Skip to Content

Hujan Bulan Juni Sapardi Djoko Damono: Kesederhanaan Dalam Bingkai Hujan

Foto gabriela fernanda subagio

 

            Sapardi Djoko Damono, seorang pujangga yang mampu menggelitik hati para konsumen sastra melalui karya-karyanya. Sapardi adalah tokoh penyair yang menentang realisme formal, sama seperti Kuntowijoyo yang mengatakan bahwa, sastra tidak menunjuk pada obyek tertentu, melainkan gagasan atau imagisasi tentang sesuatu. Sebagai penyair yang telah dikenal kepiawaiannya dalam berpuisi, Sapardi menyajikan rangkaian diksi yang menyimpan makna dibalik kesederhanaan sajaknya. Makna yang disampaikan Sapardi tidak dijelaskan secara gamblang sehingga kesederhanaan puisinya tidak menjamin pembaca dapat dengan mudah menggali makna yang terkandung dalam puisi tersebut. Berbeda dengan karya-karya penyair legendaris sebelumnya yang didominasi segi realisme-sosialis hasil revolusi yang belum terselesaikan, Sapardi cenderung menceritakan hal-hal yang pribadi dalam sajaknya. Memang tampak subjektif jika kita hanya menulis hal-hal yang pribadi dan sesuai dengan suasana hati namun, inilah keunikan dan ciri khas yang dimiliki Sapardi dalam menuang karya imajinatifnya. Puisi-puisi Sapardi dalam antologi Hujan Bulan Juni dipilih untuk dijadikan pembongkar sastra yang telah lama didekap paham realisme karena mencerminkan ide-ide kepengarangan yang bebas dan mampu memberikan nuansa baru dalam dunia kesastraan Indonesia.

            Sajak-sajak Sapardi dalam antologi Hujan Bulan Juni cenderung menggunakan diksi yang tidak berlebihan dan mendayu-dayu. Kesederhanaan yang disajikannya tidak mengurangi unsur kepekaan rasa, pikiran, dan tindakan dalam puisinya. Sapardi menggambarkan keserdahanaannya melalui suasana sunyi yang berkali-kali ia gunakan dalam sajaknya dan senandung cinta yang ringkas namun menggugah hati pecinta sastra. 

 

Sajak Sunyi

            Beberapa kali dalam sajak romantiknya, Sapardi menggunakan diksi yang tidak terlalu apik tetapi juga tidak monoton. Namun, sajak-sajak ini biasanya diberi nuansa sunyi:

Ketika jari-jari bunga terbuka

mendadak terasa: betapa sengit cinta kita

cahaya bagai kabut, kabut cahaya; di langit

menyisih awan hari ini; di bumi

meriap sepi nan purba;

ketika kemarau terasa ke bulu-bulu mata, suatu pagi

di sayap kupu-kupu, di sayap warna

suara burung di ranting-ranting cuaca,

bulu-bulu cahaya: betapa parah cinta kita

mabuk berjalan, diantara jerit bunga-bunga rekah

-Ketika jari-jari bunga terbuka (1968)

 

kupandang kelam yang merapat ke sisi kita;

siapa itu di sebelah sana, tanyamu tiba-tiba

(malam berkabut seketika);

barangkali menjemputku

barangkali berkabar penghujan itu

kita terdiam saja di pintu; menunggu

atau ditunggu, tanpa janji terlebih dahulu;

kenalkah ia padamu, desakmu (kemudian

sepiterbata-bata menghardik berulang kali)

bayang-bayangnya  pun hampir sampai di sini;

janganucapkan selamat malam; undurlah pelahan(pastilah

sudah gugur hujandi hulu sungai itu); itulah Saat itu, bisikku

kukecup ujung jarimu; kau pun menatapku:

bunuhlah ia, suamiku (kutatap kelam itu

bayang-bayang yang hampir lengkap mencapaiku

lalu kukatakan: mengapa Kau tegak di situ)

-Kupandang Kelam Merapat Kesisi Kita (1968)

Dalam puisinya tahun 1968, berpokok pada suasana yang sepi sama seperti puisi-puisi sebelumnya pada tahun 1967. Puisi Ketika Jari-jari Bunga Terbukamenyebut kata “cinta” yang jelas sekali menunjukkan adanya aliran romantik. Namun, romantika disini menggambarkan kesedihan atau kehancuran.Lirikdiantara jerit bunga-bunga rekah”  tampaknya memberi sedikit warna dari kesunyian “meriap sepi nan purba…”jika digabungkan, kedua kalimat ini akan membentuk majas paradoks yang menggambarkan suasana sepi di tengah keramaian.

Sedangkan puisi Kupandang Kelam Merapat Kesisi Kita menceritakan  sepasang suami-isteri yang didatangi kematian. Tidak ada unsur cinta atau romantik disini.Sapardi bercerita melalui sajaknya dengan kalimat-kalimat yang jelas.Sajak ini runtut, layaknya cerita singkat, Sapardi memberi latar, peran, dan peristiwa. Namun, lagi-lagi Sapardi memberi rasa sunyi dalam kata-kata “kelam”, “malam”, “sepi”. Kalimat “kupandang kelam yang merapat ke sisi kita;”menggambarkan aku lirik yang menyadari dirinya didekati oleh kematian, ia merasa jemputan itu telah tiba.“itulah Saat itu, bisikku”merupakan pernyataan bahwa aku lirik menyadari ia harus pergi, maka diciumnya ujung jari isterinya. Isteri tahu apa yang telah terjadi, ketakutan karena bayang-bayang lengkap mencapai suaminya: “bunuhlah ia, suamiku”. Lirik terakhir dapat dikatakan ambigu. “mengapa Kau tegak disitu” kalimat ini terhenti, tanpa penjelasan yang berarti. Kalimat tersebut entah berarti siap untuk dijemput entah berarti pertanyaan apa alasan bayang-bayang berdiri tegak di hadapannya, yang jelas kalimat tersebut berakhir dengan pertanyaan tanpa jawaban.

Dari kedua puisi yang berbeda tema di atas, tampak ciri khas Sapardi yang menyusun kata demi kata, kalimat demi kalimat, bait demi bait dengan sederhana namun, mengandung makna yang jelas. Sajak-sajaknya mencandu sunyi, sekaligus tersiksa oleh sepi.Permainan kata-kata yang dirangkai identik untuk menunjukkan suasana.Hampir semua puisi-puisi Sapardi yang lahir pada tahun 1968 bertema kesunyian, kehancuran, dan kematian.

 

Senandung Romansa

aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya debu

aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

-Sapardi Djoko Damono “Aku Ingin” (1989).

Dalam pandangan dunia romantik, “aku” selalu menjadi center of interest; sehingga mengutamakan perasaan, reaksi, dan persepsi.Puisi Aku Ingin ,puisi yang melegenda dan sering digunakan sebagai kutipan bahkan musikalisasi. Dalam puisi ini, Sapardi menyampaikan kesederhanaan cintanya melalui kata-kata yang sederhana pula.Pada larik pertama, ketulusan dan kemurnian cinta mengalir dengan syahdu, “aku ingin mencintaimu dengan sederhana” merupakan awalan yang akan menarik perhatian peminat sastra karena peran perasaan lebih besar daripada peran pemikiran. Baik bait satu maupun dua dijelaskan secara tersirat pengorbanan dalam percintaan. Kalimat peniadaan disini terselubung namun, dapat dengan mudah kita pahami. “kayu kepada api yang menjadikannya tiada” bermakna cinta aku lirik kepada seseorang meskipun akan meniadakannya. Walaupun terkesan sia-sia, pengorbanan pasti berbuah hasil, seperti hangat api yang dihasilkan dari menggerogoti kayu. Pengorbanan cinta juga digambarkan pada bait kedua, “awan kepada hujan yang menjadikannya tiada”.

Pada hemat saya, puisi Aku Ingin menonjolkan aliran romantik yang apik; sehingga konsumen sastra tidak hanya memahami tetapi juga merasakan. Puisi cinta yang ringkas dan amat sederhana, tidak  bertele-tele. Bandingkan:

          dalam doaku subuh ini kau menjelma langit yang bersalaman

            …

dalam doa malamku kau menjelma denyut jantungku, yang

dengan sabar bersitahan terhadap rasa sakit yang

entah batasnya, yang setia mengusut rahasia demi

rahasia, yang tak putus-putusnya bernyanyi bagi

kehidupanku

 

aku mencintaimu, itu sebabnya aku takkan pernah selesai

mendoakan keselamatanmu

-Dalam Doaku (1989)

 

Pada tahun yang sama, Sapardi menulis puisi cinta berjudul Dalam Doaku yang terdiri dari 6 bait. Puisi ini terlalu panjang jika dibandingkan dengan puisi Aku Ingin .Majas yang digunakan pun terlalu banyak sehingga menenggelamkan kesederhanaan Sapardi dalam berpuisi. Meskipun demikian, senandung romansa tetap mengalir dalam puisi ini:

“…aku mencintaimu, itu sebabnya aku takkan pernah selesai

            mendoakan keselamatanmu…”

           Larik yang menusuk kalbu.Sajaknya meluhurkan kesetiaan sebagai wujud perasaan cinta sebagaimana aku lirik mewujudkannya dalam bentuk doa.

 

Hujan

            Hujan merupakan tema pokok yang diambil Sapardi dalam antologi puisi Hujan Bulan Juni.Hujan menjadi pusat yang mudah dicerna dalam kumpulan puisi ini.Jika kita simak, Sapardi menggunakan kata “hujan” dalam beberapa judul puisi dan penggambaran suasana puisinya.“Hujan Turun Sepanjang Malam”, “Hujan Dalam Komposisi,1”, “Hujan Dalam Komposisi, 2”, “Hujan Dalam Komposisi, 3”, “Di Beranda Waktu Hujan”, “Percakapan Malam Hujan”, “Kuhentikan Hujan”, “Sihir Hujan”,  “Hujan, Jalak, dan Daun Jambu”, dan “Hujan Bulan Juni” adalah sajak-sajak Sapardi yang bertemakan hujan. Puisi Hujan Bulan Juni umumnya menggambarkan personifikasi luruhnya hujan dalam ranah kehidupan:

tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu

 

tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya

yang ragu-ragu di jalan itu

 

tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan juni
dibiarkannya yang tak terucapkan

diserap akar pohon bunga itu    

-Hujan Bulan Juni (1989)

 

 

Puisi Hujan Bulan Juni terdiri dari 12 baris, 3 bait. Sajak ini memiliki ide tertentu, seperti ketabahan, kerinduan, dan penantian.Sapardi tidak hanya mengartikan “hujan” sebagai bulir air yang jatuh ke permukaan bumi tetapi juga diberi jiwa yang memiliki sifat.Majas personifikasi begitu dominan dalam sajak tersebut.Pada bait pertama, hujan dilukiskan memiliki sifat yang tabah dalam menyimpan rintik rindunya. Secara sederhana, bait ini ditafsirkan sebagai kerinduan yang sengaja dirahasiakan atau sengaja tidak diucapkan. Bait kedua sendiri menggambarkan kebijakan “hujan” dalam menghapus keraguannya dalam melangkah. Sedangkan di bait terakhir, kearifan “hujan” untuk menyerah, membiarkan rintik rindunya tak terucapkan.Lagi-lagi Sapardi menampakkan kesederhanaannya, puisi ini tidak memakan banyak majas dan larik yang panjang namun sarat dengan makna.

Melirik kembali judul puisi Hujan Bulan Juni, rasanya mustahil hampir mustahil jika hujan terjadi di bulan Juni.Seperti yang kita ketahui, Juni termasuk dalam orde musim kemarau yang jarang terjadi hujan.Judul ini masih menjadi kontroversi.Apakah hanya sebuah kiasan ketidakmungkinan ataukah sebuah kiasan penantian?

Terlepas dari ambiguitas, antologi yang dibungkus dalam hujan ini menyuguhkan kebebasan dalam berkata-kata sehingga penikmat sastra dapat melebur ke dalam dunia Sapardi.Kesederhanaan yang dibawakan Sapardi membawakan warna baru bagi dunia kesastraan yang tentunya mengajak sastra untuk bertransformasi.Ringan, mudah dimengerti, dan terlepas dari realisme formal sangat dibutuhkan bagi perkembangan sastra Indonesia yang telah lama membeku, seperti yang dikatakan Saut Simatupang dalam esainya, “Sastra yang Tidur dalam Kulkas”.Kesederhanaan dan kebebasan untuk kemajuan sastra Indonesia.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler