Skip to Content

Cabe-Cabean: Totalitas Encep dalam Merawat Bahasa

Foto encep abdullah

Oleh Riki Utomi

 

Bahasa merupakan sarana komunikasi paling vital bagi manusia. Tanpa bahasa manusia tidak dapat melaksanakan keinginannya. Sudah semestinya segala bentuk aktivitas itu merujuk kepada bahasa dalam rangka melaksanakan apa yang menjadi niat dalam benak penggunanya. Maka, untuk itulah manusia perlu merawatnya. Bahasa yang dirawat (baca: dijaga) itu akan timbul keajegan (kemudahan) dalam berkomunikasi antarmanusia yang dapat membuat segalanya lebih efektif.

Tulisan sederhana ini bermaksud semacam apresiasi tentang perihal bahasa (bahasa Indonesia) dari buku berjudul Cabe-Cabean. Buku yang langsung saya dapatkan dari penulisnya ini berjudul unik dan tampak sedikit terdengar nyeleneh, namun  sebenarnya sungguh kaya akan bentuk “kerisauan” penulisnya, yaitu Encep Abdullah. Tidak banyak orang yang tertarik bahkan teguh pendirian dalam mengulas tentang bahasa; mengolahnya dengan berpikir semalam suntuk untuk menjadi tulisan yang memikat dan membuat pembaca sadar akan hakikat bahasa itu. Encep dalam hal ini telah melakukannya dengan penuh semangat. Dia tidak sekadar memaparkan apa itu bahasa, tetapi lebih jauh—dan  menurut saya yang menjadi urgen dari tulisannya itu—juga melihat fenomena yang terjadi di sekeliling baik di lingkungannya, di jalan-jalan, di kendaraan, di ruang tunggu, di papan iklan/reklame, di warung-warung, di bungkus makanan, di televisi atau dimanapun tentang berbagai faktor penyimpangan bahasa yang terjadi karena banyaknya penyimpangan dalam penggunaannya. Buku ini menjadi memikat karena menyajikan berbagai hal unik tentang fenomena bahasa yang—bagi orang lain—barangkali dianggap biasa saja, tapi sebenarnya sebuah masalah serius yang bisa berakibat fatal dalam berkomunikasi.

Menelisik ke belakang, dalam pikiran orang awam mengatakan bahasa bukanlah sesuatu yang dipermasalahkan. Dalam hal ini mereka memandang bahwa bahasa itu bukan sesuatu yang istimewa. Dengan prinsip “asal orang paham” maka segala sesuatu bisa berjalan apa adanya. Setidaknya hal itu bolehlah dianggap wajar karena secara kasat mata memang tidak menimbulkan kesan masalah, dan bahasa juga bukan untuk diperdebatkan dalam berkomunikasi. Tapi siapa sangka, kalau hal-hal itu sejatinya juga dapat menjadi sebuah kecemasan bagi kita yang sadar? Dan adakalanya perdebatan itu timbul dan mencuat ke tengah-tengah kita akibat penggunaan bahasa yang kacau tersebut. Perlu kita perhatikan dengan saksama ternyata tanpa kita sadari banyak telah terjadi fenomena dalam penggunaan bahasa itu oleh kita sendiri; terlepas dari ketidaktahuan kita ataupun sebenarnya kita ketahui, namun anehnya tidak kita hiraukan hingga menimbulkan kesan yang tidak bijak.

Penggunaan bahasa (Indonesia) oleh masyarakat kita kenyataannya banyak ragam. Keragaman tersebut dapat dilihat dari penyampaian-penyampaian bahasa tersebut, apakah dari bentuk dialek (logat) yang dipengaruhi bahasa daerah masing-masing, pola pikir penggunanya dalam menyusun kalimat, dan penggunaan bentuk baku dan tidak baku dari kata-kata yang dipakai dalam menyampaikan kalimat tersebut. Hal ini berpengaruh pada “penyimpangan” bahasa. Hasan Alwi dalam sebuah tulisannya mengatakan, secara umum pemaikai bahasa Indonesia perlu kita bedakan dalam tiga kelompok, yaitu kelompok pakar (ahli bahasa), kelompok profesi, dan kelompok masyarakat umum. Menjunjung bahasa persatuan bagi ketiga kelompok itu memiliki bobot makna yang tidak sama.

Lanjut Alwi, bagi para ahli (pakar bahasa) hal itu berarti mengembangkan bahasa Indonesia menjadi sarana komunikasi yang mantap untuk berbagai keperluan komunikasi sehingga bahasa Indonesia tetap dapat digunakan untuk mengungkapkan konsep apapun, mulai dari yang singkat dan sederhana sampai kepada yang rumit, panjang, dan kompleks. Bagi kelompok profesi seperti guru, wartawan, penulis, butir ketiga Sumpah Pemuda itu berarti menggunakan bahasa Indonesia seefektif mungkin untuk keperluan melaksanakan misi dan mencapai tujuan keprofesiannya. Sedangkan tingkat kemampuan dan keterampilan berbahasa kelompok ketiga, yakni masyarakat umum, turut dipengaruhi dan ditentukan oleh perilaku berbahasa kelompok profesi. Perlu ditambahkan, bahwa cara berbahasa masyarakat umum sedikit banyak diwarnai pula oleh perilaku berbahasa kelompok panutan lain seperti para pejabat negara, tokoh agama, dan pemuka masyarakat.

Gambaran di atas menunjukkan bahwa bahasa hadir dengan situasi dan kondisi yang berbeda-beda ketika direaksikan oleh para penutur hingga akan lahir beragam bahasa yang didengar atau dibaca. Bahasa yang muncul di tengah-tengah masyarakat pada prinsipnya hasil sebuah “produk” dari ucapan orang-orang yang—siapapun dia—dianggap berpengaruh (tokoh) dalam segala bidang; apakah politisi atau negawaran, agamawan, para motivator, pengusaha sukses, cedekiawan (budayawan, akademisi) juga barangkali terutama kaum selebriti. Selain itu produk tersebut juga banyak muncul dari pihak jurnalis yang menggunakan bahasa-bahasa tersebut seefektif mungkin dalam menyesuaikan ruang media cetak koran yang sempit. Maka, muncullah istilah yang kadang menjadi populer dan kadang juga kepopuleran itu bertahan lama atau sebentar saja setelah muncul istilah populer yang baru.

Selain itu, produk bahasa dapat pula muncul dari kaum anak muda (para remaja atau pemuda) yang menganggap diri mereka “gaul”. Lihatlah, begitu gencar muncul istilah-istilah yang kita dengar apakah dalam penayangan sinetron, iklan media masa cetak dan elektronik atau juga di papan-papan reklame yang sebenarnya istilah itu telah mampu “meruntuhkan” keutuhan bahasa Indonesia. Namun bagi mereka sebagai pengguna—mirisnya—merasa bangga dan menganggap hal itu suatu kepatutan karena dianggap kreativitas. Katakanlah seperti istilah “cabe-cabean” yang juga menjadi ulasan oleh Encep dalam bukunya ini.

Totalitas Encep Abdullah

Buku berjudul Cabe-Cabean ini memuat sejumlah tulisan Encep seputar masalah bahasa Indonesia yang sebelumnya tersebar di sejumlah media massa cetak, khusunya di kolom Wisata Bahasa Harian Pikiran Rakyat. Dari sejumlah tulisannya tersebut, dapat saya gambarkan bahwa Encep seorang yang totalitas dalam mengulas masalah bahasa. Baginya bahasa yang sebagai alat komunikasi itu harus di”benahi” secara serius dan pembenahan itu gencar ingin ia sampaikan kepada orang lain agar kembali ke jalan yang benar atau setidaknya mengupayakan agar orang lain paham dengan ketimpangan-ketimpangan yang ada selama ini.

Barangkali tidak berlebihan kalau saya katakan Encep salah seorang “perawat” bahasa.  Mengapa mesti disebut perawat? Sebab, Encep ibarat seorang perawat yang merawat pasien yang sedang sakit karena abai dalam menjaga kesehatannya, untuk itulah perlu dirawat agar kesehatan si pasien kembali pulih seperti sedia kala. Begitu pula dalam hal ini, lewat tulisan-tulisan yang terangkum dalam buku Cabe-Cabean ini Encep juga berusaha “merawat” bahasa yang nyatanya—dalam pengamatannya—banyak terjadi kerusakan. Maka hasil pengamatannya itu dirawat dengan apik dalam buku Cabe-Cabean ini yang banyak mengetengahkan perihal kerancuan, ketimpangan, dan kecerobohan para pengguna bahasa tersebut. Kita—secara tak sadar—barangkali telah terjerumus ke dalam kebablasan dalam berbahasa sehari-hari tanpa peduli secuilpun untuk kritis dalam penggunaan bahasa yang kita lakukan. Lihatlah misalnya kerancuan-kerancuan itu tampak jelas oleh pandangan mata kita atau pendengaran kita ketika kita menyimak. Namun karena kurangnya pengetahuan tentang bahasa itu sendiri membuat kita tidak ambil peduli; bahkan untuk diri kita sendiripun.

Hal itu dapat kita telisik dari judul “Persoalan Aku dan Saya”. Di sini Encep mengatakan bahwa kita harus berhati-hati dalam bercakap dengan mitra tutur menggunakan kata ganti aku atau saya, hal ini harus kita pertimbangkan dengan melihat dulu siapa lawan bicara yang kita ajak berbicara tersebut. Menurut Encep, setelah mencermatinya, pronomina aku dan saya ternyata tidak boleh sembarangan digunakan. Maknanya sama, tetapi “rasa”nya berbeda. Beberapa kali saya (baca: Encep) sempat terpeleset menggunakan pronomina ini. Beberapa kali juga saya mengalami tekanan batin hanya karena persoalan salah memilih menggunakan kata ganti ini. Dalam bahasan ini Encep mempersoalkan rasa bahasa yang dituturkan oleh seseorang bahwa pronomina aku dan saya sejatinya memiliki tempat yang tidak sama dalam penuturan.

Berikutnya tulisan Encep yang berjudul “Keberengsekan Vokal E dan I” merupakan sebuah ulasan menarik yang menyentuh sekaligus menggugah. Mengapa mesti berengsek? Disini, Encep memiliki alasan yang dapat kita mengerti bahwa pada kenyataannya dalam masyarakat tidak ada menggunakan ragam yang dianggap benar secara kaidah. Disini kata yang secara kaidah sudah tertera dalam kamus (KBBI), tapi nyatanya, masyarakat malah menganggap yang biasa mereka gunakan itulah yang benar karena kata-kata itu yang biasa mereka ucapkan bahkan dianggap lazim dalam penggunaannya. Lebih lanjut, Encep mengatakan dalam tulisannya, mengapa saya katakan berengsek pada vocal e dan i ini? Coba Anda perhatikan orang-orang sekitar, mereka pasti lebih mengenal kata-kata berikut: praktek, diskotik, atlit, personil, konkrit, ekstrim, dan apotik. Ternyata bila merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bentuk kata yang baku adalah praktik, diskotek, atlet, personel, konkret, ekstrem, dan apotek. Coba Anda perhatikan juga, adakah orang yang berkata begini, “Saya mau ke diskotek, Bung.” (dengan vocal e). Mungkin orang yang ditanya atau mitra tutur Anda akan mengejek dan tertawa terbahak-bahak, “Apa, diskotek? Diskotik kali, Mas!”. Inilah sebuah fenomena bahasa yang terjadi dalam masyarakat kita selama ini.

Selanjutnya, tulisan berjudul “Doktrin Bahasa Nenek Moyang” Encep menyorot kekeliruan yang terjadi dalam penggunaan bahasa oleh masyarakat atau kita sendiri. Kata Encep, tanpa disadari banyak kekeliruan yang ujarkan dalam kehidupan sehari-hari. Kadang-kadang tak sengaja saya pun ikut tersesat menggunakan ketertiban itu. Semisal, kita sering berujar: “Saya PP (Pulang-Pergi) dari rumah ke kampus,” “Ia sudah sering keluar-masuk penjara,” “Saya ke Jakarta naik busway,” “AC (a-se)-nya dingin,” “Pak, saya izin ke WC (we-se),” dan lain-lain.

Dalam hal di atas, dalam gambaran Encep, ada semacam “doktrin” yang dibuat oleh nenek moyang bahwa pengucapan itulah yang benar. Hingga kita tak sadar (juga tak kritis) terhadap ujaran-ujaran yang telah kita terima mentah-mentah itu hingga sampai ke anak cucu. Lanjut Encep—dari yang didapatkannya lewat pengalaman—saya merasakan ada keasingan diri ketika menganjurkan kalimat-kalimat tersebut dengan benar (yang tidak biasa oarng lain ujarkan). Ini sudah lumrah terjadi. Saya pun kadang-kadang ditertawakan oleh kawan-kawan dan murid-murid saya di sekolah. Seorang siswa berkata begini, “Pak, kok kayak anak kecil, sih AC (a-ce), bukan AC (a-se). Tidak enak, Pak!” saya jelaskan bahwa AC itu singkatan asing, yakni air conditioning. Bila mau mengujarkan dengan bahasa Inggris seharusnya (ei-si) bukan AC (a-se). Begitupun dengan WC, bukan dibaca (we-se), melainkan (we-ce). Tidak bisa digabung-gabungkan ejaan bahasa Inggris dengan bahasa Indonesia karena pola pelafalannya berbeda. Akhirnya saya leluconkan lagi, “Kalau kalian mau pakai bahasa Inggris, begini, “Pak, permisi mau ke doublju-si” murid-murid pun tertawa.

Dari sebagian ulasan Encep yang tertera dalam buku Cabe-Cabean ini terasa adanya kenyataan bahwa pada umumnya kita (baca: masyarakat)—sebagian besar—masih belum sadar mana yang baik dan benar dalam menggunakan bahasa nasionalnya sendiri yaitu bahasa Indonesia. Keironisan itu begitu nyata ketika kita temukan dalam kehidupan sehari-hari di dalam masyarakat yang menganggap bahwa penggunaan bahasa Indonesia sesuatu yang enteng tanpa mempertimbangkan kaidahnya. Barangkali juga kaidah itu bagi masyarakat hanya diperuntukkan  bagi mereka yang belajar di sekolah atau di kampus saja. Ini sebenarnya sebuah ketimpangan yang parah, sebab siapapun dia kalau menganggap enteng bahasa nasional ini sebenarnya telah “menodai” anugerah Tuhan yang telah menganugerahi bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu bangsa.

Semestinya siapapun kita harus peduli akan bahasa nasional ini. Peduli dengan memberi perhatian pada penggunaannya baik lisan maupun tulisan. Apalagi bagi seorang yang telah mengenyam bangku pendidikan tinggi, selayaknya menempatkan kesadaran yang baik dalam menggunakan bahasa Indonesia. Mengapa? Karena dengan kesadaran itu membuat ada tindakan nyata yang dapat berpengaruh positif bagi penggunanya, yang akan terus tumbuh menjadi jati diri manusia Indonesia. Di samping itu pula akan membuat sikap sadar akan baik dan benar dalam penggunaannya. Bahasa yang baik adalah bahasa yang mempunyai nilai rasa dan sesuai dengan situasi pemakainya, sedang bahasa yang benar adalah bahasa yang menerapkan kaidah dengan konsisten (Zainal dan Amran, 2002). Untuk itu, semoga kita masyarakat Indonesia terus peduli dalam merawat bahasa nasional ini, semoga nantinya akan terus ada estafet kepenulisan dalam konteks yang sama seperti halnya Encep Abdullah yang telah melakukan terobosan yang baik dalam mengulas fenomena bahasa Indonesia. Terakhir, ada baiknya kita cermati, pahami, dan renungkan—seperti juga yang Encep Abdullah sering baca—sebuah slogan yang terdapat di sebuah kantor Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa di kotanya: “Ketertiban berbahasa mencerminkan keteraturan berpikir dan bertindak.”  (*)

Selatpanjang, 28 Desember 2016

 

 

Riki Utomi pegiat sastra. Alumnus FKIP Universitas Islam Riau  Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Buku fiksinya Mata Empat (2013) dan Sebuah Wajah di Roti Panggang (2015). Tulisannya pernah tersiar di Koran Tempo, Indo Pos, Pikiran Rakyat, Lampung Post, Banjarmasin Post, Suara Merdeka, Inilah Koran, Serambi Indonesia, Padang Ekspres, Rakyat Sumbar, Sumut Pos, Babel Pos, Kendari Pos, Riau Pos, Batam Pos, Haluan Kepri, Haluan Riau, Metro Riau, Koran Riau, Majalah Sabili, Buletin Jejak. Tahun 2015 mendapatkan penghargaan Acarya Sastra dari Pusat Bahasa Jakarta dan 2016 penghargaan Pemangku Seni Sastra dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Prov. Riau. Pernah diundang dalam Pertemuan Penyair Serumpun (Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam). Pernah memenangi juara pertama lomba cerpen nasional dari Lembaga Pers UNRI dan Juara 2 lomba penulisan esai dari Fakultas Ilmu Budaya UNILAK.  Sedang menyiapkan kumpulan esai. Tinggal di Selatpanjang, Riau.

 

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler