Skip to Content

MEMBACA RUPA MEMBACA MAKNA: “EDGAR ALLAN POE” DALAM MASTER PIECE KUCING HITAM

Foto Hafash Giring Angin

Oleh: Hafash Giring Angin*


Scholes seperti yang dikutip oleh Umar Junus dalam bukunya Dari Peristiwa ke Imajinasi : Wajah Sastra dan Budaya Indonesia (Gramedia,1983) menyatakan bahwa “orang tidak mungkin melihat suatu realitas tanpa interpretasi pribadi yang mungkin berhubungan dengan imajinasi. Dan orang tidak mungkin berimajinasi tanpa pengetahuan dari suatu realitas. Oleh karena itu, imajinasi selalu terikat kepada realitas sedangkan realitas tidak mungkin lepas dari imajinasi. (Puji Santosa, Horizon, 2000:12) 

Dari situlah statement di atas penulis mencoba mempertanyakan kembali atas hasil karya seorang leader Gerakan Romantik Amerika, kritikus sastra, pengarang, editor, serta sastrawan besar Amerika yaitu Edgar Allan Poe. Yang menjadi pernyataan besar penulis sampai saat ini adalah apa yang mendasari judul ini sehingga Edgar memberikan ruang dalam tubuh karangannya dengan judul Kucing Hitam? Sebagai penulis yang kaya dengan pengalaman batin, penulis mempunyai penilaian bahwa ia sangat cerdik dan penuh pertimbangan menghadirkan “Kucing Hitam” sebagai jargon sentral yang dinisbatkan sebagai tahyul pada sebuah kepercayaan turun temurun yang menganggap bahwa semua “Kucing Hitam” memiliki impresi dan kekuatan magis.

Dalam masyarakat tribal ketimuran, Kucing apapun bentuk warnanya juga dijadikan mitos yang memiliki kekuatan simbolik dan sampai kini oleh masyarakat tertentu masih dipercaya memiliki nilai-nilai magis. Seperti halnya kita menabrak atau membunuh kucing dengan sengaja, kita pasti akan mendapatkan bencana. Hal ini sering kita jumpai dalam beberapa peristiwa yang menimpa sebagian orang akibat mencederai dan melukai kucing tanpa sebab-sebab yang melatari. Apalagi diperkuat dengan judul karangan yang ditulis “Edgar Allan Poe” yang menganggap kucing piarannya memiliki keistimewaan dari piaraan-kegemarannya yang lain, seperti burung, ikan emas, anjing, kelinci dan monyet. Bahkan dengan tegas dalam karangan ini tertulis bahwa tokoh isteri yang digambarkan Edgar Allan Poe dalam karangannya ini sangat mempercayai kemisteriusan “kucing hitam Pluto” sebagai yang tertulis dalam bait ini :

 

“Kami mempunyai burung, ikan mas, anjing yang bagus, kelinci, monyet kecil dan seekor kucing! Yang terlahir ini adalah hewan yang luar biasa besarnya lagi cantik. Hitam sama sekali sedangkan kepintarannya mengagumkan. Mengenai kepintarannya ini, isteri (suami) ku yang tak luput dari sedikit tahyul, sering mengingatkan pada kepercayaan rakyat turun temurun yang menganggap semua kucing hitam sebagai juru tenung yang menyamar. Dia bukannya sungguh-sungguh percaya”

 

Salah satu yang mengawali sebab-sebab kehancuran tokoh “Aku”Yang digambarkan “Poe” dalam cerita ini ketika ia mengalami sebuah tabiat hidup yang bergeser dan berubah ke arah perbuatan yang buruk yang disebabkan oleh kegemaran dan kecanduannya pada minuman keras. Sehingga ia terjerat dalam nafsu binatang dan nafsu kekanak-kanakan yang terbawa dalam bawah sadar perversitet. Akibat kegemarannya yang berlebih pada minuman keras, perangainya yang semula lembut dan berperikemanusiaan kini hilang bersama hilangnya kesejatian dalam dirinya karena minuman keras telah memberikan racun dalam pikirannya.

Sebagaimana kita tahu bahwa minuman keras adalah suatu benda yang kerap memancing seseorang jatuh dalam ambang ketidaksadaran dan cenderung lupa terhadap dirinya. Tokoh Aku dalam cerita terpedaya oleh sifat kekanak-kanakan sehingga bersama dengan tipuan dan godaan iblis yang memperdayaanya, ia terbawa dalam sebuah penyakit peversitet yang sangat sulit disembuhkan kecuali yang diawali dari kesadarannya sendiri. Karena sering terbawa oleh nafsu yang bertahun-tahun hinggap dalam dirinya, sehingga ia tidak bisa mengelak dan mudah melakukan perbuatan-perbuatan di luar kesadarannya. Seperti hari demi hari tokoh “Aku” menjadi murung, lekas marah dan makin kurang memperhatikan perasaan orang lain. Sehingga tak segan-segan pula tokoh “Aku” memakai kata-kata pedas dan memukul isterinya tanpa alasan dan sebab-sebab yang melatarinya. Seperti yang tertulis dalam bait salah satu paragraf ini : 

 

Tabiatku mengalami perubahan dasar ke arah yang buruk disebabkan oleh kegemaranku pada minuman keras. Hari demi hari aku bertambah murung, lekas marah dan makin kurang memperhatikan perasaan orang lain. Tak segan-segan lagi aku memakai kata-kata pedas pada isteriku. Akhirnya aku memukulnya. Penyakitku ini kian lama kian hebat. Alangkah jahatnya alkohol itu. Maka akhirnya Pluto sendiri yang kini menjadi tua dan karena itu agak lekas tersinggung. Pluto sendiri mengalami kejahatanku.

 

Akibat dari perbuatan mencungkil mata sebelah kucing ini tokoh “Aku” mendapatkan bencana berantai akibat pengaruh keganasan iblis yang menguasai jiwa tokoh “Aku” sehingga ia menjadi lupa diri dan kehilangan kepribadiannya yang asli, sehingga ia dengan spontan dan tanpa beban larut dalam emosi kekanak-kanankan sehingga mengakibatkan kucing Hitam yang dimiliki teraniaya dalam laku kejam kemanusiaanya di luar batas. Seperti yang tergambar dalam alur cerita di bawah ini ;

Pada suatu malam, tatkala aku pulang dengan sangat mabuk dari salah satu warung anggur dalam kota yang sering kukunjungi, aku mengira kalau kucing itu menyingkir dari aku. Kutangkap dia. Dalam ketakutannya menghadapi kegusaranku, ia telah membuat luka kecil dengan giginya pada tanganku. Keganasan iblis segera menguasai diriku. Aku lupa diri. Aku seolah-olah kehilangan diriku yang asli. Maka kejahatan yang amat keji tersebab minuman keras, menggetarkan tiap ototku. Dari kantung kuambil pisau dan kubuka. Kupegang binatang sial itu pada kerongkongannya. Maka dengan perasaan dingin saja kucungkil matanya sebelah!

Akibat mencederai terhadap “Kucing Hitam” bernama “Pluto” ini tokoh “Aku” mengalami sebuah sindrom dan penyakit syak wasangka yang menyebabkan dirinya hilang keseimbangan yang menyebabkan ia terbawa dalam sebuah penyakit perversitet yang mampu meruntuhkan seluruh sikap keperibadian yang tergenang dalam buah kesebalan dan malapetaka. Sebuah hasrat jiwa yang memperkosa hak-hak fitrah manusia  sehingga bergelimang dalam dosa.

Sifat-sifat penurut dan perikemanusiaan yang semula menghiasi dirinya kini runtuh dan melanggar kebenaran dari sebuah filsafat yang telah digariskan dalam hidup kenusiannya. Padahal dia tidak mungkir, bahwa perbuatan seperti itu adalah perbuatan bodoh dan busuk yang secara otomatis memperkosa hukum-hukum kebenaran dalam dirinya. Filsafat adalah sebuah kebenaran dan sebuah hukum tak tertulis secara absolute. Ia senantiasa berada dalam pikiran setiap diri manusia dalam logika-logika pembuktian dalam dirinya. Sebuah filsafat tidak tertulis dalam lisan tapi ia tertulis dalam laku faktual dan kenyataan perilaku manusianya sehari-hari. Sebagaimana yang diurai oleh “Poe” dalam baris paragraf ini :

 

“Cara hidupku yang lama belumlah hilang sama sekali dalam diriku, hingga kebencian kucing ini masih saja membuatku sedih. Tapi perasaan ini pun lekas tersisih oleh kesebalan. Dan sebagai puncak malapetaka, datanglah sifat peversitet yang mempercepat keruntuhanku. Keragaman jiwa ini tak disebut oleh filsafat. Namun aku yakin benar, bahwa peversitet ini adalah satu getaran jiwa yang terkuat. Salah satu kecenderungan atau rasa asli yang tak dapat disimpulkan yang membentuk watak manusia. Siapakah yang dapat memungkiri bahwa dia beratus kali berbuat busuk atau bodoh dengan tanpa alasan selain keinsyafan bahwa hal itu boleh diperbuatnya? Bukankah kita akan kecondongan untuk memperkosa hukum-hukum yang tidak tertulis, justeru karena kita tahu itu hukum? Sudah kusebut tadi bahwa sifat peversitet inilah yang mempercepat keruntuhanku. Hasrat jiwa yang tak terajuk untuk menyiksa diri inilah yang memperkosa fitrahnya sendiri untuk berbuat dosa. Hasrat ini mendorong aku untuk melanjutkan penganiayaan atas hewan yang tak bersalah itu dan akhirnya membunuhnya”

 

Perbuatan yang tidak dikontrol oleh logika yang baik dan pikiran yang jernih cenderung memaksa jiwa untuk melakukan perbuatan-perbuatan menyimpang dan mengarah kepada perbuatan yang tidak terpuji. Sebagaimana yang terangkai dalam baris syair yang ditulis oleh penyair Timur Tengah bahwa “ Nafsu itu seperti anak kecil, jika dibiarkan begitu saja ia akan melonjak dan manja”. Hal ini selaras dengan apa yang digambarkan oleh Poe” dalam cerpennya sebagai berikut :

 

“Pada pagi hari, kuikatkan tambang ke kuduknya, lalu kugantung dia di ranting pohon. Kugantung dia dengan air mata yang bercucuran. Kugantung dia hanya oleh sebab kutahu bahwa dia tak pernah merugikan aku, oleh sebab kutahu bahwa dengan begitu aku berbuat kejahatan…kejahatan teramat besar hingga tuhan yang Maha Rahmani dan Maha Pengampun pun tidak akan mengampuni.

 

Akibat dari perbuatan dan sifat kekanak-kekanakan ini tokoh “Aku” mengalami sebuah “hukum berantai” yang disebut dengan “hukum karma”. Hukum karma ini tidak saja mengenai tokoh “Aku” tapi juga merembet ke dalam wilayah kehidupannya yang lain seperti harta kekayaan yang amblas akibat terbakar oleh amukan api yang melalap rumahnya. Dalam analisa ini penulis memberikan sebuah ilustrasi dan gambaran bahwa musibah dan hukum karma yang menimpa tokoh “Aku” baru satu rangkaian episode yang menyebabkan dirinya luluh lantak dan menyerah kepada keputusasaan. Sebagaimana yang termaktub dalam baris cerpen ini :

 

“Pada hari terjadinya kekejemanku tadi, malamnya aku terbangun oleh teriakan yang menyebut kebakaran. Tirai-tirai ranjangku dimakan api. Seluruh rumah menyala-nyala. Hanya dengan susah payah isteri (suami) ku dan seorang bujang dapat menyelamatkan diri dari maut. Kerusakannya sempurna. Seluruh hartaku habis terbasmi. Dan aku menyerah kepada keputusasaan. Apabila kucari-cari perhubungan sebab akibat antara malapetaka ini dan kekejemanku, itu akan membuktikan kelemahan jiwa. Tadi hendak kusebut serangkaian saja. Dan aku tak mau membuang mata rantai yang mungkin berarti sungguh pun itu tak penting”.

 

Kisah “Kucing Hitam Pluto” membawa petaka yang luar biasa dalam diri “Tokoh Aku”, sehingga mampu memporaporandakan dirinya dalam sebuah sistim ketidakberdayaan, sehingga gambaran-gambaran tentang kekejaman tersebut menjadi saksi dalam sebuah bilik kamar di mana di dalamnya ada bekas relief seekor kucing raksasa yang terikat dalam seutas tambang. Dalam sebuah penafsiran sederhana, penulis memberikan sebuah ilustrasi, bahwa konon kepercayaan tentang mitos rupanya menjadi signal sejarah bahwa perbuatan sekecil apa pun akan menjadi tengara dan saksi yang akan menjelaskan semua rentetan peristiwa secara samar yang teralami seperti yang dialami oleh “Tokoh Aku” dalam cerita pendek ini. Semua ini tertulis dengan nyata, sepertinya “Kucing Hitam” bernama “Pluto” tersebut mengabarkan hal ikhwal yang berencana yang diperkuat oleh kajian dan pikiran “Tokoh Aku” yang berupaya menelisik lebih jauh perkara yang timbul di dalamnya. Hal ini kalau coba kita sepadankan pada pemahaman isi naskah di bawah ini pada baris kedua :     

 

“Sehari sesudah itu, kukunjungi puing-puing. Tembok-tembok telah runtuh kecuali satu. Yang satu ini amat tebal dan berdiri dalam bekas kamar yang kurang lebih berada di tengah-tengah rumah. Pada tembok tersebut kemarin bersandar ranjangku bagian kepala. Kapur di situ masih baru, hingga tak sedikit dapat bertahan terhadap api. Mungkin inilah sebabnya mengapa tembok itu runtuh. Di depannya orang berhimpun berjejalan dan banyak yang dengan cermat dan gairah mengamati sebagian tertentu. Kata-kata aneh dan luar biasa serta lain-lain sebagainya membuat keinginanku untuk hendak tahu. Aku mendekat. Pada permukaan putih tembok itu terlihat seolah bekas relief. Bentuk seekor kucing raksasa. Gambaran itu sangat teliti hingga menakjubkan. Di sekitar kuduk binatang itu ada seutas tambang”.

Tatkala kulihat pertama kali relief ini begitu. Tak ada nama lain untuknya. Aku heran dan ngeri tak terhingga. Tapi tak lama kemudian aku tertolong oleh kajian. Kuingat kucing itu kugantung dalam taman di sebelah rumahku. Waktu kebakaran diketahui orang, taman segera penuh oleh manusia. Tentu ada seorang memotong tali gantungan lalu melemparkan mayat kucing itu ke dalam kamarku melalui jendela, agaknya dengan maksud untuk membangunkan aku. Oleh runtuhnya tembok-tembok lain, maka korban kekejemanku itu tertekan pada kapur yang masih baru. Begitulah gambaran yang kulihat tadi, dibuat oleh kapur yang panas oleh amoniak dari mayat kucing itu sendiri. Meskipun uraian tentang peristiwa ajaib itu diterima oleh akalku dan bahkan mungkin pula memuaskan hati nuraniku, namun tak luput meninggalkan kesan yang mendalam pada daya khayalku. Berbulan-bulan kucing itu tak lepas-lepas dari ingatanku. Dan selama itu menyelinap dalam diriku perasaan kabur yang menyerupai penyesalan. Tapi tak serupa benar. Aku hanya sangup bersedih atas kematian binatang itu”

 

Dalam kajian episode kedua ini “Edgar Allan Poe” dengan lincah membuat sebuah gambaran episodik baru yang menghantar pada bintang piaraannya yang telah mati dengan menghadirkan kesenangan piaraan baru pada kucing hitam dalam bentuk yang sama namun berbeda dalam kesamaannya. Kucing pertama (Pluto) tidak punya rambut putih sehelai pun di badannya. Sedangkan pada kucing yang baru ditemuinya di atas tempayan jenewer (tuak) ini memiliki belang putih yang menutupi hampir seluruh bilangan di dadanya. “Edgar Allan Poe” dengan kemampuan imajinasinya mampu menghadirkan sebuah intensitas penuturan yang terjaga dalam dramatisasi kepenulisanya.

Kalau disebut, cerita pendek ini sangat kaya dan intens dengan gaya prosaiknya yang liris namun tetap memperhatikan nilai-nilai dramatik dan misterius dalam seluruh pemaparan yang dirangkai dalam satu kekuatan dramatisasi. Ini adalah salah satu keunikan “Edgar Allan Poe” menghadirkan simbolisasi dan watak-watak tertentu yang sangat pekat dalan kepengarangannya yang menggambarkan sebuah kegetiran dan kegelisahan yang tidak pernah selesai sebagaimana penderitaan yang ia alami sendiri dalam kehidupan sehari-hari bersama isterinya. Anggaplah ini sebuah cetusan dan perasaan “Poe” yang dihadirkan sepenuhnya dalam karya ini. Hal ini bisa kita lihat pada bait yang tertuang dalam paragraf ini :          

 

“Maka di warung kotor yang kini lebih sering lagi kukunjungi, aku mencari mata piaraan yang sejenis dan serupa sebagai penggantinya. Pada suatu malam, ketika aku tengah duduk dalam pondok yang terkenal buruk, perhatianku sekonyong-konyong tertarik oleh suatu benda hitam yang duduk di atas tempayan jenewer atau tuak yang merupakan perabotan terpenting dalam kamar. Aku telah bermenit-menit memandang ke atas tempayan itu. Maka  heranlah aku, bahwa benda hitam itu tadi tak lebih dulu kulihat di situ. Kuhampiri dia dan kujamah. Itulah dia seekor kucing hitam yang sangat besar, Sedikit-dikitnya sebesar Pluto, pun sangat mirip dengannya, kecuali dalam satu hal; Pluto tak punya rambut putih sehelai pun di badannya. Sedangkan pada kucing ini ada belang putih yang menutupi hampir seluruh bilangan dadanya. Waktu kuraba dia segera bangkit, mendengkur keras serta menggeser-geserkan kepalanya ke tanganku. Mahluk seperti inilah yang ingin kudapatkan. Aku segera menawarnya pada tukang warung, tapi ia tak tahu menahu tentang kucing itu dan belum pernah ia melihat sebelumnya. Aku terus membelainya. Dan ketika aku berkemas-kemas hendak pulang, hewan itu agaknya ingin mengikuti aku. Kubiarkan dia dengan begitu. Pun sambil jalan, sekali-kali aku membungkuk serta membelainya lagi. Setiba di rumah sekaligus ia merasa senang di situ dan menjadi kesayangan isteri(suami) ku”.

Akan diriku, aku lekas jemu pada binatang itu. Inilah yang sama sekali berlainan dengan yang kuharapkan semula. Tapi entah bagaimana dan mengapa, kesukaannya padaku yang terus akan diriku malahan menggangu dan memuakkan diriku. Berdikit-dikitnya perasaan-perasaan terganggu dan memuakkan ini memuncak sampai pada kebencian yang berkobar-kobar. Aku singkirkan binatang itu. Namun sejenis perasaan malah ditambah kenangan akan kekejemanku dulu mencegahku untuk menganiaya dia. Minggu-minggu pertama, kujaga agar tak kupukul  atau kusakiti secara lain. Tapi lambat laun, sedikit semi sedikit dan pelan-pelan angsurannya, aku dipenuhi oleh kemuakan yang sangat hebat. Maka diam-diam aku melarikan diri dari kehadirannya yang kubenci seperti bernafaskan penyakit sampar! Yang pasti menambah kebencianku padanya ialah pada waktu kubawa pulang tempo hari, aku melihat bahwa ia pun seperti Pluto; kehilangan satu mata. Keanehan ini membuat isteri (suami) ku lebih sayang padanya.

Seperti sudah kusebut, dia ini mempunyai rasa kemanusiaan yang halus, hal mana dulu juga merupakan sifat terpenting serta sumber kesenangan yang paling murni lagi bersahaja. Tapi dengan kemuakanku terhadap kucing ini, rupa-rupanya kemesraannya padaku malah bertambah. Ia mengikuti langkahku dengan kepatuhan yang sulit dibayangkan. Di mana aku duduk, dia meringkuk di bawah kursiku atau melompat ke pangkuanku serta melimpah-limpahkan kemesraannya yang memuakkan. Apabila aku bangkit, dia berjalan kedekat kakiku hingga aku hampir tergelincir. Atau ia gaetkan kukunya yang panjang lagi tajam itu ke celanaku dan dengan begitu dia naik ke dadaku. Pada saat demikian, aku ingin membunuhnya dengan satu pukulan! Namun niatku terhalang, sebagian karena kenangan pada kekejemanku dulu. Tapi terutama, hendaknya lekas kuakui karena aku sangat takut pada binatang itu. Takut ini bukan takut pada suatu bencana yang berbentuk, walau sulit bagiku untuk menerangkannya secara lain. Nyaris aku malu mengakui ini. Ya, bahkan dalam sel untuk hukuman mati ini, aku merasa malu mengakui bahkan takut dan ngeri yang dibangunkan dalam diriku oleh binatang ini telah diperhebat oleh kemustahilan paling gila yang dapat dipikirkan manusia.

Lebih dari satu kali aku menghalau minatku pada belang putih yang telah kusebut dan merupakan satu-satunya perbedaan yang nyata antara binatang ini dengan kucing yang telah dan merupakan satu-satunya perbedaan yang nyata antara binatang ini dengan kucing yang telah kubinasakan. Belang itu meskipun besar, namun pada mulanya adalah kabur belaka. Tapi lambat laun dengan angsuran yang hampir tidak kelihatan hingga otakku lama-lama tak hendak menerimanya sebagai kenyataan. Maka akhirnya, belang itu menyerupai garis lingkaran atau benda yang kusebut hanya dengan menggigil. Dan inilah sebab utama mengapa kubenci momok ini dan ingin kubunuh andaikan aku berani. Gambaran itu membayangkan sesuatu yang menakutkan dan menyeramkan. Gambaran itu adalah alat gantungan! Ooo lambang kengerian, lambang maut yang menyedihkan dan mengecutkan, lambang hazaban dan ajal!.

 

Penderitaan yang dihadapi oleh “Edgar Allan Poe” dalam cerita pendek ini menggambarkan sebuah kehidupan yang penuh dengan deraan yang tidak pernah selesai, sehingga ia menggambarkan sendiri bahwa deraan yang sangat luar biasa ini telah mengacaukan dirinya karena sebab-sebab pikirannya yang sakit dan sebab-sebab kecanduannya pada pada alkohol, sehingga ia mengalami penyakit peversitet yang nyaris menenggalamkan seluruh kehidupan dirinya.

Sebagai manusia ia sadar bahwa kehidupan ini merupakan fitrah dan suci tapi di balik kesadaran itu ia dengan sadar pula melanggar batasan moralitas yang menjadi penyangga hidupnya. Sehingga ia frustasi dan menganggap dirinya sudah tidak berguna dan menjadi sampah masyarakat. Tak urung muncul kebencian dan kejahatan kepada manusia termasuk pada isterinya yang ia bunuh karena buah ketidaksadaran dalam dirinya. Penyakit yang didera semacam borok yang bertahun-tahun menjangkiti dirinya dan sulit disembuhkan. Sebagaimana yang disitir oleh “Poe” dalam paragraf ini :

 

“Tak ada manusia yang menderita siksaan seperti aku ini. Hanya seekor binatang tak berakal saja sudah sanggup menyebabkan aku menderita sampai berlimpah-limpah. Padahal aku seorang manusia yang terciptakan sanggup menuruti firasat Tuhan. Tak kukenal lagi kerestuan istirahat siang dan malam. Siang hari momok itu tak membirkan aku sendiri sedetik pun. Sedangkan malamnya, aku terjaga sejam demi sejam oleh mimpi-mimpi menakutkan. Lalu kurasa nafas momok itu melanggar mukaku. Tubuhnya yang berat, suatu beban lahiriah yang aku tak kuasa menangkisnya bermukim abadi dalam hatiku.

Tertekan oleh siksaan-siksaan ini, maka lenyaplah sisa-sisa kecil kebaikan hati dalam diriku. Cuma pikiran jahat saja yang tinggal dalam diriku. Jahat lagi durhaka. Rasa tak senangku tumbuh menjadi rasa benci terhadap segala hal dan semua umat manusia. Dan oleh letupan-letupan amarahku yang tak terkendali ini serta mencengkeramku hingga membabi buta, maka sayanglah yang sering menjadi korban adalah isteri (suami) ku yang sabar dan tak pernah mengeluh itu.

Pada suatu hari, ia menemani aku untuk mengambil sesuatu buat keperluan rumah tangga di dalam kolong rumah yang terpaksa kami diami karena miskin. Kucing itu mengikuti aku turun tangga hingga aku hampir tergelincir. Hal ini membuat darahku mendidih. Lupa akan ketakutan kekanak-kanakan yang sampai kini mencegah tanganku. Aku angkat setangkai kampak dan kutujukan pukulan pada binatang itu yang tentunya akan mampus jika kena. Tapi pukulan itu ditahan isteri (suami) ku. Peleraian ini membuatku ngamuk lebih dari setan. Kusentakkan tanganku dari genggamannya. Lalu kukubur kampakku dalam otaknya. Dia jatuh mati di tempatnya tanpa merintih.

Selesai pembunuhan keji ini, aku segera menyembunyikan mayat itu dengan ketawaran hati. Aku sadar, bahwa tak mungkin mayat itu kuangkat dari rumah siang dan maupun malam tanpa diketahui oleh tetangga. Lalu kukaji berbagai pertimbangan. Sekali kupikir hendak mencincang mayat itu lantas membakarnya. Namun pada saat lain, aku ingin menanamnya dalam lantai kolong. Kupikir lagi lebih baik membuangnya dalam sumur atau membungkusnya dalam peti serta memperlakukannya seperti barang dagangan dan menyuruh seseorang membawanya keluar. Akhirnya aku dapatkan jalan yang paling jitu dari yang lain-lainnya. Kuputuskan akan menanamnya di tembok seperti konon dikerjakan Rahib rahib pada abad pertengahan dengan korban-korban mereka. Untuk keperluan ini kolong itu sangat baik. Dinding-dindingnya tidak amat kokoh, pun baru dikapur dengan ramuan kasar yang tak jadi keras oleh kelembaban udara di situ. Kecuali itu, di salah satu dinding ada bagian yang menjorok, dulu bekas cerobong asap yang telah ditutup dan kini tak beda rupanya dengan tembok biasa. Tak kubimbangkan bahwa di tempat ini aku sudah dapat mengeluarkan batu bata lalu menyodorkan mayat itu ke dalam serta menemboknya lagi hingga tak seorang pun akan melihat sesuatu yang mencurigakan. Perhitunganku tidaklah keliru. Dengan memakai linggis, dengan mudah kubongkar batu bata itu. Sesudah itu kusenderkan mayat itu pada tembok sebelah dalam, lantas kutahan dia dengan sikapnya begitu. Sedangkan dengan tangan lainnya, gampang pula kutekankan kembali susunan batu seperti semula. Setelah kubeli pasir dan kapur, maka dengan hati-hati sekali kubikinlah ramuan dengan teliti. Setelah itu, aku merasa puas karena jitu benar. Tembok itu tak sedikit pun menampakkan pembongkarannya. Sisa-sisa di lantai kubung sampai remah terkhir. Dengan bangga aku melihat ke sekeliling sambil berkata dalam batin “ Sekarang akhirnya semua jerih payahku tidak sia-sia “!.

 

Akibat dari kemuakan ini ia masih menaruh dendam terhadap kucing yang menjadi penyebab kematian isterinya. Ini sebuah pembelaan diri mengapa kucing yang kemudian dipersalahkan? Bukankah Kucing Hitam itu adalah binatang yang tidak mempunyai akal untuk diminta pertanggungan jawab terhadap persoalan ini? Sebenarnya pembelaan-pembelaan ini diucapkan karena untuk menutupi kelemahan dirinya yang didera oleh penyakit sindrom yang tidak mampu ia sembuhkan dengan keseimbagan antara pikiran dan perasaannya.

Yang menjadi pokok persoalaan adalah semua terletak pada tokoh “Aku”. Kendati secara fitrah diberi kesempurnaan hidup oleh Tuhan, Cuma tokoh “Aku” tidak mengakui semua kesalahan dalam dirinya. Dalam hal ini penulis memberikan penafsiran ilustratif bahwa perantara kesalahan ini terletak pada “Tokoh Aku” dan bukan kepada kedua Kucing Hitam yang ia pelihara sendiri yang sama sekali tidak mempunyai naluri untuk berpikir seperti dirinya. Sebagaimana yang termaktub dalam baris paragaraf ini :

 

Kemudian kucari kucing itu yang telah menjadi sebab akan bencana ini. Kesudahannya aku berniat untuk membunuhnya. Andaikata ia dapat kutangkap pada saat itu, tak dapat diragukan lagi nasibnya. Tapi agaknya binatang yang cerdik itu telah menjadi hati-hati oleh keganasanku tempo hari. Maka ia pun tak pernah menampakkan hidungnya lagi. Dalam keadaan begitu, mustahil dapat digambarkan perasaan nyaman lagi segar yang dibangunkan dalam dadaku oleh tak hadirnya makhluk terkutuk itu. Maka demikianlah, meski untuk satu malam saja ia tak menginjak lantai rumahku, aku dapat tidur nyenyak. Ya, aku tidur nyenyak sungguh pun dengan beban pembunuhan dalam hati nurani. Hari kedua dan ketiga berlalu dengan tiada mengantarkan penyiksaku. Sekali ini aku merasa diriku merdeka. Sebab dalam takutnya, si momok itu telah meninggalkan rumahku untuk selama-lamanya. Tak kan kulihat lagi dia!

Sempurnalah kebahagiaanku. Dosaku yang mengerikan itu hanya sedikit menggangguku. Pihak yang berwajib telah mengajukan beberapa pertanyaan yang dengan mudah kujawab. Bahkan ada pula penggeledahan. Tapi tentu saja tak diketemukan apa-apa. Kunantikan hari depan dengan perasaan tenang. Hari keempat sesudah pembunuhan itu, tiba-tiba muncullah Polisi. Maka mulai lagi diadakan pemeriksaan keras di rumahku. Karena aku yakin bahwa tempat simpanan mayat isteri (suami) ku tak bakal diketemukan. Maka hal ini sama sekali tidak mengutan hatiku. Agen-agen itu meminta aku untuk mengantar mereka. Tak ada sudut atau lobang yang tak ditilik. Akhirnya untuk yang ketiga atau ke empat kalinya mereka turun ke kolong di bawah tanah. Ototku seutaspun tidak bergerak. Jantungku berdetak tenang seolah jantung orang yang tidur dengan damainya. Kulintasi kolong dari ujung ke ujung. Kusalibkan lengan di dada sambil berjalan kian kemari. Polisi itu puas benar dan mau berangkat. Kegembiraan hatiku amat kuat hingga tak dapat dikendalikan lagi. Keinginanku melonjak-lonjak untuk mengatakan sepatah kata saja sebagai tanda kemenangnaku agar lebih-lebih menguatkan keyakinan mereka bahwa aku tidak bersalah. “ Tuan,”! ujarku. akhirnya ketika mereka naik tangga. “syukurlah, saya dapat membersihkan diri dari syakwasangka tuan-tuan. Saya ucapkan selamat dan semoga sehat wal-afiat bersama kesantunan. “ Tunggu sebentar tuan-tuan!. Ini ya, ini adalah rumah yang kokoh sekali pembikinannya”.

Keinginanku tak tertahan untuk memberi kesan bahwa aku sama sekali tak gelisah maka itulah sebabnya omonganku tak karuan. “Boleh dikatakan rumah ini sempurna pembikinannya. Tembok-tembok ini, tuan-tuan, oo sudah mau pergi? Tembok-tembok ini akan tetap bertahan walau pun andaikata ada gempa bumi”. Maka kemudian terbawa oleh keberanian gila-gilaan aku memukul keras-keras dengan tongkat yang kupegang pada bagian tembok di mana di belakangnya berdiri mayat isteri (suami) ku yang tercinta.

 “Hendaknya Allah melindungi serta menyelamatkan aku dari Iblis. Baru saja gema pukulan-pukulanku di tembok tenggelam dalam kesunyian. Maka aku pun dijawab oleh suara dari kubur itu. Jeritan yang mula-mula sayup-sayup dan putus-putus seperti tangis seorang anak. Lalu suara itu sempat melantang menjadi teriakan panjang, keras dan tak ada habis-habisnya. Bukan sebagai suara manusia yang fitri, tapi suara mengaum, pekik yang meratap-ratap, pekik yang mengerikan seperti hanya mungkin terlontar dari neraka terpaku dari kerongkongan mereka yang terkutuk dan teraniaya bersama teriakan-teriakan iblis yang gembira atas penderitaan korban-korban mereka, tak cepat dilukiskan apa yang kurasakan saat itu. Aku hampir pingsan. Aku sempoyongan ke arah tembok di seberangnya.

Sesaat lamanya, kumpulan agen itu berdiri tak bergerak di atas tangga. Mereka terjerat oleh rasa terkejut dan kengerian. Saat berikutnya, selusin tangan-tangan kuat sibuk membongkar tembok. Aku tergolek di lantai. Mayat yang setengah rusak dan diliputi darah yang kental berdiri tegak di depan penonton-penontonnya. Di atas kepalanya, duduklah kucing yang menjijikkan itu dengan mulut yang menganga lebar-lebar dan matanya yang tunggal menyala-nyala. Dialah yang menyebabkan aku jadi pembunuh dan kini dengan suara khianatnya menyerahkan diriku pada algojo. Si momok telah terikut kutembok.!!

 

Dari beberapa paragraf cerita yang tergambar dalam judul “Kucing Hitam” ini yang dapat memberikan sebuah pemahaman dan pelajaran buat kita bahwa sikap keberhatian dan menjaga hati nurani itu sangatlah penting untuk keberlangsungan hidup ini agar supaya berada dalam koridor keimanan yang benar kepada Tuhannya. Iya, dari setiap peristiwa-peristiwa yang buruk, maupun tindakan yang buruk akan membuahkan sebuah penyesalan yang dihadapi oleh tokoh “Aku” dan Ia sendiri terkubur oleh pikiran-pikiran kotornya, menafikan di balik hamparan makna kebaikan, menanggalkan luasnya samudera keberkahan hidup beserta manfaatnya dari semua peristiwa yang tergambar dalam cerita Poe ini.

 

*Penulis adalah Kreator di Panggung Budaya Nusantara Bogor. Alumnus Seni Urban dan Industri Budaya pada Program Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler