebelumnya. Pada beberapa literatur yang ada, khazanah sastra Sumut tentu saja telah berhasil menjadi bagian penting dari khazanah sastra di Indonesia. Jika dikaitkan dengan peta genre sastra dalam konteks politik, sastra Sumatera Utara juga.

Pada saat sekarang perkembangan kreativitas sastra di daerah ini mengalami situasi yang cukup menggembirakan. Hal itu misalnya ditandai dengan makin ramainya pembicaraan, penerbitan dan pertemuan sastra di daerah ini. Bahkan pertumbuhan kelompok penciptaan sastra di Sumut ibarat jamur di musim hujan. Apakah dalam perkembangan yang menggembirakan, juga diikuti dengan makin kuatnya tema-tema politik diketengahkan?

Sering terjadi kekeliruan dalam konsep kepengarangan tentang bagaimana menerjemahkan politik ke dalam sastra. Sebagian besar pengarang berpikiran, kata-kata dalam teks sastra yang dituangkan pengarang ke dalam karyanya, meski dengan bahasa keberpihakan kepada rakyat, telah dianggap sebagai bentuk sastra yang berpolitik. Seringkali pengarang bangga dengan berkata, ‘’saya telah berpihak kepada rakyat.’’ Bahkan teks puisi yang bicara pada level terendah kasta ekonomi dinilai sebagai bentuk sastra yang telah berpolitik.

Tentu saja pemahaman ini perlu diluruskan. Politik dalam sastra tidak hanya dimanifestasikan lewat teks semata. Barangkali konsep ini yang sering berkembang dalam kreativitas sastra di Sumut ini, sehingga kita amat jarang mendapatkan pengarang yang sesuai dengan teks yang dilahirkannya. Salah satu indikator yang bisa dijadikan patokan, misalnya, apakah berbagai ketimpangan sosial yang terjadi di daerah ini menjadi keprihatinan sastrawan di Sumut?
Jika pertanyaan dialamatkan kepada sastrawan tentang posisi mereka saat berbagai ketimpangan terjadi, mereka selalu berkata, tanggung jawab pengarang hanya sebatas teks sastra. Mereka berpikir, teks sastra harus terbebas dari kepentingan apapun. Pada bagian lain pengarang selalu menuntut kepada pembaca agar meminati karya yang mereka ciptakan. Kenyataan ini tentu saja memprihatinkan.

Kita memang harus realistis mencermati tumbuh kembangnya kreativitas sastra di Sumut. Banyaknya karya yang dihasilkan oleh sekian banyak kelompok yang lahir tentu saja tidak serta merta disikapi sebagai gejala pertumbuhan yang menggembirakan semata tanpa melihat konsep dan genre yang mereka tawarkan. Sejatinya, genre politik sebagai bentuk kreativitas memberi peluang tersendiri bagi sastrawan di daerah ini untuk mendapat tempat di hati masyarakat pembacanya. Kita tidak menginginkan, sastrawan di Sumut ini seperti katak dalam tempurung: merasa gagah di komunitasnya sendiri, tetapi tak pernah dipandang apapun oleh masyarakat. Saya mengajak sastrawan di daerah ini, ayo bicara politik. Tidak hanya sebagai teks, tetapi juga dalam tindakan yang nyata.

Tulisan ini pernah dipublikasikan di Harian Analisa (Medan), 21 Agustus 2011.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler