Skip to Content

MEMBONGKAR MITOS KESUSASTRAAN INDONESIA (BAGIAN 06)

Foto SIHALOHOLISTICK

(kupasan kelima dari paragraf awal, lewat esainya Dr. Ignas Kleden)

Oleh: NUREL JAVISSYARQI

 

Saya bayangkan kelas Dr. Ignas Kleden berdalih bahwa peleburan, pembelokan, perubahan atau perombakan dari ‘bebas’ ke ‘terobos,’ semacam mengikuti hukum situasional nan ditangkap daya indrawi, seirama ungkapan filsuf berjiwa keragu-raguan kuat, John Langshaw Austin (1911 – 1960). Di sini saya menangkap pelahan, demi mencapai temuan yang bukan sekadar main-main, pula tidak asal-asalan memenuhi halaman.

Di hadapan saya ada gelas bening berisikan air yang saya taruh pena di dalamnya. Pena itu terlihat tidak lurus alis mengalami pembengkokan, hampir serupa sulapan paling sederhana. Pun kita kerap terperdaya hadirnya sorot cahaya, yang menentukan jatuhnya bayang-bayang. Keterbatasan kemampuan dinaya tangkap menjadi alasan Austin, ialah “kita sebetulnya tak pernah mengalami secara langsung benda-benda materi, tapi kita hanya dapat mencerapnya saja dengan data indrawi (sense data).”

Memang para filsuf mengalami ribuan keraguan, bahkan hampir setiap hari mungkin. Di samping keyakinan pada temuannya, pun masih selalu terusik rasa ketakpurnaan jalan yang ditempuh. Tapi tidakkah tiap sandaran patut diuji dan hasratnya demi sedekat pengertian hakiki, agar sampai kemungkinan terbaik. Maka sokongan juga jegalan terus hadir, yang iseng menggurit terlempar dari sejarah pengetahuan, masih mending situs bersejarah dibongkar keberadaannya. Tetapi betapan banyak jaman gelap gulita tersebab sloga-sloga belum dewasa, durung matang sudah didengungkan keras, mendatangkan orang-orang tanggung mengikuti.

Untuk penyair mengandalkan kemampuan puitis saja, apalagi pura-pura puitis dengan tidak memaksimalkan akar-akaran nalar demi menghisap sumber mata air hayati ke jantung nafasnya, apalagi ruhaniah mampu mencahayai karyanya. Maka dapat dipastikan karya-karyanya jatuh pada hiburan, menyenangkan para kritikus yang tak berani tantangan karena mandek terpuaskan -memalukan, jika dihadapkan deretan buku-buku di perpustakaan atas keringat para penemu, yang siang malam menimbang musik jiwanya. Pelopor yang sewaktu-waktu meloloskan gagasan gemilang sedari kematangan berpijak, lalu menentukan langkah dialog tidak terbantah, kecuali dengan pengujian sama baru ditentukan medium pada gagasan selanjutnya.

***

Teks tanpa kehadiran, hanyalah imajinasi? Saya lanjutkan kembali setelah tertinggal catatan ini beberapa hari dengan bertumpu pertanyaan di atas. Saya ibaratkan realitas adalah pena dan air di dalam gelas itu gerak kehidupan. Pena yang terlihat bengkok sebagaimana teks hadir melambung, mengendap pun jatuh, tergantung kekuatan penulisnya menyatakan kenyataan, hingga timbul jarak membentuk paham yang dipegang Austin. Tapi tidakkah kita ketahui, sekalipun wujud teks mendiami alam fiksi, tetap berpijak realitas, sekurang-kurangnya dicipta dalam kondisi sadar, -pula berkeadaan mabuk -berlebihan. Lebih lajut, tidakkah batas sadar dan mabuk, masih bertumpu hukum, mempunyai nilai masing-masing? Nilai tersebut dapat dikategorikan realitas mendasar, sepengamatan mendalam pada kondisi pena dengan sebenarnya.

Saat IK hendak berjarak dengan SCB dari kata ‘bebas’ ke ‘terobos,’ pastilah mengalami resiko berlainan, tak nyambung, mengsle, sengaja direnggangkan sebagai tafsiran berbeda dari realitas jauh berbeda pula. Tidakkah ini manipulasi? Padahal teks sendiri secermin bentuknya menggelombang, seperti air di dalam gelas. Dan manakala dua cermin yang parasnya mengombak saling berhadapan, tidakkah makin kacau gambaran obyek yang ada di tengahnya, saat sampai di bidang cermin (teks). Olehnya, bentuk pengkajian IK tidak berlandasan untuk mencari kebenaran dari kredonya Tardji, malah kabur demi meloloskan yang diinginkan IK, sama-sama lolosnya yang digagas SCB di hadapan para kritikus lain yang memujanya?

Pesona kerap muncul berlebihan, ketajaman pun ketumpulan lebih juga meghantarkan daya pukau. Tapi bagi selalu mawas berdialog dengan penjajakan kian hari mematang, lewat mencari pepadanan lain menguji sejauh mana daya pamor diteliti, sehingga tahu derajat sebenarnya; apakah iseng, kecerdikan atau sudah sampai. Ini jauh dari akal-akalan logis pembenaran pula mencari-cari kebenaran dalam menopang yang diunggah, namun selektif. Dan IK memulai (dari kata ‘bebas’ ke ‘terobos’) sengaja merombak yang dianggap kebablasan. Kiranya dari sana IK tak mau terjebak menuruti keinginan tanpa landasan hakiki, lalu berupaya membentuk tafsiran berbeda, tetapi bagi bermata tak jeli tersebab silau, seolah sudah tepat sasarannya.

***

Seorang kawan, Zawawi Se memberikan masukan lewat kata ganti pada bagian V, tepatnya komentar singkat, mungkin perlu direnungkan: “upaya=coba-coba?” (kata ‘upaya’ itu kata di awal paragraf IK). Saya teringat perolehan bagian IV yang menyebutkan: “…kata ‘upaya,’ masih melihat gelagat bangunan SCB, sebab kata ‘upaya’ memiliki pembatas yang tidak menjatuhkan hukum pula tak menolak tegas!” Tidak menjatuhkan hukuman juga tidak menolaknya tegas, semacam itulah IK berhadapan SCB. Semakin nyatalah bangunan esainya setengah hati, ragu-ragu, jangan-jangan coba-coba; Tardji coba-coba membikin kredo, IK coba-coba mengupasnya dengan standar keilmuan dimilikinya?

Mungkin wujud coba-coba terbit, lantaran desakan kondisi mentalitas SCB yang banyak kritikan waktu itu, minimal H.B. Jassin awalnya menolak puisi-puisi Sutardji dimuat di majalah Horison, dan rupanya langkah coba-coba IK karena menghormati ulang tahun SCB seperti keterangan di bawahnya: “Esai ini berasal dari Pidato Kebudayaan yang disampaikan pada Malam Puncak Pekan Presiden Penyair di TIM, Jakarta, 19 Juli 2007, untuk menghormati penyair Sutardji Calzoum Bachri 66 tahun.” Mau tak mau ‘coba-coba’ pula menghargai karya penyairnya. Namun tentunya kita teringat adanya makolah, “kesalahan berulang-ulang, dikupas terus-menerus, diiklankan senantiasa, dipastikan menjelma benar (membentuk takdir pembenaran tersendiri) sebab dukungan banyak lapisan,” apakah sokongan kritikus sebelum generasi SCB, seangkatannya, lebih-lebih setelahnya, olehnya upaya apa saja digarap serius demi kukuhkan label menghormati perjuangannya atau istilah sejenisnya.

 

6 Juli 2011, Rabu Budha Masehi,

4 Ruwah 1944, Rebo Kliwon Jawa,

4 Syaban 1432 Hijriah.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler