Skip to Content

MEMBONGKAR MITOS KESUSASTRAAN INDONESIA (BAGIAN 12)

Foto SIHALOHOLISTICK

(kupasan kelima dari paragraf kedua, lewat esainya Dr. Ignas Kleden)

Oleh: NUREL JAVISSYARQI

 

Untuk menjadi telaah karya yang istimewa harus ada ketajaman dalam menggali kepengrajinan karya, inspiratif dan orisinal, argumentasi yang meyakinkan, dan keberanian menafsir (Jakob Sumardjo).

***

Tahun 1999 saya bermain ke TIM dan mendapati buku “The Creative Process” susunan Profesor Brewster Ghiselin, dialihbahasakan Wasid Soewarto, terbitan pertama Gunung Jati Jakarta, Januari 1983. Jauh sebelum itu saya memfotokopinya dari perpustakaan almarhum Gus Zainal Arifin Thoha. Seingat saya di deretan toko buku Jln Semarang kota Surabaya, masih ada.

Bicara proses kreatif memang para seniman saling menyerap, mengisi lengkapi dirasa ada kesamaan. Persilangan terjadi meski lain digeluti, pemusik menimba pengalaman sastrawan, sebaliknya pelukis menyerap pengetahuan penari, sewali’e teaterawan menggali manfaat pemahat, seterusnya. Tinggal mematangkan perolehan rangkap bersama temuan di jalanan, yang tidak lantas mengaku kesaksian secepat kilat, apalagi sudah terdengar. Saya kira lebih aman banyak baca, sehingga tak mengambil ihwal terlewat melalui sumber kedua apalagi turunannya.

Dalam pengelanaan, kadang mendapati nuansa hampir sama kawan sejalan yang memunculkan aura kemiripan kala dituangkan dalam karya, ini bukan jiplakan. Tapi di balik itu pantas merenungi jika menjumputi suara lain, melihat sejauh mana ianya menggali ladang hidup -atau sekadar memetik bunga di taman bacaan.

Orang-orang ampuh dikaruniahi daya melimpah berangkat dari kejujuran pencarian, lelangkahnya dipastikan meyakinkan, tiada kegusaran mandul. Meresapi diri selautan tenang memeluk gravitasi berkeindahan, yang decakan gelombangnya menginspirasi sesama.

Adapun datangnya kecelakaan terlalu ngefan seorang tokoh, lalu memboyong apa saja disuarakan dengan abai bacaan lebih dulu datangnya. Ketika mengutip sekenanya dipastikan merusak wacana, serupa barang palsu beredar di pasar gelap, padahal yang resmi isih mengedarkan nan lebih terang lampunya.

Saya tulis ini tanpa ekspresi serasa sesal tiada guna oleh mengetahui suara turunan berkumandang lantang, tapi… Semoga tak terlambat selagi memegang keterbukaan, menyiduk bening air ketulusan dalam sanubari menuju kematian.

Berkali-kali saya kagum Presiden Penyair itu, berkali-kali pula takjub Raja Mantra tersebut, berkali-kali tambah seribu pula pesonanya tergerus habis atas bacaan lainnya.

Sebenarnya kurang layak cawe-cawe proses kreatif, toh bagi saya juga lawatan itu sangat lain serta mengalir alami, seakan tiada benar-salah kecuali kesengajaan njiplak. Juga tiada dosa, malah dapat pahala sebentuk ijtihad melawan kebodohan, atau menuntut ilmu sampai liang lahat.

Ada beberapa kawan menegur untuk tidak memasuki wilayah berbeda sejenis gugatan, kata Fahrudin cukup buku sebelum ini, kata Binhad mending membuat gagasan tersendiri, tapi adanya pertimbangan diteruskan kini. Pertama mengamini ruh ‘Surat Para Penyair’ di buku sedurungnya, kedua apalah saya berkonsep, ini merambah ke mana-mana jika diurai. Satunya ‘mungkin’ tak percaya serupa pendapat kawan lain pada buku “Balada-balada Takdir Terlalu Dini” dikala terbitnya berkata; “Karyanya lebih cerdas daripada orangnya” pula hal mendangkanlah semisal segi usia, padahal nyata mengalir.

Saya maklum karena rezim sastra di Tanah Air berakar sampai ke sekolah, yang saya kira perlu diuji ulang. Ketiga, sebatu dilempar ke sungai demi menduga susastra pada bangsa di mana saya dilahirkan. Kalau masih percaya mutu daripada kuantitas, mari berhadap lengan berpancar pemikiran, setidaknya menguji keyakinan nan telah-sudah, disamping keraguan terus mendera.

***

Kata-kata SCB yang saya suka dalam kumpulan esainya ‘Isyarat;’ “Penyair tidak memberikan perundang-undangan pada dunia, seperti yang diharapkan Shelley, tetapi ia dapat memberikan sumbangan lewat karya-karyanya kepada pribadi-pribadi manusia dalam kehidupan mereka di dunia.”

“Menurut hemat saya, penyair pada hakikatnya tidak menciptakan sajak. Peranannya membuat sajak adalah sangat minim. Asal mula jadinya sebuah sajak adalah kekosongan. Tidak ada apa-apa. Suatu kekosongan yang minta diberi arti, yang mendambakan makna.” (halaman 11-12).

Menurut saya tak hemat, di buku itu diulang-ulang bermodel pengucapan beda, padahal unggahannya bisa dikelompokkan suara umum yang khas dari para pencari. Yang jika saya tuangkan tentu diawali kata-kata “ada beberapa paham” biar tak dikira pandangan diri semata. Bukankah bentuk pengawalan sejenis itu lumrah, serasa hormat terhadap para pendahulu?

Coba bandingkan ungkapan SCB dengan pernyataan C.G. Jung yang ditulis Brewster Ghiselin pada Introduksi, atas buku saya sebut di halaman 8:

“Seorang penemu, apakah dia seorang seniman atau pemikir, menciptakan struktur kehidupan jiwanya dengan karyanya. Sebagaimana dinyatakan oleh C.G. Jung: ‘Pekerjaan yang sedang berlangsung itu menjadi nasib si penyair dan menentukan perkembangan jiwanya. Bukannya Goethe yang menciptakan Faust, melainkan Faust yang menciptakan Goethe’.”

Kalau bacaan merambah luas, tentu berucap arif tak memboyong secara bakulan wacana yang hendak diperjualbelikan ke pasar kebudayaan. Dan cermat memahami runutan muasal, sehingga tiap nada bisa dirujuk peristiwanya menjelma kesatuan utuh sebuah pandangan yang kehendaknya paripurna.

Yang saya heran, banyak ungkapan tokoh kita kalau ditelusuri seakan tidak murni penggaliannya, ini terpantul semangat juang antara kisaran karyanya. Lagi-lagi para pendahulu sukanya perbesar bayang mewujud patung seolah dewa patut dipuja, tanpa melihat kedalaman lakunya, pengurbanan ruh hayati. Ini karena malas dan ingin sama terangkat segigi tangga membentuk lelucon jika membuka cakrawala di panggung dunia. Sementara karya-karya serta orang-orang berkualitas, malah disingkirkan pelahan.

Menjadi tepat yang diragukan Aguk dalam tulisannya menanggapi buku gugatan saya sebahan bedah karya di Jogja kemarin; adanya sastrawan jahiliah yang terus perkuat kejahiliannya. Bagi terpesona bungkus, terperdaya menjumput ungkapannya dijadikan rujukan selentik sulapan permainan jemari.

Hal ini kemunculannya kentara melontarkan kata-kata ampuh, tapi tak merealisasikan ke jenjang penalaran lebih. Pendapat es-trim, selalu dielu-elukan sewarna perlawanan, kepahlawanan patut diteruskan, pantas disebut pembaharu?

Agar tak merantak saya turunkan yang dimaksud SCB “Puisi adalah alibi kata-kata.” Setelah menjegal paham Shelley lewat kepahaman mirip Jung, dalam lembar yang sama di Pidato Penyerahan Anugerah Sastra Chairil Anwar 1998, halaman 14 buku Isyarat:

?“Dalam realitas kehidupan sehari-hari, kata-kata cenderung sering terhukum memikul beban makna sesuai dengan yang diinginkan para penguasanya, yakni para pengucapnya. Semakin besar kuasa sang pengucap semakin besar beban makna yang dipikulkan pada pundak kata-kata sesuai dengan kemauan si pengucap.”

“Kata-kata terhukum, terpenjara dalam kemauan dan penafsiran yang relatif lebih berkuasa, oleh basa-basi, inhibisi, dan feodalisasi pengucapan.”

“Keluar dari suasana kesehariannya, dalam rendezvous-nya dengan penyair, di suatu tempat yakni dalam baris-baris puisi yakni dalam baris-baris sajak, kata-kata mendapatkan alibinya.”

“Puisi adalah alibi kata-kata.”

“Para pembaca puisi, yang dalam kehidupan sehari-hari sering hanya bertemu dengan kata-kata yang terpenjara dalam makna yang diinginkan oleh penguasanya, mengandung kepalsuan dan hipokrisi, tidak lagi akan menyalakan kata-kata. Dengan puisi orang tahu, kata-kata sebenarnya bebas, tidak terhukum dengan beban makna, yang diinginkan para penguasanya, karena kata-kata berada di tempat lain, memiliki alibinya dalam puisi.”

“Mengingat kata-kata masih memiliki alibi, orang bisa mendapatkan optimisme dalam keabsudan hidup sehari-hari yang sering penuh tekanan dan hipokrisi, karena makna kata sebenarnya ada di tempat lain dalam puisi.”

Larik-larik tersebut mendapat tekanan nadannya di halaman 18, olehnya saya kopas juga:

“Maka para penyair, jadikan dirimu lagu dan nyanyikan sendiri dengan girang, walau engkau menyanyi lewat mulut luka. Para penyair carilah dirimu, carilah makna, dalam keanekaragaman nuansa dalam keanekaragaman warna kehidupan. Jangan mudah menghukum, jangan mudah melarang. Bahkan melayang merokok pun jangan. Bakatmu bukan untuk melarang. Percayalah pada manusia. Penyair bukan pembuat undang-undang untuk dunia. Puisi adalah dalih, kilah untuk dunia. Agar ada alasan untuk hidup di bumi ini dengan makna. Agar engkau punya alibi demi kehidupan. Wahai para penyair, marilah gembira, bernyanyi, carikan alibi girang untuk luka kita. Puisi bukan aksi untuk dunia tetapi reaksi terhadap dunia. Karena engkau berada dalam dunia kehidupan, engkau bereaksi terhadap kehidupan, engkau memberikan makna terhadapnya.”

Di sini saya tak menutup pintu kemungkinan yakni mengikuti IK hanya melontarkan ungkapannya, lagian kata-kata tersebut lebih banyak menyerang dirinya sendiri. Pun bisa terjadi ungkapan SCB (halaman 11-12) itu murni temuannya berbanding lurus psikiater Swiss C.G. Jung, seorang yang berseberangan dengan kawannya Sigmund Freud.

Lantas saya bayangkan Sutardji bersurat-suratan dengan salah satu sastrawan, pada uraiannya ada penyelidikan mendalam menghasilkan temuan yang terujar sepokok gagasannya. Sebab tulisan saya bukan jawaban finis tapi serupa pertanyaan, siapa tahu kelak terbit semacam surat-surat Jung bersama Freud atau bentuk lain bersikap. Olehnya atas rasa tenggang juga sama berkesempatan, tak menutup ruang bantahan yang terurai ini. Tentu diterjamah sendiri lebih lapang isinya daripada pengelana. Maka yang tertanda bisa disebut dugaan awal, yang sudi didialogkan jikalau hadir sanggahan:

Saya baca ulang kata ‘alibi’ yang muncul dalam ungkapan Sutardji Calzoum Bachri, adanya jasad terkandung makna; (‘Pem-benar-an’ kata-kata atau kata-kata tepat demi ‘alasan’ terbaik). Tampak kentara titik pusar yang ditekan berikut ini:

“Puisi adalah dalih, kilah untuk dunia. Agar ada alasan untuk hidup di bumi ini dengan makna. Agar engkau punya alibi demi kehidupan. Wahai para penyair, marilah gembira, bernyanyi, carikan alibi girang untuk luka kita.”

Dugaan kian larut menurut SCB ‘alibi’ sekadar dalih, kilah, alasan. Bukan mencari obat penyembuh luka, tapi berlari girang menari demi melupakan luka, membiarkan borok yang ada dalam kehidupan. “Merasa manusia diberkahi untuk bebas,” bukan “Manusia dikutuk untuk bebas,” seperti kata Sartre.

Sejauh ini belum saya temukan gagasannya yang cemerlang dalam dedahan menjanjikan rimbunnya pemikiran hidup, yang ada pohon plastik ditanam sendiri serta orang lain yang akarnya tidak menyerap saripati. Namun saya tetap menanti rahmat terkasih bisa dibanggakan bagi warisan mapan, bukan alibi.

 

9 September 2011, Jum’at Sukra Masehi,

10 Syawal 1944, Jemuwah Kliwon Jawa,

10 Syawal 1432 Hijriah.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler