Skip to Content

MEMBONGKAR MITOS KESUSASTRAAN INDONESIA (BAGIAN 16)

Foto SIHALOHOLISTICK

(kupasan kedua dari paragraf tiga dan empat, lewat esainya Dr. Ignas Kleden)

Oleh: NUREL JAVISSYARQI

 

Gugatan untuk MASTERA 2006 dan Anugerah Sastra Dewan Kesenian Riau 2000. Yang meloloskan pengertian “Kun Fayakun” dirombak ke dalam bahasa Indonesia membentuk makna; “Jadi, lantas jadilah!” dan “Jadi maka jadilah!”

Awalnya masih menaruh pikiran positif. Di kepala seakan tertera kata-kata, “pasti pidatonya mbeneh, bukan awut-awutan,” nyata tebakan itu meleset. Pun ingin husnudzon, mungkin tak tahu sumber aslinya. Namun apakah mungkin, sastrawan terkenal yang banyak mendapati penghargaan, cuntelkeilmuan?

Bagian XVI ini berkehendak mengupas paragraf tiga dan empat tingkatan kedua esainya Ignas. Sengaja membabar kandungan lebih dulu, sebelum lingkaran luar. Secara tak sengaja temukan kefatalan sangat pada data saya telusuri. Terus terang agak canggung mengudar sastra ke wilayah agama, di sisi usia belum genap matang pun keilmuan durung mencukupi dalam mewedarkan. Lantaran ini soal serius dan seperti belum ada ahli bahasa memperkarakannya. Mungkin dianggap kesalahan ketik, kewajaran dari kenyentrikannya, jangan-jangan takut keliru meluruskannya. Ataukah begitu, “Kun Fayakun” dimasukkan ke dalam bahasa Indonesia, menghilangkah ‘ruhaniah kata kerja’, fi’il amar (‘perintah’ pada kata ‘Kun’), sehingga tampak sulapan ‘jadi’-nya?

Saya kira sudah banyak pembaca bukunya Sutardji “Isyarat” pun membeludak mengutipnya, mungkin telah berjubel buku-buku turunan mengamininya. Tidakkah hal tersebut merusak nilai-nilai Al-Qur’an dalam pemaknaan, disaat benih-benihnya menyebar ke seluruh dataran subur Nusantara? Jika hendak ambil khasana luar, berhasrat mencawuk ujaran tertentu, sepantasnya tak mengurangi pun melebih-lebihkan, apalagi bersumber dari agama. Di sana sering saya singgung, asal tempel!

Padahal firman Allah swt. mengenai “Kun Fayakun” telah mengispirasi para ulama’ nan tertera dalam kitabnya, ada dikhususkan tersendiri semisal Ibnu ‘Arabi pada kitabnya “Syajaratul-Kaun.” Dari mereka, mewujud gugusan ilmu pengetahuan, bukan alibi kata-kata. Yang dari huruf ‘kaf’ dan ‘nun’ atas kata ‘Kun’ merambahi dataran firman-firman-Nya, pula hadits-hadits ke tingkatan perciptaan awal, Isra’ Mi’raj, di atas jagad kecil dan besar, juga di luarnya dalam lingkup kekuasaan-Nya. Saya tak sanggup membayangkan, kata ‘Kun’ diganti lain dengan merangkaikannya!

Jika MASTERA (Majelis Sastra Asia Tenggara) 2006 serta Anugerah Sastra Dewan Kesenian Riau 2000, menghargai ayat-ayat Al-Qur’an sebagai Kitab Suci. Sepertinya teks-teks pidato tersebut wajib direvisi, yakni mengenai “Kun Fayakun” ['Kun (wujudlah), maka ia pun jadi (wujud), terjemahan ‘Syajaratul-Kaun’ Ibnu 'Arabi, penerbit Risalah Gusti, Surabaya, 2001: “Syajaratul-Kaun dan Hikayat Iblis” (Mesir: Mushthafa al Babi al Halabi wa Auladuh, 1360/1941)] (makna wujud / jadi di belakang, sebagai pemberhentian bacaan). “Kun Fayakun” [“Jadilah," maka jadilah ia, penghujung Surat Yaasiin ayat 82, penghujung Surat An-Nahl ayat 40, dari terjemahan "Kitab tafsir Jalalain," Imam Jalaluddin Al Mahalli dan Imam Jalaluddin As Suyuti, diterbitkan Sinar Baru Algensindo, Bandung]. Bukan “Jadi, lantas jadilah!” atau “Jadi maka jadilah!” Ini kesengajaan SCB demi menopang pahamnya!

Mari simak paragraf-paragrafnya: “Pada mulanya Tuhan Sang Maha Penyair berfirman, “Jadi, lantas jadilah!” Itulah kata paling utama dari puisi di mana kata adalah benda adalah ikhwal adalah makna adalah diri ekspresi adalah eksistensi. Kesanalah penyair menuju-sebagai pedoman-mencoba meraih kata yang adalah makna itu sendiri” (Sambutan Sutardji Calzoum Bachri Pada Upacara Penyerahan Anugerah Sastra Mastera, Bandar Seri Begawan 14 Maret 2006, ‘Isyarat’ hal 20).

“Pada mulanya Sang Maha Penyair berucap, “Jadi maka jadilah!” Itulah kata yang paling hakiki dari puisi. Kata adalah makna itu sendiri. Jadi adalah Jadi itu sendiri. Dalam dan pada Jadi itulah dunia dan makna menghadirkan diri. Ke sanalah penyair menuju, terobsesi mencoba meraih kata yang makna hakiki itu sendiri” (“Bukan” Sutardji Calzoum Bachri -Pidato Anugerah Sastra Dewan Kesenian Riau 2000-, “Bentara” Kompas, 11 Januari 2003, ‘Isyarat’ hal 22).

?”Jadilah, maka jadilah ia” atau ‘Kun (wujudlah),’ maka ia pun jadi (wujud; pemberhenti dalam bacaannya) adalah kalimat sempurna, hukum ketentuan. Sedang “Jadi, lantas jadilah!” atau “Jadi maka jadilah!” Ialah bukan jumlah mufidah (tidak kalimat sempurna); cabang kering tak berbuah, mentah rontok sebab batang pohon kejadian dihentakkan tangan memaksakan diri membebaskan setelah kata ‘jadi.’ Mencerabut akar, kematian, bebijian kering, lebih tepatnya membusuk.

Presiden sungguhan misalkan SBY punya sekretaris, mungkin SCB yang melantik dirinya sendiri sebagai presiden penyair, punya sekretaris juga. Benarkah ini kefatalan bawahannya? Karena “Jadi, lantas jadilah!”, “Jadi maka jadilah!” Masih gelap, jadilah apa? Toh sebelumnya sudah ‘jadi’? Kalau di permainan sulap bolehlah, sebab barang dimunculkannya sudah ‘ada’ sebelumnya! Bandingkan dengan kalam mufidah (kalimat sempurna) dalam Al-Qur’an: “Jadilah, maka jadilah ia,” sederhana lagi, “Jadilah, maka jadilah.” Di sini jadilah apa? Yang terjadi, ‘keterangan kata kerja’ sedurungnya.

Kenapa SCB menyematkan kata ‘jadi,’ bukan ‘jadilah,’ ini sengaja memegang ujung kata yang selanjutnya berbunyi “kata adalah benda”, “Jadi adalah Jadi itu sendiri”? Seperti ungkapannya yang terkenal pun didukung sebagian kritikus, kalangan penyair, bahwa “Pada mulanya adalah Kata. Dan kata pertama adalah mantera.” Padahal mantra sendiri suatu ritual, tidak patung, mematung, pula bukan ‘puisi kongkrit’ yang pernah dipamerkannya!

Tuhan Allah swt. berfirman mengenai “Kun Fayakun” tidak dengan kata lain. Sepengetahuan saya terdapat di dua surat, berikut lantunan ayatnya. Yang dalam kurung terjemahannya, yang di luar tafsirannya dari Kitab tafsir Jalalain:

(Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami meghendakinya) artinya, Kami berkehendak untuk mengadakannya. Lafaz Qauluna adalah Mubtada, sedangkan khobarnya (Kami hanya mengatakan kepadanya: “Jadilah”, maka jadilah ia) artinya, maka sesuatu yang dikehendaki-Nya itu ada seketika. Menurut qiraat lafaz Fayakuunu dibaca Nashab sehingga menjadi Fayakuuna karena di’athafkan kepada lafaz Naqula. Ayat ini menunjukkan makna menetapkan kekuasaan Allah di dalam membangkitkan mahkluk. (Surat ke 16 An-Nahl (lebah) ayat 40, termasuk surat Makkiyyah. 128 ayatnya, kecuali 3 ayat terakhir Madaniyyah yang turun sesudah surat Al-Kahfi).

(Sesungguhnya perkara-Nya) keadaan-Nya (apabila Dia menghendaki sesuatu) yakni berkehendak menciptakan sesuatu (hanyalah berkata kepadanya: “Jadilah”, maka terjadilah ia) berujudlah sesuatu itu. Menurut qiraat yang lain lafaz Fayakunu dibaca Fayakuna karena di’athafkan kepada lafaz Yakula. (Surat ke 38 Yaasiin ayat 82, termasuk surat Makkiyyah. 83 ayatnya, kecuali ayat 45 Madaniyyah yang turun sesudah Surat Jin).

Ibnu ‘Arabi dalam mengawali kitabnya “Syajaratul-Kaun” memilih ayat yang terdapat di Surat An-Nahl, mungkin se-tindak kehati-hatian demi ‘mengurangi’ bentuk penguat di hadits maudhu’ menurut sebagian ulama.’ Seperti berikut artinya, “Sesungguhnya segala sesuatu memiliki hati, sedangkan hatinya Al-Qur’an ialah Surat Yaasiin. Barang siapa membacanya, maka seakan-akan ia telah membaca Al-Qur’an sebanyak sepuluh kali”. [HR. At-Tirmidziy di dalam As-Sunan (4/46), Ad-Darimiy dalam Sunan-nya (2/456)].

Dapat pula pilihan itu lantaran lantunannya berkelok, tak menohok seharum kembang menyengat aromanya. Atau didasari kesastrawiannya, yang napasannya lebih mudah dimengerti semua kalangan. Lantas timbul pertanyaan; apakah ‘tanda seru’ pada kata-kata SCB; “Jadi, lantas jadilah!”, “Jadi maka jadilah!” sudah mampu menggantikan kata ‘kerja awal’ pada kata ‘jadi’, sebagaimana ‘jadilah’?

Ini seperti bukan soal salah ketik pun bukan ketidaktahuan para kritikus. Itu saya sesalkan kenapa para ahli kritik tidak memperotes, sedang mereka mengantongi keilmuan, malah melapangkannya di beberapa tempat. Jika saya tak luruskan kasus Asy-Syura yang diselewengkan tafsirannya, kayaknya langgeng juga. Mari tengok Kitab Suci Al-Qur’an di hadapan SCB, dikutip dari esai A. Rahim Abdullah “Sutardji Calzoum Bachri: Penjatidirian Dalam Proses Pembangunan Negara Bangsa”

“Sebagai penyair yang jujur dapat kita tangkap sikapnya pada sajak “Enso!” walaupun Sutardji dianggap semacam sangsi dengan peranan kita suci (al-Qur’an)

Di Qur’an kini hanya aljabar

Beratus persamaan-persamaan tersamar.

Aku tak mengurusnya lagi

Jemu. Cahaya sebentar datang,

Lalu hilang kembali.

Sebenarnya dia bukanlah sangsi terhadap kesucian al-Qur’an, tetapi disebabkan ayat-ayat dalam kitab itu juga tidak lebih daripada menyuarakan Tuhan secara samar-samar belaka (Nyoman Tusthi Eddy, 1980:4). Bagi penyair ini, kitab suci belum tentu mampu menjadi jaminan bagi hasrat manusia yang ingin menemui Tuhannya. Dengan sikapnya ini mungkin Sutardji dituduh murtad. Namun, esensi hubungan antar makhluk dengan Khaliknya tidak selamanya berlangsung dalam kitab suci. Setiap orang (sebagai makhluk) bebas mencari hubungan dengan Khaliknya. Dilihat dari aspek nilai spiritual, hubungan di luar kitab suci tidak berbeda dengan hubungan yang dijalin dengan kitab suci. Sebaliknya, hubungan yang bersifat bebas dan pribadi mungkin dapat menumbuhkan kenikmatan spiritual yang lebih besar (ibid). (halaman 224 – 225, buku “Raja Mantra Presiden Penyair,” terbitan Yayasan Panggung Melayu, Juli 2007).”

Lagi-lagi saya suka kaum sastrawan pun kritikus, tersebab lihainya bercakap. Bagaimana SCB menghadapi firman “Kun Fayakun”, dirombak ke dalam bahasa Indonesia membentuk makna: “Jadi, lantas jadilah!” dan “Jadi maka jadilah!” Di bawah ini agak saya urai dengan harapan kelak ada sikap kehati-hatian dalam mengartikan ayat-ayat Kitab Suci Al-Qur’an. Dari segi alat baca (nahwu shorof), yang tak ada sedetik pun maksud saya mendangkalkan kesuciannya.

Kata ‘jadi’ sebelum kata-kata ‘lantas jadilah!’, apalagi tanpa tanda koma lalu ‘maka jadilah!’ merupakan fi’il madhi, artinya pekerjaan yang sudah terjadi dan tulisannya tak sebagaimana ‘Kun,’ tetapi ‘kana.’ Bayangkan jika kelak ada yang lebih ugal-ugalan dari SCB, merombaknya ke fi’il mudhore’ (pekerjaan baru terjadi) seperti ‘Yakuuna’, makin rancu jadinya. Apalagi dipolitisir membentuk fi’il nahi bersuara ‘La Yakuna’ (menunjukkan larangan), maka kacau bukan? Padahal dalam kitab tafsir pun kitab-kitab para ulama yang membahas ‘Kun’, tidak hanya menulis ‘Kun’ semata, tapi sering dibarengi tanda petik saat memasuki terjemahan Indonesia. ‘Kun’ adalah kata perintah, ‘Jadilah.’ Bukan ‘jadi’ yang merujukkan kata benda!

Bandingkan kata ‘jadi’ dengan ‘puisi kongkrit’ yang saya singgung. Kalau SCB memperhatikan ‘teguran samar, dukungan samar’ dari Dami, sedikit banyak kemungkinan membenahi pandangan, berhati-hati sebelum bukunya diterbitkan. Dami mengatakan: “Sutardji pun kelihatan menghindari definisi itu, kecuali menerangkan soal proses kreatifnya,” paragraf sebelum kalimat di atas isinya hampir sama pada awal esai Tardji bertitel “Sekitar Puisi Kongkrit:”

“Kembali pada pokok yang disinggung pada awal pembicaraan ini, lalu apakah definisi “Puisi Kongkret” mereka itu? Seperti halnya penegasan Ikra Negara dalam sebuah koran ibu kota ketika itu, bahwa Definisi tidak perlu! Dengan kata lain, “definisi” karya-karya itu adalah sebagai “penampilan” yang begitu itulah. Tetapi mungkin tidak salah agaknya, kalau kita pun mendengar apa penegasan Sutardji Calzoum Bachri dalam pengantar pameran tersebut. Kata dia “salah satu elemen yang menyebabkan timbulkan puisi kongkrit ialah ide untuk membikin kata atau bunyi menjadi berwujud dan kehadiran kata yang tidak begitu saja menerima kehadirannya dalam gramatika, di samping huruf sebagai gambar dari kata yang diusahakan tidak bersifat netral untuk mengantarkan kata-kata.” (‘Menonton dan Mendengar Puisi Kongkrit,’ di buku “Hamba-hamba kebudayaan” Dami N. Toda, terbitan Sinar Harapan 1984).

Paragraf kedua dari akhir esainya SCB: “Bagi saya mantera adalah puisi kongkret paling berakar dan orisinal yang kita miliki. Konstelasi kata-kata atau bunyi dari mantra menimbulkan bentuk yang unik yang hanya berfungsi dalam keutuhan konstelasinya sendiri dan bisa diharapkan menimbulkan komunikasi atau efek tertentu. Situasi (tempat) di mana mantera itu diletakkan (tertulis) atau diucapkan banyak menentukan sampai atau tidaknya komunikasi atau efek yang diharapkan. Mantera adalah puisi terpakai (applied poetry) yang pada masa kini peranannya antara lain diambil alih oleh puisi kongkret dalam periklanan.” (‘Isyarat’ hal 110).

Jelas, kata ‘jadi’ diingini tumbuh dari kata ‘Kun’, itu kesengajaan luar biasa nekat demi “menumbuhkan kenikmatan spiritual yang lebih besar” (A. Rahim Abdullah), yang dipatenken seturut melanggengkan gagasannya, “Jadi adalah Jadi itu sendiri. Dalam dan pada Jadi itulah dunia dan makna menghadirkan diri. Ke sanalah penyair menuju, terobsesi mencoba meraih kata yang makna hakiki itu sendiri” atau “Itulah kata paling utama dari puisi di mana kata adalah benda adalah ikhwal adalah makna adalah diri ekspresi adalah eksistensi.” (petikan paragraf di dua pidato SCB).

Kenyataannya ngawur, merombak ‘kata perintah’ menjelma ‘kata benda.’ Lebih serampangan tanpa perhitungan matang, mendingan para orientalis yang licin sekali pun. SCB tak sekadar menyelewengkan tafsir, juga gagah merombak susunan Kitab Suci Al-Qur’an demi kenikmatan berdalih atas nama sastrawan! Pembikin ‘suara palsu’ yang menyesatkan pembaca tidak kritis mengamini karyanya, seolah dari kitab agamanya! Pada kesempatan ini saya teringat ungkapan penyair sekaligus ulama’ Mustofa Bisri, yang mengistilahkan ‘bolo’ pada sesama Muslim. Karena ini saya anggap masalah serius, olehnya diketengahkan di sini!

Lebih menyedihkan ‘pesulap kata-kata’ Sutardji Calzoum Bachri yang dikenal Raja Mantra, Presiden Penyair Indonesia, perombak sekaligus penghancur pesona “‘Kun,’ Fayakun” diturunkan rendah, dihapus maknanya sekelas permainan kata-kata: “Jadi, lantas jadilah!”, “Jadi maka jadilah!” Kenyataannya terpukau pesulap kelas dunia ‘David Copperfield’ yang tampan dan kaya, dibandingkan aura agung firman Allah swt. Mari simak paragraf lain esainya A. Rahim Abdullah, hal 132-233:

“Sajak-sajak terbaru Sutardji sudah berubah bentuk tipografinya, ia seolah-olah kembali pada bentuk puisi konvensional. Ini terlihat pada “David Copperfield, Realities ’90″, “Tanah Airmata”, dan “Jembatan” (Horison, XXXII. Juni 1998:28-29), bagaimanapun sajak kedua dan ketiga dihasilkan sejak 1993-97. Dalam “David Copperfield, Realities ’90″ Sutardji melahirkan rasa kagumnya setelah menonton pementasan “Illusion ’90″ oleh tokoh silap mata itu di Jakarta, antara lain seruannya.

aku dipukau David Copperfield 

aku dicekam Haudini

aku terkagumkan sama pesulap kakap.

 

aku terperangah melihat pesulap

ngubah derita jadi gedung gemerlap

aku tercengang menyaksikan

luka jadi waduk raksasa.

 

aku heran nonton pesulap

mampu mengkristalkan air mata kita

jadi etalase indah

di berbagai plaza.

 

aku kagum pesulap

yang bikin rimba

jadi emas

membuat hutan

jadi-pasir.

 

Allah

inilah tardji

terperangah takjub

heran daif

terasing tumpul dan takut

di negeri sulapan.”

Setidaknya SCB berbahagia, sebab telah berhasil menyulap “‘Kun,’ Fayakun” menjelma arti “Jadi, lantas jadilah!”, “Jadi maka jadilah!” di muka dunia kesusastraan Indonesia atas kritikus silap, di depan para penyair pengagum akrobatik kata-kata!

Secara umum terketahui Al-Qur’an ialah firman Allah swt. yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw. dengan lafaznya yang hingga kini menjadi pembacaan kaum Muslimin sejagad. Sejak diwahyukan sampai sekarang, bahkan ke akhir zaman mempertahankan bentuk keasliannya. Tidak mengalami perubahan tambahan atau pengurangan, walau sehuruf pun. Sebenarnya tak diperkenankan mensitir ayat-ayat Al-Qur’an dengan hanya menyebut arti juga maksudnya tanpa menyertakan lafaz aslinya. Namun, rujukan saya kemukakan setidaknya jadi pegangan untuk dibuka, dibaca ulang, dibenahi jika terdapat kesalahan. Selain menghindari bentuk fatal salah cetak, kala berubah layout di percetakan.

Lalu apakah MASTERA, Anugerah Sastra Dewan Kesenian Riau dapat menjamin ungkapan SCB “Jadi, lantas jadilah!” dan “Jadi maka jadilah!” bukan berasal firman Allah swt. “Kun Fayakun”? Bagaimana kalau dipakai para pengutip di Indonesia, kebanyakan latah tidak mencari rujukannya? Sebab begitu percaya ketokohan seseorang, misal; Menurut SCB, “Jadi, lantas jadilah!” Seperti yang pernah saya jumpai di salah satu buku mengambil kata-kata Sutardji, tapi tak menautkan akarnya. Andai soal ini dilepas dari agama, saya pikir lebih terhormat pelukis Van Gogh yang memotong telinga sendiri, tak pengambil ayat-ayat kitab suci, apalagi dipenggal seenaknya. Agak ‘genap’ memang, mencari legitimasi kepenyairan dalam kitab suci. Tapi fatalnya ketika al-Kitab tak sesuai pandangannya, lantas dirombak semaunya.

Kalau SCB menulis “kun faya kun” seperti di esainya “Sajak dan Pertanggungjawaban Penyair,” agaklah aman daripada kedua pidatonya tersebut. Dan jika berwawasan luas yang bisa dipertanggungjawabkan, tentu teks itu diperluas rupa ceramah ‘Mochtar Lubis’ tanggal 6 April 1977 di bukunya “Manusia Indonesia.” Yang pasti tidak kebanyakan kata ‘adalah’! Kita kerap memaklumi kesalahan senior, membetulkan tempat duduk kita disesuikan mereka, sehingga terlupa kursi sebenarnya! Tidakkah ini racun mematikan kreativitas pula membebalkan kefitrian kalbu pikiran dari-Nya? Nalar jadi tumpul, otak beku mengamini, dianggap lumrah kehilafannya? Sampai membuang susunan firman-Nya demi segelintir manusia-manusia fana?

Ini bukan masalah kajian modern, postmodernisme, hipermodernisme, transformer-post-hipermodern dan sebangsanya. Tapi rujukan-rujukan itu tentunya tidak berbeda, tak berubah daripada kemunculan awalnya. Kalau hendak menciduk kekayaan lain, seyogyanya memakmurkan lewat bacaan berkisar di antaranya, bukan asal njeplak serupa sulapan mak’ bedunduk! Coba semisal ungkapan filsuf René Descartes (1596 – 1650), “Cogito ergo sum” artinya “aku berpikir maka aku ada” lantas dirombak “aku pikir maka aku ada.” Tentu seluruh dunia terpingkal-pingkal menertawakan anda sambil berkata, “orang Indonesia sok cerdas ya!”

Pun tersebut tak sama derajadnya, tapi sepantasnya menghargai suara keasliannya. Pula dirunut ke dunia filsafat adanya kata benda, sifat dan seterusnya kerap saling membuai, tetapi suara asli tetap sebagai kunci keluar-masuknya gagasan! Kalau kunci duplikat lurus nan tak merusak lubang keasliannya, paling dianggap pembobol! Celakanya, kunci duplikat merusak tidak bisa dipakai lagi. Maka pepintu mengalami kejadian sama menyesatkan banyak orang, para pengunjung berjumpa jalan buntu! Terus di mana letak kearifan khasana sastra, melihat demikian nan tertera?

Padahal sebuah teks pidato kebudayaan, penghargaan sastra, pidato kepala pasar sekalipun tetap ditimbang, dihitung pengucapnya secara matang. Serupa catatan kesaksian, pandangan ideologinya, sikap berpendirian dari pergolakan proses kreatif. Entah dongengan perebutan wilayah pasar tradisional, peta susastara dirambahnya yang seruannya dihajatkan gemilang, agar kelak tiada pemberontakan. Maka dipilih ‘kata-kata’ kokoh berwibawa sebagai penanda capaian dilarungnya! Teksnya bisa diambil pedoman, rujukan, setidaknya keseluruhan laku terpancang pada ungkapannya. Senyawa teks telah membulatkan tekad, membaja di keseluruhan jiwa-raga seperti janji setia, sumpah ditanggung atas kepenuhan hidup. Saya teringat “Sumpah Palapa” yang diserukan lantang Gajah Mada pada pengangkatannya sebagai Patih Amangkubhumi Majapahit, tahun 1258 Saka /1336 Masehi. Yang menelan tumbal seketika itu juga pada jiwa-jiwa tanggung mengejek tidak percayai maklumatnya!

Andai kaum kritikus, para sastrawan Indonesia pula MASTERA, menerima dengan jujur teguran realitas dari Sang Maha Realitas, atas kesembronoan yang disengajakan di tiga teks pidato SCB, “Sajak dan Pertanggungjawaban Penyair (1),” “Sambutan Upacara Penyerahan Anugerah Sastra Mastera (2),” serta “Pidato Anugerah Sastra Dewan Kesenian Riau (3).” Insya Allah, hikmah musibah tersebut terbuka manfaatnya. Di sana, gumpalan materi padat kegagalan dirinya sebagai sastrawan. Gagap meramukan konsepnya menjelma utuh. Lalu mencari-cari kepurnaan lewat ayat-ayat sedari kitab suci, yang disunat maknanya serta susunannya!

Bolehlah di kelas-kelas SCB mengatakan kata ‘jadi’ di awal kata-katanya tersebut menunjukkan ‘kata kerja perintah’ meski bukan! Lewat tekanan nada tertentu, kata ‘jadi’ di dalam lingkaran ataupun perkumpulan para penjudi dadu misalnya! Atau kata-kata ‘sim sala bim’ di dunia pesulap yang membuatnya terpukau pingsan, tercekam melotot, terkagum terbirit-birit, terperangah mendelik, tercengang geleng kepala sampai heran sepuyengnya bintang toedjoe umpamanya! Namun jangan samakan firman Allah swt. yang agung mengenai “Kun Fayakun” di ruang-ruang kelas itu! Kalau memang sastrawan jempolan, tentu paham membedakan teks-teks dunia gelap di sebelah yang bercahaya.

Sebelum masuki kilau cahaya kekaryaan Ibnu ‘Arabi. Mungkin ada baiknya saya turunkan sedari dua teman, satunya semasa di Madrasah Ibtidaiyah, Ahmad Munib Junaidi yang sama penuturannya dengan saudara Muflih Khoiri. Mereka tidak bertitel Prof pun Dr., jadi anda tak perlu sungkan jika ingin mendampratnya. Kata ‘Kun’ yang pertama menunjukkan azali, tiada kata depan ‘jaman’ di muka kata ‘azali’, sebab belum menunjukkan masa (kata Muflih). Dan ‘Kun’ yang kedua merupakan peristiwa di alam dunia.

Ini saya rujuk ke Hadits Qudsi: 55 di kitabnya Muhammad Tajuddin Bin Almanawi Alhaddadi, alihbahasa H. Salim Bahreisy, terbitan Bina Ilmu halaman 38, tahunnya tidak tertera, sebagaimana berikut; Al-Umamah r.a. berkata: Nabi saw. bersabda: Allah ta’ala berfirman: Akulah “Allah” tiada Tuhan melainkan Aku. Aku telah menciptakan dan menakdirkan kejahatan, maka celakalah orang yang telah Ku-takdirkan kejahatan baginya dan melaksanakannya. (R. Albaihaqi). Yakni, yang “telah menciptakan dan menakdirkan kejahatan,” dapat dimasukkan di azali, dan “maka celakalah orang yang telah Ku-takdirkan kejahatan baginya” sebentuk tarik-menarik antara tentara setan dan bala tentara malaikat di dunia. Sedangkan kata-kata “dan melaksanakannya.” merupakan wujud kemenangan atau kekalahan di atas takdir tersebut. Wallahu’alam Bishowab.

Setelah lewati gerhana bulan total kedua tahun ini, pertama 16 Juni 2011, kemarin 10 Desember 2011, sesuai perkiraan Hakim L. Malasan atau baca bagian XIV Babad Nuca Nepa (Flores). Dan malam senin wage kini 16 Muharrom 1433 /16 Suro 1945, pelahan saya ingin memetik hikmah “Syajaratul-Kaun” buah ilmu manfaat sedari Penghimpun Agama (Muhyiddin), Ibnu al-’Arabi. Semoga Allah swt. meridhoi hambanya sangat hina ini di dalam meneguk hikmahnya.

Asy-Syaikh al-Akbar Ibnu al-‘Arabi pada kitab saya pegang, mengawali cahaya inspirasi dengan firman Allah swt: “Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya tertancap kuat dan cabangnya (menjulang tinggi) ke langit.” (Q.s. Ibrahim: 24).

Atas keluhuran itu sepantasnya yang percayai berhati-hati dalam penulisan, apalagi terjemahannya. Tidak membolak-balikkan ‘kata kerja’ menjadi ‘kata benda’ dan seterusnya. Umpama di suatu negara yang kerap melihat kritik dianggap pujian, maka dengungan keras pantas disuarakan. Sekiranya luput terlepas kembali ke jalan keselamatan. Bukan malah mencari pembenaran lewat dalil akli demi menutupi malu. Karena apalah perangai dunia, toh sebentar lagi semuanya binasa.

Beliau (Ibnu ‘Arabi) memuja-muji kebesaran-Nya, selantunan harum melati suci pula mawar sedap dipandang, indah didengar telinga: “Dia menciptakan segala di alam raya dengan kata ‘Kun’ (Wujudlah), tiada pernah apa pun wujud kecuali keluar dari hakikat tersembunyi dari kata ‘Kun,’ sementara tiada sesuatu pun tersembunyi kecuali dari rahasianya yang selalu terjaga.”

Ditulislah Surat An-Nahl ayat 40 yang menyebut “Kun Fayakun.” Beliau “merenungi alam raya, pembentukannya, memperhatikan yang tersimpan.” Lantas bersaksilah, “keseluruhan tersebut suatu Pohon, pangkal cahayanya berasal satu benih ‘Kun’ dimana Kaf; al-Kauniyyah, dikawinkan dengan serbuk benih ‘nahnu khalaqnakum’ Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukurannya (Q.s. al-Qamar: 49). Dari sini muncul dua dahan berbeda dari satu akar. Akar tersebut al-Iradah (Kehendak), sedangkan cabangnya al-Qudrah (Kuasa).”

Saya sendiri merenungi dalam, teringat gagasan Nietzsche pada ‘Kehendak Berkuasa,’ lalu evolusi Darwin mementingkan fisikal. Tetapi semuanya lebur serupa keraguan saya ludes di ujung tahun 2001, satu jam sebelum berangkat ke Solo demi pementasan bersama komunitas Lapen 151. Terus ditempa pemahaman dikala membaca bulir-bulir mutiara Al-Hikam buah karya Ibn Athaillah. Alhamdulillah ungkapan saya; “bila Tuhan masih ada, Ia punya rencana!” (Balada di Bukit Pasir Prahara, 21 September 2000, Parang Tritis Yogyakarta), telah terjawab sudah.

Kembali ke petuah Beliau, “‘Kaf’ dari kata ‘Kun,’ memunculkan dua makna. Pertama ‘Kaf’ al-Kamaliyyah (Kesempurnaan), “Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu.” (Q.s. al-Ma’idah:3). Dan ‘Kaf’ al-Kufriyyah (Kekufuran), “Maka di antara mereka ada yang beriman dan ada (pula) di antara mereka yang kufur.” (Q.s. al-Baqoroh: 253).”

“Sementara dari jauhar (esensi) ‘Nun’ dari kata ‘Kun’ muncul ‘Nun’ Nakirah (ketidaktahuan) dan ‘Nun’ Ma’rifat (pengetahuan tentang Tuhan). Ketika ditampakkan mereka dari ‘Kun’ ketiadaan pada hukum yang dikehendaki oleh keqadiman, maka Dia memercikkan sinar pada mereka dari Sinar-Nya. Yang terkena sinar kemudian memandang gambaran “Pohon Kejadian (Alam)” yang tumbuh dari benih ‘Kun,’ akan bahagia di dalam rahasia ‘Kaf’-nya sebagai gambaran firman Allah swt. “Kalian adalah ummat terbaik yang dilahirkan untuk manusia.” (Q.s. Ali Imron: 110). Dan tampak jelas ‘Nun’-nya pada (Q.s. aZ-Zumar:22).”

“Yang tak terkena sinar, lalu diminta mengungkap makna dari kata ‘Kun,’ maka akan salah dalam mengejanya dan nista dalam harapannya. Melihat bentuk ‘Kun,’ mengira ‘Kaf’ Kufriyyah (kekufuran) dengan ‘Nun’ Nakirah (ketidaktahuan), karena ia termasuk kelompok orang kafir.” Beliau terus berujar: “nasib (bagian) setiap mahkluk dari kata ‘Kun,’ sesuai yang diketahui dari pengejaan hurufnya, disaksikan dari rerahasia terkandung di dalamnya. Sabda Rasululloh saw.: “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla menciptakan makhluk-Nya dalam kegelapan, kemudian Dia memercikkan kepada mereka dari Sinar-Nya. Barangsiapa terkena Sinar tersebut akan mendapatkan petunjuk, sementara orang yang luput dari percikan Sinar tersebut akan sesat dan menyimpang.” (Lihat H.r. at-Tirmidzi, Kitab al- Imron: 2566).”

“Tatkala Adam as. melihat lingkaran wujud, menemukan segala wujud berkisar di lingkaran kejadian; Satu terdiri api, yang lain tanah (thin). Adam melihat lingkaran berada dalam rerahasia ‘Kun.’ Bagaimana pun berputar tetap mengikuti, dimanapun terbang tetaplah (tidak kan lepas, tak kan berubah). Satu di antara mereka menyaksikan ‘Kaf’ Kamaliyyah (kesempurnaan) dan ‘Nun’ Ma’rifat (pengetahuan tentang Tuhan), yang lain menyaksikan ‘Kaf’ Kufriyyah (kekufuran) dan ‘Nun’ Nakirah (ketidaktahuan). Sehingga kebijakan hukum padanya akan kembali di titik lingkaran ‘Kun.’ Yang diciptakan (al-mukawwan) tidak pernah melampaui yang dikehendaki Dzat Yang menciptakan (al-Mukawwin).”

“Apabila anda memperhatikan berbagai macam dahan ‘Pohon Kejadian’ dan jejenis bebuahnya, akan tahu sumber utamanya berasal dari satu benih ‘Kun’ yang jauh berbeda. Ketika Adam as. diajari seluruh nama, melihat misal ‘Kun’ lalu menyaksikan yang dikehendaki Sang Pencipta melalui apa yang diciptakannya, menyaksikan “Sang Guru” dari ‘Kaf’-nya ‘Kun,’ ‘Kaf’ al-Kanziyyah (Gudang Rahasia) “Aku adalah Gudang simpanan rahasia yang tersembunyi dan tidak dikenal, lalu Aku lebih suka diketahui.” (al-Hadits). Melihat rahasia pada ‘Nun’ al-Ananiyyah (Keakuan) “Sesungguhnya Aku adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku.” (Q.s. Thaha:14). Ketika pengejaan itu benar dan harapannya terealisasi, maka “Sang Guru” mengambilkan suatu intisari dari ‘Kaf’ al-Kanziyyah, suatu ‘Kaf’ al-Takrim (pemuliaan) “Dan sungguh Kami telah memuliakan anak cucu Adam.” (Q.s. al-Isra’: 70) dan ‘Kaf’ al-Kuntuyyah (Keakuan) “Aku akan menjadi Pendengar, Penglihatan dan Tangan baginya.” (al-Hadits).”

“Dari ‘Nun’ al-Ananiyyah (Keakuan), “Sang Guru” mengeluarkan untuk Adam ‘Nun’ an-Nuriyyah (pencahayaan) “Kami menjadikan sinar untuknya.” (Q.s. al-An’am: 122). ‘Nun’ tersebut bersambung ‘Nun’ Ni’mah, “Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah kamu dapat menjumlahnya dalam hitungan tertentu.” (Q.s. Ibrahim: 34). Sementara iblis -semoga Allah melaknatnya- selama empat puluh ribu tahun memahami huruf-huruf ‘Kun.’ “Sang Guru” telah memasrahkan segala padanya, menyerahkan segenap upaya, kekuatan pada kekuatannya sendiri. Maka iblis melihat bentuk ‘Kun,’ menyaksikan ‘Kaf’ Kufriyyah (kekafirannya), lantas sombong, membangkang dan merasa paling besar. Ia juga menyaksikan ‘Nun,’ ‘Nun’ Nariyah (api asal kejadiannya) “Engkau menciptakanku dari api.” (Q.s. al-A’raf: 12). ‘Kaf’ kekufurannya bersambung ‘Nun’ keapiannya, maka dimasukkan dalam neraka, “Maka mereka dijungkir-balikkan ke dalam neraka.” (Q.s. asy-Syu’ara’: 94).”

“Kala Adam melihat perbedaan terjadi pada Pohon ini, berbagai macam bunga dan bebuahnya, ia berpegang erat dahan, “Sesungguhnya Aku adalah Allah Tuhan semesta alam.” (Q.s. al-Qashash: 30). Lalu Adam dipanggil, “Makanlah dari berbagai buah tauhid dan teduhlah di bawah Naungan Yang Mahatunggal.” Selain perintah ada larangan, “Janganlah kalian mendekati pohon ini.” (Q.s. al-Baqoroh: 35 dan al-A’raf: 19). Tapi iblis menginginkan Adam sampai ke dahan, “Maka setan membisikkan pikiran jahat kepada mereka (Adam dan Hawa).” (Q.s. al-A’raf: 20). Mereka memakan buah terlarang, membawanya tergelincir ke tempat-tempat menggelincirkan, “Dan ‘durhakalah’ Adam kepada Tuhannya dan ‘tersesatlah’.” (Q.s. Thaha: 121). Tetapi Adam tetap berpegang teguh dahan istighfar (Lihat Q.s. al-A’raf: 23). Akhirnya merunduk dan turun untuknya buah dari Tuhannya: “…Allah menerima tobatnya.” (Q.s. al-Baqoroh: 37).”

Sebelum meneruskan untaian mutiara Ibnu ‘Arabi, saya tulis beberapa paragraf. Siapa tahu berjembatan untuk yang menganggap kekaryaannya sulit dipahami. Atas sebagian orang, karya-karya ulama’ berat dimengerti, sebab beliau-beliau kerap menerapkan berbagai jenis pendekatan. Kaum terpelajar, mungkin mengistilahkan bertumpuknya metodologi seperti “Syajaratul-Kaun” ini.

Bagi pembaca berpikir runut bisa-bisa deladapan lantas mengiranya karya ‘gelap.’ Ringkasan alunan di atas saya penggal, karena di letak ini Beliau bikin sambungan halus antara pandangan sebelumnya menuju cara pandang lain. Yang dapat mengecoh apalagi tanpa dilandasi keheningan.

Yang saya udar sekadar dinaya tangkap, lain soal pancaran hikmah yang butuh pengekangan lebih. Memang tak semua karya mereka berat, ini bukan berarti menganggap ringan, tidak! Karya Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, Imam al-Ghazali, Ibnu Taimiyah, Muhammad Abduh, atau yang berada pada keilmuan secara umum, para santri kaum terpelajar tentu bisa mengendarai. Yang sulit bercampuran “filosofis, sufistik” pada karya Ibnu Rusyd (Averroes), Al-Hallaj, Ibnu ‘Arabi, Mulla Shadra, Suhrawardi, Ibnu Sina, Ibnu Atha’illah, Rumi… Ini juga bersifat kecenderugan serta perlunya ‘kebeningan,’ selain pengetahuan tak bisa lepas keilmuan lain ibarat lingkaran.

Saat baca karyanya namun kurang buku-buku pendukung, diperkirakan bernapas di ruang ‘gelap.’ Ini bukan spekulasi, tapi sesimbul terikat kedudukannya, yang kadang berbeda letak di hadapan mereka. Kesuntukan dituntut ingatan kuat pada kisaran pemikiran mereka. Di sana meraba memahami waktu khusus dan tiada beban selain keilmuan. Demi peroleh kesaksiannya betapa berwarna-warna setangguh keinsafan kita.

Sebaiknya santun meski berbeda paham, serupa ketawadhuan para santri sebagai alat kepada pendekatan mereka. Mungkin berwudhu sebentuk menghargai keilmuan, pun bulir airnya mengurangi kantuk, bosan, ringankan lelah. Saat bersihkan sesuatu, merapikan kitab di rak, menyapu atau seluruh gerak betapa nikmat sambil mengingat. Untuk yang percayakan nalar, sepantasnya beningkan pikiran, guna yang masuk berkeindahan tanpa bayangan. Pastilah kemauan keras demi paham tidak menganggap ringan, meski di hal tertentu patut diseimbangkan.

Karya nan sulit dimengerti biasanya terdapat beberapa ‘kata kunci’ memindahkan soal. Ini dapat dicermati pada ahli tafsir mengurai sesuatu. Terkadang bukan sebuah kata, tetapi huruf semisal karya Ibnu ‘Arabi ini. Mungkin kurang tepat karyanya dibebani benang metodologi, persisnya ialah warna jenjang penyingkapan hijab dibukakan Sang Pemilik Ilmu. Mari baca pendapat Masataka Takeshita terhadap karyanya Ibnu ‘Arabi;

“Sebagai seorang sufi sejati, dia menulis berdasarkan inspirasi. Kemudian ide memancar dari penanya, laksana air yang mengalir dari sebuah mata air. Sistematisasi yang sederhana dari sebuah karya yang sesungguhnya tidak pantas baginya. Sekali ia tersistematisasi, ia kehilangan dinamikanya dan menjadi sebuah mistisisme skolastik yang statis.” (terjemahan Moh. Hefni MR, “Manusia Sempurna, menurut konsep Ibn ‘Arabi,” terbitan Pustaka Pelajar 2005). Dan saya pikir, Louis Massignon, William C. Chittick, Karen Armstrong, Sachiko Murata, Annemarie Schimmel, R. A. Nicholson… punya wewaktu khusus menenangkan diri di dalam menghargai ilmu diteguknya, sehingga merambahi dataran bencah pemikiran atas kalbu hayatnya.

Atau kaum filsuf tiada jemu menggali hikmah, kadang sedari sepeleh jatuhnya daun. Karena bacaan meluas diperolehnya percik kilatan cahaya referensi saling bergesek. Pesonanya menguraikan pikiran, lalu jawaban muncul berbeda dari sebelumnya. Saya condong menganggap meraka tidak terpengaruh ‘langsung.’ Nyata punya jalan sendiri, oleh kesungguhan menggali kedirian serupa penyaksi lainnya. Kalau terdapat kesamaan ibarat berpapasan di tikungan, tampak tulisannya mengeduk pribadi keilmuan. Bukan sulapan bacaan atau mencari-cari bentuk di lelembar penyesuaian.

Yang agak sulit dipaksa ‘gelombang’ atau mengawali bacaan kuranglah elok dipaksakan, jika dirasa belum tepat masanya. Ini berdekatan kejiwaan sehari-hari. Maka seyogyanya perkirakan ruang-waktu, kesibukan mengelilingi tidak mengganggu dan menentukan yang dibaca pada kondisi itu. Ini berkaitan irama batiniah pikiran percepatan, kelambanan, kepadatan, longgar; semua dihitung semisal naik bus ke suatu kota membuka buku mana dan apa saja ke depannya. Merasai kehadiran mereka sewaktu belajar pun tempat lain memungkinkan berdialog dalam ‘pikiran.’ Sehingga perpindahan masa terisi kegalauan mereka dan kita di antaranya serasa maya.

Dalam kekhusukan itu biasanya bisa keluar-masuk gelombangnya di mana saja, tinggal menyetel. Kala mendapati beberapa gelombang, maka ambil demi meningkatkan ombak mengalami debaran kepada taraf pemahaman. Kesimpulan ibarat tapak langkah dilanjutkan, sambil tak lupa menyapa situasi. Saya pikir benda-benda dapat diajak akrab, merasakan tekstur guratan nasibnya, misal kayu terkena hujan kedinginan. Kelembutan sedikit-banyak membantu mengelus batin memasuki batiniah teks-teks mereka.

Ada pula diharuskan kala volume gelombang jiwa dengan buku terbaca sesuai, sepantasnya dilanjut meski dipukuli kantuk walau sedang sakit. Kondisi itu pengetahuan masuk berakar membekas daripada sekadar ingin tahu sejalan baca pengantar. Mungkin merasakan cukup kebutuhan hidup dapat meringankan diri dalam pengoreksian oleh bacaan. Selalu tenang meski kurang waktu atas percepatan terlalu bodoh hingga mewajibkan belajar. Keakraban ini merangsang haus jika tak membaca. Gesekannya menimbulkan kepekaan dalam memudahkan paham kepada karya sulit dimengerti. Tidakkah enak membaca ulang karya mereka, dalam perenungan kita?

Sambil menutup jarutan kata, mari masuk pelahan ke karya Beliau lagi. Antara bagian saya penggal dan di bawah nanti, Ibnu ‘Arabi tak memberi batasan jelas yang dapat membuat pembaca kebingungan, kalau tidak cermat seksama. Padahal uraian sebelumnya, dengan bagian belakang terang berbeda. Sederhananya, awal menyebut dua dahan namun lanjutannya tiga, padahal satu pokok masalah. Ini bukanlah menghapus pengertian semula, di antara keduanya punya referensi serta saling menopang kuat. Pula tidak berjalan di dua arus, namun sejenis lelipatan penyingkapan, jenjang kesaksian.

Dengan jujur Beliau mengawali benang sambungan lewat memunculkan “hari kesaksian” di dalam paragraf depannya. Ini jalinan lembut sedari kata-kata “berbagai macam dahan” dikala menerangkan Adam as. di muka. Selain kata ‘hari kesaksian’, Beliau menaburkan pengertian di dalamnya, sehingga saling memperkokoh untuk masuki pandangan berikutnya. Jika pada filsafat materialisme ilmiah, bagian pertama seperti inti atom terdiri dua jenis nukleon; proton dan netron. Maka dapat dimengerti berikutnya partikel-pertikel quark yang diawali munculnya tiga dahan. Kepada kelembutan jiwa, penyingkapannya pasti didukung data. Di bawah ini benang halusnya, meski sebentuk ringkasan semoga tertangkap pembaca.

Beliau berkata; “Ketika dipanggil di hari kesaksian di depan mata para saksi untuk dimintai kesaksiannya, “Bukankah Aku ini Tuhan kalian?” (Q.s. al-A’raf: 172). Masing-masing memberi kesaksian dengan kadar ia saksikan dan ia dengar, semua menjawab, “Benar, tentu Engkau Tuhan kami.” Tapi perbedaan terjadi dari sisi kesaksiannya. Yang menyaksikan ber-Keindahan Dzat-Nya, memberi kesaksian tiada sesuatu pun yang sama dengan-Nya. Yang menyaksikan-Nya ber-Keindahan sifat-sifat-Nya, bersaksi tiada Tuhan selain Dia, Yang Raja lagi Mahasuci. Yang menyaksikan-Nya di atas keindahan pada makhluk-Nya, kesaksiannya berbeda akibat berbedaan yang mereka saksikan. Sekelompok orang menjadikan-Nya terbatas, yang lain menganggapnya tiada, lain lagi menjadikan-Nya batu karang yang keras. “Katakanlah, ‘Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami.” (Q.s. at-Taubah: 51). Kebijakan hukum ini hanya dapat diketahui rahasianya tersimpan dalam kata ‘Kun,’ yang akan berputar di titik lingkarannya, tertanam kokoh di pangkal benihnya.”

“Sebutir benih ini bibit Pohon Kejadian, cikal bakal buah, dan makna bentuknya, saya (Ibnu ‘Arabi)berkeinginan menjadikan yang dibentuk suatu misal diwujudkan menjadi gambaran. Berbagai ucapan (firman), pekerjaan dan kondisi muncul di dalamnya kita jadikan jalan mencari pengertian. Kemudian saya mencontohkan sebatang Pohon tumbuh dari sebutir benih ‘Kun.’ Yang terjadi pada alam ini dari berbagai fenomena baru; kekurangan, kelebihan, pertumbuhan, yang tak bisa disaksikan (ghaib), yang dapat disaksikan (syahadah), kufur dan iman, muncul sedari berbagai kegiatan, pembersihan tingkah laku, atas ucapan indah, kerinduan, perasaan, berbagai pengetahuan rumit, yang tumbuh oleh kedekatan terhadap Tuhan (al-muqarrabin), kedudukan orang-orang bertaqwa (al-muttaqin), derajad kejujuran (asy-shiddiqin), berbisik (munajat) para arif (al-’arifin), ‘musyahadah’-nya kaum pecinta Allah (al-muhibbin). Semua itu buah dihasilkan Pohon ini dan mayang serbuk yang dimunculkan Pohon Kejadian ini.”

Beliau… (sebelumnya saya ucapkan terimakasih kepada penerjemah buku terbitan Risalah Gusti, Wasmukan. Meski tak memberinya pengantar, tapi hasil terjemahannya masih menunjukkan kata-kata penting, yang Alhamdulillah dapat saya telusuri). Beliau Ibnu ‘Arabi menghadirkan kata “hari kesaksian,” seakan tengah dibukakan lelembar makna dari Sang Pemilik Ilmu. Pelahan ‘bergeser,’ pastinya merasai perubahan besar di batinnya terangkat secahaya kepastian lebih. Saya ibaratkan gambaran lalu; pohon memunculkan dua dahan sedang berada di kaca cermin, dan Beliau diperlihatkan lukisan sejati berasal kasih sayang dari Sang Maha Realitas, hingga ‘penglihatan’ bertumpuk mematangkan imannya. Mungkin teks asli dua paragraf tersebut sehalaman nan menampung persoalan rumit mengudar lelapisan cahaya, pula tak terkena goncangan keraguan sedari pancaran awal. Ibarat mengendarai percepatan mempertebal udara pengertian, mengisi seluruh relung jiwanya.

Meski ada kemungkinan ‘perpindahan’ yang Beliau olah dari penyesuaian besar dalam jiwanya atas teks para ulama lama. Namun alur tenang berketetapan nikmat, setanggungjawab kekasih kepada pasangannya. Raga-batin menempa dibeningkan air berkah, maka kitab-kitab terbaca bercahaya memberi terang jalan keberadaannya. Seperoleh kebugaran lebih menggetarkan dari mula mengawali karangannya. Keringat dingin melebihi harum lama mendidih atas perangai firman-Nya, teringat masa-masa kembara di tanah kelahiran Andalusia, menuju Sevilla, Córdoba, Maroko, Mekkah, Romawi, Mesir, Syria, Aljazair, Baghdad, Mosul hingga Asia Kecil. Angin bertakbir, daun-daun bertasbih. Perubahan iklim yang rukuk, burung-burung bersujud, belulang berserak. Kala melihat rembulan teringat Rasulullah saw. Semua mewarnai pelajaran kalbu kediriannya Bersahadat ke dalam penciuman lama di tanah yang dipijaknya.

Makna kata-kata bersap-sap ditopang data akurat, ingatan memadatkan wujud dan keyakinannya menyelubungi setiap arti diguratnya. Umpama bayu diterbangkan daun tak terasa mencipta pembaca melarut, sehingga kerap membingungkan. Pribadinya bukan seperti al-Ghazali menerangkan lekuk detail tingkatan penyingkapannya sampai pada umatnya. Barangkali kelancarannya bertutur menyamai ‘ilmu laduni’ Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, tak ada penyangkalan, setatapan khidmat tertunduk di hadapan kata ‘Kun.’ Sebuah kata kerja besar perintah, prosesi agung yang tak pantas dibolak-balikkan dinaya suara serta wujud keasliannya. Nafasnya teratur sedari sejarah panjang peribadatan, memaklumatkan denyar sampai ricikan tak terdengar selain dalam gelombang sama. Berkali-kali terpancari hikmah surat pembuka, menggenapi kesilapan sedari bisikan lain, dipukul mundur di atas kursi keilmuannya.

Hafalannya pada kitab suci segembelan mushaf emas memantulkan sinar, huruf-hurufnya kecil rapi laksana ‘stambul’ ajaib yang terbuka dalam mimpi berkeadaan suci. Jika di dunia pesantren ada unen-unen; seorang santri yang pernah ditemui harimau berbulu putih, maka perihal hafalan sudah teratasi. Komunikasi terjaring tak cuma dari orang-orang masih hidup, sebab cinta taklah mampu menampung jasad bernyawa. Dan cintanya pada para pendahulu, direstui jalan-jalan tak tersangka. Memudahkan lelangkah kasih serta pemikirannya menguliti bulir-bulir masalah sebawang putih tinggal intinya. Raganya memasuki lautan hikmah, gayuhan jemari memberkah melajui sampan hayati. Gelombang demi ombak diarungi, karang jahiliah badai memamah kandungan dirasuki sesikap pembenahan. Maka diudarlah misal-misal manusia dari rimba belantara ke padang keangkuhan hingga gemawan memayungi, setebal hujan memberi pengertian di ladang kemakmuran jiwa. Kelapangan berpikir, pilihan bukan berasal kemauannya, tapi dari dorongan gaib nan mengetahui segenap kerahasiaan.

Kesadaran Beliau menginsyafi gambaran masa lalu diperoleh laksana turunnya wahyu kepada para nabi, tak langsung ke bentuk hukum. Paham ini diperkuat ayat-ayat berikut yang nanti saya tulis seperlunya. Lukisan di kaca cermin semakin jelas, misal batang pohon rindang di tengah malam dikelilingi gemintang. Dedahan, reranting serta dedaunannya bercahaya sepohon putih penghasil minyak, yang di sekitarnya bebatuan memantulkan cahaya purnama. Kembali Beliau digetarkan perenungan, dirasakan akar-akar Iradah bertenaga besar menyapa cecabang Qudrah dari sebutiran benih ‘Kun’ di genggamannya. Lewat susunan kalimat cahaya sambungan pada dua paragraf, menterakan kemungkinan sayap-sayap sholawat menduduki pengertian lebih berkelembutan, longgar lagi menjulang kesaksiannya di bawah nilai penuh keyakinan. Mari mengaji pancaran dari penglihatan lepas lirikan pandang.

Beliau malanjutkan: “Pertama kali yang dimunculkan Pohon berasal dari benih ‘Kun’ ini tiga dahan; satu mengarah ke kanan (ashhabul-yamin), kedua ke sebelah kiri (ashhabusy-syimal), sedangkan dahan ketiga lurus menjulang tinggi, mereka para pendahulu memiliki kedekatan dengan Allah (as-sabiqun al-muqarrabun). Kala dahan kokoh batang menjulang tinggi, muncul dari ranting-ranting bagian atas dan bawah, suatu alam bentuk dan alam makna, kulit dan tutup bagian luar yang tampak alam al-Mulk. Isi terpendam, inti makna-makna tersembunyi itu alam Malakut, sementara air mengalir melalui jaring-jaring urat nadi penunjang hidup tumbuh serta tingginya Pohon, memunculkan putik bunga, memekarkannya, mematangkan buahnya adalah alam Jabarut, yang merupakan rahasia dari kata ‘Kun.’”

“Pohon ini dikepung dinding dibatasi oleh bebatas, gegaris tertentu, batas tersebut arah; atas, bawah, kanan, kiri, depan, belakang. Yang atas pembatasnya bagian atas, yang bawah batasnya bagian bawah, sedangkan gegaris pembatasnya ada di dalamnya, dari berbagai orbit serta bebenda langit, segala hak milik, berbagai ketentuan hukum, jejak para pendahulu juga para tokoh, maka tujuh lapis langit ibarat daun digunakan berteduh, gemintang bersinar ibarat bunga di atas ufuk, malam-siang ibarat dua helai selendang; satunya hitam kelam dikenakan menghalangi pandangan mata, yang lain putih dikenakan menampakkan diri (tajalli) pada orang-orang sanggup melihatnya. ‘Arasy rumah menyimpan segala kekayaan juga senjata Pohon ini, darinya diperoleh berbagai manfaat yang dikendalikan pelayannya; “Dan engkau akan melihat malaikat-malaikat melingkar berputar di sekeliling ‘Arasy bertasbih sambil memuji Tuhannya.” (Qs. az-Zumar: 75).”

“Allah swt. mewujudkan ‘Arasy hanya untuk menampakkan Asma’ dan sifat-sifat-Nya.” Beliau mengudar panjang lebar sebelum-sesudah kalimat itu lalu berujar; “Dia menciptakan Lauh Mahfuzh dan al-Qalam ibarat Buku Sang Maha Raja, di dalamnya terdapat berbagai keputusan hukum. Yang dibatalkan, ada pula ditetapkan, ada yang diwujudkan, ditiadakan, yang keluar dari kebaikan-Nya, pemberian nikmat, pahala, siksa. Sedangkan Sidratul-Muntaha ibarat batang dahan dari dedahan, di bawahnya malaikat yang mengabdi-Nya, “Tiada seorang pun di antara kami (malaikat) melainkan mempunyai kedudukan tertentu.” (Q.s. ash-Shaffat: 164). Dan Sang Maha Raja memerintahkan mereka untuk dikirimkan ke salah satu dari dua gudang penyimpan buah Pohon ini. Gudang itu antara lain surga dan neraka; buah yang baik di simpan di surga, “Sekali-kali tidak, sesungguhnya kitab orang-orang berbakti itu (tersimpan) dalam surga ‘Illiyyin.” (Q.s. al-Muthaffifin: 18), buah yang jelek dimasukkan ke neraka, “Sekali-kali jangan curang, karena sesungguhnya kitab orang durhaka tersimpan dalam neraka Sijjin.” (Q.s. al-Muthaffifin: 7).”

Lelembar saya lalui tak menuangkan di sini, sampai filsuf Andalusia berkata; “Orang yang pertama kali berbuat di sekitar Pohon ini untuk mencapai asal benih ‘Kun’ -ia memeras unsur terbersih, menyarikan, memunculkan buihnya, menyaringnya hingga murni dari unsur-unsur yang membahayakan itu hilang. Sari sangat murni ini ditambah Sinar Hidayah-Nya, menerbitkan jauhar-nya, lalu ditenggelamkan dalam lautan ar-Rahman sehingga keberkahannya merata. Dari proses ini diciptakan Nur (cahaya) Nabi Muhammad saw., lantas dihiasi sinar alam arwah seterang mulia. Dijadikan-Nya Nur Muhammad sebagai asal-muasal segala cahaya -dialah orang pertama tercatat dalam Kitab-Nya, yang terakhir kali muncul, pemimpin di hari Kebangkitan, pembawa kabar gembira, menemui para manusia bersenang hati. Ia dititipkan di ‘kebun, damai menggembirakan.’ Nilai-nilai spiritualnya ditutupi fisiknya, alam Syuhud ditutupi alam wujudnya. Ia dilahirkan ke alam dunia yang juga karenanya alam ini diwujudkan.”

Beliau terus mengudar panjang-lebar dengan data maksimal, dari firman-firman-Nya maupun hadits-hadits, sampai menerangkan Nur Muhammad diciptakan pada kening Adam as. hingga pada puncaknya mengisahkan Isra Mi’raj. Tuturan naik-turun kekisah sesuai irama telah dikehendaki takdir-Nya pada Asy-Syaikh al-Akbar tersebut, kekisarannya sekaki melewati titian panjang di bawahnya jurang neraka, pada jalan lurus munuju ke surga. Di sana tanggungjawab kelak mengsle atau selamat ialah pertarungan iman, serta rayuan menjerumus ke tempat-tempat menggelincirkan. Baktinya tulus terhadap ilmu tak menimbang sejumput pun dedebu duniawi, karena apalah kejayaan fana pasti lenyap tertelan.

Jika boleh menarik benang simpul, mungkin Beliau pancaran lain sedari Ibnu Rusyd. Yang agaknya condong kepada Imam Tirmidzi, seperti kata penelitiannya Masataka Takeshita pada bukunya “Ibn ‘Arabi’s Theory of Perfect Man and Its Place in Islamic History.” Mungkin juga “Syajaratul-Kaun” ini digarap di antara penulisan kitabnya yang terkenal, “al-Futuhat al-Makkiyyah” mulai disusun di Mekkkah tahun 598 H / 1202 M, selesai di Damaskus tahun 629 H / 1231 M. Ataupun sewujud lentikan ilhamnya sedurung “Fushush al-Hikam” yang khusus mengetengahkan dahan ketiga menjulang tinggi sebagaimana di atas.

Akhirnya jika ada kesalahan mohon ditegur keras, tapi tentu dengan sumber lebih meyakinkan! Jikalau ada kebenarannya, kenapa tidak ditindaklanjuti? Saya pikir semua berharap hasil bacaan dapat bermanfaat yang tidak ‘saling memangfaatkan!’

 

16 Desember 2011, Jum’at Sukra Masehi,

20 Suro 1945, Jemuwah Pon Jawa,

20 Muharram 1433 Hijriah.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler