Skip to Content

DIALOG DUA EKOR AYAM

Foto usman hasan

DIALOG DUA EKOR  AYAM

Oleh : Usman Hasan

Ayam ras, biasa juga orang menyebutnya ayam leghoren tapi sekarang lebih populer disebut ayam petelor.

Ayam petelor ditempatkan di kandang berukuran sekitar 40 x 40 Cm. Setiap pagi dan sore diberikan pakan (makanan) berkwalitas yang dibeli dari toko dan dicampur beras jagung.

Ada juga yang disebut ayam biasa atau populer disebut ayam kampung. Nah, ayam kampung biasanya tidak di kandang,  berkeliaran mencari makanan sendiri, walau setiap pagi diberikan makanan tambahan oleh pemiliknya.

Suatu ketika ayam petelor berdialog dengan ayam kampung.

Ayam kampung (AK) : kamu enak. Berdiam dalam kandang, tidak kehujanan, tidak kepanasan. Makanan kamu  bergizi, berkwalitas,  buatan pabrik, minum air yang dicampur vitamin. Setiap hari kandangmu dibersihkan dan setiap sore  dilakukan pengasapan sehingga jauh dari nyamuk yang menjengkelkan. Dibandingkan saya, ya …. melarat, luntang lantung masuk semak belukar dengan resiko dimangsa soa-soa, bertengger di pohon dengan resiko dimangsa ular sawah.

Ayam petelor (AP) : ah, kamu berlebihan. Hidup memang begitu. Seperti kata sebuah peribahasa ‘hidup itu pandang memandang’. Maksudnya, kamu menganggap saya enak, sebaliknya saya memandang kamu yang enak. Kamu kan bebas berkeliaran. Masuk dalam semak belukar, terbang sesuai kemampuanmu terbang, bertengger dimana saja yang disukai, bisa mengeram dan memelihara anak-anakmu demi kelanjutan generasi. Kalau saya diperas manusia habis-habisan, telorku  dijadikan lembaran rupiah.

Kalau saya sudah tua, produksi telor sudah tidak sesuai lagi menurut perhitungan pemeliharaku, maka aku akan disembelih. Itu pun masih diejek bahwa daging saya tidak seenak daging ayam kampung seperti kamu. Telorku saja dianggap kurang berkwalitas dibandingkan dengan telor ayam kampung.

AK : ia juga ya. Tapi ngomong-ngomong, susah-susahnya kita dengan segala macam kelemahan dan kekurangan kita, dibandingkan dengan manusia yang memelihara kita. Ndak pernah bertelor, ndak enak dagingnya dimakan, mulutnya bau, apalagi kalau buang angin – busuknya minta ampun.

AP : wah..wah ! Kenapa pula omonganmu sudah ngelantur begitu. Walau kita bertelor sedangkan manusia tidak bertelor, walau daging kita enak dimakan sedangkan daging manusia tidak enak dimakan, tapi tidak kenak kalau mengkaitkannya  dengan superioritas. Keliru kamu kawan. Manusia tetap manusia. Ayam tetap ayam. Ayam tidak bisa jadi manusia, sedangkan manusia tidak boleh jadi ayam. Manusia  memiliki tujuan penciptaan yang kelak harus dipertanggungjawabkan, sedangkan kita ini, ya seperti realitas yang kamu lihat dan alami. Sudah syukur kalau kita dapat bermanfaat bagi manusia dan daging kita dapat dinikmati oleh manusia. Begitu saja kok repot.

AK : “tapi begini”, kata ayam kampung masih tak mau kalah. “Maksud saya,, ketika manusia itu moralnya buruk, akhlaknya tercela, perbuatannya khianat, tingkah lakunya menyebabkan kerusakan di bumi, menyebabkan peperangan, merusak lingkungan, korupsi, menzalimi sesama manusia – itu namanya bikin rugi Negara. Apa faedahnya ? Sedangkan manusia diciptakan oleh Sang Pencipta untuk menjadi rahmat dan kemaslahatan bagi bumi dan makhluk yang ada didalamnya. Kalau seperti itu kan, maksud saya, masih lebih baik kita ayam.Kita menghasilkan telor dan daging kita dapat disantap. Tapi, manusia yang tak berguna ? Sudah ndak bertelur, dagingnya ndak enak dimakan, masih membuat segala macam fitnah dan kerusakan diatas bumi Allah.

AP : oh begitu maksudnya. Kalau begitu sih, boleh-boleh juga. Saya sepakat lah .


penulis pemred jurnal ylbhr tolitoli

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler