Skip to Content

DERMAGA SASTRA INDONESIA

Foto SIHALOHOLISTICK

Oleh: Budi Darma

Rabu, 20 Juli 2011 22:38

 

Ada buku baru, judulnya panjang, yaitu Dermaga Sastra Indonesia: Kepengarangan Tanjungpinang dari Raja Ali Haji sampai Suryatati A. Manan, dan penulisnya pun banyak, yaitu  Jamal D. Rahman, Al azhar, Abdul Malik, Agus R. Sarjono, dan Raja Malik Hafrizal. Penerbitnya pun juga menarik, yaitu sebuah badan resmi pemerintah. Lazimnya, buku terbitan badan resmi pemerintah pasti ditulis dengan bahasa resmi, kaku, apa adanya, dan isinya pun data-data resmi, sifatnya kering, karena misinya hanyalah sebagai rekaman dari keberhasilan pemerintah daerah.

Ternyata, buku terbitan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang ini berbeda. Isinya bukan data-data resmi, tapi serangkaian kisah mengenai Kota Tanjungpinang dan sekitarnya, penyajiannya pun ditulis dengan gaya esai, bukan dengan gaya resmi dan kaku. Sementara sasaran pembaca buku-buku terbitan badan resmi pemerintah pada umumnya terbatas pada kalangan birokrasi, sasaran pembaca buku ini adalah khalayak ramai, dan segmennya adalah pembaca sastra. Daya jangkau sirkulasi buku ini, dengan demikian, lebih luas daripada mayoritas buku-buku resmi terbitan badan-badan resmi pemerintah, dan karena itu, buku ini diterbitkan bekerja sama dengan penerbit komersial, yaitu penerbit Komodo Books, Jakarta.

Dari judul panjang buku ini dapat diterka, isinya pasti mengenai sastra sebagai harta karun khas milik Tanjungpinang dengan tokoh sentralnya, yaitu Raja Ali Haji. Sastra, khususnya sastra tradisional, sementara itu, pasti menyangkut tiga unsur yang saling berkaitan, yaitu bangsa, bahasa, dan kebudayaan. Tiga unsur ini mengerucut menjadi tiga tokoh, yaitu Raja Ali Haji di Tanjungpinang, Hamzah Fansuri di Aceh, dan Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi di Singapura. Dari segi genetik sebetulnya orang dari kawasan-kawasan itu pada hakikatnya satu, tapi dari segi politik, mereka akhirnya menjadi bangsa yang berbeda-beda. Kekuatan politik telah memilah-milah satu bangsa ini menjadi tiga bangsa, yaitu bangsa Indonesia, bangasa Melayu Singapura, dan bangsa Malaysia. Karena itulah, sebagaimana yang tercantum dalam buku pelajaran sastra beberapa dasawarsa ke belakang, tiga bangsa dari tiga negara ini menganggap bahwa tiga tokoh tadi milik masing-masing bangsa mereka.

Politik tidak lain adalah titik temu berbagai macam kepentingan, antara lain kepentingan ekonomi dan kepentingan ideologi. Indonesia dan Malaysia terbelah karena kepentingan ekonomi para penjajah zaman kolonialisme dulu, dan Korea terbelah menjadi Korea Utara dan Korea Selatan karena persaingan ideologi selepas Perang Dunia II.

Dari sini tampak, bahwa bangsa dan kebudayaannya, terkadang termasuk bahasanya pula, ternyata dapat ditundukkan oleh kekuatan yang lebih besar, yaitu politik. Mengenai bahasa, tengoklah, misalnya, berbagai kawasan di Afrika dan Lautan Pasifik. Berbagai bahasa asal bangsa-bangsa bekas jajahan ini telah tergantikan oleh bahasa lain, yaitu bahasa bekas penjajah masing-masing.

Dalam kaitan dengan bangsa dan bahasa, sementara itu, Tanjungpinang mempunyai kedudukan yang unik: Tanjungpinang adalah kawasan Indonesia, tumpah darah bahasa Melayu yang kemudian menjadi bahasa Indonesia, tidak jauh dari Singapura di mana bahasa Melayu menjadi bahasa kedua, dan tidak jauh pula dari Johor, Malaysia, di mana bahasa Melayu adalah bahasa nasional. Jangan heran, dengan demikian, bahasa Indonesia di Tanjungpinang, tempat asal-muasal bahasa Melayu, mirip dengan bahasa Melayu di Singapura dan di Malaysia. Selera makan dan adat-istiadat Tanjungpinang, sama dengan bahasanya, mirip pula dengan selera makan dan adat-istiadat di Singapura dan Malaysia.

Dari kesamaan antara bahasa Indonesia dan bahasa Melayu di Singapura dan Malaysia, dan juga kedekatan selera makan dan adat istiadat di antara tiga kawasan itu tampak, bahwa kebudayaan masih tetap merupakan faktor penting yang sukar dikalahkan oleh kekuatan politik. Dalam Clash of Civilizations (1993), misalnya, Samuel Huntington menyatakan, bahwa sebagai akibat dari Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur, dunia akan terpecah-pecah karena kesamaan kebudayaan, dan juga yang telah terpecah akan menyatu karena kesamaan kebudayaan juga.

Uni Soviet rontok karena kebudayaan berbagai bangsa dalam kesatuan Uni Soviet berbeda dengan kebudayaan Rusia. Yugoslavia juga runtuh karena bangsa-bangsa di dalam satu negara bernama Yugoslavia itu juga beda-beda kebudayaannya. Chekoslovakia, sementara itu, juga pecah menjadi dua negara, yaitu negara Checko dan negara Slavia, karena kebudayaan di dalam internal Yugoslavia juga berbeda. Sebaliknya, Tembok Berlin runtuh pada tahun 1989 karena pada dasarnya bangsa Jerman di Jerman Timur dan bangsa Jerman di Jerman Barat kebudayaannya juga sama.

Pemisahan satu bangsa menjadi beberapa bangsa, sekali lagi, adalah akibat dari situasi dan kondisi politik. Sikap dari pemisahan ini beragam, antara lain bersifat given atau terberi dan pilihan. Selepas Perang Dunia II, pemisahan antara Jerman Barat dan Jerman Timur adalah given atau terberi, karena itu, orang-orang di Jerman bagian timur mau tidak mau ikut Jerman Timur, dan orang-orang di Jerman bagian barat mau tidak mau ikut Jerman Barat. Pada tahun 1989, yaitu tahun runtuhnya Tembok Berlin, mereka tidak terberi, tapi mereka menentukan pilihan mereka sendiri  untuk bersatu kembali.

Sementara itu, pemisahan berdasarkan penentuan pilihan sendiri juga terjadi pada tanggal 1 Januari 1993, ketika negara Czechoslovakia membelah diri menjadi dua negara, yaitu Republik Czech dan Slovakia. Sebelum perpisahan ini, pada tahun 1989 ada sebuah revolusi damai untuk meruntuhkan partai komunis. Karena revolusi ini damai, tanpa hura-hura dan tanpa pertumpahan darah, maka revolusi ini dinamakan Velvet Revolusion (Revolusi Beludru). Tiga setengah tahun setelah revolusi damai terjadi, dengan cara damai dan sukarela negara ini membelah dirinya menjadi dua negara, yang dalam sejarah dikenal sebagai peristiwa Velvet Divorce (Perceraian Beludru).

Peristiwa pemisahan berdasarkan pilihan sendiri juga terjadi pada dunia sastra, yaitu ketika Singapura sebagai sebuah wilayah Malaysia berpisah dengan Malaysia pada tanggal 9 Agustus 1965. Lima belas tahun sebelumnya, di Singapura ada sebuah gerakan penting dalam sastra, yaitu ASAS 50 (Angkatan Sasterawan 1950), sebuah organisasi sastra untuk meningkatkan marwah orang Melayu melalui sastra. Para tokohnya, antara lain Usman Awang dan Kris Mas, percaya bahwa sastra bukanlah sekedar rangkaian kata-kata indah atau cerita yang menarik, akan tetapi bisa juga dipergunakan sebagai alat perjuangan.

Setelah Singapura dan Malaysia berpisah, para tokoh mempunyai pilihan, apakah mereka tetap tinggal di Singapura dan menjadi warga negara Singapura, atau pindah ke Malaysia dan menjadi warga negara Malaysia. Mungkin karena merasa lahir di Malaysia, Usman Awang dan Kris Mas memilih untuk pindah ke Kuala Lumpur, sementara mereka yang lahir di Singapura, seperti misalnya MAS dan Masuri Salikun, tetap memilih tinggal di Singapura. Baik yang pindah ke Malaysia maupun yang tetap tinggal di Singapura tetap memperjuangkan marwah orang Melayu melalui sastra, tapi karena kewarganegaraan mereka berbeda, maka aspirasi sastra mereka pun, mau tidak mau, berbeda pula.

Sementara itu, setelah sebuah perang selesai, pada umumnya muncullah peluang bagi rakyat untuk menentukan pilihan, “memilih ke sini atau memilih ke sana,” seperti misalnya yang terjadi setelah PD II selesai di Tanjungpinang. PD II berlangsung mulai tanggal 1 September 1939, dan berakhir pada tanggal 15 Agustus 1945. Indonesia memproklamirkan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, dan karena Belanda berusaha masuk ke Indonesia dan menjajah Indonesia lagi, maka pada tahun 1945 sampai dengan tahun 1949, berlangsunglah Perang Kemerdekaan, yaitu perang antara rakyat Indonesia melawan pasukan Belanda. Setelah Perang Kemerdekaan usai, Indonesia mengalami semacam masa pancaroba untuk menata kembali masalah-masalah internal Indonesia.

Dalam masa yang kurang menentu itu, yaitu antara tahun 1945-1949, Tanjungpinang memasuki periode berbagai pertentangan kepentingan, sebagaimana diungkapkan dalam Dermaga Sastra Indonesia, hlm. 37:

 …. Belanda ingin menguasai kembali wilayah jajahannya, dan memulihkan karesidenan Riau. Di lain pihak, sebagian bangsawan ingin menghidupkan kembali Kerajaan Riau-Lingga. Sedangkan, kaum nasionalis ingin bergabung dengan negara-negara baru yang baru diploklamirkan, yaitu Indonesia, yang menyatukan semua bekas jajahan Belanda di kawasan ini.

 Dari kutipan di atas tampak bahwa Belanda sebagai representasi kolonialisme, sebagian bangsawan sebagai representasi feodalisme, dan mayoritas rakyat sebagai representasi nasionalisme, memiliki perbedaan kepentingan. Namun, seperti juga yang terjadi di negara-negara lain bekas jajahan, antara lain India, nasionalisme akhirnya menang. Rakyat menentukan pilihannya sendiri untuk bergabung dengan Republik Indonesia.

 

KOLONIALISME DALAM SASTRA

Salah satu fungsi sastra adalah merefleksikan realitas, dan salah satu realitas penting dalam peradaban manusia adalah kolonialisme. Karena itu, dari sastra dapat ditarik kesimpulan bagaimana sebenarnya perkembangan kolonialisme, bukan saja pada masa-masa sebelum PD II ketika kolonialisme geografis masih berlaku, tapi juga setelah negara-negara bekas jajahan memiliki kemerdekaan. Dari sekian banyak contoh bisa diambil beberapa contoh saja, yaitu novel Daniel Defoe Robinson Crusoe (1719), Syair Rakis (sekitar 1830-an) oleh seorang bangsawan tinggi Brunei Pg. Shahbandar Md. Salleh, novel Joseph Conrad Heart of Darkness (1902), novel E.M Forster A Passage to India (1924), novel Chinua Achebe Things Fall Apart (1958), dan novel tetralogi Pramoedya Ananta Toer Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1981), Jejak Langkah (1981), dan Rumah Kaca (1988), serta novel Y.B. Mangunwijaya Burung-Burung Manyar (1981).

Robinsoe Crusoe adalah seorang petualang Inggris, beberapa kali berpetualang ke kawasan-kawasan asing, dan akhirnya, setelah melakukan beberapa kali perjalanan, kapalnya pecah terhantam badai. Dia terlempar ke sebuah pantai asing, dan karena dialah satu-satunya penumpang kapalnya yang selamat, untuk jangka waktu lama dia hidup sendirian. Untuk menunjang hidup, dia bercocok tanam. Titik berat Robinson Crusoe adalah petualangan demi petualangan itu sendiri, bukannya berdagang, bukannya menyebarkan agama, bukannya mengeruk kekayaan dari kawasan yang didatanginya, dan bukan pula menjajah. Unsur mengambil keuntungan dari alam kawasan-kawasan yang didatangi serta unsur berdagang memang ada, tapi bukan itu titik beratnya.

Dalam Heart of Darkness, sementara itu, orang-orang kulit putih datang ke “jantung dunia” (sekarang Congo), juga bukan untuk menjajah, tapi hanya sekedar untuk mengeruk kekayaan, khususnya gading gajah. Karena ujung pengerukan kekayaan adalah uang, maka unsur perdagangan sudah masuk ke sini. Unsur keinginan orang-orang kulit putih untuk menyebarkan agama juga masih sangat tipis, tertutup oleh keserakahan untuk mengeruk kekayaan. Petualangan demi petualangan seperti yang tampak pada Robinson Crosoe, dengan demikian, sudah ditinggalkan, diganti oleh keserakahan dan nafsu berdagang.

Things Fall Apart merefleksikan perkembangan lebih lanjut, yaitu bukan saja petualangan, tapi juga pengerukan kekayaan, perdagangan, dan penyebaran agama, disambung dengan kehendak untuk memerintah.  Barang siapa yang tidak bersedia memeluk agama orang kulit putih dikucilkan, dan barang siapa melawan pemerintahan orang-orang kulit putih pasti dibabat. Tahap pemaksaan sudah berlaku, dan berlaku pulalah kolonialisme geografis.

Syair Rakis, sementara itu, masuk dalam tahap kekerasan senjata dan diplomasi, sebuah tahap yang memang dilalui dalam proses kolonialisme di seluruh belahan bumi. Inggris datang ke Brunei dengan kekuatan senjata, dan juga kekuatan diplomasi. Tanda-tanda keruntuhan Brunei sebagai kerajaan berdaulat tampak dengan jelas dalam syair ini. Pengambil-alihan kekuasaan oleh Inggris juga mulai mencengkeram kawasan-kawasan lain, seperti misalnya Serawak dan Singapura. Novel A Passage to India, tidak lain adalah refleksi ketika penjajah sudah benar-benar mencengkeram India sebagai representasi dari seluruh negara jajahan.          Tetralogi novel Pramoedya Ananta Toer adalah refleksi kebangkitan nasionalisme di Indonesia sebagai representasi dari kebangkitan nasionalisme di negara-negara jajahan. Intelektualisme digambarkan sebagai sebuah pilar penting yang tidak mungkin ditinggalkan dalam semua kebangkitan nasionalisme. Nasionalisme bukan hanya sekedar tindakan, tapi juga buah pemikiran.

Refleksi kolonialisme dalam sastra tidak selamanya ditampilkan lewat fiksi, tapi juga bisa lewat non-fiksi, sebagaimana yang tampak dalam pemikiran Homi Bhabha dan pemikiran Frantz Fanon. Titik berat pemikiran dua tokoh ini bukan pada masa kolonialisme sebelum PD II, tapi selepas PD II ketika negara-negara bekas jajahan sudah merdeka. Homi Bhabha, pemikir India, berpendapat bahwa selepas penjajahan, bangsa-bangsa bekas jajahan mengidap kompleks mimicry, hibridity, dan ambivalensi. Perilaku seperti orang kulit putih, mengecat rambut dengan warna blonde dan memutihkan kulit dengan white-cleansing, inilah yang dinamakan mimicry, yaitu meniru-niru bekas penjajah. Hibridity menunjukkan bahwa kebudayaan bangsa-bangsa bekas jajahan tidak lain adalah campuran antara kebudayaan sendiri dan kebudayaan bekas penjajah, dan kebanyakan justru cenderung condong ke kebudayaan bekas penjajah. Ambivalensi adalah keraguan apakah bangsa bekas jajahan itu cenderung bertitik-berat pada diri sendiri atau pada bekas penjajah. Namun, kalau ada masalah kritis untuk memilih diri sendiri atau bekas penjajah, diam-diam bangsa-bangsa bekas jajahan cenderung “berpihak” pada bekas penjajahnya.

Frantz Fanon, seorang pemikir kulit hitam asal Martinique yang kemudian menjadi warga negara Prancis, pada hakikatnya berpendapat sama: bangsa-bangsa bekas jajahan cenderung untuk berkiblat ke bangsa-bangsa bekas penjajahnya. Karena titik berat Frantz Fanon adalah bangsa-bangsa bekas jajahan kulit hitam, maka bukunya berjudul Black Skin, White Masks, yaitu, kulitnya hitam, tapi topengnya putih.

Secara simbolik kebenaran pendapat Frantz Fanon ditampilkan dalam novel trilogi pengarang Nigeria Chinua Achebe, yaitu Things Fall Apart, No Longer at Ease dan Arrow of God. Awalnya orang-orang kulit putih datang untuk mengeruk kekayaan, lalu berkembang, yaitu mempengaruhi penduduk lokal untuk memeluk agama orang-orang kulit putih, dan akhirnya menjajah. Kepala suku bernama Okonkwo berusaha keras untuk mempertahankan marwahnya, tapi dengan mudah diremukkan oleh orang-orang kulit putih. Anak turun Okonkwo kemudian memeluk agama orang kulit putih, belajar ke luar negeri, lalu kembali ke Nigeria, mendapat kedudukan bagus, lalu korupsi. Kulit mereka tetap hitam, sementara perilaku mereka terlalu “kebarat-baratan”. Kulitnya hitam, topengnya putih.

Penjajahan di Indonesia tidak lepas dari proses penjajahan yang terjadi di mana-mana, sebagaimana yang telah diutarakan di atas. Sebelum kerajaan Belanda resmi menjajah Indonesia, misalnya, banyak bagian Indonesia yang dikuasai VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), sebuah maskapai perdagangan Belanda, didirikan pada tanggal 20 Maret 1602, dengan kedudukannya yang amat kuat. Karena kekuatannya besar, maka wewenangnya pun amat luas.

Maskapai-maskapai perdagangan penjajah lain di kawasan-kawasan lain juga mempunyai wewenang lebih-kurang sama. Pada tanggal 31 Desember 1600, misalnya, Inggris mendirikan The Britisch East India Company, lalu Prancis juga mendirikan French East India Company pada tahun 1604. Mereka mempunyai angkatan perang dan persenjataan modern untuk ukuran waktu itu. Karena itulah, maskapai-maskapai perdagangan ini saling berebut pengaruh, dan karena itu pulalah, perang antara sesama penjajah pun berkecamuk.

Kawasan Riau dan sekitarnya, antara lain Singapura, Malaka, dan Johor adalah kawasan lautan, dan kawasan lautan dengan sendirinya menjadi kawasan penting dalam lalu-lintas perdagangan. Dengan demikian tidaklah mengherankan, manakala Riau dan kawasan-kawasan sekitarnya menjadi rebutan orang-orang Eropa, yaitu Portugis, Belanda, Inggris, dan Prancis. Sebagaimana yang terjadi pula di mana-mana, sementara orang-orang Eropa saling berebut pengaruh, penguasa-penguasa setempat pun, yaitu raja-raja dan sultan-sultan, juga saling berebut kekuasaan.

Di samping persaingan-persaingan antarpenguasa setempat, pada tahun 1782-1784 terjadi serangkaian perang antara pribumi melawan Belanda di Riau dan kawasan sekitarnya, yaitu Malaka, Johor, dan Singapura. Akhirnya, pada bulan September 1784 Riau jatuh ke tangan Belanda, dan pada tanggal 10 November 1784, melalui Perjanjian Utrecht, secara resmi kekuasaan pribumi seluruhnya jatuh ke tangan Belanda. Perjanjian Utrecht menelurkan butir-butir sebagai berikut (Dermaga Sastra Inedonesia, hlm. 24): 

  1. Kerajaan Riau dan pelabuhannya dimiliki Belanda.
  2. Jabatan penguasa setempat (Yang Dipertuan Muda) dihapus.
  3. Belanda dibebaskan berniaga di Riau, dan orang Riau bebas berniaga dengan Malaka tapi diikat oleh ketentuan-ketentuan lain.
  4. Orang Bugis Kalimantan dan Sulawesi tidak boleh berdagang di Riau.
  5. Apabila sultan mangkat, yang menentukan penggantinya adalah Belanda.

 

Sejak tahun 1780, sementara itu, kekuatan VOC makin lama makin merosot, dan pada tanggal 17 Maret 1798 dinyatakan bangkrut. Mulai tanggal 17 Maret 1798, dengan demikian, penjajah Indonesia bukan lagi maskapai perdagangan, tapi kerajaan Belanda. Bukan lagi maskapai perdagangan menguasai negara, tapi negara menguasai negara.

Dalam proses kolonialisme di negara-negara lain, seperti yang telah diuraikan di atas, sebelum maskapai-maskapai perdagangan didirikan, penetrasi kolonialisme didahului oleh penyebaran agama. Apakah sebuah agama dari Eropa bisa masuk ke suatu negara atau tidak tergantung pada berbagai faktor, antara lain faktor kebudayaan, termasuk di dalamnya agama. Tanjungpinang, yang pada waktu itu juga dikenal sebagai ibu kota Kerajaan Riau-Lingga dengan pusat kerajaannya di pulau Penyengat, tidak mudah dipenetrasi oleh agama dari Eropa, karena agama Islam di kerajaan itu amat kuat. Kekokohan agama Islam di sini terlihat antara lain dari nama para sultan, yaitu nama-nama berbau Islam.

 

Melayu yang Lebih Luas

Sekarang tengoklah apa yang tertulis dalam Dermaga Sastra Indonesia, hlm 7:

 Kalau dengan tradisi intelektualnya dulu Kepulauan Riau (baca: Kerajaan Riau-Lingga) berakar pada Kebudayaan Melayu Riau dan menjaga kesinambungannya, generasi 1970-an Tanjungpinang pun berakar pada kebudayaan Melayu dan menjaga kesinambungannya. Jika dengan tradisi intelektualnya dulu Kepulauan Riau mengintegrasikan diri dengan kebudayaan Melayu yang lebih luas, generasi 1970-an mengintegrasikan diri dengan kebudayaan Indonesia yang lebih luas.

 Melayu dan kemelayuannya memang sering dijadikan bahan kajian, dan karena itu masuk akallah apabila kemudian muncul istilah “Melayu yang lebih luas”. Sebagaimana yang telah disinggung dalam Dermaga Sastra Indonesia, asal-usul bahasa Melayu tidak lain adalah Riau, lalu bahasa ini menyebar ke mana-mana. Lalu, seberapa jauh batas wilayah Melayu dan ciri-ciri khas kemelayuan yang belum disentuh dalam Dermaga Sastra Indonesia perlu diuraikan dengan serba ringkas di sini. Begitu banyak sumber mengenai Melayu dan kemelayuan, dan salah satu sumber penting menyatakan, bahwa,

 Sebagai nama khas, kelompok suku bangsa ini mendiami wilayah-wilayah Semenanjung Tanah Melayu, Singapura, selatan Thailand, pesisir timur Pulau Sumatra, pesisir Pulau Borneo dan wilayah-wilayah lain di Kepulauan Melayu … serta kawasan penghijrahan mereka di seluruh dunia. Mereka adalah penutur teras bahasa Melayu. Sebagai kelompok am (umum), bangsa Melayu terdiri dari suku bangsa yang juga menjadi penutur bahasa Melayu dan penutur bahasa-bahasa rumpun Melayu, kelompok Bahasa Melayu-Polinesia (Shariff, 2002: 9).

 Ada dua titik penting dalam kutipan di atas, yaitu, pertama, wilayah Melayu dan kemelayuan, dan kedua, bahasa Melayu di kawasan “Melayu yang lebih luas” itu.

Mengenai bahasa Melayu, Prof. Syed Muhamad Naguib, sebagaimana dikutip oleh Awang Sariyan, menyatakan bahwa “bahasa Melayu [yang] menjadi tonggak tamadun Melayu pada zaman kesultanan Melayu selama beberapa abad dan kini menjadi tonggak tamadun negara bagi negara seperti Malaysia, Indonesia, dan Brunei Darussalam” (Sariyan, 2001: 10).

Kecuali bahasa Melayu menjadi salah satu ciri penting orang Melayu, ciri lain yang penting adalah agama, yaitu Islam. Di Singapura dan Malaysia, misalnya, semua suku bangsa yang beragama Islam, dan juga melaksanakan adat Melayu, otomatis dianggap Melayu. Karena itu, cukup banyak pula di Malaysia dan Singapura orang India yang kemudian dikategorikan sebagai Melayu karena agama Islamnya. Bahkan, orang-orang Tionghoa beragama Islam dan menjalankan adat-istiadat Melayu juga dianggap sebagai orang Melayu.

Agama Islam juga menjadi pilar yang sangat mendasar bagi orang Melayu Brunei Darussalam. Karena itulah, dasar negara Brunei Darussalam tidak lain adalah MIB, yaitu Melayu, Islam, dan Beraja. Bangsa dan bahasanya Melayu, agamanya Islam, dan bentuk negaranya kerajaan. Karena itu, norma-norma kemasyarakatan di Brunei Darussalam tidak lepas dari keislaman, dan sastranya pun dipenuhi oleh nuansa Islam.

Inilah yang membedakan Indonesia dengan “Melayu yang lebih luas”. Bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia, antara lain, karena Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928, dan juga karena dalam UUD 1945 dinyatakan, bahwa bahasa resmi di Indonesia adalah bahasa Indonesia. Selain itu, dasar negara Indonesia adalah Pancasila, karena itu lebih luwes dalam menampung masalah-masalah keanekaragaman.

Meskipun Indonesia lebih terbuka bagi keanekaragaman, sejak dahulu agama Islam tetap mendominasi kehidupan orang-orang Tanjungpinang dan kawasan-kawasan sekitarnya. Karena itulah, proses kolonialisme pada orang Indonesia, orang Melayu di Singapura, orang Malaysia, dan orang Brunei Darussalam, tidak sama dengan pemikiran Homi Bhabha dan juga pemikiran Frantz Fanon. Pemikiran Homi Bhabha mengenai mimicry, hybridity, dan ambivalensi tidak begitu berlaku di Indonesia, Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam.

Bagaimana mengenai bahasa Melayu di Singapura? Karena orang Melayu di Singapura bukan mayoritas, dan sebagai negara, Singapura didominasi oleh kehidupan internasional, maka kedudukan bahasa Melayu di Singapura tidak sekokoh kedudukan bahasa Indonesia dan bahasa Melayu di Indonesia dan Malaysia. Tetapi, apa pun yang terjadi, orang Singapura memiliki semangat sebagaimana yang dinyatakan oleh Hang Tuah, yaitu “takkan Melayu hilang di dunia.” Kendati bahasa Melayu di Singapura digoyang oleh bahasa Inggris, agama Islam dan adat-istiadat Melayu tetap kokoh.

 

PANCAROBA TANJUNGPINANG

“Nasib” Tanjungpinang dan kawasan-kawasan sekitarnya, menurut Dermaga Sastra Indonesia, dapat diringkas sebagai berikut: ada masa kejayaan, ada masa keruntuhan, ada masa kebangkitan kembali. Masa kejayaan ditandai dengan kejayaan kerajaan-kerajaan Melayu, khususnya Kerajaan Lingga-Riau dengan pusatnya di Pulau Penyengat, atau lengkapnya Pulau Penyengat Inderasakti, sebuah pulau yang  sekarang menjadi bagian dari kota Tanjungpinang. Sementara itu, baik masa keruntuhan maupun masa kebangkitan kembali mempunyai akibat luas terhadap nasib orang-orang Melayu.

Keruntuhan pertama terjadi pada bulan September 1784 ketika Riau jatuh ke tangan Belanda. Lalu, sebagaimana telah diuraikan di atas, pada tanggal 10 November 1784 Perjanjian Utrecht ditandatangani. Inti perjanjian ini: semua hak kerajaan Melayu dicabut, dan Belanda menjadi penguasa tunggal. Kedaulatan, dengan demikian, sudah tidak berada di tangan orang Melayu lagi.

Keruntuhan kedua terjadi ketika Traktat London ditandatangani pada tanggal 17 Mei 1824. Dalam traktat ini ditetapkan, bahwa Belanda tidak akan lagi berusaha untuk menguasai kawasan-kawasan di semenanjung tanah Melayu. Dengan demikian, kerajaan-kerajaan Melayu Riau-Lingga-Johor-Pahang (termasuk Singapura dan Trengganu) dipisah. Kawasan Lingga-Riau (kawasan Indonesia sekarang) menjadi milik Belanda, dan Johor, Singapura, Pahang, serta Trengganu (Singapura sekarang berdiri sebagai negara sendiri, sementara Johor, Pahang, dan Trengganu manjadi bagian Malaysia sekarang) menjadi milik Inggris.

Dengan adanya traktat ini, maka orang-orang Melayu yang pada hakikatnya memiliki jiwa yang sama sebagaimana tercermin dalam bahasanya, yaitu bahasa Melayu, agamanya, yaitu agama Islam, dan adat-istiadatnya, yaitu adat resam Melayu, dipisahkan oleh kolonialisme menjadi dua bangsa. Kemudian, setelah Singapura yang awalnya menjadi bagian Malaysia berpisah dengan Malaysia pada tanggal 9 Agustus 1965, orang-orang Melayu dipisah menjadi tiga bangsa dalam tiga negara.

Perpisahan inilah yang kemudian memicu seorang pengarang Singapura, Isa Kamari, untuk menulis novel Satu Bumi, yaitu, satu tanah Melayu, yang karena kolonialisme dan kebangkitan nasionalisme, berada pada bumi yang berbeda-beda. Untuk memperlancar penulisan novel ini, Isa Kamari menyempatkan diri bersambang ke Pulau Penyengat, pusat kebudayaan Melayu di masa lampau. Yang sangat mengesankan di Pulau Penyengat adalah makam para sultan dan bangsawan pada waktu itu, termasuk makam Raja Ali Haji, pencipta Gurindam Dua Belas. Makam adalah lambang masa lalu, dan novel Satu Bumi juga didahului dengan latar makam, dan berakhir dengan latar makam pula.

Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, Tanjungpinang pun mengalami beberapa masa pancaroba. Pancaroba pertama terjadi pada tahun 1945-1950, yang melibatkan kepentingan kolonialisme, feodalisme, dan nasionalisme. Belanda ingin menguasai Indonesia lagi, sebagian bangsawan ingin mendirikan kerajaan Melayu lagi, sementara kaum nasionalis ingin menggabungkan diri dengan Republik Indonesia.

Pancaroba kedua terjadi ketika Tanjungpinang dijadikan “kota dolar” pada tahun 1950-an, yang memberi kesan seolah-olah Tanjungpinang bukan bagian dari Republik Indonesia. Tanjungpinang sebagai “kota dolar” merupakan kepanjangan dari persaingan antara Belanda dan Inggris sebelum Perang Dunia dulu. Inggris menjadikan Singapura bebas pajak, dan karena itu Tanjunpinang jadi lesu. Merasa tersaingi oleh Inggris, Belanda ikut-ikutan menjadikan Tanjungpinag sebagai kota pelabuhan tanpa pajak.

Pancaroba ketiga terjadi pada tanggal 20 Januari 1959, ketika ibukota Provinsi Riau, yaitu Tanjungpinang, diganti menjadi Pekanbaru sebagai ibukota Provinsi Riau. Ada pancaroba lain, yaitu ketika Provinsi Riau dimekarkan menjadi dua provinsi, yaitu Provinsi Riau dengan ibukota Pekanbaru, dan Propinsi Kepulauan Riau dengan ibukota Tanjungpinang.

Dengan adanya berbagai pancaroba ini, maka Tanjungpinang memerlukan masa kristalisasi, yaitu jangka waktu tertentu untuk menjadi “dirinya sendiri”. Kristalisasi ini mencapai puncaknya pada tahun 1970-an, sebelum Tanjungpinang menjadi ibukota Provinsi Kepulauan Riau. Tahun 1970-an memang merupakan masa yang unik dalam dunia pemikiran di Indonesia, dengan ditandai oleh berbagai gejala:

  1. Ada keinginan para arsitek Indonesia untuk mencari wajah arsitektur khas Indonesia.
  2. Ada keinginan di kalangan ilmu hukum di Indonesia untuk menciptakan hukum Indonesia, lepas dari hukum Belanda.
  3. Ada keinginan di kalangan psikolog untuk menciptakan psikologi khas Indonesia yang tidak semata-mata meniru psikologi Barat.
  4. Ada keinginan untuk menciptakan teori sastra Indonesia agar studi sastra Indonesia tidak lagi tergantung pada teori sastra dari Barat.
  5. Ada usaha-usaha untuk mendirikan pusat-pusat kajian etnik, seperti misalnya Pusat Kajian Bali, Javanologi, Pusat Kajian Minangkabau, dan lain-lain.
  6. Ada usaha untuk mengangkat warna lokal dalam sastra nasional Indonesia, seperti misalnya Pengakuan Pariyem, prosa lirik Linus Suryadi AG dengan nuansa kebudayaan Jawanya yang kental, Warisan, novel Chairul Harun dengan nuansa kebudayaan Minang yang juga kental, dan Upacara, novel Korrie Layun Rampan dengan kebudayaan Kalimantannya (Darma, Basis).

 

Itulah yang terjadi di Indonesia pada umumnya. Dan, yang terjadi di Tangjungpinang adalah kebangkitan kembali Tanjungpinang sebagai kota sastra, menerusi warisan abad ke-19, ketika Kerajaan Lingga-Riau dengan pusat kekuasaannya di Pulau Penyengat melahirkan Raja Ali Haji, pencitpa Gurindam Dua Belas. Kecuali ada Raja Ali Haji, pada abad ke-19 ada sastrawan-sastrawan Raja Ahmad, Haji Ibrahim Datuk Kaya Muda, Raja Daud, Raja Hasan, Khalid Hitam, Abu Muhammad Adnan, Raja Adi Kelana, dan Aisyah Sulaiman.

Setelah masa kebangkitan tahun 1970-an, sastrawan-sastrawan lain muncul, seperti Hasan Junus, Rida K. Liamsi, Sutarji Calzoum Bachri, Ibrahim Sattah, BM Syamsuddin, Machzumi Dawood, Tusiran Suseno, Abdul Kadir Ibrahim (AKIB), Hoesnizar Hoed, Bhinneka Surya Sam, Junewal Muchtar, dan Suryatati A. Manan. Pada saat ini telah muncul pula bibit-bibit muda, antara lain Efiyar M. Amin, Heru Untung Laksono, Muhtadi, Syafaruddin, Teja Alhabd, Erizal Norman, Syamsurizal, Ary Sastra, Erwin Pitualam, Haji Abdul Manan AR, Mila Duchlun, Riawati Elita, Citra Pandiangan, Muhammad Chandra, dan Rendra Setyadiharja.

 

REDEFINISI JATIDIRI MELAYU

Mayoritas sastrawan di atas, sadar atau tidak, berusaha untuk mengangkat kembali masalah kemelayuan, dan karena itu, karya mereka memberi sumbangan besar bukan hanya kepada sastra nasional Indonesia, tapi juga, dan lebih-lebih lagi, kepada pengayaan kearifan lokal. Indonesia sebagai sebuah negara kesatuan dengan situasi dan kondisi kebhienneka-tunggal-ikaannya memerlukan berbagai macam sastra, termasuk sastra dengan warna lokal. Kecuali itu, masing-masing sastrawan di atas mempunyai keunikan sendiri-sendiri, dan karena itu, mereka merupakan individu-individu mandiri dalam sebuah kelompok sastrawan dari satu kawasan yang sama. Sutarji Calzoum Bachri, Ibrahim Sattah, dan AKIB sama-sama menyuarakan puisi-puisi mantra, tapi pada hakikatnya mereka berbeda. Sutarji Calzoum Bachri lebih menekankan pada aspirasi untuk membebaskan diri dari tradisi puisi, Ibrahim Sattah lebih banyak menyuarakan kegundahan hati, dan AKIB lebih menekankan aspirasi bahwa bentuk atau form tidak mungkin diabaikan.

Pada dasarnya semua karya sastra mempunyai komponen yang saling tergantung, yaitu isi atau content dan bentuk atau form. Isi adalah apa yang akan diungkapkan oleh sastrawan, dan bentuk adalah bagaimana cara sastrawan mengungkapkan isi atau gagasannya. Anggapan umum menyatakan, bahwa penciptaan bentuk atau form lebih rumit dibanding dengan penciptaan isi atau content. Memahami isi novel Sitti Nurbaya, misalnya, relatif mudah, tapi menuliskan isi Sitti Nurbaya dalam bentuk atau form novel bukanlah pekerjaan main-main. Seseorang yang mampu menciptakan ide tertentu, belum tentu mampu menciptakan bentuk atau form untuk menuangkan idenya dalam bentuk novel. Di sinilah letak perbedaan antara AKIB dan penyair-penyair mantra yang lain, antara lain Sutarji Calzoum Bachri dan Ibrahim Sattah.

Sekali lagi, mayoritas sastrawan Tanjungpinang dan kawasan-kawasan sekitarnya, sadar atau tidak, berusaha mengangkat kembali masalah kemelayuan. Hasan Junus, misalnya, adalah narasumber handal mengenai masalah kemelayuan, dan kedudukannya sebagai H.B. Jassin sastra Melayu benar-benar diakui. Rida K. Liamsi, seorang konglomerat pers, perhatiannya juga sangat besar terhadap kemelayuan. Karena itulah, atas prakarsanya, sebuah yayasan kebudayaan Melayu didirikan. Yayasan ini, Sagang namanya, merangsang para sastrawan untuk menulis karya sastra yang bagus, antara lain dengan pemberian Anugerah Sagang. Sajak-sajak Rida K. Liamsi pun, baik sajak lirik biasa maupun sajak-sajak mantranya, juga menyuarakan aspirasi Melayu.

BM Syamsuddin (Bujang Mat Syamsuddin), sementara itu, juga dianggap sangat berjasa dalam pemikirannya mengenai sastra Melayu, dan karena itulah, maka namanya diabadikan di Kompleks Bandar Serai Pekanbaru. Di luar kompleks itu, ada sebuah tempat pertunjukan terbuka, Laman Bujang Mat Syam namanya. Cerpen-cerpennya, antara lain “Kembali ke Bintan” dan “Cengkeh pun Berbunga di Natuna”, berkisah tentang kebobrokan Tanjungpinang dan kawasan-kawasan sekitarnya sebagai akibat salah urus dan korupsi pemerintahan Orde Baru.

Dalam sajak-sajaknya, Machzumi Dawood sangat terinspirasi oleh situasi dan kondisi lingkungannya, yaitu Tanjungpinang dan kawasan-kawasan sekitarnya sebagai kawasan laut. Imagi kelautan, misalnya “anjungan”, “geladak”, “layar”, “tali”, “tiang”, “sauh”, dan lain-lain mewarnai sajak-sajaknya. Novel Tusiran Suseno, Mutiara Karam, sementara itu, mengangkat kisah masa lampau ketika lautan Riau menjadi lahan penjarahan oleh penyamun-penyamun laut. Dari karya-karyanya tampak, dengan menengok ke dunia Melayu jaman dahulu, Tusiran Suseno sebetulnya mendefinikan kembali jatidiri orang Melayu.

Penyair Hoesniah Hood, seperti halnya Machzumi Dawood, juga menyuarakan nuansa kehidupan laut sebagai salah satu ciri jatidiri orang Melayu, orang yang hidup di kawasan kepulauan. Nostalgia akan kebesaran kebudayaan Melayu diangkatnya, demikian juga kemunduran-kemunduran kebudayaan Melayu, dan ditutup dengan tantangan dengan harapan masa depan orang Melayu akan jauh lebih baik. Kekalahan akan ditebus dengan semangat baru, sebagaimana yang tampak dalam salah satu sajaknya: … laut/ berikan aku ikan melayu yang kering/…/ berikan  aku garam/ aku melayu yang payau/…/ berikan aku ombak/ aku melayu yang hanyut/…/ laut/ berikan aku tiang/ berikan aku tambat/ berikan aku busuk anyirmu/ berikan aku hantumu/ aku minta puaka aku minta jembalang/ aku melayu yang meradang/….

Kekalahan orang Melayu masa lampau juga tergambarkan dalam puisi Bhinneka Soerya Sam, melalui salah satu baris sajaknya, hikayat Hang Tuah hampir pun sirna. Hang Tuah adalah pahlawan Melayu dengan ungkapannya yang terkenal, “Takkan Melayu hilang di bumi,” yang ternyata telah kehilangan gaung. Apa dan siapa Hang Tuah memang sering diperkatakan, demikian pula siapa sebenarnya pahlawan sejati dalam Hikayat Hang Tuah. Dahulu Hang Tuahlah yang dianggap sebagai pahlawan, namun setelah didekonstruksi, ada paradigma baru, bahwasanya Hang Jebatlah sebetulnya yang merupakan pahlawan sejati, dan bukannya Hang Tuah.

Dekonstruksi yang kemudian membalik paradigma awal juga terjadi pada novel Marah Rusli, Sitti Nurbaya. Datuk Maringgih digambarkan sebagai penjahat serakah, pelit, dan tanpa hati nurani, sementara Syamsul Bachri dianggap sebagai pahlawan. Karena ternyata Datuk Maringgih adalah satu-satunya orang yang berani melawan Belanda, sementara Syamsul Bachri mengabdikan diri pada Belanda, maka, setelah melalui dekonstruksi, muncullah paradiga baru, bahwa Datuk Maringgih tidak lain dan tidak bukan adalah pahlawan. Keburukan rupa dan kebejatan watak Datuk Maringgih hanyalah semacam kamuflase agar supaya penjajah Belanda pada waktu itu tidak merasakan adanya paradoks dan ironi pada tokoh Datuk Maringgih. Namun, apa pun yang terjadi, dalam pemikiran Bhinneka Soerya Sam, Hang Tuah pastilah pahlawan, dan semangat kepahlawanan ini hampir sirna di kalangan orang Melayu.

Dalam pandangan Junewal Muchtar, sementara itu, negeri Melayu adalah negeri yang terkalahkan, sebagaimana yang tampak dalam baris-baris sajaknya: hingga aku mabuk dalam duka/ melihat negeriku yang makin sepi/ bagaikan sepi di antara dua mimpi/ nyeri di matahari. Orang Melayu bukan hanya dilibas oleh pihak-pihak luar, yaitu Singapura dan Malaysia, akan tetapi oleh kekuatan internal sendiri, yaitu Pemerintah Republik Indonesia. Kekuatan orang Melayu Riau terpendam oleh beberapa kekuatan lain, sebagaimana yang tampak dalam salah satu puisinya: diamlah kalian pada riau/ kalian tak tahu dari segala amukku/ kalian tak tahu apa mauku/ pada resah dari segala negeriku/ kian menjadi naga naga sakti dengan/ rahang dan taringnya yang buas/ berhambakan pada kerakusan diri/ menjadikan diri sebagai nabi berbulu/ babi…//.

Sebagai penyair yang memiliki kedudukan walikota, adalah masuk akal manakala Suryatati A. Manan menulis puisi tentang birokrasi, seperti misalnya dalam “Keluhan III”, sebuah sajak humor mengenai kerumitan birokrasi:

 

Bu Wali, bagaimana dengan proposal kami?

Katanya kemarin menunggu Anggaran Pendapatan Daerah diketok.

Sekarang sudah diketok, kenapa belum cair-cair juga?

Bu, terimakasih

Proposal kami sudah disetujui

Tapi katanya dana pula yang tak ada

Bu, katanya proposal dah tak ada masalah

Sudah ada disposisi, dana ada tapi bendaharawan pula yang tak ada

Bu, kami sudah berkali-kali ke sini

Dijanjikan dari hari ke hari, berminggu-minggu

Ditunggu, berbulan-bulan

menaruh harapan, sampai akhirnya

tutup tahun anggaran,

yang dijanjikan tinggal kenangan.

Tunggu tahun hadapan katanya.

 

Birokrasi, dalam bahasa Inggrisnya adalah “red tapes”, yaitu sebuah proses melalui berbagai meja dan kursi, sementara setiap meja dan kursi ada sub-mejanya dan sub-kursinya pula. Keputusan di sebuah meja dan kursi tidak akan berjalan dengan baik manakala jalinan semua meja dan kursi tidak terangkai dengan baik. Karena itu sebuah keputusan akhirnya tetap menjadi keputusan tanpa mungkin menjadi pelaksanaan. Pengalaman Suryatati A. Manan, baik sebelum menjadi walikota maupun sesudah menjadi walikota, membeberkan bahwa sistem birokrasi di Indonesia memang buruk, dan untuk mengatasinya juga sukar.

Itulah Suryatati A. Manan sebagai penyair yang juga menjadi birokrat. Sebagaimana mayoritas sastrawan Melayu, Suryatati M. Manan juga mempertanyakan kemelayuannya, sebagai sebuah proses dalam mendefinisikan kembali jatidiri orang Melayu. Menjadi birokrat hanyalah sementara, karena birokrasi akan diakhiri dengan masa pensiun, sedangkan menjadi orang Melayu adalah abadi. Demikian juga menjadi penyair. Karena itu, tampaknya Suryatati A. Manan merasa lebih mantap dalam kedudukannya sebagai penyair Melayu sebagaimana yang tampak dalam Pertemuan Penyair Nusantara IV di Brunei Darussalam pada bulan Juli 2010. Dalam acara itulah Suryatati A. Manan menampilkan sajak dari kumpulan puisinya, Melayukah Aku?

Mayoritas sastrawan Tanjungpinang, sebagaimana yang telah diuraikan di atas, menganggap bahwa kemelayuan adalah darah daging mereka. Kecuali itu, seperti telah diuraikan di atas pula, tanah Melayu itu luas. Kalau dipetakan secara sederhana, maka tanah Melayu meliputi Indonesia (khususnya kawasan kerajaan Riau-Lingga dahulu), Singapura, Malaysia, Brunei, dan kawasan-kawasan lain. Sama dengan sastrawan Melayu Singapura, sastrawan Tanjungpinang dan kawasan-kawasan sekitarnya sangat peka terhadap kemelayuan mereka. Sastrawan Malaysia juga peka terhadap kemelayuan mereka, seperi yang tampak antara lain dalam Festival Puisi dan Lagu Rakyat Antarabangsa di Pulau Pangkor, Malaysia, pada awal tahun 2011, tapi tidak sepeka sastrawan-sastrawan Melayu di Singapura dan Indonesia. Kendati dasar negara Brunei Darussalam adalah MIB (Melayu, Islam, Beraja), dalam masalah kemelayuan sastrawan-sastrawan Brunei Darusalam tidak sepeka para sastrawan Indonesia, Singapura, dan bahkan Malaysia pula.

Sastrawan-sastrawan Melayu baik di Indonesia maupun di Singapura banyak mendedah kekalahan Melayu di masa lalu, dan berusaha bangkit untuk menjadi Melayu baru yang bermartabat. Contoh dari Indonesia sudah tampak dalam uraian-uraian di atas. Junewal Muchtar, misalnya, kecuali menyuarakan aspirasi kekalahan masa lampau, juga menyuarakan aspirasi untuk menuju masa depan yang lebih baik untuk orang Melayu. Di Singapura pun ada sastrawan yang awalnya mengaku bahwasanya orang Melayu adalah kelompok yang terkalahkan, dan karena itu perlu bangkit kembali. Ada pula sementara sastrawan yang menyuarakan perihal kekalahan orang Melayu, sementara sastrawan lain menyuarakan aspirasi kebangkitan.

Penyair Singapura Mohamed Latiff Mohamed, misalnya, dalam ”Melayuku Melayumu” menyuarakan kekalahan orang Melayu: Melayuku bagai serigala sengsara/ sakit tersiksa/…/ Melayuku adalah pelamin yang patah/ pusara yang legam/ dan malam yang pasrah. Demikian pula dalam “Sungai Melaka”: sudah sampai masanya/ melayu akan hilang di dunia. Namun, kemudian, penyair yang sama dalam “Melayu Baru” menyuarakan aspirasi berbeda, yaitu tekad untuk maju: Melayu baru itu sebetulnya pendobrak budaya tua/ merentangkan sutera silatulrahim buat anak manusia/ menolak wangi cendana istana, darjat dan harta/ menentang pemadat dan budaya durjana/ menolak menyerah pada takdir semata//.

Aliman Hasan, juga penyair Singapura, seperti halnya Mohamed Latiff Mohamed dalam “Melayuku Melayumu”, juga menyuarakan kekalahan dalam “Kebanggan yang Hilang”: tergambar ketandusan nilai tradisi/…/ terhapuslah sanjungan/ hilanglah kebanggaan! Sementara Mohamed Latiff Mohamed meng-counter dirinya sendiri, penyair lain, Yahya Abdul Hamid namanya, menantang dengan suara garang: seperti engkau aku juga Melayu/ yang tidak lagi kaku dan malu-malu/ berdepan dengan perubahan/ atau dikhuwatiri kemungkinan/…/ telah kutangkap intelektual/ dengan tangan sebelah/ dan kumasukkan/ ke dalam saku kemelayuanku.

Sekali lagi, hampir semua sastrawan Melayu terobsesi oleh kekalahan masa lalu dan kemenangan di masa yang akan datang, dan, karena itu, memandang bahwa pendefinisian kembali jatidiri Melayu perlu dicari. Dengan demikian, hampir semua sastrawan Melayu sangat peka terhadap kemelayuan. Tetapi, mengapakah tingkat kepekaan yang paling tinggi berada di Singapura dan Tanjungpinang dan kawasan-kawasan sekitarnya, disusul oleh Malaysia, kemudian oleh Brunei Darussalam? []

 

Daftar Pustaka

Al-Attas, Syed Muhammad Naguib, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu. Kuala Lumpur: Universiti Kebangsaan Malaysia, 1972.

Darma, Budi. “Novel Indonesia Sekarang”. Basis. Tiga nomor berturut-turut.

Rahman, Jamal D., Al azhar, Abdul Malik, Agus R. Sarjono, Raja Malik Hafrizal, Dermaga Sastra Indonesia: Kepengarangan Tanjungpinang dari Raja Ali Haji sampai Suryatati A. Manan. Tanjungpinang: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang & Jakarta: Penerbit Komodo Books, 2010.

Sariyan, Awang. ”Mencari Melayu dalam Jati Diri Sebenar” dalam Dewan Bahasa dan Budaya, Juni 2001, hlm. 10-11.

Shariff, Abbas Mohd, Budaya dan Falsafah Orang Melayu. Singapura: Abbas Bin Mhd. Shariff, 2002.

Makalah disampaikan dalam Diskusi dan Peluncuran buku Dermaga Sastra Indonesia: Kepengarangan Tanjungpinang dari Raja Ali Haji sampai Suryatati A. Manan, 29 Maret 2011, di Bentara Budaya Jakarta.

Sumber: http://horisononline.or.id/esai/dermaga-sastra-indonesia

Komentar

Foto azwar

Tanjungpinang Kota yang hilang Gaaungnya

Kota tangjungpinang adalah kota dagang sebelum batam, tapi dengan kebijakan pusat kota tanjungpinang seperti mati rasa, sepertinya kita rakyat Tangjungpinang membiarkan hal tersebut terjadi, sampai saat ini tangjungpinang seperti bayi yang belum tumbuh giginya. pada hal ekonomi kita tumbuh baik sebelumnya kota-kota yang lainnya disekitarnya. wahai pejabatku dan raja-raja ku mulai sekarang gaungkan lagi kota kita. sekarang saat momentumnya..........

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler