Skip to Content

MEMBONGKAR MITOS KESUSASTRAAN INDONESIA (BAGIAN 24/5)

Foto SIHALOHOLISTICK

Oleh: Nurel Javissyarqi

 

(V)

Nurel: “Pak Yamin, ini Bapak Ki Hadjar Dewantara pengen nimbrung juga, boleh kan?”

M. Yamin: “O… Mas Dewantara, persilahkan masuk Nurel. Di sini kita mengalir saja.”

Nurel: “Ya Bapak.”

(Lalu mereka ngobrol berdua).

Dewantara: “Assalamualaikum”

M. Yamin: “Waalaikumsalam”

Dewantara: “Yamin, aku suka caramu menulis mengenai kebahasaan Indonesia, setidaknya namaku menjadi keren, bukan lagi Dewantoro. Terbukti aku menggunakannya lewat penulisan ‘Ki Hadjar Dewantara’ dalam buku-bukuku yang menyoal kebudayaan. Namun, bagaimana dengan catatan Nurel, di tulisannya yang berjudul ‘Ka(e)pujanggaannya Pahlawan Diponegoro’ yang mengeritik bukumu bertitel Dipanegara?”

M. Yamin: “Kan pada cetakan kedua, buku terbitan Yayasan Pembangunan Jakarta, tercantum kalimat begini Mas, “Segala nama pengandjur, seperti Ki Madja, Danuredja dan Dipanegara, tidaklah dituliskan sebagi bunji sebutan, melainkan semata-mata menurut kelaziman aksara Djawa; merdekalah pembatja mengutjapkan nama-nama itu menurut kebiasaan zaman sekarang.” Lagian yang dipegang Nurel buku cetakan ketiga, pun ada kata-kata tersebut (Sedjarah Peperangan Dipanegara Pahlawan Kemerdekaan Indonesia, penerbit Jajasan Pembangunan Djakarta 1952).”

Dewantara: “Oya, aku kok tidak basa-basi dulu; tanya keadaan sampean bagaimana, atau sedang apa? Hehe…”

M. Yamin: “Ya semua ini kan terserah sutradara, hehe…”

(Lalu Ki Hajar Dewantara lanjut bertanya).

Dewantara: “Yamin, dalam catatan Nurel itu membenturkannya, atas nama sebuah kota, yakni Bojonegoro. Kenapa kau tak menuliskannya Bajanegara, kan sama-sama sebutan nama?”

M. Yamin: “Mas, sebelumnya sudah aku pikir lama, sekecilnya waktu itu adanya kehawatiran masyarakat Bojonegoro tidak berkenan. Lagian masa-masa tersebut dalam tahap pengenalan, olehnya sekiranya berhasil Alhamdulillah, jikalau tidak, seperti nama Dipanegara yang sampai kini masih banyak orang memakai cara penulisan Diponegoro, itu terserah suara jaman. Mungkin ruh pangeran kurang menyukai perubahannya, terlepas sebuah nama orang, nama tempat, tidak boleh digantikan penulisannya, sebagaimana kritikan Nurel.”

Dewantara: “Apa kita showan menghadap Beliau ya Saudara Yamin?”

M. Yamin: “Tak usah Mas, aku sungkan.

Dewantara: “Kalau sungkan menghadap Pangeran Diponegoro, tidak apa, aku mau lanjutkan perjalanan. Salam untuk Nurel ya?”

M. Yamin: “Ya Mas, terimakasih sudah mampir.”

Dewantara: “Sama-sama, Assalamualaikum.”

M. Yamin: “Waalaikumsalam”

***

Melawan imajinasi yang terlambat atau jangan-jangan imajinasi kanak-kanak.

Bebahan di atas sudah cukup sepenglihatan nyata, bahwa nasionalisme di tanah yang kelak bersebut Indonesia (istilah Indonesia dipilih kenalkan pertama kali oleh James Richardson Logan atas ‘usulan’ Earl, apakah Indunesia atau Malayunesia di tahun 1850) sudah ada, dan jauh sebelum itu. Jadi para sejarahwan atau peneliti, bisa meneruskan serta perteguh ulang, jika pada tulisannya belum ada kesadaran maksimal.

Agar tak sekadar mengulang data, saya rajut berperluasan keterangan di dalamnya, lalu maju ke jangkauan terduga, dari pendahulu sebelumnya. Dalam pengantar kalam, cetakan pertama bukunya M. Yamin mengenai Diponegoro. Ir. Soekarno menuliskan, tertanggal 31 Juli 1945, terpetik: “Saya mengalami betul-betul, bahwa bangsa Indonesia tetap hormat kepada penghidupan dan pengorbanan pahlawan tiga-sekawan dalam abad yang silam, yaitu Tuanku Imam Bonjol, Diponegoro dan Teuku Umar.”

Sayangnya dari ketiga tokoh tersebut, saya hanya punya catatan (buku) mengenai Tuanku Imam Bonjol dan Diponegoro. Olehnya menyoal Teuku Umar nantinya saja jumput sepintas di Wikipedia. Guna tidak menjemukan dipersingkat, lalu saudara telusuri. Karena keadaan di sini hanya menyandarkan pada mereka yang mabuk kata ‘imajinasi’ sampai keringat, darah, harta dan nyawanya para pahlawan diabaikan. Seturut mimpinya dalam dunia sastra yang sepi di siang bolong, atas tanah tak bertuan, atau sunyi dari realitas sejarah.

Kata-kata kasar saya tidak perlu minta maaf ke siapa pun, sebab kabar burung yang menyebar sudah mengaratkan besi telinga generasi taklit buta, tidak menelurusi semangat juang nenek moyangnya. Kiranya tidak gosip, nanti saya ambil kabar imajinasi kalau kurang layak disebut berita bohong. Sebelumnya marilah masuk ke perihal yang benar-benar terjadi.

***

Tulisan-tulisan membicarakan Tuanku Imam Bonjol di antaranya oleh Datuk R. Dihoeloe, bertitelRiwayat dan Perjuangan Tuanku Imam Bonjol, “Pahlawan dan Patriot Islam” (1950), Darwis Datuk Madjolelo dan Ahmad Marzoeki, “Tuanku Imam Bonjol, Perintis jalan ke Kemerdekaan”, Jakarta-Amsterdam, penerbit Jembatan (1951), Muhamad Radjab berjudul “Perang Paderi di Sumatera Barat (1803-1838)” cetakan kedua Balai Pustaka (1964), Rustam Kaharuddin “Biografi Tuanku Imam Bonjol” (1964), Christine Dobbin “Tuanku Imam Bonjol (1772-1838)”, Cirnell Modern Indonesia Ptoject, No. 13 (April 1972), Sagimun M.D. “Riwayat Hidup dan Perjuangan Tuanku Imam Bonjol”terbitan Bharatara (1974) dll. Dan yang saya uraikan kini karangan Drs. Mardjani Martamin, terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta 1986:

Tambo-tambo yang menyatakan asal usul Tuanku Imam Bonjol ialah: Suatu ketika datanglah dua bersaudara dari Maroko ke Minangkabau. Laki-laki bernama Syekh Usman, yang perempuan Hamatun. Setelah melewati perjalanan jauh nan melelahkan, akhirnya menetap di negeri Alai, Ganggo Mudik, kecamatan Bonjol, Kabupaten Pasaman sekarang. Waktu itu pemimpin kampungnya, Datuk Sati.

Seturut kesahajaan masa itu, setiap pendatang diterima menjadi penduduk setempat. Cara menuangkan adat bermacam jenis; pesta dihadiri seluruh penduduk, dengan disembelih beberapa ekor kerbau demi menjamu tetamu. Ada kepala adat sebagai tanda patuh tunduk terhadap kebiasaan masyarakat yang berlaku. Pula cara lain tetumbuh atas pengalaman penduduknya dalam menundukkan (olah) alam, demi kemakmuran merata. Kesahajaan, kebersamaan sebagai nyanyian abadi meningkatkan nilai-nilai keadaban ke jenjang keagungan luhur, suatu gugusan mulianya peradaban.

Syekh Usman dan Hamatun mengisi adat kepada Datuk Sati di Alai, mereka diberi tempat di kampung Koto, kini Padang Babus terletak sebelah selatan Kampung Tanjung Bunga. Selanjutnya Syekh Usman beranak cucu, dia diangkat menjadi kepala kaumnya sebagai penghulu (kepala suku) dengan gelar Datuk Sakih. Karena mengetahui ajaran Islam mendalam, dia juga mengajarkan pengetahuannya itu ke orang-orang sekitar, sebagai ulama terkenal bernama Syekh Bagindo Suman. Sampai kini walau sudah ratusan tahun, gelar tersebut dipakai orang di kampung Ganggo Hilir, kecamatan Bonjol, sebagai gelar Kadhi di sana.

Hamatun menikah dengan seorang guru agama, Khatib Rajamuddin (Bayu Nuddin), bertempat tinggal di Kampung Tanjung Bunga, Alahan Panjang. Dianya berasal dari nagari Sungai Rimbang, Kecamatan Suliki, Kabupaten Lima Puluh Kota sekarang. Pasangan ini beranak empat, satu laki-laki, tiga perempuan. Lelaki; Muhammad Syahab, yang perempuan bernama Sinik, Santun dan Halimatun. Syahab, Halimatun, serta ibunya Hamatun dibawa ayahnya menetap tinggal di kampung Bagindo Suman di kampung Koto. Muhammad Syahab lahir di tahun 1772, dialah yang kemudian hari bergelar Tuanku Imam Bonjol, dan diangkat Pemerintah Republik Indonesia sebagai Pahlawan Nasional.

***

Tulisan ini tersemat pada malam 14 Mulud 1946, Setu Kliwon J (14 Rabiul Awal 1434 H) sambil mendengar lagu-lagu Minang, saya jabar kisah Pangeran Diponegoro seturut alurnya M. Yamin. Tempat lahirnya dalam keraton Mataram, hari Jum’at Wage 8 Muharom tahun Be wuku Wayang, barangkali tahun 1785 (data di Wikipedia menuliskan 11 November 1785). Setelah saya cek pada Penanggalan Jawa Online, nyata tepat, 11 Nopember 1785, Jum’at Sukra Masehi, 8 Suro 1712, Jemuwah Wage Jawa, atau 08 Muharram 1200 Hijriah.

Ayahnya Mangkubumi III, Sultan bernama Sultan Raja (1810-1814), cucu Sultan Sepuh (1792-1810), dan cicit Sultan Suargi (1755-1792). Ayahnya Sultan Raja memerintah empat tahun, sesudahnya diganti adinda beliau Sultan Jarot (1814-1822). Sultan ini juga tidak lama memerintah, di tahun 1822 dengan tiba-tiba beliau meninggal, lalu diganti putera yang belum cukup umur, dibawah pengawasan wali.

Ibunda Diponegoro berasal dari Pacitan, puteri Bupati, menurut setengah kata, orang keturunan Madura. Waktu kecil bernama Ontowiryo. Istrinya ikut ke tanah-tanah pembuangan selama 25 tahun lamanya, yang sangat dicintainya bernama Ratnaningsih. Dia melahirkan beberapa orang putera-puteri, yang bernama Diponegoro III, Diponegoro muda yang ikut berperang serta dibuang berturut-turut ke Bagelan, Sumenep dan Ambon; beberapa orang puteranya lahir dalam pembuangan.

Seluruh keluarganya tua-muda turut berperang jadi pengikut pahlawan bersifat luhur itu. Dapatlah dikatakan keluarga Diponegoro sejak jaman dahulu kala sampai kepada keturunannya adalah keluarga-pemberontak, pemegang obor semangat kemerdekaan. Nyalanya, telah terkandung lama mempusaka dalam lingkup kelurganya. Karena Diponegoro kita bukan yang pertama, yang menyalakan unggun api peperangan untuk meruntuhkan kekuasaan Belanda.

Berkisar seratus tahun sebelum sejarah yang kita pelajari, putera Pangeran Puger (1704-1719 M) Raden Mas Sungkawa atau Dipati Diponegoro. Pada tahun 1718, Diponegoro I disuruh oleh ayahnya menundukkan pemberontakan di Jawa Timur, sebelah timur Gunung Lawu, disuruh perintah bersama Japapuspita. Diponegoro tidak saja memerintah, suatu hari di tengah-tengah rakyat naik nobat menjelma Panembahan Herucakra, ialah senopati sekaligus kepala agama Islam.

Setelah Pakubuwono wafat (1719) diganti Amangkurat IV (1719-1727), ibu negeri di Madiun dipindah ke Padonan, daerah Sukawati dekat Solo. Tapi lama-lama dalam pemberontakan, beliau ditinggalkan saudaranya Purbaya, dan Dipati Belitar, sehingga terpaksa pindah ke Semanggi. Setelah ditangkap Kompeni Belanda, tahun 1723 Diponegoro dibuang oleh kekuasaan Belanda ke Tanjung Pengharapan, di Afrika Selatan. Adapun tujuan perang Diponegoro ialah hendak mendirikan kerajaan bersifat adil damai di jaman keemasan tretayuga. Nama, gelar, fikiran Ratu Adil inilah menjadi pusaka dalam keluarga Diponegoro II dengan seluas-luasnya. Maka Diponegoro yang kita kenal Pahlawan Nasional RI itu Diponegoro II, yang wafat di Makassar, Sulawesi Selatan, 8 Januari 1855.

“Aku Pangeran Dipanegara” begitu judul novel dikarang sastrawan J.H. Tarumetor TS, terbitan Gunung Agung 1967, untuk mengantarkan mereka yang suka berimajinasi dalam realitas sejarah pun bagi berharap kepahaman arus pergolakan juang di Tanah Air demi pertempuran terus berkobar. Karya ini, seperti serbuk obat menyembuhkan rasa penasaran saya, pada karangan Diponegoro II sendiri bertitel “Babad Diponegoro” mulai ditulis di Manado dirampungkannya di Makassar. M. Yamin di bukunya pada sub “Dipanegara sebagai Pudjangga” menuturkan:

“Tidak perlulah orang menulis buku sampai sepuluh lemari, supaya menjadi pujangga besar. Satu buku yang selesai isi dan susunannya, sudahlah cukup untuk membuktikan satu jiwa manusia yang berjasa untuk kesusastraan. Selain daripada surat-surat kepada beberapa orang keluarga, kepada ibu bapak, dan surat peperangan, maka Babad Diponegoro menjadi pusaka dari tangan beliau sendiri; babad ini berbeda dengan babad yang lain. Babad Diponegoro ialah sejarah kebangsaan yang ditulis oleh tangan yang berdarah dan dengan perasaan di dalam dada seorang pahlawan yang lima tahun berjuang dan seperempat abad meringkuk dalam benteng tawanan. Maka orang yang tidak pandai menulis tanda tangan, tidak tahu bahasa yang bagus dan hanacaraka yang sempurna, ternyata juga seorang pujangga besar, dan dapat dipersaksikan dalam buah karangan yang ditulisnya dalam benteng itu (Benteng Rotterdam di Makassar). Kitab itu ditulis dengan tembang dalam huruf pegon dan huruf Jawa.”

Dalam lembaran muka bukunya Sagimun M.D. berlabel “Pahlawan Dipanegara Berdjuang” (Bara Api Kemerdekaan Nan Tak Kundjung Padam), diterbitkan Cabang Bagian Bahasa, Jawatan Kebudayaan Kementerian P.P. dan K Jogjakarta MCMLVII, Presiden Pertama Republik Indonesia Ir. Soekarno mengakatan:

“Tiap-tipa bangsa yang besar, mempunyai pahlawan-pahlawannya. Tidak ada satu bangsa yang besar yang tidak mempunyai pahlawan. Dan kita bangsa Indonesia merasa sangat berbahagia, karena kita mempunyai pahlawan-pahlawan yang telah menghias sejarah tanah air Indonesia dengan tinta emas, penuh dengan kegemilangan dan jiwa kepahlawanan.”

“Pahlawan seperti Pangeran Diponegoro di Jawa, Tuanku Imam Bonjol dan Teuku Umar di Sumatera, Pangeran Hidayat di Kalimantan, Sultan Hasanuddin di Sulawesi, Pattimura di Maluku, dan masih banyak lagi yang lain-lainnya, selalu dan tetap dihormati oleh putera puteri Indonesia sebagai sumber inspirasi dan pembakar api kepahlawanan di dada mereka. Kita bangsa Indonesia serasa dan harus merasa bangga, bahwa kita adalah turunan-turunan dari pahlawan-pahlawan itu. Hanya bangsa yang tidak berjuang yang tidak mempunyai pahlawan. Bangsa Indonesia yang telah berabad-abad lamanya berjuang, telah memiliki pahlawan-pahlawan yang gagah-berani.”

“Salah satu dari padanya adalah Pangeran Diponegoro, yang perjuangannya, kepribadiannya dan cita-citanya oleh Sdr. Sagimun M.D. dalam bukunya “Pahlawan Dipanegara Berdjuang” dibentangkan sebagai penghormatan dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada seorang pahlawan yang telah meninggalkan kepada kita lembaran sejarah yang tak mudah dilupakan, sebuah kenang-kenangan yang akan tetap hidup segar di dalam ingatan setiap putera Indonesia yang mencintai sejarah tanah airnya.”

“Dalam kitab ini pun diuraikan oleh penulis, betapa licik dan betapa keji kaum penjajah untuk mematahkan perlawanan rakyat dan menodai cita-cita perjuangan bangsa Indonesia. Di atas pundak kita yang masih hidup sekarang ini, dan di atas pundak generasi yang akan datang, terletaklah kewajiban yang suci dan luhur untuk memelihara dan memupuk warisan pahlawan-pahlawan yang telah mendahului kita.”

“Mudah-mudahan sejarah perjuangan dan cita-cita perjuangan Pahlawan Diponegoro dan pahlawan-pahlawan yang lainnya senantiasa dikenang dan menjadi sumber inspirasi serta menjadi pupuk yang memelihara dan menyuburkan semangat patriot dan kesegaran jiwa pahlawan bangsa Indonesia untuk bersatu menegakkan Negara Indonesia Raya yang adil, makmur dan bahagia. Semoga sejarah perjuangan pahlawan-pahlawan Indonesia di zaman yang lampau dapat memberikan pelajaran dan bahan renungan kepada kita untuk bersatu membuat sejarah masa depan yang gilang-gemilang.”

“Di sini sekali lagi hendak saya ulang pernyataan saya, bahwa hanya bangsa yang tahu menghormati dan menghargai jasa-jasa pahlawannyalah yang dapat menjadi suatu bangsa yang besar. Akhirnya besarlah keyakinan saya, bahwa barang siapa membaca kitab ini, mudah-mudahan dadanya makin penuh dengan debaran pahlawan dan jiwanya makin padat dengan cita-cita agar negara dan bangsanya menjadi Negara dan Bangsa yang besar. Jakarta, 1 Januari 1957. Presiden Republik Indonesia, tertanda Sukarno.”

***

Kelahiran Teuku Umar (Meulaboh 1854 – Meulaboh 11 Februari 1899), dua tahun lebih muda, dari Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawy (berasal Minangkabau, Koto Tuo Balai Gurah, Kecamatan IV Angkat Candung, Bukittinggi tahun 1852, dan meninggal di Mekkah 1915), di Wikipedia menulisnya, lahir di Koto Gadang, IV Koto, Agam, Sumatera Barat 1860 – wafat di Mekkah 1916). Saya condong terhadap buku saya pegang, buku yang sama membahas Syekh Haji Ilyas Ya’cub di atas. Barangkali serupa, lantaran belum ke sana, jadi tak bisa memastikan.

Teuku Umar dilahirkan di Meulaboh, Aceh Barat 1854, anak seorang Uleebalang bernama Teuku Achmad Mahmud dari perkawinan dengan adik perempuan Raja Meulaboh. Umar, punya dua saudara perempuan, tiga laki-laki. Nenek moyang Umar ialah Datuk Makudum Sati berasal Minangkabau. Salah seorang keturunan Datuk Makudum Sati, pernah berjasa terhadap Sultan Aceh, pada waktu itu terancam Panglima Sagi yang ingin merebut kekuasaannya. Berkat jasanya, diangkat menjadi Uleebalang VI Mukim dengan gelar Teuku Nan Ranceh. Teuku Nan Ranceh, mempunyai dua orang putra, yaitu Nanta Setia, dan Ahmad Mahmud. Sepeninggalnya, Nanta Setia mengganti kedudukan ayahnya sebagai Uleebalang VI Mukim. Ia mempunyai anak perempuan bernama Cut Nyak Dhien. Teuku Umar tidak pernah mendapakan pendidikan formal, tapi mampu jadi pemimpin yang kuat, cerdas, dan pemberani.

Ketika perang Aceh meletus 1873, ikut bersama pejuang-pejuang Aceh, umurnya baru menginjak 19 tahun. Mulanya berjuang di kampungnya, dilanjutkan ke Aceh Barat. Pada umur masih muda ini, diangkat sebagai keuchik gampong (kepala desa) di daerah Daya Meulaboh. Pada usia 20 tahun, Umar menikahi Nyak Sofiah, anak Uleebalang Glumpang. Untuk meningkatkan derajatnya, menikah lagi dengan Nyak Malighai, puteri Panglima Sagi XXV Mukim. Di tahun 1880, Umar menikahi janda Cut Nyak Dhien, puteri pamannya Teuku Nanta Setia. Suami Cut Nya Dien, Teuku Ibrahim Lamnga meninggal dunia, pada bulan Juni 1878 dalam peperangan melawan Belanda di Gle Tarun. Kedua-duanya berjuang melancarkan serangan terhadap pos-pos Belanda. Teuku Umar ialah pahlawan kemerdekaan Indonesia (Wikipedia).

***

Presiden RI Ir. Soekarno menyebutnya ‘pahlawan tiga-sekawan dalam abad silam.’ Tuanku Imam Bonjol (lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatera Barat, 1772 – wafat dalam pengasingan, dimakamkan di Lotak, Pineleng, Minahasa, 6 November 1864). Pangeran Diponegoro (lahir di Yogya, 11 November 1785 – meninggal di Makassar, Sulawesi Selatan, 8 Januari 1855). Teuku Umar (Meulaboh, 1854 – Meulaboh, 11 Februari 1899).

Tengok peristiwa lainnya; Untuk mengokohkan kedudukannya sebagai pemimpin perjuangan umat Islam tertinggi di Banjar bagian utara (Muara Teweh dan sekitarnya), tanggal 14 Maret 1862, bertepatan 13 Ramadhan 1278 Hijriah, dimulai dengan seruannya Pangeran Antasari (lahir di Kayu Tangi, Kesultanan Banjar, 1797 atau 1809 – meninggal di Bayan Begok, Hindia-Belanda, 11 Oktober 1862): “Hidup untuk Allah dan Mati untuk Allah!”

Mungkin sebab perjuangan ketiga-sekawan, pula para pahlawan lain di Nusantara, Tan Malaka saat di Moskow, mengusulkan agar pergerakan komunis internasional bekerja sama dengan Pan-Islamisme, tapi tertolak. Seperti di halaman 72-73 dalam buku susunanya Efantino Febriana yang berlabel Alimin & Tan Malaka, Pahlawan Yang Dilupakan, terbitan Bio Pustaka Yogyakarta 2009:

“Tan Malaka kemudian mengikuti Konggres Komintern keempat pada November 1922 di Moskow mewakili PKI. Pemimpin Uni Soviet, Lenin yang sudah sakit masih menyempatkan untuk berbicara. Di Moskow, Tan Malaka berkenalan dengan Stalin, Sekjen Partai Komunis Uni Soviet, Trosky, pemimpin Tentara Merah, Sinovief, ketua Konggres Komintern, Kalinin, Rykoff dan Kemenenv. Tan Malaka mulai berbicara yang menyerukan perlunya bantuan kaum komunis terhadap gerakan kemerdekaan negara-negara Asia. Tan Malaka juga mengatakan agar gerakan komunis internasional bekerja sama dengan Pan-Islamisme. Namun anjuran Tan Malaka agar kaum komunis bekerja sama dengan Pan-Islamisme tidak mendapat sambutan karena Pan-Islamisme dianggap imperialisme model lama.”

***


(kupasan ke tiga dari paragraf lima dan enam, lewat esainya Dr. Ignas Kleden)

Suber: http://pustakapujangga.com

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler