Skip to Content

MEMBONGKAR MITOS KESUSASTRAAN INDONESIA (BAGIAN 08)

Foto SIHALOHOLISTICK

(kupasan pertama dari paragraf kedua, lewat esainya Dr. Ignas Kleden)

Oleh: NUREL JAVISSYARQI

 

Di bagian V saya menyebut, “…alunan peribahasa yang secara tak kentara membentuk pola bernalar.”

Sebelum baca paragraf kedua esainya IK, saya kan kupas kulit luar demi ke dalam. Ada peribahasa melayu berbunyi “Jika intan keluar dari mulut anjing sekalipun, bernama intan juga.” Maknanya, “Perkataan yang baik biarpun keluar dari mulut siapa juga, tetap baik pula.” Yang hendak saya benturkan ke pemahaman; “Tak mungkin ada intan dari mulut anjing, kecuali curian!”

Kemungkinan terdekat, sumber kekayaan peribahasa suatu bangsa menentukan watak bangsanya. Entah lambat laun bergeser atau tetap bertahan, yang kadar munculnya melalui lorong di bawah sadar masyarakatnya. Minimal kala tertimpa bencana, orang-orangnya kerap balik ke akar rumpun. Walau ada beberapa peribahasanya lepas logika, sebab menuruti perasaan semata.

Di sini tak melulu menampilkan peribahasa mana saja masih teguh alam penalaran, ataukah radak melenceng dari kodratnya. Meski bisa dikategorikan ‘benar’ -tiada masalah- karena ‘sekadar’ peribahasa yang ‘mungkin’ terpenting mereka ialah maknanya. Dan kesempatan kini saya berfokus mengudar peribahasa tertutur di atas.

Mari melihat peristiwa lukisan ini, “Jika intan keluar dari mulut anjing sekalipun, bernama intan juga.” Secara alami, anjing tak kan mengeluarkan emas apalagi intah, ia hanya memproduksi liur, atau potongan tulang atas pemberian tuannya, dan bisa jadi curian di tengah pasar padat keramaian, yang rapat kehilafan tipudaya. Kata tulang, diganti intan untuk meninggikan derajat barang pemberian / curian, yang pemilik intannya ‘entahlah siapa,’ anjingnya kepunyaan ‘siapa pula.’ Siapa juga awal pencipta peribahasa begitu dekat perasaan terjepit, hingga terlupa menimbang logika penceritaan?

Ada bantahan, “itu kan peribahasa, tak bisa dipreteli semena-mena, karena terpenting pengertian terkandung di dalamnya.” Namun jika mencermati daya ruhani ungkapan membumi yang mewataki kaum peribumi, maka bisa dimulai jalan pembongkaran ini. Dan saya kira syah bagi jiwa berpribadi maju, demi kesiapan bangsa menyogsong hari lebih tepat sasaran busurnya, sedenyar senandung merdu “sedia payung sebelum hujan.”

Dahan ujaran yang nyempal dari pohon logika, biasanya digunakan orang bermental “lempar batu sembunyi tangan,” tak mau bertanggungjawab dengan banyak alasan. Malah sering sebagai dalil penguat kejadian lemah, seperti “menabur garam di lautan;” kesia-siaanya atau semua kasus di hadapannya sama dalam menyelesaikan.

Yang saya unggah tersebut betapa sering dipakai menutupi masalah belum teratasi menyeluruh. Tapi karena terpesona ungkapan sekemilau intan, cepat-cepat mereka mengambil tanpa diselidiki riwayatnya? Bisa jadi dahan itu hasil cangkokan dari pohon lain serta tidak kuat, lalu menyempal sebelum masanya. Dan sewaktu ditanam berakibat matinya pengertian yang ada, tetapi masih disirami lewat riak air paribasan.

Mari saya bikin nada lain atas hukum balik dari kebiasaan yang muncul dalam realitas di negara ini, “Walau pejabat korupsi berkali-kali sekalipun, masih pejabat juga.” Tidakkah nada tersebut mirip peribahasa yang saya soroti dari awal? Pejabat itu seolah intan keluar dari mulut ‘kasus’ anjing menjilati tubuh para atasannya. Nyata sungguh melimpah para pejabat terkena kasus sampai maha kasus, tapi masih berleha-leha di kursi kekuasaannya, dapat jatah gaji kepegawaian, atau dalam terali besi difasilitasi melebihi rakyat pengangguran, orang-orang terlantar yang dalam undang-undang kaum papa wajib dipelihata negara.

Kalau memakai dinaya kemiringan, peribahasa saya urai terdapat banyak kelemahan. Pada tingkatan kebohongan, dari orang-orang sudah dikenal berdusta di suatu kampung misalkan; seorang terkenal gembong pencuri pada suatu waktu memimpin khotbah di kampung lainnya, apakah ini tidak mengsle kejadiannya? Ketika pendengarnya tak tahu yang berdiri di podium, seorang yang masih melakukan tindak kejahatan di wilayah lain.

Mungkin salah satu alur pembenahan kondisi kebejatan moral suatu bangsa; revisi dulu peribahasanya, membongkar nafas-nafas menghidupi tanah pertiwi sebagai kesadaran berbangsa di samping mencuriga tahap gejala yang bangkit karenanya. Juga meluruskan kata-kata yang keluar dari mulut pejabat, orang-orang ditokohkan, sebab hembusannya sewarna tataran konsep baku nan menyebar di batok kepala penghuninya yang tertunduk takut, pada pribadi nanggung lainnya. Ini membekukan persoalan jadi timbunan sampah menggunung, sekasus tiadanya jalan penyelesaian, sekewajaran hutang negara kian waktu bertumpuk atas sosok pemilik kuasa semakin ngawur seenaknya.

Dapat dipastikan anjing yang tak terlatih (dalam peribahasa itu tak menyatakan mahir atau bukan, maka bisa menimpai semua jenis anjing). Oleh karenanya saya mungkinkan intan pada ungkapan itu bukan sungguhan, tapi aspal. Serta pejabat terjerat kasus bisa terjadi ijazanya palsu, maka kian rusak jika tak cermat memahami peribahasa adiluhung dengan satu sudut pandang. Yang dapat pula dikategorikan sindiran bagi bangsanya sendiri, nan terlalu percaya kata-kata manis mentereng tanpa landasan realitas!

Kalau diturunkan sejenak menginsyafi bahwa nenek moyang kita sejatinya bodoh; kenapa pencipta paribasan (peribahasa) tidak berpikir masak-masak sebelum disebarkan, sehingga di titik kurun waktu tertentu berimbas fatal disalahgunakan mereka yang pendek langkah pikirnya, diterima oleh yang cupet jangkauan telisiknya. Padahal ungkapan serupa kata mutiara itu kedudukannya kokoh manakala menjalari napasan kesadaran umat laksana ayat-ayat kitab suci, mitos tidak goyah, meski digempur pelbagai wacana. Oleh kidungannya mampu menjangkau ratusan generasi, bahkan jutaan tahun menyusupi jejiwa lemah bertaat buta, taklit gelap berbahagia, tanpa berusaha menggali kebebalan demi tapakan imanya pada derajat kepribadian semestinya.

***

Saya lanjutkan setelah beberapa hari catatan ini saya tinggal karena bedah buku MTJK-SCB di Yogya yang dikupas Aguk Irawan MN (berbarengan novelnya Jusuf AN, pembedah Hamdy Salad, antologi puisinya Syaifuddin Gani oleh TS Pinang), yang acaranya dipanitiai Indrian Koto, Andika Ananda, Munajat Sunyi, bertempat di Pusat Kebudayaan Indonesia-Belanda “Karta Pustaka.” Buku saya sendiri sebelumlah sudah dibahas di beberapa kota; Jombang, Trenggalek, Ponorogo, Malang, lalu entah mana lagi kan disinggahi. Setidaknya rekaman singkat saya diluar dugaan, seakan tanpa perencanaan berjalan mulus, disamping tulisan kawan-kawan yang beredar di google sedari beberapa kepulauan di Nusantara turut mengapresiasi. Dan kejadian di Jogja sedikitnya menguak tabir sampai titik tertentu kandungan buku, makna kata saksi nan berangkat dari jalur gerilya, serupa dalil “apa yang tertulis, itulah yang terlaksanakan.”

Kiasan anjing dan intan sampai membuka keketulan nenek moyang, kian kentara menelusuri barisan kegagalan bangsa kita, yang sebelumnya berbangsa-bangsa bersebut suku bangsa di pintu gerbang kemerdekaan 17 Agustus 1945. Ialah masa lampau berhimpit berdesak-desakan kepentingan dari bentuk pemerintahan kerajaan yang bersimpan pertikaian saudara, juga penjajahan dari bangsa Eropa yang berakar ratusan tahun atas sistem adu domba. Meski tak menutup mata juga pembangun keadaban purna semisal berdirinya candi Borobudur nan megah, serat-serat susastra walau sebagian perembesan ujaran keadiluhungan bebangsa lain di dunia; India, Arab, Cina dan lainnya, atau dari sana saling mematangkan sederajat kemakmuran berperikemanusiaan damai.

Kini saya lebur perolehan ini, tepatnya bunuh diri besar-besaran antara persinggungan nenek moyang cerdas ataukah kita yang dungu. Di balik penglihatan lanjut pada gagasan yang diusung ulang kabarnya oleh Ignas Kleden dalam paragraf keduanya, berharapan mencapai poin penting membuka hijab perangai perlambang disaat menengok ungkapannya:

“Dalam sebuah esainya Sutardji menulis “puisi adalah alibi kata-kata”. Dengan ungkapan itu dimaksudkan bahwa kata-kata dalam puisi diberi kesempatan menghindar dari tanggung jawab terhadap makna, yang dalam pemakaian bahasa sehari-hari dilekatkan pada sebuah kata sebagai tanggungan kata tersebut.” (IK).

Memang paragrafnya bukan peribahasa, tapi ketika ungkapan turun pada orang lain untuk dijejalkan lagi, terjelma kemampuan mendoktrin, entah setengah samar, terang-terangan. Namun, sebelum jauh saya urai pertentangan belahan pokok bagian ini di lembar IX, akan saya buka sedikit apakah itu “alibi.”

Alibi ialah sebuah kata dari bahasa Latin yang artinya di tempat lain; merupakan derivasi dari kata “alius-alia-aliud” (maknanya yang lain) dengan kata “ibi” (menunjukkan tempat). Atau suatu keterangan yang menyatakan seseorang berada di tempat lain, ketika peristiwa terjadi. Alibi yang kuat disertai alasan dan bukti ampuh demi terhindar jeratan hukum, karena pada beberapa tempat seseorang dapat terkena hukum pidana, jikalau tak bisa membuktikan alibinya; makna kata alibi palsu.

 

28 Juli 2011, Kamis Respati Masehi,

26 Ruwah 1944, Kemis Pahing Jawa,

26 Syaban 1432 Hijriah.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler