Skip to Content

MEMBONGKAR MITOS KESUSASTRAAN INDONESIA (BAGIAN 22)

Foto SIHALOHOLISTICK

(kupasan pertama dari paragraf lima dan enam, lewat esainya Dr. Ignas Kleden)

Oleh: NUREL JAVISSYARQI

 

Siapa saja bisa marah. Marah itu mudah. Tetapi marah kepada orang yang tepat, dengan derajat kemarahan yang tepat, pada saat yang tepat, untuk tujuan yang tepat, dengan cara yang tepat, ini tidak mudah.  (Aristoteles, 384-322 SM).

Mengawali ini tulisan di bencah tanah Ponorogo, merupakan dataran intermountain antara Gunung Wilis dan Lawu, daerah ‘basin’ istilah Jawa-nya. Tetapi saya menamai cawan pegunungan, lantaran wilayahnya selalu dihembuskan bayu melingkar, memusari pelukan gunung-gemunung tersebut. Keduanya gunung api tidak aktif, atau malu-malu menampakkan gairah yang menjadi subur ladang perkebunan serta lelembah pesawahannya.

Kebetulan kini bulan Ramadhan, lantas teringat bebulan suci tetahun lalu hampir selalu di luar kota kelahiran saya Lamongan, walau sejenak. Yang membekas tahun 2002 oleh kala itu di Tegalsari, Jetis, Ponorogo, disaat membenahi karangan ‘Kitab Para Malaikat’ yang terbit tahun 2007. Sekarang menginjak 2012, berarti dalam lingkaran sepuluh tahun saya dihempaskan takdir ke bumi Reog kembali, letak R.Ng. Ronggowarsito nyantri sebelum jadi pujangga terkenal, yang beberapa suara menyebutnya ‘pujangga penutup,’ jika menyitir keberadaan Nabi Penutup ialah Muhammad Saw.

Mengingat prosesi penulisan ini (I-XXI) bisa dikata mengalir pun data-data terperoleh laksana dituntun kehendak besar alam, apalagi menengok latar saya autodidak, seperti jauh dari bayang-bayang perkiraan awal. Maka hanya syukur kehadirat-Nya terhaturkan memaksimalkan penelurusan di atas persoalan menimpa. Mungkin yang terikhtiarkan tiada urusannya dunia susastra atau sejarah kesusastraan Indonesia, namun sekadar meluruskan teryakini di lahan secara kebutulan terlewati (terbaca).

Sebelum mengurai paragraf IK ke lima dan enam sekaligus karena pantas disandingkan. Sedapat ini semoga tak hanya berkutat ke belahan abstraksi kata-kata, pranata bahasa menyoal keilmuan, pula ke ujungnya keyakinan nan patut diperjuangkan sedari hasil analisa atas penelitian berlarut menelan hidupi malam-malam, demi menerima kebenaran lapang meski menyakitkan.

***

Tersapalah nasehat Imam Al-Ghazali, “Wahai anak! Nasihat itu mudah, yang sukar ialah menerimanya. Sebab nasihat dan peringatan itu dalam perasaan orang yang selalu mengikuti hawa nafsu sangat pahit rasanya. Karena perbuatan yang terlarang itu sangat dicintainya. Apalagi bagi orang-orang mencari ilmu hanya sebagai pengalaman saja, dan ia selalu sibuk menuruti hawa nafsu di samping mencari kedudukan duniawi, maka ia akan menduga bahwa ilmu yang ia jadikan pengalaman akan menjadi sarana untuk keselamatan dirinya. Ia mengira bahwa ilmu yang ia miliki itu telah cukup tanpa diamalkan. Demikian inilah keyakinan kaum filsafat. Orang yang bodoh tidak pernah mencoba suatu amal perbuatan semacam itu tak mengerti, bahwa ilmunya kelak akan menjadi lawan yang akan mendebat dengan sekuatnya.” (“Mencari Etika Sufi,” penerjemah Ahmad Chaumaidi Umar, terbitan CV. Ramadhani Solo, Cet II 1989. Penerjemah ini menuturkan juga silsilah para gurunya di atas mula kitab tersebut hingga kepada Al-Ghazali, sejarak 18 urutan).

Lantas marilah baca, “Perumpamaan Islam ialah sebiji kelapa dengan sabutnya, tempurungnya, dagingnya, dan minyaknya: syari’at sabutnya, thariqah tempurungnya, haqiqah dagingnya, ma’rifat itu minyaknya. Dengan empat hal ini manusia, menurut hukum, sudah sempurna. Jika salah satu dari hal ini hilang, ia tidak lagi sempurna. Jika kelapa tumbuh tanpa sabutnya, tentu ia tidak akan tumbuh, dan bahkan ia akan hancur. Demikian Tuhan menuntut manusia untuk menjadi sempurna, tidak memisahkan satu sama lain antara syari’at, thariqah, haqiqat, dan ma’rifat, Jika seseorang meninggalkan syari’at, menurut hukum ia akan tersesat.” (Hamzah Fansuri, t.t., dikutip dalam Soebardi 1975: 45).

Demikian jumputan Mark R. Woodward dalam bukunya “Islam in Java: Normative Piety and Misticism,” diterjemahkan Hairus Salim Hs., terbitan LKis Yogyakarta, Cet III, Maret 2006. Woodward lanjut berkata, tepatnya di bagian Lima; “Agama Kraton dan Agama Kampung: Interpretasi Sosial Sufisme” sebagaimana berikut… “Hamzah Fansuri menggunakan metafora kelapa untuk melukiskan saling keterkaitan (interdependence) empat tingkat dari jalan mistik Sufi. Meskipun ia mengajarkan mengenai identitas jiwa manusia dan wahdah al-wujud, melainkan Hamzah tetap menekankan pentingnya hukum sebagai bagian integral jalan mistik. Penggunaan kelapa sebagai metafora kemungkinan dimaksudkan sebagai sarana yang heuristik untuk menjelaskan pentingnya syari’at bagi kalangan Sufi.”

Abdul Hadi W.M. (penulis buku “Tasawuf Yang Tertindas: Kajian Hermeneutik terhadap Karya-Karya Hamzah Fansuri,” terbitan Paramadina 2001), dalam buku “Raja Mantra Presiden Penyair,”terbitan Yayasan Panggung Melayu, Juli 2007 menulis esai dengan judul “Perlawanan Estetik dan Metafisik Sutardji Calzoum Bachri,” pada paragraf 3 dan 4-nya:

“Lebih jauh lagi jika kita masuk semakin ke dalam, kita akan semakin sadar bahwa untuk mengorek pesan keruhanian dan moral dari sajak-sajak itu, bukan persoalan gampang. Sajak Sutardji menuntut perenungan yang dalam dan persediaan imaginasi yang kaya. Dunia dari sajak-sajaknya itu begitu kompleks, tidak bisa dirumuskan secara sederhana. Kadang yang hadir kepada kita setelah membacanya ialah sebuah lukisan dengan sosok dan imaji yang ganjil, serta memberikan suasana trance seperti apabila kita membaca sajak Arthur Rimbaud. Kadang yang hadir ialah lukisan kesunyian mistikal seperti dijumpai dalam sajak-sajak Rumi dan Hamzah Fansuri. Kadang tampak pada kita sebuah dunia yang angker. Kadang kita jumpai imaji-imaji ekskatik seperti dalam sajak Li Po dan Hafiz.”

“Kadang membaca sajak Sutardji seperti menyaksikan gambar ‘alam misal’ nya Ibn `Arabi dan Suhrawardi al-Maqtul. Sebuah alam yang hening dan kudus, dihuni sosok yang angker namun anggun, tetapi tiba-tiba terkoyak oleh hiruk pikuk suara mahluk-mahluk dengan segala tingkahnya yang aneh. Dalam sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri, kita jumpai pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang kerap tidak terduga, tetapi cukup mengganggu. Tidak ada penyair Indonesia lain seperti Sutardji yang begitu total melakukan perlawanan metafisik terhadap kondisi kemanusiaan bentukan peradaban materialistik dan positivistik.”

Di buku kumpulan esai penopang Sutardji “Raja Mantra Presiden Penyair, 2007” tidak menyinggung perombakan “Kun Fayakun” yang disalahartikan bermakna; “Jadi, lantas jadilah!” dan “Jadi maka jadilah!” Walau kejadiannya sudah lewati 1 tahun (Majelis Sastra Asia Tenggara: Mastera 2006) kalau sekarang 6 tahun. Dan 7 tahun (Anugerah Sastra Dewan Kesenian Riau 2000), kalau kini 12 tahun. Di sini hanya berusaha melihat sejauh mana SCB dibilang bertaut dengan ulama’ besar Hamzah Fansuri? Yang mana Abdul Hadi W.M. pada esai yang sama saya kutip menyebut, “Tidak perlu saya beberkan panjang lebar dalam kaitannya dengan sajak-sajak Sutardji. Yang jelas sajak-sajaknya, seperti “Nuh”, “Silahkan Judul”, “Hujan”, “Gajah dan Semut”, “Para Peminum, “Walau, dan lain-lain merupakan sajak-sajak yang memiliki kecenderungan sufistik yang kuat.” Anehnya, tidak menunjukkan salah satu kekaryaan Hamzah Fansuri? Di sini, saya tulis sebuah sajak Sutardji yang dikira ‘memiliki kecenderungan sufistik yang kuat.’

GAJAH DAN SEMUT

tujuh gajah

cemas

meniti jembut

serambut

tujuh semut

turun gunung

terkekeh

kekeh

perjalanan

kalbu

1976-1979

Lantas saya kutip separagraf dari esainya Aguk Irawan MN “Menimbang Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (SCB) dari buku Nurel: Menggugat Tanggungjawab Kepenyairan” (sastra-indonesia.com 22 Juli 2011): “Menurut Qutaibah, kenapa sastra yang konon sebagai penyangga suatu peradaban seperti tak berguna? Tentu, karena sastra Jahiliyah tersebut nyaris tak menyimpan makna yang bisa membangun peradaban, lihatlah bagaimana bentuk mantra yang menyerupai puisi yang sudah dihasilkan oleh Musailama seperti dalam Ma Huwal Fil atau dengan Ayat-Ayat Kataknya? Begitu juga apa yang telah dihasilkan oleh Imri’ al-Qois, dengan Ayyuha Attahali Al-Bali-nya? Atau karya dari penyair ulung Jahili lainnya, seperti Abu Mihjan ats-Tsaqafi, Abu ath-Thamhan al-Qaini, Dhabi bin al-Harist al-Barjami, Suhaim Abdul Bani al-Hashas, an-Najasy al-Haritsi, dan Syabil bin-Waraqa. Lalu Bandingkan dengan karya-karya penyair yang sudah mendapatkan “pencerahan” dari Nabi, seperti Hasan bin Tsabit, Ka’ab bin Zuhair. Labid bin Rabi’ah dan tentu Ibnu Rawahah.”

Kini masuk paragraf IK 5 & 6, juga menyapa Dami N. Toda, “Mengikuti Sutardji, pemaknaan kata-kata adalah sebuah bentuk penindasan dan kolonisasi, dan dalam hubungan itu puisi dapat berperan sebagai kekuatan pembebas, yang membuat kata-kata kembali merdeka dari penjajahan makna. Proposisi-proposisi tentang pemikirannya ini kemudian dirumuskannya dalam sebuah manifesto yang dikenal sebagai Kredo Puisi.”

“Menilik isinya, kredo Sutardji yang terkenal itu (dalam O Amuk Kapak: Tiga Kumpulan Sajak, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, 1981) pada dasarnya lebih berisikan kredo penyair karena di sana ditegaskan peran penyair dalam pembebasan kata-kata dari penjajahan makna: Dalam puisi saya, saya bebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang membelenggunya seperti kamus dan penjajahan lain seperti moral kata yang dibebankan masyarakat pada kata tertentu dengan dianggap kotor (obscene) serta penjajahan gramatika.”

Dami di bukunya “Hamba-hamba Kebudayaan” bagian 6. “Tahap Perkembangan Wawasan Estetik Perpuisian Indonesia” urutan ke 3. “Wawasan Estetik Perpuisian Mutakhir” hlm 74-75 menulis:“Secara harafiah, kredo puisi Sutardji Calzoum Bachri dapat diperbandingkan dengan pernyataan Chairil Anwar bahwa “Kata adalah kebenaran atau “tesis” itu sendiri. Namun, realisasi persajakan mereka ternyata lain sekali. Dalam realisasi perpuisian, pernyataan Chairil tiba pada pemahatan kata menjadi monumental, tiba pada kepercayaan kata sebagai besi beton untuk puisi. Bahasa Nampak rasional, memperoleh kedudukan yang penting dalam kepentingan puitik. Sebaliknya, dalam realisasi perpuisian Sutadji, kata Nampak macam mythos yang antara berwujud dan tidak. Kedudukan kata, bagi dua memang sudah jelas, tetapi kenyataan yang ditemukan bahwa banyak kata-kata/bahasa ternyata tidak mampu menjadi alat terpercaya satu-satunya untuk mengungkapkan pengalaman manusia yang dalam. Sudah lazim, seorang penyair sulit mendapatkan kata untuk menjejaki keutuhan estetik, hanya karena sifatnya yang terbatas secara ruang dan waktu. Masuklah ke dalam rumah asrama orang bisu, maka disana akan dijumpai komunikasi dalam “kematian kata-kata.” Nontonlah Marcel Marceau, atau “Piep” Rendra, maka Anda tidak usah mendengar dengan telinga, tetapi cukup “mendengar” dengan mata, dan terjadilah komunikasi estetik yang utuh dan penghayatan.”

***

Pada suatu pagi, ketika menyimak “Kitab Dalail Khairat” karangan Imam Sayyid Muhammad ibn Sulaiman Al-Jazuli (Wafat 16 Rabiul Awal 870 H) oleh KH Ahmad Abdul Haq Dalhar (Wafat 8 Juli 2010 M) tatkala Beliau masih sugeng tahun 2001 di Pesantren Darussalam, Watucongol, Muntilan, Magelang. Beliau bercanda, bercerita kalau disaat mudanya mengamalkan Surah Al-Kauthar, yakni“Inna Aa’taina Kal Kausar, ‘enak gak enak’e wong kesasar (enak tidak enaknya orang tersesat,” hal ini serasa menyindir saya.

Dan jika sajak (puisi) sufi, atau kecenderungan karya sastra sufistik lantaran ada sejenis bau-bauan kata kurang pantas diucap, sekadar andalkan huruf kapital Mu, Ku, sebangsanya, ditambah ornamen meyakinkan di atas persoalan kehakikian dan seterusnya, maka akan menemukan keadaan pangling, heran gampang terperdaya. Dapat disebut cuma pendakian kata-kata, kecerdasan akal menumpuk perasan peristiwa seakan tampak bermakna tersebut, padahal belum tentu. Inilah pentingnya kritikus meneliti karya tak hanya berdasar kekaryaan saja, juga laku pengarangnya demi peroleh kupasan sesungguhnya, yang tidak lepas dari realitas kerja kreatif.

Naudzubillah, disaat Sutardji Calzoum Bachri penyeleweng makna “Kun Fayakun” demi menopang gagasannya, disandingkan capaian agung ulama’ suci Hamzah Fansuri, lantaran kata-katanya saja ditelusuri, itu pun sangat jauh bertolak. Hanya masyarakat kurang baca sejarah terkelabuhi muslihat kajiannya. Jika itu terus diamini kaum intelektual, tidak lebih pembodohan publik, pengerdilan bagi generasi setelahnya.

Saya ingat setahun lalu, beberapa tahun terdahulu, kala bercengkerama bersama penyair Iman Budi Santosa serta almarhum sastrawan Suryanto Sastroatmodjo yang telah ‘insyaf’ bahwa gerak angkatanya gagal, apalagi mencermati rusaknya tatanan pemerintahan kini, kalau susastra salah satu unsur budaya penentu pembentukan karakter bangsa. Maka sepintas dapat dinilai prodak kegagalan meski tidak semua, setidaknya bendelan kritik ini sebuah pintu pembuka lainnya.

Kita kerap mengira para senior banyak memakan asam garam, maka dengan sendirinya melemah kecurigaan, jiwa mawas tercuri dari kedirian, terlanjur terpaku unen-unen yang seyogyanya pantas dibongkar terlebih dulu, baru didudukkan sebobot timbangannya. Ini sering menduga perhelatan lama begitu agung dan pantas disemat di lembaran sejarah, boleh itu dilakukan berkeadaan terdesak membikin monumen-monumenan, tepatnya disimpan kurun mitos, jika benar tidak pantas dipangku sebagai lantasan perjuangan. Bagaimana dapat makan asam garam kalau tak naik-turun gunung seberangi laut sesungguhnya, terbuai pujian memabukankan sedari kawan pula ‘lawan?’

Kata-kata ini terdengar berisik di telinga, membikin panas jari-jemari mata melihatnya. Ya saya maklumi lantaran sekadar pengelana tak berpendidikan tinggi, tetapi jauh di lubuk hati tentu saudara yang cerdas dan luas keilmuan memahami, hasrat saya tak ingin tertipu persandiwaraan, atau menginginkan perihal meyakinkan, serupa kepastian datangnya maut. Atau berharap susastra Indonesia tak lagi menyuguhkan buah karbitan, memitos pun pemberhalaan, apalagi pada sosok bikinan, nyentrik buatan demi besarnya berita, sambil melupa punjer yang seyogyanya disinauhi. Sisi lain saya pesimis sejarah susastra Indonesia tumbuh berkekuatan ‘kejujurannya,’ karena seringkali suara umum menghakimi, padahal terketahui jumlah kesadaran terus tergerus menipis dalam kurun jaman edan sekarang ini.

***

Kini saya urai lebih fokus kutipan-kutipan di atas dari bawah ke mula keutamaan, dengan membuka bukunya Ir. Sri Mulyono “Simbolis dan Mistikisme dalam Wayang” terbitan CV Haji Masagung (penerbit PT Gunung Agung), cet III, 1989 bagian 5, “Hidayat jati adalah Mistikisme dan Filsafat Nusantara Abad XIX:”

“Apakah Hidayat Jati Itu? 

Pada tahun 1940 dalam majalah Jawa, seorang sarjana Barat bernama Brugmans mengatakan bahwa di Indonesia tidak ada filsafat autochtone (pribumi), tetapi yang ada hanyalah filsafat Barat. Oleh karena itu orang tidak dapat berbicara tentang filsafat autochtone. Pernyataan Brugmans tersebut kecuali negatif juga sangat gegabah. Pendapat Brugmans tersebut segera disanggah oleh Prof. Dr. P.J. Zoetmulder di majalah Jawa tahun 1940 itu juga. Antara lain beliau menyatakan sebagai berikut:”

“Memang benar, bahwa ada perbedaan antara sistem-sistem filsafat Barat dengan penyataan-pernyataan tentang pencerminan filsafat yang sering terpotong-potong dan hubungan satu sama lain kurang serasi. Ada perbedaan yang sangat menyolok antara ilmu filsafat Barat dan filsafat Timur ialah, bahwa di Timur orang tak pernah mempelajari ilmu filsafat untuk ilmu itu sendiri, tetapi hanya merupakan sarana untuk mencapai kesempurnaan, dan satu langkah lebih maju lagi merupakan jalan menuju ke arah kebebasan. Dan bagi orang Timur filsafat merupakan satu-satunya jalan untuk dapat mencapai tujuan terakhir.”

“Di mana pun kita tidak pernah menjumpai kebalikan antara ilmu filsafat dan pengetahuan tentang Tuhan ditumbuhkan. Justru di Timur yang dianut hikmah yang tinggi, yaitu titik puncak daripada filsafah adalah mengenal Tuhan dari yang mutlak dan hubungannya antara manusia dengan-Nya.  Oleh karena itu di Timur ilmu filsafat tidak dijadikan aktivitas otak, seperti sering terjadi di Barat, di mana orang dengan ketakutan menahan semua yang berbau agama di luar pagar.”

Jika ditarik segaris imaterial dari bagian XX-XXI, bertemulah saya dengan Prabu Brawijaya V (Wafat 1478). Ada berpendapat beliau muksa di Gunung Lawu bersama Sabdopalon, beserta Dipo Menggolo dan Wongso Menggolo, ada pula berpaham makamnya di Trowulan, Mojokerto. Sedangkan sastrawan Sanoesi Pane dimungkinkan condong ke suara yang meyakini beliau ialah ‘Damar Wulan.’ Dan di malam hari jum’at wage, jum’at kedua bulan suci Ramadhan, tanggal 15 tahun 1433 Hijriah, saya mulai membenamkan diri dalam kabut di bawah sadar ingatan (penciptaan) masa silam.

***

Terciptanya (teks) sejarah terjadi karena hasrat berkuasa dan saya maklumi pergeseran perbedaan sedari; Pararaton, Serat, Jangka, dll, demi menggenapi maksud tujuannya. Di bumi Batoro Katong ini saya merapalkan perihal yang sekiranya patut diwedarkan dari pemahaman P.J. Zoetmulder (penulis buku “Manunggaling Kawula Gusti: Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa” terbitan Gramedia 1990, terjemahan Dick Hartoko) mengenai kefilsafatan Jawa lewat pengelanaan ini.

“di Timur orang tak pernah mempelajari ilmu filsafat untuk ilmu itu sendiri,” Batin mencecapi bencah tanah Jawa, kehadiran yang dirawat hati nurani, sepecak demi pecak lelahkah menghatur tunduk syukur kepada para pendahulu. Darah kepatuhan setatap pandita, sikap menghamba diam menilik harta paling berharga, yakni pekerti yang terbit dari budi memandang laku atas sikap santun waspada. Demikian pelajaran diawali menilik kandungan hayati nan diperoleh dari penghayatan insani, seperti perjalanan Siddhartha Gautama, yang diuraikan sastarawan Jerman, Hermann Hesse (1877-1962), yang pernah mengembarai dataran bumi Nusantara.

Di lapis garis imaterial selanjutnya terjelma materi pemahaman “Kun Fayakun” dari bagian XVI ke XXI. Umpama diseiramakan, seolah masa-masa peralihan dari kerajaan Majapahit ke Demak, sejauh itu hawa gemebyar cahaya berkilau, senjakalanya sang surya bersama Damar Wulan (cahaya / lampu / api rembulan): Cahaya hikmah ilmu falsafah hadir berkilat-kilat atas laku mensucikan diri memantabkan titah Sang Yang Ilahi Robbi yang hijabnya terbuka, kerahasiaannya tersingkap sejauh merawat malam-malam membenamkan diri di siang hari, dengan cadar memenuhi panggilan manusiawi, bahasa Zoetmulder, “filsafat, hanya merupakan sarana untuk mencapai kesempurnaan.”

Di Gunung Lawu memiliki kawah bersebut Candradimuka, dalam versi pewayangan merupakan letak penggodogan, penggemblengan Gatotkaca, sosok kesatria pembela tiap jengkal wilayah negaranya dari sarang angin permasalahan. Saya jadi terpaku sosok pengutip uraian Prof. Zoetmulder, yaitu Ir. Sri Mulyono Djojosupadmo, seorang Marsekal Pertama (TNI), penulis buku-buku dunia pewayangan serta strategi peperangan, setidaknya kini jarang ditemukan pemangku jabatan pemerintahan yang bergerak dalam kepenulisan filsafat.

Ketinggian Lawu, entah berapa kilo meter dari tempat saya duduk di Perumahan Patihan, Ponorogo. Jaraknya seakan melipat-lipat prosesi penulisan ini, lebih jauh Dr. Zoetmulder mengatakan, “satu langkah lebih maju lagi merupakan jalan menuju ke arah kebebasan.” Sebagaimana saya berekspresi mengolah temuan-temuan di jalanan, memadukan naik-turunnya hawa hayati, menempa kemungkinan jadi pelajaran, menghardik diri berkali-kali menggenapi wewaktu bergerak melaju, menuang gagasan memudahkan temali cencang sambungan atas gugusan masalah untuk cermin kemandirian.

“bagi orang Timur filsafat merupakan satu-satunya jalan untuk dapat mencapai tujuan terakhir.”Mengolah bebahan sekiranya padu, menabur benih-benih bagi laluan penalaran. Tengoklah agama-agama besar di dunia tumbuh pada ladang subur tanah Timur, dan Barat sedemikian baik menafsir, menerjemah yang terpancar darinya. Sedari olah batin, jiwa kembarai ceruk terdalam, langkah tak sekadar dinalar jua dirasai deguban jantung terrahasia. Cahaya-cahaya inspirasi saling bertemu memecahkan keheningan, menemui pusaran tenang sebelum diuntahkan ke alam luar. Hanya, kadang kita sulit menatapi jejaknya langsung sekarang, kecuali membenamkan diri dalam Kawah Candradimuka permenungan. Olehnya taklah perlu sungkan jika sekiranya patut menciduk air beningnya sedari saringan pemikiran Barat.

Di pepucuk daunan hijau tertentu, Lawu merupakan gunung keramat atas nafas-nafas kebatinan tanah Jawa seperti juga laut selatan, letak muksanya para raja Jawa. “Justru di Timur yang dianut hikmah yang tinggi, yaitu titik puncak daripada filsafah adalah mengenal Tuhan dari yang mutlak dan hubungannya antara manusia dengan-Nya.” Maka tumbuhlah banyak versi atas hikayat Raja Pamungkas Majapahit (Prabu Brawijaya V), ini tak lebih didorong keimanan beserta harapan para penggurat Serat, Jangka maupun Pararaton. Dan “di Timur ilmu filsafat tidak dijadikan aktivitas otak,”maknanya, tergali dari perhelatan batin sukma nan sumambrah menggenapi lelaku keseluruhan jagad alit, demi membaca jagad besar (makro kosmos).

Kalau pembaca menyimak bebagian lalu, Dami N. Toda seperti juga Abdul Hadi W.M. pernah menyebut Hamzah Fansuri dalam satu esai menyoal SCB tanpa menguraikannya. Mendingan kini iramanya dinaikkan lewat mengutip “Kitab Walisongo,” susunan sembilan Wali. Kitabnya diterjemah ke bahasa Belanda oleh Van Hien, “De Javansce Gestenwereld” yang bernuansa Hindu Jawa, untuk memperkenalkan ajaran Islam bagi masyarakat kebanyakan masih menganut ajaran Hindu saat itu. Diterjemahkan dalam bahasa Indonesia atas Capt. R.P. Suyono, terbitan LKis, Februari 2008.

Uniknya kitab itu menurut “Serat Kadilangu” menyebutkan bahwa proses penyusunan kitab ini dilakukan melalui sebuah pertemuan rahasia. Mereka bertemu di sebuah surau di atas gunung yang terletak dekat Jepara. Akan tetapi, pertemuan itu tidak dilakukan secara fisik. Para wali tetap di rumahnya masing-masing. Dengan cara mati suri, roh para wali tersebut meninggalkan jasadnya dan berkumpul di puncak gunung tadi. Surau tempat mereka bertemu juga merupakan sebuah bangunan spiritual, yang hanya akan ada bila mereka berkumpul. (hlm 2).

Kini saya ambil dua paragraf di halaman 25-nya: “Dengan memakai mantra, terutama mantra berupa bunyi-bunyian, disertai kemauan yang keras maka keinginan seseorang dapat terpenuhi. Mantra bunyi-bunyian yang berupa tembang merupakan bayangan yang akan segera dipengaruhi oleh roh halus atau unsur-unsur yang akan mengikuti ucapan pengucap mantra.”

“Kekuatan pikiran sering juga disertai dengan penggunaan jimat yang telah dibuat untuk tujuan tertentu oleh dukun, dipercaya juga dapat menjadi alat mencapai tujuan. Doa dan sembahyang akan menguatkan pikiran sehingga tujuan akan tercapai. Oleh karena itu, di Jawa berkembang doa kematian. Orang umum mengetahui dampak buruk kekuatan pikiran yang diarahkan pada kematian.”

Perbedaan mencolok, antara saya dengan peneliti yang tidak memahami hakikat mantra demi memenangkan SCB; mereka menyundulkan pekerti kalaulah mantra tak harus bermakna. Sedangkan saya bersama para menelisik lawas, memahami hakikatnya sebuah mantra mengandung makna, sekalipun jimat berupa potongan kata (huruf-huruf samar), tetaplah bersimpan maksud tujuan disaat menelusuri jejak-jejaknya. Kenapa mereka berpendapat begitu? Jawaban Dami yang cerdas, “…kenyataan yang ditemukan bahwa banyak kata-kata/bahasa ternyata tidak mampu menjadi alat terpercaya satu-satunya untuk mengungkapkan pengalaman manusia yang dalam. Sudah lazim, seorang penyair sulit mendapatkan kata untuk menjejaki keutuhan estetik, hanya karena sifatnya yang terbatas secara ruang dan waktu.”

***

Ingat bagian XIV “Babad Nuca Nepa (Flores)” mengenai teori evolusi Darwin, adanya mata rantai terputus? ‘Selempar batu sembunyi tangan!’ Parahnya yang terkena lemparan tak tahu permasalahan, manggut-manut. Beberapa baris ke depan saya buat guyonan tetapi tenanan, ungkap ‘Pak Kentrung;’ mungkin salah satu cara agar dianggap penyair sufi, karyanya dikira sastra sufistik, bikin saja sesuatu yang nyentrik, usah mikirin dapat dicerna pembaca /tak, kelak para kritikus sealiran -entah apa- mengulasnya, asal gaya hidup juga eksentrik, bercindik di telinga ditambah di hidung juga boleh, bikin tato agak filosofis semisal gambar naga, lalu buka al-kohol. Jangan lupa main-mainin Alif lam meem,soal dosa saya tak ikut tanggung.

Dalam bedah buku awal (sebelum buku ini) yang bahas Aguk Irawan MN, bersama bedah novelnya Jusuf An oleh Hamdy Salad, dan bedah kumpulan puisinya Syaifuddin Gani atas TS Pinang, di Pusat Kebudayaan Indonesia-Belanda “Karta Pustaka,” Jl. Bintaran Tengah 16 Yogyakarta. Dihadiri Indrian Koto, Joni Ariadinata, Marhalim Zaini, Raudal Tanjung Banua, Akhiriyati Sundari &ll, saya mengawali kata pembuka bersuara; “Saya mantan dukun!” Di sini juga mengakui mantan begundal yang tak layak menghirup udara, atau anggap nafasan tulisan ini sewarna pertaubatan nan berharap khusnul khatimah. Joni Ariadinata yang kepengarangan awalnya menggeluti cerpen, selepas bedah buku berkomentar, kurang-lebih, “Tardji kini tak perlu cindikan lagi untuk bikin sensasi, sebab Nurel telah mengangkatnya kembali.”

Menuju agak serius, bagaimana puisi-puisi SCB menyerupakan “lukisan kesunyian mistikal seperti dijumpai dalam sajak-sajak Rumi dan Hamzah Fansuri?” Ruminten kali, atau Hamza Ya’ (urutan akhir abjad Arab, huruf hijaiah), Inilah Missing Link! Syeikh Hamzah Fansuri bagi saya sesosok ulama’ suci yang hanya ulama’ tertentu pantas disandingkan Beliau, nan keberadaannya pun tak bisa disamai dalam porsi apapun pada penyadur jalang Chairil Anwar. Saya lebih suka Abdul Hadi W.M. tak jauh daripada tulisannya ini, “Tokoh-tokoh seperti Syaikh Hamzah Fansuri, ‘Abd al-Ra’uf al-Sinkili dan lain-lain di Sumatera, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Gunungjati dan wali-wali lain di Pulau Jawa, sangat giat berdakwa bukan saja di bidang keagamaan, politik dan pendidikan, tetapi juga di bidang kebudayaan dan penulisan kreatif.”

Ada kemungkinan kenapa kritikus D&A (Dami N. Toda dan Abdul Hadi W.M.) melangkah missing link? Dami pengajar studi-studi Indonesia dan Pasifik Universitas Hamburg, merasa perlu menawari kredo puisi Sutardji yang sekilas berontak pada bentuk baku ‘mata kuliah’ sebelumnya. Atau dengan ini penelitiannya yang memiliki semangat perlawanan, merasakan terwakili saat-saat menyodokkan paham tersebut ke muka umum, namun kampus Hamburg tak mempan ‘dongengannya.’ Sedangkan Abdul Hadi dimungkinkan teringat disertasinya mengenai Hamzah Fansuri disaat-saat menulis esai untuk SCB, ditopang Dami sudah ke sana, pun berasa sejalan angkatan keinginannya membumikan susastra. Keduanya lewat tangan ajaib menanggalkan makna terkandung dalam tiap-tiap mantra di bumi Nusantara?

Dami benar tapi kurang pener “…kenyataan yang ditemukan bahwa banyak kata-kata/bahasa ternyata tidak mampu menjadi alat terpercaya satu-satunya untuk mengungkapkan pengalaman manusia yang dalam.” Tepatnya dunia kata-kata, lantaran pengertian ‘bahasa’ sangat luas; nada-nada musik, wewarna coretan lelukisan dan seterusnya juga bahasa, alat sang seniman menyampaikan perasaan terdalamnya. Dan kata-kata, salah satu peralatan wajib dipergunakan secara lihai oleh penyair/pujangga, sebab darinya bisa ditimbang sejauh mana penggurat mampu atau sebaliknya gagap mengolah tanah liat perkataan rasa dijelma ke dalam syair. Bukan kebuntuan peristiwa suatu waktu ditangkap dijadikan pelepasan beralibi, apalagi diperkuat kredo, ini betapa tampak ketumpulan jiwa puitiknya tak sanggup mengangkat sedari sumber mata air terrahasia di atas inspirasi nan diberikan semesta alam-Nya.

Keterbatasan kata-kata sealat penyampai tak harus menghardik jadi potongan tak berarti, penggalan seenak udelnya, apalagi mencoba berakrobat mencipta kata-kata dari kolong langit yang tiada dalam tradisi bumi manusia, berupaya memaknai lain lantaran arti diberikan khalayak dianggapnya telah tercederai hukum sosial? Takkah seperti itu tingkah Jailangkung, ‘datang tak dijemput pulang tak diantar,’ meski di batas tertentu bersilsilah alam lain mengikat kenyataan. Tapi tidakkah itu bahasa / puisi dihasilkannya, terperosok ke bentuk main-main, pembendaan jauh sedari gerak lajunya peradaban?

Tumbuhnya kata bersama maknanya, merupakan hasil dari kandungan sejarah yang mendasari letak kata tersebut hadir, keberadaannya menuju fitroh bagi yang merasakan kedatangannya. Umpaman maknanya bergeser mengalami perluasan, penyempitan, tetap berada dalam kurungan jenjang realitas kerja sosial, sejenis tangga kesadaran tertentu pada makna kata itu. Di sinilah jiwa penyair pertaruhkan segenap pancangan kediriannya dalam menyikapi kata di atas bau-bauannya berbeda meski pada satu kata; hidung identifikasi, mata jernih, pendengaran bening menentukan cara meletakkan kata sesuai aroma dikehendaki dalam sebuah karya, sehingga jadi ciri khas atas takdir karya tersebut.

Kala bertemu kebuntuan, tidak lantas membikin bentuk puisi mempat tanpa makna berdalih alibi, tapi terus telusuri pepintu tertutup; apakah terwakili keadaan masyarakat atau dirinya pemalas. Pintu tertutup disimak deritnya, diraba rasakan pelbagai teknik, memasuki selubung panca inderanya, lebih suntuk demi dapati pancaran jauh berkilau atas kesungguhan menanjaki jati dirinya. Di sini penyair melempar karya percobaan, membakar karya-karya mentah, dilebur ke sebuah karya yang nantinya dipandang layak dinikmati pembaca. Pintu tertutup keadaan mempat jika tak ditembus lewat keliaran pencarian, berpuas diri hadirkan keluguan, kewaguan usia tertentu dengan bacaan tertentu pengamat keliru menganggap hebat, maka dicarilah rujukan sekenangan, dan saat dibenturkan ke pemahaman “Kun Fayakun,” kemana?

Salah sebuah kartu hitam model perpuisian Sutardji ketika dilemparkan pertanyaan ke muka pembaca, semisal; “Ketika itu bukan puisi SCB, apakah anda kagum? Hampir 100% bilang tidak, kalau bukan 99%, dan 1%-nya hantu diam (dalam diskusi buku sebelumnya di kota Malang, Trenggalek, Jombang, Ponorogo, Yogyakarta, dan bisa ini nambah). Di sini kekaguman pada kekaryaan bukan berasal karyanya, namun siapa saja sudah mengupas-dedah membelanya.

Pribadi kagum pastilah mengikis kekritisan jiwa hampir separuh tak sadar, digoyong keterpesonaan para kritikus pemboyongnya mengukuhkan ‘tindak kreatif’ yang sejatinya tak, namun aneh-aneh bim salabim ke awang uwung! Kenapa sebagian kritikus dulu menerima pandangan SCB? Karena, matanya rantai terputus terjadi pada pengamat yang kedudukannya disegani, di sisi keberanian vokal Sutardji tentu bisa merongrong kritikus tak sepaham saat dikemukakan ke media, ini bagi tidak siap bersebarangan jadi simalakama?

Lagi-lagi Dami benar namun kurang pener, “Sudah lazim, seorang penyair sulit mendapatkan kata untuk menjejaki keutuhan estetik, hanya karena sifatnya yang terbatas secara ruang dan waktu.”Dedahan kelanjutan ini sejenis perluasan kesadaran dari mental serampangan atau keluguan awal, yang menyembuyikan kemalasan kritis lewat menunjukkan kelemahannya. Sekurangnya sifat insaniah ditampakkan menonjol agar mendapati simpati, lantas meloloskan balon udara karbitan! Para seniman apapun digelutinya selalu bergulat ruang-waktu, persoalan hidup melingkupi perjuangannya. Temuan-temuan dari pencarian sungguh tetap berlandasan akli pula hawa aura nakli yang mempengaruhi jiwa segar kesenimanannya. Yang setiap pahamnya punya silsilah, dan tidak asal comot lari kesana kemari kala mendapati sergapan dengan berkila, atau pun berwatak megalomaniak.

Terkait akhir-akhir ini dikabarkan hadirnya teknologi terbaru perkembangan dunia sains, yakni solusi kehidupan abadi (Cryonics). Saya baca ulang puisi pada pembukaan buku “A Beautiful Mind” (Kisah hidup seorang genius penderita sakit jiwa yang meraih hadiah Nobel, ‘John Forbes Nash, Jr.’) karya penulis cantik Sylvia Nasar, yang buku itu memenangkan National Book Critics Circle Award 1998untuk Biografi, finalis Pulitzer Prize, serta penginspirasi film produksi Dream Works dan Universal Pictures yang dibintangi Russell Crowe. Di Indonesia bukunya diterbitan Gramedia tahun 2005, puisi William Wordsworth sebagaimana berikut:

Sama seperti patung…, sama seperti Newton

Kacamata tebal, wajah pendiam,

Yang merenung dan terus merenung

Menjelajah samudera Pikiran serba asing, sendirian.

Mengupas ini sambil mendengar komposisi Johann Sebastian Bach bertitel ”Little” Fugue in G minor, BMV 578, mengingatkan pada sebuah cerpen Rabindranath Tagore yang berkisah penjual es di kampung halaman, yakni nada musik alat pemukul demi menarik bebocah membelinya. Meski berbeda, satu suara organik, lainnya seolah efek listrik mekanik. Sepadan bermula John van Neumann, tokoh matematika kelahiran Hungaria yang tahun 1928 menuliskan artikel mengenai permainan catur, kartu dan sejenisnya, merupakan upaya sukses pertama untuk menurunkan algoritma-algoritma atau kaidah-kaidah logika serta matematika tentang persaingan. Di lanjutkan tahun 1958, majalah Fortunemengedepankan Nash, karena prestasi-prestasinya pada teori permainan (game theory), geometri aljabar, dan teori nonlinear paling cemerlang di antara segenerasinya, dalam menggeluti matematika murni pun terapan.

“Sama seperti patung…, sama seperti Newton” sosok pemikir tunggal serupa juga Nietzsche, Nash menumpahkan kebuntuanya, disesuaikan bidang digeluti. Demikian sastrawan Inggris William Wordsworth (1770-1850), memasukkan kata ‘patung,’ dan nama seorang ‘fisikawan, matematikawan, ahli astronomi, filsuf alam, alkimiawan, dan teolog’ Sir Isaac Newton (1643-1727). Sudah cukup menggambarkan kemampetan, bukan dilukiskan dengan menulis huruf tak beraturan yang tiada makna laksana igauan bangsa jin pun tak ada! Begitu seyogyanya penyair manfaatkan nafas ruang-waktu sejarah dalam menyampaikan perihal digapai, lewat mendekati diri pada warna-warna, bau-bauan, karakter nan layak sebagai penutur sajak.

“Kacamata tebal, wajah pendiam,” Ungkapan ‘kacamata tebal,’ memperkuat tekanan ke bentuk kata-kata ‘wajah pendiam.’ Misal sewaktu Nash di Princeton University sebagai ‘hantu,’ atau percakapan-percakapannya jauh membius pemerhati, semasa di Institute for Advanced Study dalam suatu pesta mahasiswa. Dan Nash merambahi dataran gurun penalaran akan ‘mesin pemikir.’ Gagasannya sejalur stategi permainan, persaingan ekonomi, arsitektur komputer, bentukan jagad, geometri ruang imajiner, misteri bilangan prima; tertuang menyatu pada tesis doktoralnya, yang hanya dua puluh tujuh halaman, ditulis kala berusia 21 tahun. Selisih setahun, atau 22 tahun usia Albert Camus mengumpulkan esai-esainya awal, L’Envers et l’endroit (The Two Sides Of The Coin).

“Yang merenung dan terus merenung” bukannya: tujuh gajah /cemas /meniti jembut /serambut //tujuh semut /turun gunung /terkekeh /kekeh //perjalanan /kalbu (SCB, 1976-1979). Pun darimana sajak tersebut masuk karya sastra sufistik? Tidakkah referensi gajah terdekat melekati Raja Abrahah ke kota Makkah bersama pasukan gajahnya, yang dipukul mundur kawanan burung Ababil? Sedangkan menyoal ‘pengajaran’ di alamatkan ke Surah Al-Baqarah (bermakna ‘sapi betina’). Dalam mitologi Mesopotamia yang berwujud singa berkepala sapi bersayap elang, di Yunani sapi dan burung merak ialah binatang yang disucikan demi Hera (Juno), salah satu dari dua belas dewa Olympian (”Mythology, Timeless Tales of Gods and Heroes” karangan Edith Hamilton, terjemahan A. Rachmatullah, terbitan Oncor 2011), atau kepercayaan di dataran India.

Dan as-Samiri seorang Israil suku as-Samirah, pengikut Nabi Musa As. yang kemudian sesat. Nama asli as-Samiri ialah Musa bin Zafar berasal dari bahasa Arab, digunakan meluas oleh penduduk Albania. Samiri, variasi ‘Samir’ bagi bahasa Albania, Arab, India, dan Iran dari bahasa Arab ‘Samara,’ bentuk feminimnya “Samira.” Dalam kekisah Islam, ia tokoh menyesatkan bani Israel. Memerintahkan membawa perhiasan emas milik orang-orang Mesir, menganjurkan agar dilempar ke api yang dinyalakan dalam lubang untuk dijadikan patung. Ia berhasil membuat berhala anak sapi betina sedari emas, setelah jadi dikatakan sebagai Tuhan bani Israel, dan Tuhan Musa.

Kejadian itu sewaktu Nabi Musa As. menerima wahyu Taurat di bukit Sinai. Samiri meletakkan bekas jejak kuda malaikat Jibril memimpin Musa, bani Israel melewati Laut Merah hingga bisa keluarkan suara jika tertiup angin. Samiri memiliki sihir yang dipelajari sewaktu di Mesir, belum hilang sekte pagan pemengaruh ajaran yang terdapat di Mesir Kuno. Sebuah bukti anak sapi emas yang disembah bani Israil, sebenarnya tiruan dari berhala Hathor dan Aphis (Wikipedia). Persoalan semut-semut telah terjawab sebelumnya, atau Surah al-Naml ayat 18-19. Ini sedikit menghibur Sutardji, saya teringat syair lagu dangdut “rambut-rambut siapa ini kasih / bikin tak enak hati / :dinyanyikan Evi Tamala.

***

Inspirasi meminta ditulis, maka saya lanjutkan. Beberapa hari catatan ini dihentikan demi menanti panggilan. Setidaknya yang terkutip pun tergurat ialah hasil peleburan ‘kimiawi’ jiwa, bukan tindak tempelan mudah njomplang; keduanya berkawin dalam kesaksian. Atau saya siap dibawa kemana percampuran tersebut diadili atas kesaksian nan melembaga sebagai olah proses kreatif, tak semata dituntut tugas guru besar suatu kampus misal, atau hal bersifat kementerengan di depan hakim keilmuan. Maka bersiaplah lebih mencurigai diri sendiri, sebab para guru besarnya ialah sejarah yang kelak membuktikan, dan saya cukupkan berkesungguhan pencarian tanpa pamrih, selain tidak ingin dibodoh-bodohkan bebentuk sulapan.

Sastrawan filsuf Jean-Paul Sartre, penolak Nobel Sastra 1964, mengungkap makna ‘kegeniusan’ dikutip Sylvia Nasar sebagai berikut, “temuan cemerlang seseorang yang mencari pemecahan sebuah masalah.” Dan saya jumput untaian William Wordsworth, “Menjelajah samudera Pikiran serba asing, sendirian.” Dalam hal ini, gajah tak sekadar cemas, sekujur badannya terlubangi bebatuan api diterjunkan dari cengkeraman kaki-kaki beburung ababil, hampir semuanya tumbang lebur binasa. Gajah tak memikir jalan tasawuf, apalagi meniti rambut? Umpama menakwilkan sesuatu, mimpinya raja angkuh dengan hamba terpenjah tidak bersalah -tentunya tidak sama. Hanya akal-akalan seiramakan warna ruhani atas permukaan bahasa atau kata-kata semata, apalagi di sana tiada penghampiran sinambung, sedari laku sampai gairah yang diperjuangkannya?

Lebih jauh, semut tak terkekeh menghadapi kehidupan ini. Semut-semut di ‘lembah semut,’ berkewaspadaan tinggi sampai mengira Nabi Sulaiman bersama bala tentaranya kan bertindak dholim tanpa disadari dan senyuman Nabi Sulaiman As. perwujudan hati yang terpancari pengetahuan-Nya. Apakah kecenderungan sajak sufistik menyebutkan para tokoh sufi, jejenis minuman anggur beserta lagu kemabukan? Saya pikir, preman pasar jika diajari bersajak dengan mengunggah bentukan itu tidak lama jadi ‘penyair,’ sambil berkalung tasbih masuk pesantren membaca sajak, maka ‘purnalah sosok sastrawan,’ dan ini tak perlu lama boleh menjadi preman lagi.

Namun tak demikian, lantaran hidup tak main-main / tak mempermainkan bacaan “Alif Lam Meem” atau “Jadi, lantas jadilah! / Jadi maka jadilah!” Ah, mending balik ke Nash, penemu ‘mesin pemikir’ pada teori permainan yang memecahkan masalah pada bidang digelutinya, seperti para penyair bersuntuk mengurai tempaan hayati dalam kalimat sajak-sajaknya yang padat muatan, segar diarungai penyelitikan. Bukan dicari-cari jawabannya, ada pula tak terjawab laksana sampiran kajiannya, atau tidak penting seperti menyimak buku takwil mimpi yang dijual di pasar gelap.

Sylvia menuturkan “Banyak ilmuwan dan filsuf besar, antara lain Rene` Descartes, Ludwig Wittgenstein, Immanuel Kant, Thorstein Veblen, Isaac Newton, dan Albert Einstein, memiliki kepribadian yang sama aneh, sama-sama soliter. Temperamen emosional, suka menyendiri, lebih terpusat ke dalam, memang bisa kondusif untuk kreativitas ilmiah. Ini berdasarkan pengamatan yang cukup lama oleh kalangan psikiater dan penyusun biografi, sebagaimana suasana hati sangat fluktuatif yang sering terkait dengan ekspresi seni.” Di dalam karya-karyannya mencapai ekuilibrium atau keseimbangan mapan sebagai aturan pantas diselidik berlarut-larut.

Kini iramanya saya naikkan bersamaan percepatan menurun demi peroleh gerak ingatan melingkar sedari kutipan bertebaran di muka papan selancar; serasa melintasi Serat Kadilangu, menyapa Van Hien, menyalami Capt. R.P. Suyono. Pada ketentuan berbeda, berjumpalah Prabu Brawijaya V, di ujung pena Dr. Zoetmulder, melalui Ir. Sri Mulyono Djojosupadmo. Sampai kemantabannya tertulis di bumi Reog, ada bayangan tegas di pucuk Gunung Pring Watucongol, uraian Aguk Irawan MN. Dan kutipan Mark R. Woodward, mengingatkan saya saat tinggal di Ngadisuryan rumahnya Raden Isman Tono (saya akrab memanggilnya Pak/Mas Isman. Mark R. Woodward mengenalnya sebagai pelukis muda yang menerimanya hari pertama di Yogya pada lembar pengakuan di bukunya. Saya tahun 1995 tinggal di tempat sama mengenalnya sebagai ‘pelukis kambuhan’ yang memperkenalkan saya pada tokoh wayang Abimanyu dalam hidup ini).

 

14 Agustus 2012, Selasa Anggara Masehi,

26 Poso 1945, Selasa Kliwon (hari Anggoro Kasih) Jawa,

26 Ramadhan 1433 Hijriah,

di Bumi Reog Ponorogo, Tanah Jawa.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler