Skip to Content

MEMBONGKAR MITOS KESUSASTRAAN INDONESIA (BAGIAN 04)

Foto SIHALOHOLISTICK

(kupasan ketiga dari paragraf awal, lewat esainya Dr. Ignas Kleden)

Oleh: NUREL JAVISSYARQI

 

Jika pembaca ingin paragraf awal IK saya kupas mendekati ampas, bisa dibilang sebelumnya baru separuh kurang. Untuk percepat, kan dibelah di tengah atas asas ketidakmungkinan, barangkali keisengan nekat. Sebagaimana watak insan kerap membenarkan kekeliruannya, bertopangan meyakinkan pada saksi dan lawan bicara.

***

Saya keluarkan dulu gumpalan mengendap di dada, agar mengudar dalam ketenangan meluas. Setidaknya berkurang tekanan menyesak tidak nyaman nan mungkin perasaan saya atau perasaan anda kerap meremaja, jikalau aneh dibilang tak dewasa.

Kita sering memandang sinis pengkritik, meski mereka menempati realitas data terbaca lain dari penglihatan lama. Serupa kita nikmati karya sastra menemukan kilau makna di masa suasana berbeda. Ini wajar, sekewajaran bangsa kita terjajah beratus tahun sebab tidak mampu mengoreksi diri, tidak ingin melihat borok sesama. Hingga penyakitnya menjalar sulit disembuhkan kecuali diamputasi, misal Timur-Timur menjadi Republik Demokratik Timor Leste atau kasus-kasus lain yang merugikan bangsa dan negara.

Menengok bukunya K’tut Tantri “Revolusi di Nusa Damai” (Gunung Agung 1964), bayangan insan Indonesia banyak pemalas, mencari puas atas derita seperjuangannya. Harta penyokong kemerdekaan dibawa kabur keluar negeri berfoya-foya. Bencana korup membelah kekuatan pemerintah sehingga ompong tak berwibawa, seperti tikus-tikus pasar tidak gentar menatap kucing. Ini sekutukan jaman dan keterlambatan sering mencipta spontanitas balasan, meski belum maksimal dapat dimatangkan, jika ingin lempengan keampuhan.

Kata ‘kritik’ saya bayangkan sebatu mencelat ke jidat. Ialah bukan jatuh dari langit, tapi mencoba melawan gravitasi. Tentu seolah tak mungkin, tapi tidakkan usaha sebutir batu terbang setelah tergencet. Lencungan pencarian jejak demi ketahui sejauh mana melengking, perpindahan dari titik satu ke titik lain seperti jalan tak tertempuh sebelumnya; penjajakan realitas kesadaran lewat menebar jaring meluas, tak membentuk kebekuan menindasnya jua nasib sekitar.

Kritik lebih terhormat daripada penjiplak dari mentalitas pecundang yang disebut-sebut semangat mudanya. Padahal di negeri ini tumbuh subur para penulis, tapi tak pernah dianggap keberadaannya. Serupa nama-nama diserukan sudah menjadi pahlawan, meski semasa hidup sebagai bandar koruptor yang berfasilitas mewah di penjara, juga manipulasi lain segolonganan melanggengkannya, tidak lebih rasa hormat salah tempat. Sering kritikan dianggap pujian meramaikan, yang tajam dikira dengki. Lalu saya tanya, sudah siapkah merdeka?

Mengingat para pejuang tempo dulu siang-malam umurnya diuntit malaikat pencabut suka, tercerai keluarga demi bergabung pasukan gerilya, menjual harta-benda demi mimpi kemakmuran bangsanya. Sementara kita tak lagi ditekan waswas membahaya, lupa kucuran keringat bercampur darah. Malah mengejar mimpi tidak berlandas realita, gagasan tak berakar tradisi, malah menyeleweng berfaham lain tak membumi. Asal-asalan tidak diperbaharui daya pengalaman kala menelusuri anak sungai hayati. Kekentiran itu malah ditafsirkan lain terlihat mentereng di tingkatan tertentu seolah tidak terganggu!

Akhirnya adalah jurang menganga, kelak meminta tumbal besar-besaran, jika tiada jembatan dialog mengingat, karna kesalahan perjuangan dapat disiasati, dikurangi gelagat rupa kebocorannya, selangkah pelahan menginsafi temuan bagi kemajuan. Sekecilnya keadaban dibangun kebersamaan mawas seimbangkan cakrawala nalar-kalbu membentuk pijar cahya menerangi pelosok sejati rasa, sekebiasaan berbenah sebelum melangkah.

***

Kata ‘upaya’ menempati ruang-waktu, letak mendudukkan makna penting sebuah kesadaran itu konsekwensi niatan. Di hadapannya kabut, kadang memunculkan kepastian berpantul balik membentuk keyakinan. Karena berada pada titik awal, meruaplah tenaga besar dibayangi hantu kegagalan. Boleh jadi separuh arti berasal ikhtiar IK dikala membuka tulisan. Sebab yang muncul pertama, kerap berasal kondisi tertentu kejiwaan penulis, dan lukisan membentang sesayap gagasan pribadinya. Atau kata ‘upaya’ peleburan kreatif yang nanti mematenkan ketentuan bagi sikap pendiriannya berkarya dan karya itu sendiri.

Yang bisa disebut menyerupai ‘upaya;’ usaha, ikhtiar, krentekan niat. Ini sering mengalami penurunan nilai, kala dihadapkan keimanan. Di balik itu mendapati dorongan kuat seimbang gelombang kesadaran; titik stabil menjadi santapan empuk godaan kemandekan. Atau puas sebelum mengetahui seberapa keringat menakar garam pengalaman. Kebuntuan tercermin keraguan, waswas tak berdasar pun beralasan, tapi tidak perbaiki dengan pengoreksian berani!

Ketika jenis kata ‘upaya’ ditempatkan di muka, ia inginkan kepastian atau sudah perkirakan takdir kejatuhannya. Punya sketsa yang bisa menjerumus pada tindak ketidakobyektifan, oleh gangguan bayang-bayang. Tapi nilai ini dapat gagal, ketika IK telah tanak kajiannya, tentu mendapati arus pergesekan saat melayari arti ruang-waktu melingkupi. Boleh jadi yang tertera, teks mencerminkan patokan, dan pembongkaran saya, ingin tahu sejauh manakah perilaku kata dinapaskan, sehingga dapat mengambil tersurat jadi siratan takdir bagi kaca benggala.

Umpama menilik unsur bunyi dalam bahasa Indonesia, kata ‘upaya’ memiliki tekanan rendah, karena adanya kata lain nadanya serupa ‘payah’ suatu gerak lemah, irama lamban, kepayahan mencapai sia-sia. Kenapa tidak kata ‘usaha’ atau ‘ikhtiar?’ Di mana kata ‘usaha’ jika mencari padanan bunyi dapat disandingkan kata ‘kuasa,’ dan kata ‘ikhtiar,’ peroleh padanan lain di belakannya seperti ‘tirakat.’ Maka secara ragu pun dapat ditentukan, pilihan IK di kata ‘upaya,’ masih melihat gelagat bangunan SCB, sebab kata ‘upaya’ memiliki pembatas yang tidak menjatuhkan hukum pula tak menolak tegas!

Di simpul sementara, IK radak enggan menengok corak kata Tardji, tak mau beresiko tuntutan sekeengganan para kritikus membanding SCB dengan para tokoh dunia, tetapi tidak mensejajarkan karyanya, hanya mengguna keahliannya menguntai kata untuk berjarak yang ditulis, tentunya dimaksudkan menggiring pembaca. Saya kira buku “Raja Mantra Presiden Penyair” dapat diteliti ulang berpola demikian, agar mencapai letak kesadaran singgung realitas, bukan menjerumus keterpukauan lewat membaca secara dangkal menerima apa adanya.

Selanjutnya kata ‘perjuangan.’ Lengkapnya dengan pemberhentian koma, “Upaya dan perjuangan Sutardji Calzoum Bachri menerobos makna kata.” Istilah ‘perjuangan,’ lekat pengurbanan, peribadatan, pelaksanaan sungguh sedari kemauan terbesar. Di sana merentang napas usia budhi pekerti, hal-hal memaknai tertanamnya nyawa di setiap peristiwa dilewati. Dan “Upaya dan perjuangan” menempati ruang keraguan bagi pengucapan, seonggok makhluk kewaspadaan tak mau total terima, sebanding ungkapan dibendakan, disifati lugas namun datar diselimuti ‘upaya.’ Coba kata ‘upaya’ dihapus, langsung dengan kata ‘perjuangan’, tentu lebih mapan sebab kata ‘perjuangan,’ sejatinya telah menyusup pengertian ‘upaya,’ bentuk lain selangkah membuang kegusaran demi mula pernyataan. Di sini lemahnya kata ‘upaya’ dibandingkan kata ganti lain nan senafas kerjanya.

Dalam pengalaman belajar, ada beberapa kata saya anggap makruh sebab abstrak perangainya dikala memasuki bentukan puisi misalnya kata; upaya, cinta, marah, benci, rindu dst, yang seyogyanya diganti dengan ungkapan mampu mewakili dinaya peristiwa dalam kata yang disebutkan. Memang tulisan IK bukan puisi, tapi bisa dipakai kejelian perenungan kata-kata dari timbulnya puisi untuk pahami kendali pikir perasaan penulisnya. Mungkin ada benarnya, ‘yang proses kreatifnya dimulai puisi, lebih punya daya dialog gairah, dibanding pengalaman menulisnya diawali tulisan cerpen atau artikel terlebih dulu misalnya.

Menginjak kata ‘menerobos.’ Tidakkah kemunculan kata, mewakili perilaku peristiwa, yang mengelilingi sekitar kejadian pembuatan karyanya? Saya bayangkan IK habis menerobos rambu-rambu lalu lintas, lantas dengan keisengan disetujui sendiri saat menulis perihal SCB, mengganti kata ‘bebas’ dari kredonya Tardji diwakilkan ‘terobos’ nan disempurnai lewat pengulangan menggiur tetapi datar. Saya kira ini kehilafan manusiawi, sebab jarak waktu-tempat menentukan terjadinya ikatan pun benturan paham; berdaya kreatif menuju pencerah atau sebaliknya?

Maka pengamatan dalam ketakmungkinan, kecelakaan hingga nekat, bisa dibongkar di sini demi paham getar timbangan membangun nilai ataukah ampas? Bagaimana jika ungkapan IK biasa, atau umumnya menginginkan nilai keseluruhan paragraf? Mungkin dinaya tangkap yang terjadi dapat dikata pemborosan waktu, tapi tidakkah merugi kala hanya menelannya, diletakkan seperti barang kurang berfungsi sekadar sampiran pikiran penulisnya? Padahal penelusuran sekecil-kecilnya mengeruk jiwa pengguratnya yang secara nyata berdialog dengan jiwa pembaca demi mencapai dataran diingini kesepakatan bathin. Ini reruang intim pengarang di bidang masing-masing, terus membangun wacana bercengkerama kegelisahannya, untuk warisan budaya.

Setidaknya mengurangi tragedi lolosnya penyusup sebelum layak, tapi karena berpoles lepas bebas mendapati sambutan luas, atau kurang jelinya para redaktur sebagai tumbalnya! Semisal kasus berbeda penjiplakan di bulan lalu oleh ‘cerpenis’ Jatim? Karena penghianatan proses kreatif dianggap wajar sebagian ‘sastrawan,’ malah ada memberi dukungan beralasan akli serasa kemanusiaan dungu. Olehnya, jangan harap perolah nilai obyektif nan dinamis pada dinamika susastra kita, apalagi yang berangkat dari karakter sanjungan. Di sini tertanam tanya, “Dapatkah sejarah dibangun dengan pujian tanpa pengujian matang?”

 

25 Juni 2011, Sabtu Saniscara Masehi,

23 Rejeb 1944, Setu Wage Jawa

23 Rajab 1432 Hijriah.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler