Skip to Content

MEMBONGKAR MITOS KESUSASTRAAN INDONESIA (BAGIAN 24/3)

Foto SIHALOHOLISTICK

Oleh: Nurel Javissyarqi

 

(III)

M. Yamin: “Nurel, kenapa kau tak ambil kalimat dari buku-bukuku, biar agak gimana gitu? Hehe…”

Nurel: “Pengennya, tetapi buku-buku Bapak berada di Lamongan, sementara saya masih di Ponorogo. Ya semoga sebelum rampung catatan ini, bisa pulang terlebih dulu ke kampung halaman.”

M. Yamin: “Kelanjutan daripada ini apa ya?”

Nurel: “Saya juga memikirkannya pak, tepatnya memilih beberapa kemungkinan. Ada deh.”

M. Yamin: “Ah, kau pakai rahasia-rahasiaan segala, hehe…” (Lalu saya kerlingkat mata hati, sebagai tanda menggoda).

***

Maaf, saya lanjutkan catatan ini sambil masih menghisap rokok, lantaran belum bisa menghentikan kebiasaan itu. Sebagian orang berpendapat, merupakan kegiatan tidak menyehatkan badan, seperti tertulis himbauan di pembungkusnya. Namun semoga kata-kata saya tidak berbau asapnya, yang tidak mengenakkan sebagian orang, dan setidaknya saya percaya sistem bekerjanya organ tubuh begitu menawan mampu menetralisir. Sekurang-kurangnya bisa beradaptasi perihal buruk dari luar, apakah asap atau lain; inilah pembentuk dinamika kesadaran, seminimal disaat-saat sedang menulis.

Lama menanti kapan meneruskan ini, ada saja penggoda, keraguan atau keyakinan belum purna demi berpijaki jalan-jalan di dalamnya, memilih, menghitung reaksi jikalau ini pun itu saya dahulukan, bagaimana atas penerimaan pembaca, corak kejiwaannya kala mengejanya. Sepagi ini 17 Desember 2012, saya balik melangkah di sisi mengingat beberapa perbendaharaan lewah sewaktu senggang kemarin. Masa penyesuaian antara materi serta gereget jiwa penampung referensi, juga pengalaman pada tempo saya mengakrapi data-data terbaru. Pun menarik perekat dari beberapa kemungkinan sempat beredar, di tengah lelintasan bacaannya.

Yang terasa, perbedaan menulis gagasan dan mengkritisi pandangan lain, lewat penglihatan bermacam-macam sungguh berat. Pertama hanya mengumpulkan kesungguhan terbaru, sedang kedua tidak cukup itu pula kejeliaan, mengetahui tempat duduk perkara yang dijadikan pertanyaan atau sanggahan itu. Dan patut mencari banyak alternatif atau yang benar berseberangan, di sebelah tetap berwawasan bijak, agar yang terketuk itu pintu pembuka pelbagai perbendaharaan nilai yang seyogyanya diambil manfaatnya. Mungkin cara ini saya menghibur diri akan keterlambatan tulisan kritik. Sekiranya telat tak apa, daripada mengambil cepat tapi hasilnya mudah terjungkal, ditertawakan waktu-waktu pembalasan.

Dan tak perlu minta maaf beberapa kali, kala hendak memasuki sidang pembaca lebih khusyuk dengan kata pembuka sejenis. Tak lain segerak proses kreatif yang patut disandangkan kesadaran menerus, daripada mengutarakan cara baik namun keliru lantaran bernafsu, atau seluruh kepahaman belum mempuni, sehingga ada terlewat lalu mudah melupa perolehan sebelumnya. Jangan-jangan kehilafalan berulang itu disengaja menggenapi menjadi sesuatu ‘kebenaran.’ Alhamdulillah pandang saya dari mula sampai kini, tak beranjak dari lampu sorot besar kecurigaan pada hal-hal pokok yang sengaja mereka selewengkan, di jalan-jalan kesusastraan yang pantas dipertanyakan, mestinya!

Jika para kritikus menerima keluguan buku “Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri,” tentu mengenai Sumpah Pemuda apakah puisi (?) dan sosok M. Yamin yang disebut di sana. Hari gini tak perlu abang-abang lambe “Deklarasi Hari Puisi Indonesia” dengan mengusung kata “imajinasi” di dalamnya, juga nama penyadur jalang. Tapi lantaran suaranya terlampau kecil bagi mereka, menjadi tidak didengar. Ini saya syukuri, sehingga tidak perlu lagi melempar kerikil ke dasar kali untuk mengetahui kedalamnya (istilah saya pada buku kritik pertama), tapi sudahlah mungkin telah waktunya dipotas, agar ikan-ikan pada mentas (bukan mentes)! Selaju mata saya melihat kata “imajinasi” di lembar deklarasi tersebut ialah demi mengaburkan (teringat) kekeliruan fatal SCB mengenai kata emanasinya Ibnu Arabi.

Namun karena ini lain, dan tidakkah ingat jargonnya “alibi?” Maka dengan terjadinya deklarasi itu, alibinya menghilangkan jejak buku kritik saya yang pertama. Karena saya tahu ada kekeliruan besar, maka kritik dilanjutkan dengan mengejar alibinya, agar bahasa ini dipandang di kemudian hari. Sekecilnya bersama pembaca tetap dalam posisi kritis, tidak ‘melempem’ menelan buah mentah bikin sakit perut, pengganggu pencernaan pikiran, terlepas sejarah sebenarnya! Selanjutnya mundur sejengkal, lalu melompat…

***

M. Yamin: “Nurel, sebelum diteruskan, aku ingin bertanya: Kenapa kau suka mengilustrasikan jalan tulisanmu, kadang serupa melukis lingkaran, setengah lengkungan, berkeliling, berjalan menikung, di sisinya jalan. Dan sekarang secara berolah raga atau gerakan karate, ‘mundur lalu melompat’ hehe…”

Nurel: “Pertama biar tampak manis atau tak membosankan, kedua memudahkan pembaca menerawang sketsa-sketsanya, dan mungkin suka-suka.”

M. Yamin: “Ah biasa saja kau. Oya, hakikat Sumpah Pemuda yang dikatakan puisi itu mending lo, meski tidak mencantumkan namaku beserta yang lain, tetapi menyebut penyair pembaharu seturut mereka. Anggap seperti bangunan Candi Borobudur terendam masa peristiwa berabad-abad, dan baru ditemukan kemudian oleh Raffles. Lagian ini belum lama atas kegatalan tanganmu, hehe…”

Nurel: “Pak, saya boleh tanya: Apakah Sumpah Pemuda itu puisi?”

M. Yamin: “Tentu saja bukan Nurel! Sumpah ya sumpah, puisi ya puisi! Sebelum ke permasalahan itu, kau ambilkan serta ringkaskan data sedari Wikipedia mengenai kronologi berdiri juga masa ditemukannya kembali Borobudur.”

Nurel: “Jangan marah Pak, pertanyaan itu mengurangi rasa penasaran saya beserta para pembaca. Kalau boleh menyela; kenapa Borobudur lama terendam, sedang kasus pemitosan sastra Indonesia tidak perlu makan waktu seabad terbongkar? Mungkin mereka hanya menanam bijian pendapat tidak sedalam penyelidikan berlarut berulang-ulang.”

M. Yamin: “Nurel, belajar rendah hati hati ya, sebab semua ada waktunya.”

Nurel: “Ya Bapak. Dan dibawah ini jumputan yang bapak inginkan.”

M. Yamin: “Lumayan ya, untuk menambah ketebalan halaman.”

Nurel: “Ah Bapak” (Dan M. Yamin pun tersenyum).

Borobudur, sebuah candi Buddha yang terletak di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, Indonesia. Lokasinya kurang lebih 100 km barat daya Semarang, 86 km sebelah barat Surakarta, 40 km barat laut Yogyakarta. Candi berbentuk stupa ini didirikan oleh para penganut agama Buddha Mahayana sekitar tahun 800-an Masehi, masa pemerintahan wangsa Syailendra. Dari bukti sejarah, ditinggalkan abad ke-14, seiring melemahnya kekuasaan kerajaan Hindu dan Buddha di Jawa serta masuknya pengaruh Islam. Dunia sadar keberadaannya sejak ditemukan tahun 1814 oleh Sir Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jenderal Inggris atas Jawa. Sejak itu Borobudur mengalami serangkaian upaya penyelamatan juga pemugaran.

Naskah Jawa kuno petunjuk bangunan suci Buddha yang mungkin merujuk Borobudur ialah Nagarakretagama, yang ditulis Mpu Prapanca 1365. Sejarawan J.G. de Casparis dalam disertasinya demi mendapati gelar doktor tahun 1950 berpendapat, Borobudur tempat pemujaan. Berdasar prasasti Karangtengah dan Tri Tepusan, memperkirakan pendiri candi, raja Mataram dari wangsa Syailendra bernama Samaratungga, yang melakukan pembangunan sekitar tahun 824 M. Bangunan raksasa tersebut diselesaikan di masa putrinya, Ratu Pramudawardhani.

Dalam prasasti Karangtengah tertulis penganugerahan tanah sima (tanah bebas pajak) oleh Çr? Kahulunan (Pramudawardhani) untuk memelihara Kam?l?n yang disebut Bh?misambh?ra. Istilah Kam?l?n berasal sedari kata mula berarti tempat asal muasal, bangunan suci memuliakan leluhur (leluhur dari wangsa Sailendra). Casparis memperkirakan Bh?mi Sambh?ra Bhudh?ra dalam bahasa Sanskerta berarti “Bukit himpunan kebajikan sepuluh tingkatan boddhisattwa”, nama asli Borobudur.

Borobudur terletak di atas bukit pada dataran dikeliling dua pasang gunung kembar; Gunung Sundoro-Sumbing sebelah barat laut, dan Merbabu-Merapi di timur laut, utaranya bukit Tidar, lebih dekat di selatannya terdapat jajaran perbukitan Menoreh. Candi ini dekat pertemuan dua sungai, Sungai Progo dan Sungai Elo sebelah timur. Menurut legenda Jawa, daerah yang dikenal dataran Kedu dianggap suci dalam kepercayaan, yang disanjung sebagai ‘Taman pulau Jawa’ karena keindahan alam kesuburan tanahnya.

Borobudur tersembunyi dan terlantar berabad-abad terkubur di bawah lapisan tanah, debu vulkanik, kemudian ditumbuhi pepohon, semak belukar hingga serupa bukit. Alasan candi ditinggalkan sampai kini masih belum diketahui. Pada kurun 928 dan 1006, Raja Mpu Sindok memindahkan ibu kota kerajaan Medang ke kawasan Jawa Timur, setelah letusan gunung berapi; tak bisa dipastikan apakah faktor ini penyebab diabaikan, tetapi beberapa sumber menduganya dalam periode tersebut.

Bangunan suci ini disebut samar-samar sekitar tahun 1365, oleh Mpu Prapanca dalam naskahnya “Nagarakretagama,” yang ditulis pada masa kerajaan Majapahit seperti terkata di depan. Prapanca menyebut adanya “Wihara di Budur”. Selain itu Soekmono (1976) mengajukan pendapat popular, candi ini mulai benar-benar ditinggalkan sejak penduduk sekitar beralih keyakinan memeluk ajaran Islam abad ke-15.

Dua Babad Jawa ditulis di abad ke-18 menerakan ‘nasib buruk’ dikaitkan monumen ini. Menurut Babad Tanah Jawi, monumen ini faktor fatal bagi Mas Dana, pembangkang yang memberontak kepada Pakubuwono I, raja Kesultanan Mataram 1709. Disebutkan bukit “Redi Borobudur” dikepung dan para pemberontak dikalahkan lalu dihukum mati oleh sang raja. Dalam Babad Mataram, dikaitkan kesialan Pangeran Monconagoro, putra mahkota Kesultanan Yogyakarta, dikarenakan mengunjungi Borobudur pada 1757.

Meski terdapat tabu melarang mengunjungi monumen ini (Borobudur), “Sang Pangeran mengunjungi satria yang terpenjara dalam kurungan (arca buddha dalam stupa berterawang)”. Setelah kembali ke keraton, Pangeran jatuh sakit dan meninggal dunia sehari kemudian. Dalam kepercayaan Jawa di masa Mataram Islam, reruntuhan bangunan percandian dianggap tempat bersemayam roh halus berhawa wingit (angker), juga dikaitkan kemalangan menimpa siapa saja mengunjungi dan mengganggu situs ini. Secara ilmiah diduga tersebab tidak terurus ditutupi semak belukar menjadi sarang wabah penyakit demam berdarah atau malaria.

Setelah Perang Inggris-Belanda memperebutkan pulau Jawa, Jawa dibawah pemerintahan Britania (Inggris) pada kurun 1811-1816 M. Thomas Stamford Raffles ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal, memiliki minat baik terhadap sejarah Jawa. Mengumpulkan artefak-artefak antik kesenian Jawa kuno, dan membuat catatan sejarah, catatan kebudayaan Jawa yang dikumpulkannya dari perjumpaannya dengan rakyat setempat dalam perjalanannya keliling Jawa.

Kunjungan inspeksinya di Semarang tahun 1814, dikabari adanya monumen besar jauh di dalam hutan dekat desa Bumisegoro. Karena berhalangan, dan tugasnya menjadi Gubernur Jenderal, tak dapat pergi sendiri mencari bangunan tersebut, kemudian mengutus H.C. Cornelius, insinyur Belanda menyelidiki keberadaan bangunan besar ini. Dua bulan Cornelius beserta 200 bawahannya menebang pepohonan, semak-semak belukar tumbuh di bukit Borobudur, dan membersihkan lapisan tanah yang mengubur candi. Karena ancaman longsor, tidak dapat menggali membersihkan semua lorong. Lantas melaporkan penemuannya kepada Raffles, termasuk menyerahkan berbagai gambar sketsa candi itu.

Hartmann, seorang pejabat pemerintah Hindia Belanda di Keresidenan Kedu meneruskan kerja Cornelius, tahun 1835 akhirnya seluruh bagian bangunan telah tergali dan terlihat. Minatnya terhadap Borobudur lebih bersifat pribadi daripada tugas kerjanya, tidak menulis laporan kegiatannya; secara khusus, beredarlah kabar menemukan arca buddha besar di stupa terbesar. Pada 1842, Hartmann menyelidiki stupa utama itu, meski temuannya tetap menjadi misteri, karena bagian dalam stupa kosong.

Pemerintah Hindia Belanda menugaskan F.C. Wilsen, insinyur pejabat Belanda bidang teknik, mempelajari monumen ini, menggambar ratusan sketsa relief. J.F.G. Brumund juga ditunjuk melakukan penelitian terperinci, dirampungkannya semasa 1859. Pemerintah berencana menerbitkan artikel berdasarkan penelitian Brumund yang dilengkapi sketsa karya Wilsen, tapi Brumund menolak bekerja sama. Pemerintah Hindia Belanda kemudian menugaskan ilmuwan lain, C. Leemans, yang mengkompilasi monografi berdasarkan sumber Brumund dan Wilsen. Tahun 1873, monograf awal dan penelitian lebih detil atas Borobudur diterbitkan, dilanjutkan edisi terjemahan ke bahasa Perancis setahun kemudian. Foto pertama monumen ini diambil tahun 1873 oleh ahli engrafi Belanda, Isidore van Kinsbergen.

Bebagian candi Borobudur dicuri sebagai cinderamata, arca serta ukirannya diburu kolektor benda antik. Penjarahan situs bersejarah ini bahkan direstui oleh Pemerintah Kolonial. Tahun 1896, Raja Thailand, Chulalongkorn mengunjungi tanah Jawa di Hindia Belanda (kini Indonesia), menyatakan minatnya memiliki bebagian dari Borobudur. Pemerintah Hindia Belanda mengizinkan atau menghadiahkan delapan gerobak penuh arca, dan bagian bangunan Borobudur. Artefak yang diboyong ke Thailand; lima arca Buddha bersama 30 batu dengan relief, dua patung singa, beberapa batu berbentuk kala, tangga, gerbang, dan arca penjaga dwarapala yang pernah berdiri di Bukit Dagi -beberapa ratus meter di barat laut Borobudur. Beberapa artefak, arca singa dan dwarapala, kini dipamerkan di Museum Nasional di Bangkok.

Borobudur kembali menarik perhatian pada 1885, ketika Yzerman, Ketua Masyarakat Arkeologi di Yogyakarta, menemukan kaki tersembunyi. Foto-foto yang menampilkan relief di kaki tersembunyi dibuat kurun 1890-1891. Penemuan ini mendorong pemerintah Hindia Belanda mengambil langkah menjaga kelestariannya. Pada 1900, pemerintah membentuk komisi, terdiri tiga pejabat untuk menelitinya: Brandes, sejarawan seni, Theodoor van Erp, insinyur juga anggota tentara Belanda, dan Van de Kamer, insinyur ahli konstruksi bangunan dari Departemen Pekerjaan Umum.

Ikhtisar waktu proses pemugaran Candi Borobudur:

1814 – Sir Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jenderal Britania Raya di Jawa, mendengar adanya penemuan benda purbakala di desa Borobudur. Raffles memerintahkan H.C. Cornelius menyelidiki lokasi penemuan, berupa bukit dipenuhi semak belukar.

1873 – Monografi pertama candi diterbitkan.

1900 – Pemerintahan Hindia Belanda menetapkan panitia pemugaran dan perawatan candi.

1907 – Theodoor van Erp memimpin pemugaran hingga tahun 1911.

1926 – Candi dipugar kembali, terhenti tahun 1940 akibat krisis malaise dan Perang Dunia II.

1956 – Pemerintah Indonesia meminta bantuan UNESCO. Prof. Dr. C. Coremans datang ke Indonesia dari Belgia untuk meneliti sebab-sebab kerusakan candi.

1963 – Pemerintah Indonesia mengeluarkan surat keputusan memugar candi, yang berantakan setelah peristiwa G-30-S.

1968 – Konferensi-15 di Perancis, UNESCO setuju memberi bantuan demi menyelamatkan candi.

1971 – Pemerintah Indonesia membentuk badan pemugaran candi yang diketuai Prof.Ir.Roosseno.

1972 – International Consultative Committee dibentuk, melibatkan berbagai negara dan Roosseno ketuanya. Komite disponsori UNESCO menyediakan 5 juta dolar Amerika Serikat dari biaya pemugaran 7.750 juta dolar. Sisanya ditanggung Indonesia.

10 Agustus 1973 – Presiden Soeharto meresmikan pemugaran candi; selesai tahun 1984

21 Januari 1985 – Serangan bom dilakukan kelompok Islam ekstremis dipimpin Husein Ali Al Habsyi yang merusak beberapa stupa candi, kemudian diperbaiki kembali.

1991 – Borobudur ditetapkan Warisan Dunia oleh UNESCO.

***

Sekarang mundur beberapa jengkal lalu berlari cepat, pun melompat. Empat belas tahun lebih muda dari Sariamin Ismail (Selasih, pengarang novel Kalau Tak Untung); saya sedang memegang bukunya, cetakan ke V 1956, namun belum peroleh wewaktu seirama membicarakannya di sini. Sekecilnya menyukai gaya bahasa para pengarang lawas, disamping istilah asing yang tiada di Jawa, logika bahasa pula perangai penulisnya meracik kata.

Saya terkesan novelnya Bokor Hutasuhut (lahir di Balige, Tanah Batak, Sumatra Utara 2 Juni 1934) “Penakluk Ujung Dunia” tahun 1964 yang dipengantari W.S. Rendra, novel pertama kali saya baca ialah karyanya. Yakni 14 tahun lebih akhir lahirnya sedari Selasih; novelis dan penulis cerita pendek peroleh Nobel Sastra tahun 1991, Nadine Gordimer (1923-) asal Springs, Afrika Selatan. Di sini disimak Pidato Nobel-nya bertitel “Writing and Being” yang ada sepintas kemiripan pandangan SCB, ini bukan berarti Sutardji sekelas pengarang dunia, tidak. Namun melihat letak dangkalnya berpijak, dan seperti apakah kedalaman sungai besar penalar wahid sungguhan!

“In the beginning was the Word” kata pembuka pidatonya, hampir sama ungkapan Sutardji “Pada mulanya adalah Kata” yang terus ditulis SCB: “Dan kata pertama adalah mantera. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantera.” Ini mirip kalimat Gordimer dalam paragrafnya awal: “when it was first scratched on a stone tablet or traced on papyrus, when it materialized from sound to spectacle, from being heard to being read as a series of signs, and then a script;…” Perbedaan atau persinggungan hasil akhirnya tampak kentara saya kupas di bebagian awal juga dalam kalimat Gordimer, tepatnya paragraf keempat pidatonya, yang akan saya gunakan membongkar mitos kesusastraan Indonesia bagian ini.

“Roland Barthes2 asks, ‘What is characteristic of myth?’ And answers: ‘To transform a meaning into form.’ Myths are stories that mediate in this way between the known and unknown. Claude Levi-Strauss3 wittily de-mythologizes myth as a genre between a fairy tale and a detective story. Being here; we don’t know who-dun-it. But something satisfying, if not the answer, can be invented. Myth was the mystery plus the fantasy – gods, anthropomorphized animals and birds, chimera, phantasmagorical creatures – that posits out of the imagination some sort of explanation for the mystery. Humans and their fellow creatures were the materiality of the story, but as Nikos Kazantzakis4 once wrote, ‘Art is the representation not of the body but of the forces which created the body.’”

Untuk mengurai, saya pelahan mengembarai mengikuti Gordimer yang berkata-kata sewarna “Kun Fayakun” (yang maknanya bukan “Jadi, lantas jadilah!” dan “Jadi maka jadilah!” seperti keteledoran disengaja SCB, tetapi “Jadilah, maka jadilah ia”) “The Word was with God, signified God’s Word, the word that was Creation.” Kata ‘Creation’ merupakan Ciptaan, Jadilah, sebuah kata besar (kata kerja perintah) penciptaan, buka sekelas kata benda (jadi) yang mandek, tumpul, kemerosotan, jahiliah; kejahiliaan yang datang mak bedunduk Sim Sala Bim, lebih pedasnya baca dari bagian XVI sampai kemari. Pembacaan saya atas Pidato Nobel Nadine Gordime dalam bahasa Indonesia dipandu penerjemah M. Rodhi As’ad, edisi revisi, april 2006 di buku yang diterbitkan Pinus Book Publisher,“Pengakuan Para Sastrawan Dunia Pemenang Nobel.” Namun saya sendiri lebih mengartikan “In the beginning was the Word” sebagaimana, “Pada mulanya adalah Firman.”

***


(kupasan ke tiga dari paragraf lima dan enam, lewat esainya Dr. Ignas Kleden)

Sumber: http://pustakapujangga.com 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler