Skip to Content

MEMBIDIK PUITIKA POE: Upaya Memaknai Pesan Edgar Allan Poe dalam Seni Monolog dan Studi keaktoran

Foto Hafash Giring Angin

Oleh: Hafash Giring Angin*

 

Berbagai kisah kehidupan bersifat inheren dalam tradisi bertutur merupakan kisah kemanusiaan yang sampai saat ini menarik diperbincangkan karena kisah-kisah yang ditampilkan dalam sebuah kisah melukiskan metafora, gagasan dan jalan pikiran yang tidak lepas dari jiwa si penulisnya. Walter Benjamin sebagai pengarang bebas dan seorang penerjemah ulung dari Jerman memaparkan pandangan bahwa tukang cerita mengambil sebuah hikayat dari pengalamannnya sendiri atau pengalaman yang dihasilkan dari sumber kehidupan lain.

Sebuah kisah bagaimana pun bentuk dan wujudnya, sarat dengan rekaman sejarah dan peristiwa. Ada banyak cerita yang muncul dewasa ini seperti kisah pembunuhan, perseteruan, konspirasi percintaan, ancaman teror, kebencian bahkan pembunuhan dan lain-lain yang memenuhi rumah-rumah keluarga menjadi pemandangan dalam setting keseharian. Kisah dalam Kucing Hitam yang ditulis Edgar Allan Poe (1808-1949) demikian halnya; menggambarkan sebuah kisah dan konspirasi yang tak kalah getir seperti kisah hidupnya. Sebagai seorang cerpenis legendaris, ia mengungkapkan banyak hal tentang jiwa dan lingkungan tokoh “Aku”dan seputar kejadian kontroversial yaitu sebuah eksekusi atas tuduhan melakukan pembunuhan dan penyimpangan terhadap isterinya sendiri. Kejadian ini sebuah realitas yang bergolak begitu mendalam dalam pergolakan batin dan arus ketidaksadaran, sehingga seorang tokoh yang digambarkan menuai petaka dramatis sehingga harus menanggung beban masuk ke dalam penjara.  

Berbagai pelajaran yang dikemukakan dalam buku tersebut memberikan inspirasi watak materi pedagogis bagi banyak pengarang-pengarang Indonesia, semisal Trisno Sumardjo, Budi Darma, Danarto, Kuntowijoyo, Putu Wijaya, Korry Layun Rampan, Seno Gumira Ajidarma dan lain-lain yang merintis tradisi penulisan fiksi dengan menumpahkan perhatian---meminjam istilah Abdul Hadi WM----pada “arus kesadaran batin” tanpa mengabaikan realitas di sekitarnya. Makanya Abdul Hadi W.M dalam bukunya mengatakan bahwa gerak jiwa, pergolakan batin, imajinasi yang tak jarang liar dan fantasi-fantasi yang sering tak masuk akal diutamakan dalam menanggapi situasi kemanusiaan dan realitas sosial, budaya, ideologi dan keagamaan. Oleh sebab itu, kisah ini begitu menarik karena Edgar Allan Poe sendiri dalam menulis fiksi dan lakon Kucing Hitam tidak sekedar memindahkan cuplikan peristiwa ke dalam ungkapan estetik sastra, tetapi ia sendiri berhasil mentransformasi pikiran, renungan, gagasan, imajinasi dan pengalaman terhadap situasi kemanusiaan yang dihayati secara individual di dalamnya.

Beragam kisah dan cerita fiksi bermunculan kemudian dalam berbagai varian dan bentuknya. Ada yang cenderung eksistensialis, absurd, mistikal dan sufistik sebagaimana nama-nama penulis yang disebut di atas. Namun kehadiran fiksi dalam cerita pendek Kucing Hitam ini memberi angin segar dalam pencapaian-pencapaian estetik sastra yang berbeda serta memberi inspirasi para penulis Eropa dan Indonesia sesudahnya. Melihat bentuk dan strukturnya, penulis kategorikan fiksi Edgar Allan Poe ini sebagai karya eksistensialis yang berhasil mencampur realitas dan renungan sosial dengan kekuatan dramatis dan intensitas emosional. Ia telah menyumbangkan sebuah penggalian terhadap realisme barat dan pola produksi yang cenderung eksentrik serta memberi inspirasi banyak orang dalam hidangan terhormat dalam lakon panggung yang puitis ----meminjam istilah Putu Wijaya---pementasan sebagai sebuah puisi---karena saking pekatnya makna sastrawi yang dicurahkan dengan mengajak melakukan “pengembaraan spiritual” dan “perjalanan batin”dalam pentas seni pertunjukan..

Untuk membicarakan konteks Kucing Hitam ini,---dalam hal ini pengarang----terasa tidak lengkap jika tidak menyinggung-nyinggung penerjemah sebagai bagian dari totalitas kepengarangan seorang Poe.  Trisno Sumardjo (1916-1969), penerjemah cerpen Kucing Hitam yang dikenal luas di Indonesia bahkan di daratan Asia Tenggara, sebagai sosok tipikal yang mempunyai andil cukup besar dalam menerjemahkan teks-teks asli dari bahasa inggris ke dalam bahasa Indonesia sehingga dari hasil terjemahannya mampu menggugah para pembaca untuk lebih masuk dalam studi dan ruang-ruang peng-imajian yang lebih sentral dan personal.

Hal ini berdasar pada pertimbangan bahwa Trisno Sumardjo adalah seorang penerjemah yang mengagumkan. Sebagaimana yang dilansir Koran Jayakarta tahun 1988, ia adalah satu-satunya penerjemah Shakespeare, Hamlet, Machbeth, Saudagar Venesia, Romeo dan Yulia, Othello, Raja Lear, Impian di tengah musim dan La Fontain dalam bahasa Indonesia yang ia dapatkan dalam petualangannya mengunjungi Amerika Serikat, Cina Daratan dan Eropa Barat. Ia juga banyak memperkenalkan karya sastra para sastrawan Asia-Afrika yang dimuat tersebar dalam majalah sastra budaya sejak tahun 50-an. Bahkan Korry Layun Rampan memberikan kesaksian bahwa Trisno Sumardjo adalah pejuang kesenian Indonesia yang sampai meninggal tetap bekerja sebagai seorang pencipta. Karya-karyanya mencerminkan sikapnya dalam menerima dan menempuh hidup dalam berbagai profesi sebagai penulis sajak, cerita pendek, drama dan kritik sastra disamping pula sebagai pelukis dan penulis kritik sastra dan esais kebudayaan.  

Berkait dengan sosok Trisno Sumardjo dalam bayang-bayang kepengarangan Edgar Allan Poe ini, dapat diambil benang merah bahwa menjadi seorang penerjemah bukan perkara gampang yang bukan semata-mata menyalin teks-teks literer secara mentah, tapi jauh lebih dari itu, menuntut kreativitas dan kejelian wawasan dalam menyelami berbagai peristiwa sehingga hasil terjemahannya mengalir dengan cerdas dan enak diadaptasi dalam ritma seni pertunjukan teateral. Meminjam istilah Korry Layun Rampan---dengan menyelami latar budaya sosial, politik dan jiwa bangsa pengguna bahasa yang diterjemahkan. Karena lazimnya, dengan tanpa mengenal kebudayaan bangsa pengguna bahasa yang disalin itu, bahasa terjemahan akan mati dan kering.. Seperti kisah tragis yang sering menimpa dalam tokoh “Aku”, seakan tampak menjadi pemandangan yang menarik ditelusuri dalam skala perbandingan khususnya konflik-konflik yang kerap menghiasi dalam ranah setiap keluarga.

Sebagai penerjemah, Trisno Sumardjo memiliki tipikalitas yang nyaris sama dengan sosok Edgar Allan Poe. Dari biografi yang berhasil dibidik dalam banyak referensi kepustakaan dan beberapa pendapat mitra sesama senimannya, Trisno Sumardjo bisa dikatakan sebagai seniman (yang cukup pendiam, banyak senyum, keras berpikir, dan mengandung keunikan yang getir dan tersendiri), mencerminkan watak sederhana dan bersahaja, akan tetapi seringkali pahit dalam penderitaan dan kemuraman serta tidak pernah puas dengan keadaaan. Menilik dari karakternya ini, penulis mempunyai prediksi bahwa Trisno Sumardjo ketika berhasil menerjemahkan Kucing Hitam, tentulah karena ia tidak hanya mengenal dan mengetahui ciptaan yang diterjemahkan, tetapi rupanya telah menghayati juga sosok psikologis sang pengarang di samping ia menjadi pemuja karya-karyanya yang cenderung kepada renungan akan makna hidup dan fitrah manusia tentang penderitaan dan pengorbanan dalam upaya menanamkan pengertian tentang seni dan ilmu kesusasteraan. Pelbagai filsafat dan kearifan yang dikandung cerpen-cerpennya itu menyusup ke dalam jiwa Trisno Sumardjo

Yang jelas, menerjemahkan sebuah tulisan, apalagi karya masterpiece sekelas Edgar Allan Poe, tentu harus menguasai bahasa sebagai media ekspresi dan komunikasi. Semua ini bisa terjadi kalau ada interaksi antara penulis dan penerjemahnya terhadap proses penanaman jiwa penulisnya. Paling tidak, dengan mengenal Edgar Allan Poe sebagai penulis dan Trisno sumardjo sebagai penerjemah, ada centang perenang untuk dijadikan sebagai pijakan dalam rangka memasuki dunia pemahaman dan penafsiran ke dalam intrik-intrik kemanusian di balik peristiwa yang terjadi.

Sebagai seorang pengarang cerpen klasik terkemuka dan tokoh cerpenis legendaris dunia, “Edgar Allan Poe”, merupakan sosok multidimensional yang kontrovesial karena bakat-bakatnya yang luar biasa dalam menghadirkan ironi-ironi dalam sejarah kehidupan dan menempatkan dirinya sebagai sosok sentral. Proses kreativitas sang cerpenis ini mengambil tema peran tidak dinyatakan secara gamblang. Tetapi proses kreatifnya dapat ditelusuri dari karya-karya yang variatif dan varian-varian tokohnya yang sangat menarik. Seperti yang tampak pada karya cerpennya yang lain, seperti “ Tong Anggur”, Topeng Maut’ dan “Sebuah Kisah” adalah tema-tema pergolakan hidup yang menggambarkan realitas dari sebuah kegamangan dan kepedihan yang sangat mendalam. Dinamika tokoh dan latar digambarkan secara meyakinkan, sehingga mencapai intensitas pengucapan yang menggetarkan. Arus perasaan yang ditulis dalam cerpennya menggambarkan sebuah tema yang saling berkesinambungan . Penguasaan terhadap latar dan tokoh yang demikian itu, yang mengukuhkan sebuah penilaian bahwa “Edgar Allan Poe”, mampu menggali materi dramatisasi cerita secara mendalam karena proses pengkayaan batinnya yang memang demikian yakni sebuah hidup yang menyakitkan dan mendebarkan.

Dalam cerita yang terpapar dalam tulisan fiksi ini, sarat dengan getaran peristiwa sastrawi seperti sebuah orkestratif yang hidup, kritis, berani dan memperjuangkan keyakinan dalam menjalani pilihan hidup sebagai seniman apa adanya tapi menyimpan pengalaman pahit dan getirnya kehidupan. Maka tak ayal, karya sastra yang dilahirkan selalu hidup dan menjadi perbincangan publik luas, karena yang ditulisnya berkait dengan perwujudan sejarah perjuangan tokoh dan kegetiran sebuah revolusi sosial yaitu seorang tokoh yang tidak mampu mengendalikan diri sehingga tercebur ke dalam dunia yang gamang. Bukan hanya gagal dalam membangun rumah tangga, sang tokoh juga gagal dalam memberi kebahagiaan kepada anak, isteri dan  keluarganya.

Menilai dari beberapa pengalaman pribadi yang penulis telusuri dalam kajian ini, dapat disimpulkan bahwa untuk masuk ke dalamnya dibutuhkan kepekaan hati dan kejelian rasa dalam membaca dan menafsiri kalimat-kalimat di dalamnya. Untuk itu, agar masuk dalam ranah penafsiran lakon dan bagaimana memvisualkan ke dalam sebuah pentas pertunjukan, penulis memperhatikan dalam tiga pertimbangan utama yang menjadi pokok pembahasan tulisan ini. Pertama, logika cerita yang dihadirkan oleh penulisnya adalah cerita riil atau bisa disebut dengan logika literer dalam acuan estetika realis, yang memotret berbagai peristiwa yang terjadi dalam kehidupan masa lalu dan masa kekinian tentang hubungan seorang dengan dirinya sendiri serta pertumbuhan dengan kepribadiannya, tentang hubungan seseorang dengan masyarakat dan orang lain dan kisah tentang hubungan seseorang dengan Tuhan. Hubungan cerita ini termasuk dalam kategori kisah-kisah susila dan pengajaran. Kendati pun kisah-kisah itu tampak sederhana tapi makna di dalamnya bisa jadi pelik dan sulit dipahami karena menyangkut dengan realitas takhyul yang bersifat irrasional dan perbenturan  psikologis yang menunjukkan kehancuran bertahap dalam sebuah pikiran yang sakit.

Bagaimana pun modernnya sejarah kehidupan manusia, mereka juga masih terikat pada hal-hal yang bersifat irrasional seperti ramalan, legenda  dan dongeng turun temurun dalam tradisi setiap bangsa. Fiksi ini secara menarik mengisahkan bentuk-bentuk irasionalitas yang berkembang di antara para tokohnya. Korry Layun Rampan menyebutnya-----mewakili watak-watak yang secara implisit dan eksplisit ada di dalam masyarakat-----. Dan untuk memvisualkan ke atas panggung tergantung pada tingkat pemahaman masing-masing aktor yang tentunya berfungsi meningkatkan fleksibiltas mental untuk menyampaikan pesan tertentu guna melihat fenomena hitam putihnya kehidupan.

Kedua, cerita yang ditampilkan dalam aspek penokohan monolog “Aku”, coba dilakukan bedah dalam studi keaktoran sebagai alternatif berteater dalam panggung realisme. Karena bentuk prosa ini bersifat literer, salah satu pendekatan akting yang paling dekat adalah ditimbang dengan pendekatan akting Stanislavski yang memusatkan diri pada pelatihan keaktoran dengan pencarian laku secara psikologis. Dengan arti kata berusaha menemukan akting realis yang mampu meyakinkan bahwa apa yang dilakukan aktor adalah akting yang sebenarnya. Hal ini merujuk pada fenomena yang akhir-akhir ini terjadi krisis dalam jagad keaktoran, mulai dari krisis pemain berkualitas hingga disiplin dan rendahnya etos kerja dalam melahirkan kreativitas. Di samping itu juga krisis mendapatkan aktor yang dapat menerjemahkan penafsiran dramatisasi maupun teateralnya. Hal tersebut disebabkan oleh berbagai gejala pemahaman terhadap naskah yang hanya dimaknai sebagai pelengkap pemeranannya saja dan tidak sampai pada penguasaan dan pemahaman materi serta latar belakang kehidupan penulisnya.

Ketiga, mengenal dan memahami budaya lain dengan segala persolannya tanpa terhalang sekat perbedaaan bangsa, budaya dan bahasa. Seperti cerpen ini yang bertolak pada lingkungan budaya Eropa, memiliki kekuatan dramatis dan intensitas emosional yang sangat pekat dalam bangunan karakteristiknya. Dalam kajian ini, penulis juga mengkaji berbagai sudut pandang penafsiran baik sastra dan makna-makna filosofis yang tersaji di dalamnya. Dalam hal ini, Korry Layun Rampan mengapresiasi sebuah gagasan bahwa “bahasa bukan hanya alat komunikasi melainkan juga sarana ekspresi sebagai wadah perjuangan estetika. Kreativitas menerjemahkan membuat bahasa terjemahan hidup. Dan itu semua bisa terjadi kalau ada interaksi mendalam lewat pembelajaran terhadap kebudayaan asal bahasa yang diterjemahkan”.  

Bertolak dari pembahasan di atas, salah satu cara untuk merespon kajian teatrikal ini adalah dengan cara mengangkat monolog sebagai salah satu alternatif sebagai upaya penempaan kektoran dalam berteater. Unsur terpenting dalam monolog adalah bahasa personal yang dibangkitkan melalui seluruh komponen keaktorannya baik vokal, gerak, gestur, interpretasi karakter dan lainnya. Semua komponen ini membutuhkan dukungan dan spektakel artistik kepentasan sehingga yang ditampilkan memiliki performa pertunjukan yang mise en scene. Untuk itu, seorang aktor dan aktris sedianya bisa melakukan ----meminjam istilah Maman S Mahayana dengan –jurnalisasi peran secara komprehensif---ke dalam peranan tokoh yang ditampilkan sebagaimana konsep dramaturgi realisme pada awal perkembangannya.

Membaca dan memahami cerita fiksi ini dalam sebuah lakonan pertunjukan sama artinya kita disadarkan untuk membaca diri sendiri dalam ruang di mana seorang aktor mendefinisikan dirinya dalam ikon seni peran yang sebenarnya. Dengan ini, membaca tentang pergolakan hidup antara realitas dan mimpi dan rajutan banyak hal yang diungkap dalam penuturan estetik seni mesti disikapi dengan keniscayaan yang benar dengan tetap berpegang pada norma dan kaidah seni. Asrul Sani (1980:6) berpendapat bahwa sistim Stanislavsky bukanlah sebuah resep yang harus dipergunakan setiap aktor begitu saja untuk dapat bermain dengan baik. Sistim ini tidak lebih dari pada suatu jalan untuk menumbuhkan kreativitas dalam perkembangan seorang aktor. Apa yang disinggung oleh Asrul Sani di sini sangat jelas bahwa monolog adalah salah satu alternatif yang efektif dan efisien sebagaimana yang telah dilakukan dalam pra produksi pertunjukan teater profesional seperti di Broadway Amerika Serikat atau di Royal Shakespeare Company di Inggris.   

Ada dua masalah dasar yang dihadapi seorang aktor dalam monolog ini, apakah ia dapat menempatkan dirinya dalam tokoh yang hendak diperankan dan dapatkah ia mengkomunikasikan penghayatannya ini pada penonton melalui tubuh dan suara dan sukmanya. Sebagaimana yang disebutkan oleh Asrul bahwa masalah-masalah yang berkait dengan di atas adalah pokok sekali dalam seni peran karena kondisi batin yang diciptakan inilah yang kemudian akan menghasilkan permainan kreatif yaitu permainan yang tidak lahir dari klise-klise tapi dorongan motiviasi-motiviasi yang hidup dan wajar. Oleh karena itu, seorang aktor dituntut cerdas memainkan dan memunculkan karakter-karakter fiktif serta mampu pula mengungkapkan isi pikiran kepada dirinya sendiri dan kepada orang lain dengan turut pula menakar pertimbangan-pertimbangan teknis ----meminjam istilah Stanislavsky dengan ----gerak laku dalam yang disebut dengan “inner action” dan gerak laku luarnya yang disebut dengan “external action”.  

Bertolak dari keterangan di atas, sangat jelas, bahwa cerpen Poe ini akan sangat membantu para aktor untuk melatih kepekaannya dalam berteater. Paling tidak, dapat ditarik pencurahan arus kesadaran batin tokoh cerita sekaligus dapat membantu menampilkan peristiwa sebagai sebuah adegan interaktif dan retorik, logis dengan kalimat gramatika yang rapi. Dalam seri fiksi klasik ini, seorang aktor akan menemukan banyak pilihan dalam upaya membentuk dirinya sebagai seniman yang sadar bahwa di balik proses penempaan jati diri menjadi aktor ini, ada sebuah rajutan yang dapat dipetik bahwa“ Aktor sedang berbicara pada siapa? Bagaimana mengelola hubungan timbal balik dalam simbiosis dengan penontonnya. Hal Ini sebuah perkara yang menarik dipahami karena menjadi sebuah sarana pengembangan tradisi bertutur dan tradisi penyampaian pikiran kepada banyak orang.

Dalam secarik pembahasan di atas, penulis menilai bahwa yang ditulis Edgar Allan Poe dan diterjemahkan Trisno Sumardjo adalah sarat dengan renungan yang mengajak kita untuk mentransformasi jalan pikiran ke dalam tapak tilas perenungan bahwa apa yang terekam dalam fiksi ini menyimpan sebuah karya sublim yang mengajak masyarakat pembaca hijrah ke dalam sebuah pencapaian dunia monolog dan seni artistik pemanggungan, setidak-tidaknya dapat memperkaya khazanah literatur sastra dan pada masyarakat seni pertunjukan kita.

 

 

 

DAFTAR BACAAN

 

Edi Haryono (Editor), Rendra dan Teater Modern Indonesia, Yogyakarta: Kepel Press, 2000.

 

Richard Boleslavsky, Enam Pelajaran Pertama Bagi Calon Aktor, Jakarta: Usaha Penerbit Djaja Sakti, 1960.

 

Yudiaryani, Panggung Teater Dunia, Perkembangan dan Perubahan Konvensi, Yogyakarta: Gondo Suli, 2012.

 

RMA. Harymawan, Dramaturgi, Bandung: CV Rosda Bandung, 1988. 

 

 

*Penulis adalah Kreator di Panggung Budaya Nusantara Bogor. Alumnus Seni Urban dan Industri Budaya pada Program Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler