Skip to Content

DARI KAJI KE SENI - KRITIK SASTRA DI ERA MATINYA KRITIKUS

Foto SIHALOHOLISTICK

Oleh: Arif Bagus Prasetyo

Jumat, 01 April 2011 12:16

 

Temu Sastrawan Indonesia (TSI) III di Kota Tanjungpinang bertema “Sastra Indonesia Mutakhir: Kritik dan Keragaman”. Rumusan latar-belakang tema ini dibuka dengan pernyataan tentang “krisis kritik sastra”:

Sastra Indonesia mutakhir tumbuh nyaris tanpa kritik. Pernyataan ini, dengan berbagai variasinya, sudah sering kita dengar di meja seminar maupun lembar sastra koran edisi Ahad. Bisa jadi, ini terlampau menyederhanakan. Sebab pada kenyataannya masih ada satu-dua kritik sastra yang ditulis, baik oleh kalangan akademisi sastra maupun oleh penulis sastra yang merangkap sebagai “kritikus”. Tetapi jika kita mengharapkan ada keseimbangan antara produksi karya sastra dan produksi kritik sastra, pernyataan itu memang benar adanya. Artinya, kita memerlukan lebih banyak lagi kritik sastra untuk mengimbangi pertumbuhan karya sastra yang kian menyubur akhir-akhir ini. Sejenis kritik sastra yang bukan melulu sebagai juru kampanye bagi si pengarang, tetapi sebagai lawan tanding baginya dan karyanya.

 Meski pernyataan prihatin tersebut bukan kabar baru, siapakah sesungguhnya yang percaya bahwa memang telah dan masih terjadi krisis kritik sastra di negeri kita? Sejauh pantauan saya, pihak yang suka meniupkan berita tentang krisis kritik sastra itu kebanyakan, kalau bukan seluruhnya, adalah para sastrawan atau penulis sastra di luar tembok akademis. Sementara di kalangan akademisi sastra, sangat mungkin isu krisis kritik sastra dipandang sebagai sekadar gunjingan tak berdasar. Tak ada krisis kritik sastra, atau kalau pun ada, situasinya tidak parah-parah amat, kurang-lebih demikanlah yang diyakini oleh akademisi sastra, misalnya Maman S. Mahayana. Menjawab pertanyaan wartawan Jurnal Bogor, Dony P. Herwanto, dosen sastra Indonesia di Universitas Indonesia ini menolak tegas sinyalemen lawas tentang krisis kritik sastra Indonesia. Kata Maman:

 Jika masih ada yang beranggapan bahwa kritik sastra (Indonesia) mengalami krisis, jawabannya ada tiga kemungkinan (1) dia tidak memahami hakikat dan kategori kritik sastra, (2) dia tidak membaca sejarah, dan (3) tidak memahami kritik sastra sekaligus tidak tahu sejarah dan sekadar cari sensasi yang sebenarnya sudah sangat basi. Isu tentang kritik sastra mengalami krisis, itu isu yang - seperti tadi saya katakan - sangat basi, usang, dan kedaluwarsa. Lihatlah sejak awal tahun 1930-an, berapa banyak esai sastra, resensi buku sastra, biografi sastrawan, ulasan atas karya sastra. Itu semua adalah bagian dari kritik sastra.[1]

Pandangan senada, meski tidak kelewat optimis seperti Maman, dikemukakan oleh Anton Suparyanto, pengajar di Universitas Widya Dharma Klaten. Ia mengakui ada masalah dengan kesehatan kritik sastra kita secara umum, tapi tak urung menyebut belasan jurnal kampus dan media terbitan lembaga formal bahasa/sastra di Indonesia yang “secara rutin eksis menawarkan kritik sastra yang cenderung ilmiah ataupun ilmiah populer”.[2]

Lazimnya, arena bermain kritik sastra terbagi dua: akademis dan non-akademis. Ada kritik sastra akademis dan ada kritik sastra non-akademis. Keduanya sampai hari ini memang terus diproduksi, tapi juga terus dipandang bermasalah. Kritik sastra akademis katanya sulit diakses kalangan di luar kampus, pembahasannya formal, kering, kaku, mengintelektualkan sastra, mengabaikan spirit kreatif sastra, memperbudak sastra demi teori dsb. Kritik sastra non-akademis konon cenderung dangkal, picik, bias, memanjakan kata-hati, menyesatkan dsb. Kita semua sudah tahu cerita ini. Pendek kata, ada suasana kebatinan bahwa, meminjam ungkapan Saut Situmorang, “dunia sastra Indonesia, mulai sejak zaman Balai Pustaka … hanya mengenal satu ‘krisis’ saja dan itu masih terus berlangsung sampai hari ini, yaitu krisis kritik(us) sastra”.[3]

Selain kualitasnya yang dirasa kurang, rendahnya kuantitas kritik sastra juga mendasari munculnya diagnosa umum tentang krisis kritik sastra Indonesia. “Kita memerlukan lebih banyak lagi kritik sastra untuk mengimbangi pertumbuhan karya sastra yang kian menyubur akhir-akhir ini,” demikian latar-belakang tema TSI III seperti dikutip di atas. Ini pula yang melatarbelakangi penyelenggaraan sayembara kritik sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada 2005, 2006 dan 2009. Saya kutip pernyataan Zen Hae selaku Ketua Komite Sastra DKJ 2006-2009:

Sudah menjadi rahasia umum, suburnya penciptaan dan apresiasi sastra mutakhir ini belum dapat diimbangi dengan telaah sastra yang memadai, apalagi untuk dapat berkembang menjadi tradisi pemikiran pelbagai wacana sastra. Telaah sastra masih menjadi barang langka. Jika pun tumbuh, ia hanya menjadi kegiatan akademis yang sangat terbatas jangkauannya. Di saat yang sama kita juga tidak memiliki majalah atau jurnal yang benar-benar menyediakan dirinya untuk telaah sastra. Adapun lembar sastra di koran-koran hanya bisa menyediakan ruang yang sangat terbatas untuk keluasan dan kedalaman yang dibutuhkan sebuah telaah. Ya, meminjam jargon Thomas Robert Malthus, telaah sastra tumbuh menurut “deret hitung”, karya sastra berkembang menurut “deret ukur”.[4]

Di tengah isu krisis kritik sastra, hasil rangkaian sayembara kritik sastra DKJ justru menunjukkan adanya perkembangan positif, bahkan mungkin kemajuan, di lapangan kritik sastra kita. Kajian-kajian sastra yang menjadi finalis sayembara pada 2006 dan 2009 membentangkan keragaman objek, keanekaan cara pandang dan kekayaan metode penelaahan – suatu panorama diskursif yang saya yakin tidak pernah muncul dengan sedemikian mengesankan di dunia kritik sastra kita pada abad lampau. Para pemenangnya pun berasal dari kalangan akademis dan non-akademis. Kajian canggih dan rinci yang menjuarai Sayembara Telaah DKJ 2009, karya Bramantio, dosen Universitas Airlangga Surabaya, misalnya, secara tidak langsung menyangkal teguran keras Saut Situmorang kepada para dosen sastra yang suatu ketika dianggapnya menunjukkan prestasi “sangat memalukan” karena “mutu analisis sastranya tidak bisa memuaskan kritikus asing seperti A. Teeuw”.[5] Telaah Bramantio yang men-decoding novel Cala Ibi Nukila Amal tersebut sekaligus membantah cibiran Richard Oh bahwa “tak satu pun kritikus yang dapat mengungkapkan secara konkret apa sebenarnya yang ingin disampaikan novel ini [Cala Ibi]”.[6]

Betapa pun, mendung krisis kritik sastra masih dirasakan pekat merundung ranah kesusastraan kita. Tetapi mari kita renungkan: Tanpa diimbangi kritik sastra yang sehat secara kuantitas maupun kualitas, apakah “pertumbuhan karya sastra yang kian menyubur akhir-akhir ini” lantas serupa timbunan lemak yang berbahaya bagi kesehatan kesusastraan kita? Apakah ketimpangan antara produksi kritik sastra dan produksi karya sastra menimbulkan semacam inflasi yang memurukkan ekonomi kesusastraan nasional? Tanpa kritik sastra, benarkah karya sastra akan hidup kesepian, iseng sendiri dan mati meranggas? Saya yakin, para sastrawan akan menjawab lantang: Tidak, kritik sastra boleh sakit atau mati, tapi gairah bersastra kami terus menyala, iklim usaha sastra kita tetap sehat-sehat saja dan prospeknya kian cerah. Kritik sastra kita sudah lama divonis mengidap krisis, tapi karya sastra kita tak pernah krisis, sebaliknya bahkan kian semarak saja, terlebih dengan terbukanya medan publikasi alternatif di internet.

Jangan-jangan, para pengarang dan publik sastra kita – diam-diam atau tanpa disadari – sudah tak butuh kritik sastra. Lihatlah, kritik sastra konon perlu diproduksi, tapi ternyata tidak harus dikonsumsi. Kadang-kadang kritik sastra dicicipi untuk sekadar diludahkan di muka umum alias dicemooh belaka. Di tengah lautan produsen dan konsumen karya sastra Indonesia di masa kini, berapakah pembaca buku kritik sastra yang jarang-jarang diterbitkan itu? Kalau mengacu kepada angka penjualan buku Epifenomenon: Telaah Sastra Terpilih (2005), maka jawabannya jelas: sedikit sekali. Buku kritik sastra adalah langka, dan peminatnya tak kalah langka.

Jika ada krisis kritik sastra, berarti produksi kritik sastra perlu didorong dan disemangati. Anehnya, ikhtiar menulis kritik sastra, betapa pun terbatasnya upaya itu, mudah sekali diremehkan atau bahkan dicaci-maki. Betapa sering saya dengar bahwa kritik sastra X sok ilmiah, pseudo ini-itu, mentah, kering, terlalu dangkal dan gampangan, terlampau ruwet dan bikin pusing, tuna metode analisis atau over-filosofis; bahwa kritikus sastra Y sok pintar, pamer hafalan, pengutip jargon dan pemulung teori belaka, malas menyelami karya atau kelewat berlebihan menafsir karya, penuh prasangka, mengutamakan perkoncoan dan perkubuan, tukang memperbudak sastra demi interest non-sastra, tukang jagal pencincang karya, tukang lap yang “melulu sebagai juru kampanye bagi si pengarang” dsb.

Kadang saya merasa bahwa di tengah paceklik kritik sastra, kritik terhadap kritik sastra seringkali lebih pedas daripada kritik terhadap karya sastra. Bagaimana jika orang makin malas menulis kritik sastra? Jika kritik sastra lenyap dan kritikus sastra punah, apakah masyarakat sastra akan merasa rugi dan kehilangan? Betulkah kita butuh kritik sastra dan kritikus sastra?

 

ERA KEMATIAN KRITIKUS

 Kritikus sudah mati, kata Ronan McDonald dalam The Death of the Critic.[7] Era kritikus sebagai penentu selera publik dan konsumsi kultural telah berlalu. Dulu, khususnya pada masa puncak Modernisme pada abad 20, kritikus seni (termasuk kritikus sastra) menduduki peran hierarkhis sebagai figur yang dipandang lebih tahu tentang seni daripada orang kebanyakan, sosok panutan yang pendapat atau penafsirannya diyakini berbobot istimewa. Pada era posmodern pada abad 21 sekarang, aspek hierarkhis tersebut kian pudar ditelan perubahan besar dalam relasi sosial dan pergeseran sikap masyarakat terhadap nilai dan penilaian seni. Kritikus bukan lagi ia yang berkuasa menentukan ukuran mutu atau nilai seni dan mengarahkan perhatian dan apresiasi khalayak ramai terhadap suatu kreasi artistik. Tak ada lagi kritikus seni yang wibawanya mampu membaptis prestasi seniman, seperti Clement Greenberg terhadap Jackson Pollock, John Ruskin terhadap Turner, Kenneth Tynan dan Harold Hobson terhadap drama “Menunggu Godot” Samuel Beckett.[8] (Bisa kita tambahkan: H. B. Jassin terhadap Chairil Anwar, Dami N. Toda terhadap Sutardji Calzoum Bachri.)

Kini palu penilaian seni telah menyebar, tak lagi berada dalam genggaman kritikus semata. Pemirsa/pembaca juga berkuasa menilai karya, tak jarang bahkan lebih berwibawa daripada kritikus atau pakar seni. Peran dan otoritas kritikus sebagai penentu nilai artistik telah diambil-alih oleh khalayak umum. Khalayak yang manakah itu? McDonald menunjuk klub buku, juri penghargaan Booker, blogger dan kaum terpelajar secara umum. Kita bisa menambahkan: kelompok diskusi pembaca, juri kompetisi sastra dan seni rupa, selebriti atau sastrawan senior yang menulis endorsement atau blurb, pengguna Facebook atau Twitter yang mengetik komentar pendek atau mengklik tanda jempol, kolektor, pedagang benda seni (art dealer) dsb. Kalau Anda butuh panduan beli buku, baca saja komentar pembaca di situs Amazon, atau perhatikan jumlah tanda bintang merah di situs Goodreads. Mau beli lukisan, tapi takut salah pilih? Mintalah rekomendasi kolektor atau kolekdol (kolektor merangkap pedagang). Di ranah seni rupa kontemporer internasional, ajang bergengsi Biennale dan Triennale yang dikendalikan kurator-kritikus kian tersaingi Art Fair, yang tentu saja dikontrol kaum saudagar.[9] Di bidang musik pun, “zaman keemasan penerbitan majalah musik dan dominasi kritikusnya pada pertengahan abad 20 telah berlalu,” kata Michael Quinn.[10]

Dewasa ini, respons terhadap seni mengalami demokratisasi besar-besaran. Kritik evaluatif kian dipandang sebagai urusan selera pribadi. Nilai artistik makin menjadi soal suka atau tak suka belaka. Bahkan nyaris dalam hal apapun, kini pendapat semua orang dianggap sama berharganya. Opini awam tak lebih rendah daripada komentar pakar. (Lihatlah acara talk show di TV yang melibatkan partisipasi penonton di studio atau di rumah; ingatlah bagaimana proses hukum bisa dipengaruhi oleh suara para Facebooker dalam kasus Bibit-Candra.)

Internet berperan besar mendorong demokratisasi kultural dan memudarkan aura kritikus. Merebaknya cara-cara “mengulas” baru yang ditawarkan oleh berbagai aplikasi jejaring sosial seperti Twitter dan situs-situs ulasan amatir seperti Yelp, dalam pengamatan Brian Hieggelke, kian menguatkan pandangan bahwa kritik gaya lama telah kehilangan audiens dan relevansi.[11] Kritikus makin tidak dibutuhkan, karena kini semua orang bisa menjadi kritikus. Everyone’s A Critic, kata Hieggelke. Berkat “demokratisasi” di dunia maya (cyberspace), siapa pun bisa menjadi kritikus yang berhak mengevaluasi puisi siapa pun, dan melegitimasi siapa pun yang ingin menjadi penyair. Di negeri kita, tongkat otoritas kritikus sastra telah direbut oleh redaktur budaya koran/majalah, dan kini terlempar ke kerumunan khalayak. Nilai sastra kini bisa dirembuk dan disepakati oleh kedaulatan publik, tanpa perlu melibatkan otoritas kritikus sastra.

Disiplin kajian budaya (cultural studies) dituding McDonald ikut membunuh kritikus sastra. Pengaruh kuat cultural studies dalam ilmu sastra telah mengauskan kritik sastra, membuat kritik sastra kehilangan fungsi evaluatifnya, tak bisa lagi menilai bagus-buruknya karya. Pasalnya, cultural studies menganggap “bagus” dan “buruk” sebagai kategori-kategori yang mengidap bias politis, suatu pelabelan yang menyembunyikan dan melestarikan agenda kekuasaan. Dalam pandangan cultural studies, mengatakan bahwa karya tertentu “bagus” selalu patut dicurigai mengusung nilai dan kepentingan pihak berkuasa.

Di negeri kita pun, kekhawatiran terhadap gencarnya invasi cultural studies ke wilayah kritik sastra juga merebakkan keprihatinan. “Cultural studies,” kata Zen Hae dalam buku Dari Zaman Citra ke Metafiksi, “cenderung menempatkan karya sastra sebagai dokumen sosial belaka dan tidak lebih tinggi atau lebih penting daripada dokumen sosial yang lain”. Bersama pemberhalaan teori (overtheorizing) di kutub lain, godaan dari kutub cultural studies dapat mengakibatkan kritik sastra tak mampu menjangkau “sosok karya sastra sebagai sebuah organisme yang otonom, tempat kepengrajinan si pengarang dipertaruhkan dan kenikmatan sastrawi memancar”.[12]

Rupanya, ada kesejajaran antara situasi “krisis kritik sastra” kita dan situasi “kematian kritikus” di Eropa-Amerika.

 

KRITIK SASTRA ALEGORIS

Di mata McDonald, era kematian kritikus dimulai ketika Roland Barthes mengumumkan manifesto “kematian pengarang” (death of the author) yang begitu terkenal itu. Barthes berpandangan bahwa membaca adalah proses yang cair, berujung terbuka dan individual, yang tidak perlu menyandarkan keabsahannya pada maksud pengarang. Terpaku pada maksud pengarang berarti mencekik kesuburan bahasa dan potensi pluralitas makna dalam karya sastra. “Membunuh sang pengarang, beserta konsep-konsep terkait seperti ‘kreativitas’, ‘imajinasi’, ‘desain’ dan ‘inspirasi’, mungkin membebaskan pembaca untuk bersukacita dalam nikmatnya tafsir bebas. Tapi itu tampaknya juga menghapus kritikus,” kata McDonald. Kritikus mati karena otoritasnya telah direbut oleh pembaca: kritikus tidak dibutuhkan lagi oleh pembaca yang kini bebas dan berkuasa menilai karya dan menafsir maknanya.

Namun pada hemat saya, kritikus yang ikut mati bersama matinya pengarang adalah kritikus dalam pengertian tradisional: kritikus yang semata-mata berkutat mencari makna orisinal yang diandaikan terkandung (atau tersembunyi) dalam karya. Makna orisinal inilah yang sering dibayangkan orang ketika berbicara tentang “maksud karya” atau “maksud pengarang”. Tugas kritikus tradisional adalah menemukan makna orisinal sebuah karya, dan kemudian menyampaikan temuannya itu kepada khalayak pembaca untuk digunakan sebagai panduan dalam memahami karya. Setelah membaca temuan sang kritikus, barulah pembaca manggut-manggut, “Ooh…karya X maksudnya begitu.”

Masalahnya, semenjak Barthes, tak ada lagi makna orisinal. Bagi Barthes, “Karya itu seperti bawang, sebuah konstruksi lapisan-lapisan (atau tingkat-tingkat, atau sistem-sistem) yang tubuhnya, pada akhirnya, tidak berjantung, tidak berinti, tidak berisi rahasia, tidak memuat prinsip yang tak dapat direduksi, tidak berisi apapun kecuali ketakterbatasan pembungkus-pembungkusnya sendiri – yang tidak membungkus apapun selain kesatuan permukaan-permukaannya sendiri.”[13] Kalau pun ada makna orisinal, makna tersebut selamanya tak terjangkau, tak dapat diringkus oleh kritikus. Dalam esai “Kematian Pengarang”, Barthes menulis:

 [K]ritisisme bertugas untuk menggeledah pengarang… yang mendekam di balik sebuah karya: jika pengarang telah digeledah, maka teks otomatis “terjelaskan”… Dalam multiplisitas tulisan, segala sesuatu padanya digeledah, tetapi tidak sampai terurai; struktur dibuntuti atau “dikejar” sampai ke level dan titik terkecilnya, namun tidak sampai ke sesuatu yang ada di baliknya: ruang tulisan dijelajahi, tetapi tidak ditembusi; tulisan, secara terus-menerus, menggelar makna untuk kemudian menguapkannya, atau melakukan pembebasan makna secara sistematis.[14]

 Menurut Barthes, makna bukanlah sesuatu yang bersemayam dalam karya dan menunggu ditemukan, melainkan diproduksi oleh pembaca. Kematian pengarang adalah momen kelahiran pembaca.

Dalam pandangan saya, kritikus yang mencari-cari makna orisinal sebuah karya seolah dituntut (atau menuntut dirinya) untuk memelototi karya dengan mata pengarang karya bersangkutan. Sesuatu yang cukup absurd, karena kritikus sesungguhnya tidak lebih daripada pembaca. Ia tak dapat melampaui posisinya sebagai pembaca. Jika kritikus menyadari posisinya sebagai pembaca, maka kematian pengarang tidaklah mengakhiri riwayat kritikus, tetapi justru menjadi momen pembebasan kritikus. Sejak pengarang mati, kritikus menjadi merdeka untuk, pinjam ungkapan McDonald, “bersukacita dalam nikmatnya tafsir bebas”.

Tapi jika kritikus adalah pembaca, apa bedanya seorang kritikus dengan pembaca yang bukan kritikus? Bedanya, menurut saya, terletak pada tingkat produktivitas dalam menghasilkan makna. Kritikus memang “sekadar pembaca”, tapi bukan “pembaca sekadar”. Kritikus adalah pembaca yang bukan saja memproduksi makna, tetapi menghasilkan “surplus makna”. Ibaratnya, ketika semua orang bisa berjoget, krtitikus adalah ia yang menari. Orang menari atau melukis menghasilkan “surplus makna” yang membedakannya dari orang berjoget atau mengecat. “Surplus makna” inilah yang diproduksi oleh seni. Seni sastra, misalnya, memberikan makna ekstra kepada bahasa; seni musik memberikan makna ekstra kepada bunyi; dst.

Era kematian kritikus memungkinkan kritik seni (termasuk kritik sastra) dilahirkan kembali sebagai seni kritik. Jika dulu kritik sastra bekerja dalam paradigma kaji, yakni pencarian makna, maka kini kritik sastra dapat beroperasi dalam paradigma seni, yakni penciptaan makna. Kritik sastra di masa lalu sering serupa pisau bedah yang mengotopsi seonggok “mayat sastra” untuk menemukan maknanya yang tersembunyi. Kritik sastra di masa kini bisa lebih menyerupai pisau pahat yang mengolah sepotong “kayu sastra” demi memberinya makna baru.

Perumpamaan kritik sastra sebagai pisau pahat mungkin masih terasa kejam. Seperti pisau bedah, pisau pahat juga mengerat-sayat karya. Baiklah. Mungkin akan lebih ramah, dan lebih tepat, jikalau kritik sastra yang saya maksud diibaratkan sebagai karya seni rupa kontemporer/posmodern yang menerapkan apropriasi sebagai strategi penciptaan. Seniman yang bekerja dengan strategi apropriasi memanipulasi karya seniman lain (biasanya karya yang terkenal atau dianggap masterpiece) demi tujuan kritis dan kreatif. Ia berkarya dengan sengaja merujuk kepada karya orang lain, dengan maksud melucuti atau menyelewengkan makna yang semula melekat, atau dilekatkan orang, pada karya acuan. Di dunia seni rupa kontemporer Indonesia, contoh karya apropriasi adalah lukisan potret Agus Suwage yang mereproduksi foto terkenal Chairil Anwar sedang merokok (foto karya Baharudin MS). Berkebalikan dari foto acuan, lukisan Agus Suwage menampakkan wajah Chairil yang menyerong ke arah kanan pemirsa (bukan ke arah kiri pemirsa seperti foto aslinya), dengan rokok terselip di jari tangan kiri (bukan di jari tangan kanan seperti foto aslinya).[15]

Sebagaimana seni apropriasi, kritik-sastra-sebagai-seni menjadikan alegori sebagai modelnya: sebuah kritik sastra alegoris. Dalam alegori maupun kritik sastra alegoris, sebuah teks dibaca melalui teks lain, betapa pun fragmentaris, remang-remang dan khaotiknya hubungan antara kedua teks tersebut. Menerapkan prinsip alegori dalam kerja kritiknya, kritikus menelaah karya sastra tanpa terpancang pada pencarian makna orisinal. Dia tidak berpretensi merekonstruksi makna orisinal karya, melainkan membubuhkan makna baru pada karya. Makna baru ini adalah suatu tambahan yang “ditumpangkan” pada karya, suatu suplemen: “ekspresi yang ditambahkan secara eksternal pada ekspresi lain”.[16] Suplemen, sebagaimana dipahami Jacques Derrida, adalah “surplus, kemelimpahan yang memperkaya kemelimpahan lain, takaran paling penuh dari kehadiran. Ia menimbun dan menghimpun kehadiran...  Ia menambahi hanya untuk mengganti…  Ia menyela atau mencuri perhatian di tempat yang ditempati sesuatu (in-the-place-of); kalau ia mengisi, seolah-olah itu mengisi kekosongan. Kalau ia merepresentasikan dan mencitrakan, itu dengan ketidakhadiran yang mendahului kehadiran.”[17] Kritik sastra alegoris bukanlah hermeneutika.

Dalam kritik sastra alegoris, kerja kritikus menggemakan kata-kata Angus Fletcher ketika berbicara perihal progresi matematis sebagai paradigma untuk karya alegoris: “Jika seorang matematikawan melihat angka 1, 3, 6, 11, 20, dia akan mengenali bahwa ‘makna’ progresi ini dapat dituliskan dengan rumus aljabar: X plus 2x, dengan pembatasan tertentu pada X. Apa yang merupakan sekuens acak bagi orang awam, bagi sang matematikawan tampak sebagai sekuens penuh makna.”[18] Ketika menelaah sebuah karya sastra, kritikus seakan-akan bertransformasi dari “orang awam” menjadi “matematikawan”. Karya sastra mulanya tampak sebagai “sekuens acak”, lalu perlahan-lahan menjelma jadi “sekuens penuh makna”. Secara berangsur-angsur sang kritikus melihat suatu pola, gambaran atau informasi tertentu yang penuh makna baginya.

Proses transformasi sang kritikus dari “orang awam” ke “matematikawan” itu adalah suatu perjalanan membangun makna yang bukan saja melibatkan analisis dan penafsiran terhadap materi karya sastra itu sendiri, tapi juga berbagai materi lain yang dipandangnya relevan dan signifikan di luar karya, termasuk sumber authorial, kalau ada (misalnya “Kredo Puisi” Sutardji Calzoum Bachri dalam O Amuk Kapak, atau wawancara dengan Nirwan Dewanto di buku acara untuk peluncuran buku puisi Jantung Lebah Ratu). Karya sastra dan berbagai materi lain di luar karya diperlakukan sebagai bahan mentah untuk menyusun narasi baru, mencipta karya baru yang berasal dari, tapi berdiri sejajar dengan, karya sastra yang ditelaah. Di sini, kritik sastra alegoris memadukan analisis kritis dan penulisan kreatif – semacam strategi penciptaan yang, dalam konteks fiksi, ditempuh oleh Julian Barnes ketika menyelundupkan kritik seni rupa ke dalam cerpen “Kapal Karam”.[19] Ketika penelaahan sang kritikus terhadap sebuah karya sastra telah menghasilkan “sekuens penuh makna” dan menjelma kreasi baru, mungkin pengarang karya satra bersangkutan yang membaca telaah itu akan terheran-heran dan berujar: “Oh ya, saya benar menulisnya seperti itu?” – sebuah ungkapan yang dipakai oleh Richard Oh untuk meledek kritikus sastra.[20] Tapi berlawanan dengan Oh, saya menganggap ungkapan semacam itu sebagai pujian, tanda bahwa suatu telaah sastra telah berhasil memperkaya makna karya sastra yang ditelaah, bagaikan proses pengayaan uranium yang menghasilkan bom atom.

Di era kematian kritikus, ketika semua pembaca bisa menjadi kritikus, kritik sastra alegoris tidak berpretensi membangun jembatan antara karya sastra dan khalayak pembaca. Saya percaya, sebuah karya sastra tidak ditulis untuk menyembunyikan pesan atau maksud pengarangnya. Dalam sebuah karya sastra, pengarang sudah menyampaikan seluruh maksudnya secara lengkap dan utuh. Pengarang tidak dapat mengungkapkan apa yang ingin dikatakannya dalam sebuah karya sastra dengan lebih baik dan lebih tepat lagi kecuali melalui karya bersangkutan. Jika pengarang ingin merahasiakan sesuatu, semestinya ia bungkam, tidak menulis apapun. Sebaliknya jika ingin menjelaskan sesuatu, mestinya ia menggunakan bahasa yang lebih lugas daripada sastra, misalnya menulis pamflet atau pidato.

Dipahami sebagai organisme yang menyatakan dirinya sendiri secara total dan sempurna, karya sastra tidak membutuhkan jembatan untuk berbicara kepada khalayak pembaca. Karya sastra tidak butuh penyambung lidah. Karena itu, kritik sastra alegoris hanya berminat membangun jembatan antara karya sastra dan sang kritikus sendiri, sebagai bagian dari proyek penciptaan arsitektur makna baru. Khalayak pembaca, juga pengarang, kalau mau, dipersilakan mengunjungi jembatan ini, berjalan-jalan dan menikmatinya. Syukur-syukur bila ada yang tercerahkan, atau terilhami menciptakan karya baru, menulis karya sastra dan telaah sastra yang baru.

 

EPILOG: PETIKAN SURAT 2007

 Z yang Baik,

Menulis telaah sastra Indonesia, seserius/sebrilian apapun, dari luar tembok akademis, adalah suatu kerja mubazir. Sebuah heroisme intelektual yang absurd (tepatnya: konyol) di dunia yang kian pragmatis dewasa ini. Ganjaran materil pun non-materil bagi penelaah sastra di luar kampus sangat minim. Para dosen sastra yang menelaah sastra (meskipun mutunya pas-pasan) masih diganjar “kredit poin” dari lingkungan akademisnya. Tapi apa ganjaran dari masyarakat sastra untuk penelaah sastra di luar kampus? Para kritikus sastra akademis yang tidak istimewa banget bisa dibiayai (negara/lembaga) ikut seminar internasional di dalam & luar negeri, kecipratan “proyek basah” ini-itu (dari Pusat Bahasa, misalnya), jadi juri di sana-sini, tapi analis sastra non-akademis kayak gue? Cukup puja-puji lisan, dan sesekali diundang bicara di diskusi berhonor kecil. Kecian deh loe!

Meski diterbitkan penerbit terkenal, buku kritik sastraku gak ada yang menganggapnya penting buat sastra Indonesia. Juga gak laku. Angka penjualannya gak sebanding banget dengan membludaknya jumlah sastrawan kita, dan akhirnya diobral & sisanya dimusnahkan karena kelamaan numpuk di gudang (dugaanku, dulu Grasindo mau nerbitin lantaran tertarik prospek prestisius jika buku itu menang/masuk nominasi KLA kategori non-fiksi, yang ternyata hanya diselenggarakan satu kali). Sama sekali bukan pingin, tapi kenyataannya sampai sekarang aku gak pernah diminta jadi juri KLA yang bergengsi itu, misalnya. Meski pernah menelaah panjang-lebar puisi SCB, mempresentasikan telaah itu secara resmi di depan civitas akademika Universitas Mataram dan diterbitkan di majalah sastra terkenal Horison, aku toh tak dihitung dalam “forum internasional” (seminar, penerbitan buku) tentang SCB belum lama ini. Inilah indikasi gamblang bahwa segala puja-puji tentang kebolehan analisis sastraku selama ini memang bullshit besar belaka. Sesuatu yang belum kusadari ketika ND, dalam sebuah esainya di lembar Bentara Kompas beberapa tahun silam, menyayangkan kenapa tulisanku tentang puisi GM gak masuk di buku “Sumber Terpilih Sastra Indonesia Abad XX” suntingan Ulrich Kratz.

Kenyataannya, memang jelas lebih enak dan membanggakan jadi sastrawan, sastrawan buruk sekali pun, daripada jadi kritikus sastra, biarpun cemerlang kayak apa, apalagi kritikus sastra non-akademis. Pengarang fiksi berpeluang diundang jalan-jalan ke luar negeri (bahkan yang sekaliber Rieke Pitaloka sekalipun), berpeluang mengantongi hadiah KLA ratusan juta, berpeluang jadi pejabat Dewan Kesenian (bukan cuma di Jakarta lho), setidaknya dihujani tepuk-tangan meriah setelah tampil maksimal 15 menit di panggung sastra bergengsi macam Bienale Sastra atau apalah. Tapi pengarang non-fiksi yang jungkir-balik memeras otak dan nulis telaah sastra? Dulu sebagian teman dengan gagah menyatakan bahwa penyair adalah “pejalan sunyi”. Tapi kini aku tahu bahwa “pejalan sunyi” sejati adalah analis sastra di luar tembok akademis.

 

[1]Maman S. Mahayana, “Pertanyaan untuk Maman S. Mahayana, Kritikus Sastra Indonesia”. Sastra-Indonesia.com.

[2]Anton Suparyanto, “Era Gagap Sastra bagi Akademisi”. Sastra-Indonesia.com.

[3]Saut Situmorang, “Dicari: Kritik(us) Sastra Indonesia”. Sastra-Indonesia.com.

[4]Zen Hae, “Pengantar”, dalam Zen Hae, ed., Dari Zaman Citra ke Metafiksi: Bunga Rampai Telaah Sastra DKJ. Jakarta: KPG & DKJ, 2010.

[5]Saut Situmorang, Ibid.

[6] Richard Oh, “Siapa Takut, Nirwan Dewanto?”. Kompas, Rabu 6 Oktober 2004.

[7] Ronan McDonald, The Death of the Critic. Continuum, 2007.

[8] Ronan McDonald, “A Triumph of Banality”. The Guardian 2 Oktober 2007.

[9] Baca Jim Supangkat, Legacy of Sagacity: The Case of Putu Sutawijaya. Jakarta: Galeri Canna Publishing, 2008.

[10] Michael Quinn, “The End of the Critic?”. The Journal of Music, April/Mei 2010.

[11]Brian Hieggelke, “Everyone’s A Critic: Yelp, Twitter and the end of Western civilization”. Newcity, 23 Maret 2010. Hieggelke menyebut sejumlah nama kritikus profesional yang diberhentikan dari media tempatnya bekerja karena tidak diperlukan lagi. Todd McCarthy (kritikus film) dan David Rooney (kritikus teater) di-PHK dari Variety, Raymond Solokov (kritikus restoran) dipensiunkan dari The Wallstreet Journal.

[12]Zen Hae, Ibid.

[13]Dikutip dalam Kurniawan, Semiologi Roland Barthes. Magelang: IndonesiaTera, 2001.

[14]Roland Barthes, “Kematian Pengarang”, dalam Stephen Heath, ed., Roland Barthes, Imaji, Musik, Teks: Analisis Semiologi atas Fotografi, Iklan, Film, Musik, Alkitab, Penulisan dan Pembacaan serta Kritik Sastra. Yogyakarta: Jalasustra, 2010.

[15]Lihat katalog pameran Agus Suwage, I/CON, di Nadi Gallery, Jakarta, 2007. Dalam seri karya bertajuk “Aku Ingin Hidup Seribu Tahun Lagi”, Suwage mereproduksi potret ikonik tokoh-tokoh terkenal, mulai dari R.A. Kartini sampai Marilyn Monroe, Marx hingga Munir. Tapi semua tokoh itu digambarkan sedang merokok, dengan posisi rokok terselip di jari tangan ala Chairil!

[16]Benedetto Croce, Aesthetic. New York: The Noonday Press, 1966.

[17]Jacques Derrida, Of Grammatology. Baltimore: John Hopkins University Press, 1976.

[18]Angus Fletcher, Allegory: The Theory of a Symbolic Mode. Ithaca: Cornell University Press, 1964.

[19]Julian Barnes, Sejarah Dunia dalam 10 ½ Bab. Jakarta: KPG & DKJ, 2009.

[20]Richard Oh, Ibid.

 

Sumber: http://horisononline.or.id/esai/dari-kaji-ke-seni-kritik-sastra-di-era-matinya-kritikus

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler