Skip to Content

MENELADANI JEJAK SANG AKTOR SOEKARNO M NOOR: SANG RAJAWALI PANGGUNG DAN FILM YANG LOLOS DARI SELEKSI ALAM

Foto Hafash Giring Angin

Oleh: Hafash Giring Angin*

 

Benar apa kata pepatah: Man Jadda Wa Jada. Barang siapa yang sungguh-sungguh, pasti akan berhasil. Pepatah ini merupakan renungan filosofis sekaligus motivasi yang sering kita dengar dalam ruang lingkup kehidupan kita. Sebuah ketetapan Tuhan yang mengisyaratkan bahwa manusia itu ditentukan oleh seberapa mereka bermetamorfosa dengan perubahan nasib hidup dan seberapa pula ia mewujudkan harapan obsesinya menjadi sebuah kenyataan. Yang penulis maksud dengan filosofi “ Man jadda wa jada” ini adalah berkaitan dengan sosok dalam kehidupan almarhum Sukarno M Noor sebagai aktor dengan permainan watak yang hebat ditambah pribadinya yang tahan banting dalam mempertahankan idealisme berkeseniannya. Wahyu Sihombing sebagai sesama komunitas “Seniman Senin“ menyebutnya sebagai “Rajawali” yang kuat dan pantang menyerah. Ia adalah salah satu aktor watak Indonesia yang menurut SM. Ardan-----kehadirannya di layar film sangat kuat selama tiga dekade dan selalu total menghadirkan diri dalam setiap filmnya. Kehadirannya yang melintas batas-batas genre kesenimanan ini, membuat ia menjadi semacam penanda penting sejarah film Indonesia.

Sepenggal mantra sakti yang disebut di atas adalah untuk mengurai kisah perjalanan Sukarno M Noor yang sukses dan memiliki gagasan utuh dengan visi yang hebat. Karena menurutnya film merupakan media paling efektif untuk menggambarkan dunia dan realitas batin manusia. Hitam putihnya realitas dijadikan sukma narasi. Kebencian dan cinta, ketulusan serta kemunafikan, perjuangan maupun penindasan diolah. Berbekal ketajaman pemahaman nilai-nilai kemanusiaan universal, kompleksitas realitas dunia diusung. Hal ini membuat penikmat seakan terhipnotis masuk dalam ruang pengalaman ziarah batin yang memukau. Memang demikianlah, sebaiknya hidup disiasati. Sebab dalam panggung kehidupan nyata ini tidak akan ada hitam yang 100 persen hitam. Tentu ada gradasi antara putih atau abu-abu.

Sukarno M. Noor lahir di Rawabangke, Jakarta, pada 13 September 1931 dari pasangan Mohammad Noer dan Janimah yang mana kala itu Mohammad Noer berprofesi sebagai wartawan di Koran “Pemandangan”. Meski berdarah Minang, namun sang ayah memberi nama Sukarno, nama khas Jawa, karena ia berkeinginan agar anaknya tangguh dan konsekuen dalam perjuangan Bung Karno; bapak proklamator Indonesia.

Dari berbagai penjelasan tentang almarhum inilah, penulis menggambarkan sosoknya yang multidimensi; sebagai pemain sandiwara dan pemain film yang handal dan terutama sekali sebagai seorang pendidik yang sukses diantaranya ide membangun citra seni peran dan produksi film termasuk pengabdiannya di Pusat Kesenian Jakarta-Taman Ismail Marzuki---memang patut diteladani. Itulah sebabnya, tidaklah cukup dia disebut hanya sebagai aktor kenamaan tapi juga sebagai pendidik bertangan dingin yang mampu mendermakan baktinya terhadap hidup dan kehidupan keluarganya, seperti yang terlihat pada putera dan puterinya; Rano Karno yang sekarang menjadi wakil gubernur kota Banten, dan telah merampungkan karya-karya film yang sangat membanggakan Indonesia seperti Si Doel Anak Betawi dan Si Doel Anak Sekolahan, dll.

Hal di atas sebenarnya tidak mengagetkan. Barangkat dari modal ilmu kesenian dan pengalaman pergaulannya yang luas serta pengalaman pahit getir bersama keluarganya, Allah Swt dengan cara memberikan kemulyaan sesuai jasa-jasa yang telah diperbuat. Man Jadda Wajada sebagaimana yang dilekatkan dalam tokoh watak ini adalah realisasi perjuangan yang telah ia hampar dalam pengalaman terluasnya membangun kota Jakarta lewat karya teater dan film. Man Jadda Wajada semacam ikrar atau mimpi manusia yang dengan dalam latar belakang hidup yang pas-pasan mampu menciptakan orang hebat. Hebat dalam menghidupkan mimpi dan mewujudkan harapan menjadi kenyataan. Hal ini hanya dapat disandang oleh orang-orang muhlis yang tulus dalam pengabdiannya dan jujur dalam memberdayakan akal budinya. Ini adalah kunci kehidupan itu sendiri.

Manusia yang mengabdi dan meyakini segala daya upaya dalam berusaha, berarti sudah memilih sebagian ikhtiarnya menjadi manusia yang bermetamorfosa dengan nilai-nilai kebenaran. Ia akan cenderung mengenal Tuhan secara lebih dekat lewat proses hidup berkeseniannya. Inilah kunci dari segala ibadah yang diperjuangkan selama masih hidup dan merapatkan dirinya pada sandaran hidup yang benar. Pengalaman-pengalaman pahit getir dengan keluarganya di masa lalu ia lalui dengan kesabaran.

“Badai pasti berlalu”. Begitu bunyi lirik lagu Crisye yang sering kita dengar yang merupakan pernyataan sebuah perubahan hidup seseorang dalam hidup dan kehidupan. Sesungguhnya dalam hidup, tidak ada kesulitan yang berarti selagi ada usaha. Kesulitan demi kesulitan dianggapnya sebagai kesyukuran. Karena dengan kesulitan itu akan mengurangi beban dosa dan kesalahannya. Kesulitan dan kesusahan hidup bukan dianggap sebagai musibah yang dapat menyeretnya kepada kekufuran, tapi justru sebagai peringatan agar kontrol komunikasinya dengan Tuhan tetap berjalan dan bergerak dengan seimbang. Inilah bentuk kecintaan dari Yang Maha Hakiki kepada hamba-Nya. Artinya, antara kesungguhan seseorang dengan kedekatannya kepada sang Khaliq sangat berkaitan erat dengan keberhasilannya dalam meraih kesuksesan.

Adalah perjuangan seorang Ibu bernama Janimah; seorang ibu yang membesarkan jiwa Sukarno kecil ketika ia ditinggalkan ayahnya saat berusia 2 tahun dan adiknya Ismet kala itu berusia 2 bulan. Kita bayangkan, bagaimana perjuangan sosok ibu yang tulus ini merawat dan membesarkan kedua anaknya sehingga tumbuh menjadi anak yang taat dan penurut. Namun dalam kondisi yang terbatas, Sukarno dititipkan kepada pamannya ke Pematang Siantar (2004:22)---waktu itu ia duduk di bangku SMP. Di kota inilah ia jatuh cinta dan berkenalan dengan dunia sandiwara, jatuh cinta pada seni peran dan seringkali mengikuti pertunjukan teater yang kemudian masuk ke dunia yang membesarkan namanya; yaitu film.

Kisah perjalanan Sukarno M Noor sebagaimana yang penulis analisa dalam biografi ini, adalah upaya mengenalkan kita pada seorang aktor kenamaan sekaligus tokoh besar dalam perfilman Indonesia pada masa tempo doeloe. Kisah-kisah Sukarno M. Noor dengan keluarga yang membesarkannya, tidak kalah hebat dan tidak kalah tragis. Ia benar-benar menjadi seniman yang dengan segala daya upayanya mampu diretaskan dengan isteri tercintanya Lily Istiarti. Dari pernikahannya, ia memperoleh enam orang anak yang beberapa diantaranya mengikuti jejaknya sebagai aktor, termasuk, Tino Karno (almarhum), Rano Karno dan Suti Karno.

Proses bermetamorfosa dengan kehidupan keluarga selama bertahun-tahun telah membentuk pribadi Sukarno M Noor yang sesungguhnya; lolos dari seleksi alam dan lolos dalam berbagai predikat perjuangan dan pengalaman yang terus menyala di setiap cita-cita pewarisnya. Sebagaimana yang diukir oleh Kartini dalam bukunya; Habis Gelap Terbitlah Terang.

 

KOMUNITAS “SENIMAN SENEN”:  BINTANG DUA PULUH EMPAT SETALEN

Nasib seseorang itu tak dapat ditebak. Rezeki, jodoh dan kematian sudah ada yang menentukan dan tercatat di Lawhul Mahfudz. Bagi umat Islam, takdir merupakan bagian dari pada aqidah karena merupakan bagian dari pada iman terhadap qadla dan qadar. Karenanya pemahaman tentang takdir ini sangat penting bagi seorang muslim. Seperti yang terjadi pada Janimah dan kedua puteranya; Sukarno dan Ismet. Kepergiannya ke Jakarta, tentu karena ada sebab. Sukarno (2004:18) kala itu pada tahun 1950 mendesak ibunya agar ia dibawa ke Jakarta untuk melanjutkan pendidikan SMA (Sekolah Menengah Atas) dengan tujuan ingin mengembangkan bakat sebagai aktor.

Tak bisa dibayangkan. Menurut penilaian penulis, sebuah impian dan obsesi yang muluk-muluk kalau melihat kondisi Indonesia saat itu yang masih berada dalam suhu peta politik yang tidak seimbang dimana kesenian masih belum dianggap sebuah pekerjaan. Sementara Jakarta sebagai kota urban saat itu sudah mulai ramai dan berkembang dengan berbagai kesibukan angkutan dan kota satelit yang mulai dibangun. Maklum sebagai ibukota Republik, yang terdiri dari berbagai ras dan etnis suku bangsa dapat hidup berkelompok dan melangsungkan kehidupan bersama dalam memperjuangkan hidup dan kehidupan.

Sukarno M Noor saat itu mengalami sebuah kondisi yang sangat pahit bersama ibu dan adiknya. Sesuai dengan tekad dan kemauan yang keras, Sukarno mulai mencoba mengadu nasib dengan merambah peruntungan dengan mendatangi studio-studio di Jakarta. Dia berkeinginan tampil di panggung dan layar putih. Sebagaimana yang disebut S.M. Ardan (2004:19), Sukarno M Noor bertahun-tahun berjuang antara lain dengan nongkrong di wilayah kerajaan “Seniman Senin” yang kini cuma berupa ruang terbuka. Di sanalah, terutama pada malam hingga dini hari Sukarno ikut bergabung berkumpul dan berbincang seputar sandiwara, film dan kesenian pada umumnya. Para seniman Senin (2004:20) yang berkumpul kebanyakan pelaku sandiwara dan film, seperti Wahyu Sihombing (1932-1989), Mansyur Syah (1936-1980), Ismed M Noor, Muni Cader (1934-2001), Masito Sitorus (1930-1979), Wisjnu Mouradhy (1921-1988), Bas M. Amien,Jeffri Sani, Matnoor Tindaon, Tiar Malang/Muslim (1935-1987), dan lain-lain yang waktu itu dipimpin Wahid Chan (1921-1971) yang diangkat sebagai “camat” Seniman Senin.

Kelompok yang tergabung dalam wadah “Seniman Senin” yang berdekatan dengan pasar, terminal dan stasiun itu, adalah sebuah komunitas yang merupakan arena penempaan mental spiritual sebagai seniman. Karena perkumpulan mereka yang intens dan bergadang sampai larut malam, tak urung mendapat cacian serta dianggap sebagai gelandangan. Mendapat cacian dan makian, tak lantas Sukarno dan kawan-kawan patah arang. Ia benar-benar menunjukkan tekad dan kreativitas berkeseniannya. Ternyata, Tuhan memang benar-benar Pemurah. Setiap ia mendapat tawaran pertunjukan, honorarium yang ia dapat sebesar dua puluh empat rupiah ia berbagi kesenangan dengan membelikan kopi dan gorengan atau sekedar pengganjal isi perut. Angka dua puluh empat rupiah atau yang biasa jadi ledekan teman-temanya dengan “dua puluh empat setalen” adalah masa-masa sulit dimana ia berjalan dari rumahnya Jl. Kenari setiap hari menuju Senin kendati harus berjalan kaki menyusuri jalan Jakarta dengan jerih keringat tebal; demi berkumpul dengan sesama komunitas “seniman Senin” sekedar bertukar pikiran dan saling berbagi pengalaman.

Pertemuan dan perjumpaan dalam komunitas “Seniman Senin” memberikan makna mendalam bagi Sukarno karena kehidupan Jakarta; menurut sebagian orang----adalah kota kejam yang sarat dengan hitam dan putihnya kehidupan. Ya itulah Jakarta; masyarakat urban; masyarakat Jakarta yang berasal dari pelosok negeri dan telah menjadi magnet bagi semua orang dari ujung sabang sampai Merauke; berlomba mengadu nasib peruntungan, mengejar mimpi dan membangun masa depan melalui rentetan masalah masing-masing untuk sekedar bisa survive. Sukarno (2004:21) berujar bahwa---“ setiap kehadiran dan berkumpulnya kami----yang dinamakan calon-calon “seniman di Senin”, bukan merupakan pertemuan formil, hanya kerinduan bertemu dan bertukar pendapat, berdiskusi sesama kami, yang terkadang juga dihadiri teman-teman wartawan dan politikus-politikus muda. Pembicaraan kami hanya dipusatkan pada kehidupan kesenian dan kebudayaan, terutama teater dan film. Yang mengiringi kami berdiskusi, bukanlah hidangan makanan dan minum yang mewah. Bagi kami, cukup kopi setengah gelas dan pisang goreng dengan gula merah”.

Kehidupan berkesenian dengan masing-masing mimpi di pusat kota metropolitan bersama “Seniman Senin” itu merupakan proses. Afandi, pelukis kenamaan bertaraf dunia memandang tinggi profesi kesenimanan yang selalu akrab dengan publik. S. Sudjojono pakar pelukis itu mengatakan bahwa seorang “Seniman” tidak semata-mata berurusan dengan soal “kecakapan” dalam soal teknis saja. Lebih dari itu, untuk menjadi “seniman yang baik dan benar”. seniman menurutnya harus memiliki watak dan jiwa yang besar, sebab seni adalah jiwa tampak. S. Sudjojono dalam bukunya Seni Loekis, Kesenian dan Seniman (1946) mengatakan bahwa “sudah lama kata “Seniman” dipakai di sembarang waktu, di sembarang tempat, dan di sembarang keprofesian. Seakan-akan seniman adalah kata generik---bersifat umum dan oleh karena itu boleh semena-mena dimamfaatkan oleh siapa saja. Padahal seniman adalah sebuah istilah “spesifik” yang sangat terkait dengan “ukuran-ukuran” suatu konteks, norma, ruang dan waktu”.

Menurut penulis seniman yang baik dan benar adalah seniman yang memiliki watak dan jiwa besar. Bukan seorang yang hanya mengandalkan kecakapan fisik tapi lebih pada motivasi dan spritualitas senimannya sendiri yang berdaya mamfaat. Dalam hal ini, Sukarno sebagai seorang aktor adalah spirit itu sendiri. Seorang motivator yang mampu mengubah citra; bahwa “Kesenian” dan “Seniman” adalah setali seuang yang memberikan makna sublim terhadap karya personalnya dan berpengaruh pada kepribadian. Oleh karena itu, dalam masa-masa awal sekolah di SMP sewaktu di Bonjol-----ia sempat belajar akting dalam dunia teater karena teater menurutnya (2004)---merupakan tempat belajar dan penempaan menjadi pemain yang baik. Teater menurutnya merupakan bidang seni yang mendewasakan dirinya sebagai pemain hebat.

Pada tahun-tahun pertama (1950-1952), Sukarno belum mencapai apa-apa. Ibunya menasehati agar ia menghentikan usahanya di bidang teater dan film, dan beralih menjadi pegawai, serta menyadari bahwa dirinya tidak mungkin menjadi pemain film karena tidak mempunyai cukup modal wajah ganteng selayaknya bintang-bintang Hollywood. Namun berkat ketekunan yang gigih, obsesi itu menjadi kenyataan setelah ia mendapat kesempatan bermain sebagai pemeran utama di atas pentas dalam “Runtuhan” karya sutradara A.U. Muscar pada 1953. Dalam sandiwara yang disponsori Palang Merah Indonesia (PMI) itu Sukarno M Noor main bersama aktris kawakan R. Ng. Djoewariah, yang main film sejak Bajar Dengan Djiwa (1940, Union Film Coy, R. Hu), Asmara Moerni (1941, Union Film Coy, Rd. Ariffien).

Kendati Sukarno mendapat peran-peran figuran, ia tak peduli karena menurutnya perjuangan sebagai aktor; harus dimulai dari bawah. Karena bagi setiap aktor, tak ada peran besar atau peran kecil. Karena itu dalam beberapa kesempatan acapkali disindir sebagai “bintang dua puluh empat setalen”. Situasi semacam itu dialami Soekarno M Noor selama 1953 hingga pertengahan 1955. Uang sebesar itu lumayan terutama bagi Seniman Senin seperti dirinya. Masa-masa itu memang masa-masa sulit yang dilaluinya dengan berjalan kaki. Walaupun ia tidak mendapatkan honorarium, dari pertunjukannya, ia tetap sabar, karena ia masih mengandalkan gaji dari pekerjaannya di kantor PPT. Para “seniman Senin” kala itu ingin melahirkan jenis pertunjukan teater baru, yaitu harus merupakan perombakan total dari sandiwara lama. Sebagaimana yang disebut (RM. Ardan;2004: )----“pernah dalam suatu pementasan dengan judul “Penghuni Penjara”, Sukarno kencing di atas panggung dalam posisi menghadap ke tembok penjara dan airnya kelihatan mengaliri lantai panggung. Bukan main riuhnya orang bertepuk dan berteriak, khususnya Seniman Senin yang kala itu turut menyaksikan kepiawaian Sukarno dalam pertunjukan tersebut. Pengalaman yang dialami Sukarno ini, merupakan totalitas untuk menghadirkan realitas sebenarnya dengan jiwa berontaknya terhadap keadaan.

Totalitas dalam seni peran yang ditampilkan sukarno M Noor dalam setiap pentasnya merupakan bakat yang jarang dimiliki teman-temannya kala itu. Ia dikenal best actor yang kuat menghafal naskah-naskah disamping didukung penguasaan terhadap dialog, disamping mimik dan laku. Boleh dikata, Sukarno M Noor bisa memainkan tokoh serba bisa yang cakap bermain dan menutupi kelemahan main kala lawan mainnya salah atau lupa naskah. Angkatan bersenjata, 13 agustus 1977), menyebutkan bahwa permainan Sukarno M Noor memang memberi kesan kepada kita bahwa ia adalah aktor berbakat besar. Vokalnya yang teateral adalah modalnya yang paling menonjol diantara pendukung-pendukung lainnya. H. Yusa Misbah Yusa Biran dalam angkatan bersenjata (28 juli 1986) mengatakan bahwa bakatnya yang besar sebagai aktor sudah ditunjukkan di dunia teater. Permainannya yang kemudian menjadi langkah penting dalam lakon Caligula yang disutradarai Asrul Sani.

Dalam hal ini bisa dijelaskan bahwa dalam bermain sebuah drama dikehendaki keberanian dan kemampuan untuk menggambarkan ekspresi manusia secara riil berikut dengan kebiasaan dan kehidupannya. Judul-judul teater yang pernah dipentaskan antara lain: Pengejar suami presiden direktur (1954), Bakar Tak Bertepi (1955), Perantaian (1955), Pintu Tertutup (1958), Mutiara dari Nusa Laut (1958), Pintu Tertutup (1961), Caligula (1966), Montserrat (1977. Sukarno M Noor dalam nomer-nomer pertunjukannya selalu berhasil dalam mewakili tokohnya. Ada penjiwaan yang kuat sekali. Ia merupakan aktor kuat yang bisa bekerjasama dengan pemain lain. Ibarat dalam pertandingan sepak bola, ia bermain sebagai penyerang sekaligus sebagai pengendali setiap operan bola yang hendak masuk ke mulut gawang. Dalam hal keaktoran ini, Sukarno M Noor jelas didukung oleh kemaunnya yang kuat setelah ia masuk ke sebuah lembaga yang ia cintai yaitu ATNI (Akademi Teater Nasional Indonesia). Sebagaimana yang disebut (2004:311)----Ia masuk lembaga ini sebagai angkatan pertama dengan Teguh karya (Steve Liem), Wahyu Sihombing dan Alek Leo. Meskipun yang dipelajari di ATNI adalah bidang teater, tapi pada kenyataannya, para siswa yang belajar kala itu memiliki bakat dan pengalaman; dimana antara satu siswa dengan siswa lain saling membuka apresiasi seputar bidang yang mereka kuasai. Maka tak ayal, dalam sikap simbiosisme satu sama lain, bermunculan aktor-aktor bagus seperti Ismed M Noor, Wahab Abdi, Manan Dipa, Komedian Mansyur Syah, Tatiek Malijati, dan juga Teguh Karya. Namun yang paling menonjol diantara siswa lain di ATNI adalah Sukarno M Noor yang mana sebelumnya sudah terkenal dan berhasil memerankan Caligula, kaisar Romawi yang merupakan karya Albert Camus pada tahun 1966.

Sebagai lembaga dan sekolah seni di jalan Cikini yang bersebelahan dengan kampung Kalipasir, ATNI merupakan sebuah lembaga yang kerapkali memperlihatkan hasil latihan dan produksi; dimana siswanya bereksplorasi secara mandiri lewat bidang-bidang seni budaya yang dikuasai secara matang. Dalam hal ini, Asrul Sani (S.M.Ardan,78: 2004) mengatakan bahwa ATNI merupakan lembaga pendidikan. Ia bukan merupakan grup teater dalam pengertian sebenarnya. Pendirian ini diterapkan ke dalam bentuk sebuah teater; yaitu teater popular. Tapi teater popular bukan sekedar grup teater, dia juga sebuah lembaga pendidikan. Di ATNI, Sukarno M Noor (S.M. Ardan, 79:2004) disebutkan bahwa Sukarno M Noor termasuk siswa angkatan pertama, bersama-sama steve Liem Tjoan Hok (Teguh Karya), Tatiek Malijati, Wahyu Sihombing, Mansyur Syah, Ismed M Noor dll…Setelah digodok di ATNI, Sukarno tampil dalam lakon-lakon asing, seperti; Hanya Satu Kali (J. Galsworthy, 1957), Pintu Tertutup (Sartre, 1958), Pawang Hujan, Richard Nash, 1961), Caligula (Albert Camus, 1966), Mak Comblang (Nicolay Ggol, 1968), Montserrat (Manuel Robles, 1977) dan lain-lain.

Dari proses berkesenian yang dimulai dari Komunitas “Seniman Senin” dan kemudian menimba ilmu seni peran di Akademi Teater Nasional Indonesia inilah yang merubah hidup Sukarno M Noor menjadi sosok seniman yang benar-benar telah bermetamorfosa dengan hidup berkeseniannya. Gelar sebagai “Bintang Dua Puluh Empat Setalen” benar-benar telah berubah menjadi lumbung keberuntuntungan yang mewujud dalam generasi pewarisnya.

 

AKU ADALAH “AKTOR” BUKAN “BINTANG”

“Aku adalah aktor, bukan bintang”, yang pernah diproklamirkan Sukarno M. Noor di tahun 50-an, terinspirasi oleh ucapan aktor besar Marlon Brando kelahiran Omaha Nebraska, Amerika Serikat, 3 April 1924. Aktor pemenang piala Oscar yang meninggal di usia 80 tahun ini merupakan aktor brilian yang memerankan Don Corleone film the “Godfather”. Lontaran kalimat ini bukanah alasan kamuflase semata. Pernyataan adagium di atas merupakan sebuah kegelisahan yang ia rasakan bahwa telah terjadi kemunduran dalam seni peran maupun film; yang mana kala itu hanya mengandalkan wajah ganteng. Sukarno M Noor menyukai dedikasi Marlon Brando yang dimaksudkan ia bukanlah golongan yang sekedar mencari popularitas melalui kecantikan atau kegantengan, atau lewat berita-berita sensasi, melainkan seorang “seniman pemain”. Dengan demikian, seni peran, baik dalam teater, sinetron maupun film sekalipun merupakan sebuah instrument yang harus dimiliki oleh seorang aktor. Instrument itu adalah tubuh dan rasa. Tubuh atau fisik meliputi badan, suara, dan mimik. Rasa meliputi emosi, naluri dan respon. Disamping memiliki kecerdasan dalam menganalisa dan menafsir setiap perubahan dalam setiap latihan-latihan dan studi yang tersusun secara sistematis. Marlon Brando (republic of performing art”: 2012), menjelaskan bahwa “untuk memahami makna penuh kehidupan adalah tugas aktor, menafsirkan karakter yang dimainkan itu adalah masalahnya serta mengekspresikannya adalah dedikasinya”.

Apa yang dijelaskan Marlon Brando dalam kutipan “Aku Aktor Bukan Bintang” merupakan sebuah pernyataan yang bukan main-main dalam upaya masuk dalam wilayah seni peran. Ini berkaitan bakat seseorang dalam menerjunkan dirinya dalam seni peran. SM. Ardan (2004:308) menyebutkan bahwa Berbakat tidaknya seseorang, bisa dilihat dari pertama-tama memiliki kepekaan rohaniah yang besar terhadap laku manusia dalam keadaan dan kejadian yang terlihat olehnya sehari-hari. Punya kesanggupan membawakan berbagai laku manusia dalam segala kepelikannya. Dapat memerankan berbagai ragam manusia dengan watak dan karakteristiknya yang berbeda-beda. Punya keyakinan tentang pekerjaan di teater yang dipilihnya, yakin pula tentang darmanya sebagai orang teater dengan segala cabang-cabangnya. Sadar dan tahu bahwa dia mesti mulai dari tangga yang paling bawah. Disamping itu pula seorang aktor harus memiliki tubuh yang sehat. Selain tubuh, suara adalah alat yang paling utama. Tambah bagus kondisi tubuh dan suara, tambah mudah untuk menguasainya. Peralatan suara tak boleh rusak, harus segera diperbaiki, baik secara media maupun dengan latihan. Disamping itu, otak harus dapat mengingat dan menghafal sesuatu.

Persyaratan untuk menjadi aktor sebagaimana yang terangkum diatas, menunjukkan bahwa aktor harus memiliki totalitas sebagaimana yang telah dijalani Sukarno M Noor dalam masa-masa perjuangannya sebagai aktor. SM. Ardan (2004:209) menilai bahwa Sukarno M Noor adalah model ideal seorang seniman pemain. Telah sejak awal perjalanan, yang ia inginkan adalah memahatkan namanya sebagai pemain bermutu. Cita-cita itu diraihnya dengan susah payah, dimulai dari bawah betul, dan dia pertahankan dengan risiko apapun.

Hal ini merupakan totalitas seorang aktor ketika ia sudah menampilkan dirinya di atas panggung; yakni menampilkan watak dan menjalankan satu karakter dalam berlaku dan bertindak disertai motivasi dalam aktivitas pergerakannya di atas panggung. Yudiaryani (2002:373) menyebutkan bahwa “perwujudan watak adalah proses peleburan dan peresapan. Keduanya melibatkan fungsi fisik dan psikologis aktor. Aktor adalah pribadi yang hidup, ia melihat, mendengar, membau, merasakan, dan mengenal panggung seperti apa adanya. Namun ketika memasuki tahapan di mana ia terlibat dengan kegiatan panggung, ia menjadi partisipan utuh yaitu perwujudan spontan tokoh yang hidup.

Dalam hal ini, mewujudkan watak termasuk mewujudkan pula unsur-unsur kehidupan lain yang menyebabkan panggung menjadi hidup. Joko Nugroho, 2012) menyebutkan bahwa “dalam menjalankan laku sehari-hari, kita hanya menjalankan satu karakter, satu watak, dan satu tujuan utama. Dalam laku sehari-hari, tak ada yang membatasi atau mengatur kita untuk ‘berlaku’ atau ‘bertindak’. Tak ada yang meminta kita untuk berhenti, atau mengulang, tak ada yang mengganggu penghayatan terhadap laku yang kita buat. Semua berjalan begitu saja. Dalam seni peran, kita melihat bahwa semua aktifitas telah melewati proses perencanaan dan perhitungan. Ada batas ruang, waktu dan tujuan. Peran yang harus dimainkan pun bisa beragam bahkan terkadang jauh dari realitas dan kewajaran”.

Dalam perjalanannya menjadi aktor, Sukarno M Noor adalah magnet dan terukur. Hal ini terlihat dari perjuangannya yang terus eksis dalam memperjuangkan profesi yang dicintainya sehingga ia menemukan dirinya menjadi aktor yang saat itu paling disegani di negeri ini. Kendati ia tidak mempunyai modal yang cukup; dilihat dari wajahnya, tapi ia menunjukkan bahwa seorang aktor bukan dinilai dari penampilan fisiknya tapi dinilai dari seberapa jauh memerankan dirinya menjadi aktor yang berkualitas. Sukarno M Noor (2004:143) menyebutkan bahwa---seorang aktor akan menjadi lebih matang karena umurnya yang semakin meningkat, sedangkan bintang akan lusuh oleh umurnya yang menua. Seorang bintang bisa dibikin, tapi aktor harus dilahirkan bersama bakatnya. Bukan saja karena Sukarno M Noor sudah lama berkecimpung dalam dunia perfilm-an, tetapi terutama karena ketekunan dan totalitasnya dalam bermain. Dalam hal ini Sukarno tidak main-main dalam kiprahnya sebagai aktor kenamaan Indonesia. Ia merupakan pribadi yang kuat dalam menekuni karirnya sebagai seniman. SM. Ardan (2004:312) menyebutkan bahwa Sukarno M Noor bukan seniman bohemian. Ia terus bertahan dalam kesulitan. Ketika Usmar Ismail membuka kesempatan kepada para pemain film untuk belajar akting pada dia, Sukarno ikut, yang berarti ia harus meluangkan waktu diantara kesempatan hidupnya.

Salah satu yang menjadi mitra dalam seni peran ini adalah Sofia WD. Ia merupakan mitra sejajar yang telah banyak memberikan sumbangan kepada Indonesia lewat film-film yang dilahirkannya hingga akhir hayat menjemput. Sebagaimana yang disebut dalam buku “Jejak Seorang Aktor” (2004:206)---mereka berdua (Sukarno M. Noor-Sofia WD) meniti karir mereka di dunia film dari titian yang paling bawah. Berkat keteguhan dan dedikasinya terhadap profesi, membawa mereka ke jenjang teratas dalam perfilman nasional. Sofia WD dan Sukarno M Noor pernah dipercayakan memimpin Parfi. Menteri penerangan Harmoko menyebut mereka sebagai aktor-aktor besar, karena kedua tokoh film nasional itu begitu kuat dalam menghadapi setiap peran yang diberikan kepadanya. Apapun peranan itu. Kedua aktor ini juga menjadi besar karena sebagian besar hidupnya memang dicurahkan demi kemajuan perfilman nasional. Mereka berangkat dari cita-cita yang sama: ingin agar film nasional menjadi tuan di negeri sendiri.

Dalam hal ini, kepedulian dan perhatian Sukarno M Noor kepada seni peran dan dunia perfilman tidak perlu diragukan lagi. Hampir seluruh pemikiran dan sikap keteladanan beliau yang mewarisi semangat zamannya tidak terlepas dari perjuangan dan dukungan keluarganya sehingga ia sukses menempuh jalur keartisan sebagai bintang film yang berwatak dan berkarakter. Sinetron (TV-Play) yang dimainkan Sukarno Noor. Antara lain: Terkepung, Ayahku Pulang, Caligula, Hatinya Selembut Sutra, Langit Hati Di Tanah Air, Taruna Akabri, Kode 297, Jaket Kuning, Lawan Arus, dan puluhan judul-judul yang dibintanginya, adalah proses keberhasilan dirinya untuk menjawab kepada publik luas bahwa tidak selamanya wajah tidak genteng tidak bisa  beken dalam dunianya, selama ia terus survive. Kalau meminjam istilah Tukul Arwana presenter Bukan Empat Mata di Trans 7------“Wajah boleh ndeso tapi rezeki tetaplah orang kota”.

Dari sekian ratus teater dan film yang dimainkannya, Sukarno M Noor tetaplah manusia biasa yang mencurahkan segala upayanya untuk seni peran di Indonesia. Ia benar-benar mencurahkan kemampuannya di bidang yang satu ini. Termasuk ketika ia menghormati guru-gurunya selama belajar di ATNI. Apa yang ia dapat di ATNI merupakan semangat yang terus ia pertahankan sehingga menemukan jati dirinya sebagai the best actor. Ia sendiri menilai bahwa seorang aktor harus benar-benar total dan jujur dalam memperjuangkan cita-cita yang hendak diraihnya. Asrul Sani (2004:111) mengatakan bahwa “orang film seharusnya beranggapan bahwa dirinya hanyalah seorang koki yang membuat masakan. Enak atau tidak makanan tersebut, bukan dia yang menilai, tapi orang lain. Dalam film, penilaian baik atau tidak, serahkan saja pada masyarakat itu sendiri, pada penonton film. Masyarakat akan menilai, merasakan bagaimana makanan tersebut, meski mereka sendiri bukan ahli membuat masakan. Saya kira masyarakat lebih jujur. Kalau nggak enak akan diludahkan, tapi kalau enak akan dipuji dan dimakan. Penilaian masyarakat tanpa pretensi macam-macam, ia lebih polos.

Nano Riantiarno sebagai sutradara teater Koma sebagai yang ditulis JB Kristanto: (Sosok; 2004), menyebutkan bahwa Sukarno M Noor adalah aktor yang wajahnya kurang tampan, namun pemain watak yang kuat. Seorang bintang yang bercahaya gemilang dalam dunia film Indonesia, aktor besar yang penuh dedikasi, disiplin dan tekun, dan hidup dari film. Di bilik ingatan Slamet Rahardjo Djarot, pewaris Teater Populer, memantul bayangan Bang Karno yang dengan tangan kiri terlipat memegang dada dan tangan kanan bergerak lincah, mendekat dan menjauh ke wajahnya, memberi nasihat. Sebuah pertunjukan nyata yang tak pernah dapat dicapai oleh diri Slamet sendiri, yang hanya bisa berubah dari seekor katak pemalu menjadi pangeran mempesona oleh kesaktian kata-kata dalam naskah.

Apa yang telah dilakukan oleh Sukarno M Noor dalam setiap film-filmya mengguratkan sebuah tanda hijrah kemenangan sebagai aktor. Ia terus belajar dan mempelajari apa-apa yang harus dikejar dalam filmnya. Makanya film-film yang dihasilkan selalu tampil dengan kualitas teruji karena ia benar-benar memperhatikan aspek cerita dan teknik yang menjadi kendalinya. Dengan cerita bagus dan dengan teknik permainan yang ia kuasai akan menghasilkan irama permainan yang berkualitas---meminjam istilah SM. Ardan (2004:308) ---dengan menguasai teknik. Teknik inilah yang memberikan perbedaan antara seorang yang main dan seorang pemain. Dengan penguasaan teknik itulah seorang pemain menghadapi persoalan peranan yang bagaimanapun besarnya, namun akan menyelesaikannya dengan sempurna.

Dalam buku berjudul “Enam Pelajaran Pertama Bagi Calon Actor” Richard Boleslavsky (1960:6) berpendapat bahwa “Ada suatu salah pengertian yang umum terdapat di kalangan peminat sandiwara dan film Indonesia, yaitu tentang pengertian dan kedudukan “bintang atau bintang film”. Orang mengira bahwa “aktor” dan “bintang” adalah pengertian yang sama. “Bintang” sebetulnya adalah suatu kata yang terlahir dari box-office, dan boleh dikatakan tidak ada sangkut pautnya dengan seni bermain. Seorang “bintang” bukanlah seorang seniman atau seniwati, tetapi adaah suatu barang dagangan yang diperjual belikan dengan penonton. Nasib seorang bintang tergantung pada selera publik pada suatu saat. Jika selera publik berubah, atau jika seorang bintang yang termashur sebagai gadis genit menjadi tua, maka pudarlah cahayanya. Publik tidak lagi menyukainya dan lupa kepadanya. Ia tidak laku untuk diperdagangkan. Berapa banyak sudah bintang yang muncul depan kita dan kemudian hilang dengan tak tentu rimbanya. Modal seorang bintang adalah wajahnya, potongan badannya, kepribadiannya sendiri. Richard Boleslavsky (1960:6) menambahkan bahwa “ seorang aktor adalah kebalikan dari seorang “bintang”. Modal seorang aktor bukanlah wajahnya yan cantik atau potongannya yang tampan, tapi kesanggupannya untuk menghidupkan dan menjiwai suatu watak depan penonton. Kita menyukainya bukan karena pribadinya, tapi justeru karena ia berhasil meninggalkan pribadinya untuk menjadi pribadi yang lain.

Dalam hal ini, kebenaran para aktor yang paling substansial dari seluruh pokok kesenimanan adalah perjuangan sublim dan absolut antara pribadi sendiri dan pribadi peranan yang hendak dimainkan dengan totalitas dan dengan penjiwaan sebuah kondisi watak yang tetap hidup dan dihidupkan oleh irama jiwa yang melandasinya Eddie Karsito, 2008----menyebutkan “Maka seyogyanya proses kreatif seni peran yang baik melalui media panggung, film dan televisi dapat dibangun melalui kekuatan religius sebagai alternatif penempuhan dan pencarian makna spritualitas, keimanan, kesalehan dalam tingkat individu maupun sosial. Visi keaktoran direstorasi untuk membangun kesadaran budaya, menegakkan kebenaran sosial. Seorang aktor lalu dapat menemukan pribadi dan kemanusiannya sebagai Abdullah, sebagai hamba Tuhan yang selau ingin melayani dan tidak untuk dilayani”.

 

MENELADANI PERJUANGAN PRESIDEN SUKARNO

Kiranya sudah menjadi alasan pokok, mengapa Mohammad Noer menamakan puteranya menjadi nama Soekarno M Noor tentu dilandasi oleh kecintaannya kepada presiden pertama Indonesia yaitu Sukarno yang biasa dikenal dengan sebutan Bung Karno, yang mana saat itu politik bergejolak di saat ia tinggal di Menteng. Ir. Soekarno yang pernah menjadi Presiden pertama Republik Indonesia ini merupakan salah satu cita-cita bangsa Indonesia dalam memperjuangkan kemenangan. Ini merupakan salah satu titik terang untuk melepaskan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda. Jiwa patriotisme yang hadir dalam sosok proklamator Indonesia yang kemungkinan menjadi alasan Mohammad Noer menamakan putranya menjadi Sukarno M Noor; sebuah nama yang indah yang berbias cahaya dalam terang cahaya demokrasi perjuangan yang hendak digenggamnya.

Perjuangan Mohammad Noer, Sukarno M Noor dan Rano Karno dalam titisan keluarga Karno’s Family ini merupakan adalah sebuah penamaan Jawa kendati mereka sendiri sebenarnya berdarah Sumatera Barat. Kecintaan terhadap Bung Karno inilah yang memungkinkan keluarga ini selalu merindukan idealisme dari sebuah cita-cita yang ingin diraih dalam hidup mereka. Ternyata penamaan dan kesukaan terhadap jiwa proklamator ini telah menjadi sebuah azimat dalam separuh hidup karya-karya Karno’s Film karena mereka memang benar-benar memiliki cita-cita yang sama seperti Bung Karno; berjuang demi memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dengan berbagai perjuangan yang gigih dan pantang menyerah sebagai film-film ideologis kerakyatan yang benar-benar mereka wariskan dalam hidup mereka.

Seperti yang nampak dalam sebagian besar filmnya, Sukarno M Noor berbicara dalam bahasa diplomatik dalam revolusi fisik dan inspirasi detik-detik perjuangan melawan Belanda di republik Indonesia. Seperti Meratjun Sukma (1953), Tjorak Dunia (1955), Daerah Hilang (1956), Sengketa (1957), Tjambuk Api (1958) dan lain-lain. Sebagian film yang tergambar dalam film-filmnya sebagian besar terinspirasi tentang masalah-masalah perjuangan bangsa Indonesia melawan antek-antek penjajah. Sehingga tak ayal, Mohmammad Noer sebagai bapak yang menghargai negaranya turut mengenang jasa-jasa para pejuang tempoe doeloe. Kiranya hal ini tidak berlebihan. Jiwa patriotisme setiap bangsa akan selalu dijunjung begitu juga dengan idealisme senantiasa dipasang menjadi kendaraan dalam setiap ayunan langkah kehidupan.

Sukarno M Noor sebagai orang yang lahir dari semangat itu, merasakan aroma dan getaran sosok bung besar ini. Ada beberapa film yang mempertontonkan perannya sebagai aktor watak, antara lain: Pertama, Titian Serambut Dibelah Tujuh (1982). Dalam film ini dia berperan sebagai Harun, juragan gay yang sedikit sinting dan menakutkan. Kedua, Di Balik Tjahaja Gemerlapan (1966). Di film ini Soekarno menjadi seorang promotor musik yang diduga tukang tipu. Ketiga, Senyum di Pagi Bulan Desember (1974). Dia sebagai napi buronan, salah satu dari tiga, yang lunak hati menyayangi seorang gadis cilik. Keempat, Raja Jin Penjaga Pintu Kereta (1974). Dia jadi bekas pemain lenong yang jadi penjaga rel kereta dan secara mengenaskan dieksploitasi pemilik warung. Kelima, Pagar Kawat Berduri (1962), dia juga cukup fasih menjjadi seorang pejuang yang berdebat filsafat. Keenam, Sebelum Wafat dia pun bermain di film terakhirnya karya Sjuman Djaya, Opera Jakarta (1986).

Seluruh penggambaran Sukarno M Noor dalam film-filmnya merupakan salah satu seniman idealis yang pandai memilih tema dan judul yang hendak dimainkan, termasuk kepada siapa ia belajar dan berguru dalam masalah yang berkait dengan dunia perfilman. Oleh karena itu dari seluruh rangkaian peran yang dimainkan selalu mendapat respon positif sebagai pemain dan aktor watak Indonesia yang kehadirannya di layar film bertahan dalam beberapa dekade. Hal ini merupakan salah satu perkembangan signifikan yang memadukan unsur ideologis dan unsur kesejarahan yang bergerak secara bersama dalam kesatuan tema dalam filmnya. Usmar Ismail (2008:177) menyatakan bahwa ” karya seorang mau tidak mau haruslah bersumber pada pemikiran-pemikiran tentang kemerdekaan, tentang hak-hak asasi manusia, tentang amanat penderitaan rakyat, tentang keadilan dan kebenaran yang hakiki buat orang Indonesia dan buat seluruh umat manusia, semuanya dalam perasaan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Produksi film yang dimainkan dari seluruh film yang dimainkan menurut penulis adalah produk film yang berkepribadian Indonesia. “tema cerita film ini adalah tema humanisme yang menggugah qolbu setiap insan. Ini adalah tema baru dalam perfilman nasional yang selama ini bertemakan air mata dan banyolan. Yang patut dipuji adalah dialog-dialognya tidak lamban, pendek-pendek dan berisi. Sebagaimana yang dikatakan “surat kepercayaan” gelanggang 1996, Djakarta-----(2004:219) adalah suatu hal yang wajar djika seorang seniman mentjiptakan berdasarkan masalah-masalah kongkrit yang diakibatkan oleh ketegangan-ketegangan masyarakat di mana ia hidup. Kita tidak menolak ‘isme’ apapun dalam kesenian. Artinya  ‘isme’ dalam kesenian bagi kita tidak penting sama sekali. Jang penting adalah gaja pribadi seorang seniman jang ia pergunakan untuk mengungkap sesuatu jang hendak ia sampaikan pada masyarakat.

Dalam masa dimana ia berkarir sebagai pemeran film, ia mendapat mendapat piala citra sebagai aktor utama terbaik dalam film “ Kemelut Hidup ” ceritanya dibuat berdasarkan novel Ramadhan KH ( wartawan, sastrawan angkatan 66 dan anggota Akademi Jakarta), yang menceritakan tentang korupsi dan kebobrokan sosial yang terjadi dalam keluarga Abdurrahman sang pensiunan pegawai sebuah departemen. Sebuah film yang tak kalah heroik dan tragis dalam menggambarkan lika liku kehidupan. Asrul Sani sebagai sutradaranya kala itu benar-benar “piawai” dan “hadir” dalam mengeksplorasi Sukarno M Noor sebagai tokoh utama dengan didukung peran pembantu seperti; Widyawati, Sri Widiati, Mutiara Sani dan Chitra Dewi. Sebuah perjuangan dan pengabdian yang sungguh-sungguh mengalir dalam sukma Sukarno M. Noor.

 

GENERASI EMAS: RANO KARNO PERAIH CITRA DALAM FILM TAKSI

Berbiacara masalah generasi adalah berbicara masalah yang berkait dengan hubungan biologis yang terus berlanjut dan tidak berputus sampai denyut kehidupan ini berhenti. Generasi sebuah keluarga atau sebuah bingkai yang lebih besarpun akan sangat dinanti untuk sebuah keberlangsungan. Berbicara masalah generasi adalah berbicara manusia dan hubungannya dengan dunia pendidikan yang melatarinya. Pendidikan dalam konteks yang lebih tarbawi adalah sesuatu instrument; sesuatu yang melekat dan berhubungan erat dengan kehidupan. Ia dengan segala problematikanya terus berkembang dari waktu ke waktu, dari generasi ke generasi, tanpa berhenti. Karena itu tidak berlebihan, jika ada seorang Ulama’ yang mengatakan bahwa pendidikan pada hakekatnya adalah hidup itu sendiri. “At- Tarbiyah wal hayaatu syay-un wahid”; sesuatu yang menyatu dan menyatu dalam proses perkembangan dan pertumbuhannya. 

Dalam kehidupan rumah tangga Karno’s Film mengisyaratkan sebuah pesan yang menggambarkan masalah generasi dan proses pendidikan itu sendiri. Ibaratnya buah tidak akan jauh dari pohonnya; adalah sesuatu yang tidak terbantahkan dalam kausalitas kehidupan manusia. Rano Karno dalam film yang dimainkan sudah masuk empat kali nominasi dalam “Yang” (1989), “Ranjau-Ranjau Cinta” (1985), “Arini” (1987) dan “Arini II” (1989), “Kuberikan Segalanya” (1992) dan dalam film piala citra dalam “Taksi” (1990). Dalam perjalanan karirnya, Rano Karno mengikuti jejak sang ayah menjadi aktor dari sejak kecil. Perjalanan karir dimulai dari film lewat “tengah Malam” (1971), menyusul kemudian film “Malin Kundang”, “Lingkaran Setan”, dan pengantin Tiga Kali”. Sebagai aktor cilik, namanya semakin melejit manakala membintangi film si “Doel Anak Betawi” karya sutradara Syumandjaja (almarhum:penulis-sutradara film) yang menceritakan tentang kisah kehidupan kelas sosial yang diproduksi PT Perfini Film dengan didukung oleh pemeran utama Rano Karno dibantu pemeran pembantu seperti; Benyamin S, Soekarno M Noor, Tino Karno, Fifi Young, Tuti Kirana, Nani Widjaya. Rano Karno semakin popular ketika di masa remajanya membintangi film remaja bertema percintaan seperti film “Gita Cinta Dari SMA’, ‘Puspa Indah Taman Hati’ dll.

Periode berikutnya Rano Karno menghadirkan si Doel di televisi lewat sinetron Si Doel Anak Sekolahan (Indosiar). Dalam hal ini, Rano Karno tidak hanya bertindak sebagai aktor memerankan tokoh Si Doel, juga bertindak sebagai Penulis Cerita, Sutradara, dan Produser. Dengan multiperan semacam itu, Rano Karno justeru mampu mengungkap dan membidik ide dan visinya secara lengkap tentang sketsa masyarakat yang di cintai, yaitu masyarakat betawi.

Perjuangan Sukarno terhadap Rano Karno ketika ia mengantar dirinya sekolah di Amerika Serikat; tepatnya Los Angeles. Sukarno menginginkan dirinya belajar sinematografi. Sukarno menginginkan agar dia tidak hanya punya pengalaman bermain film, melainkan juga menguasai ilmu perfilman. Itu sebabnya ia ingin agar anaknya bisa belajar ilmu perfilman agar tidak seperti dirinya. Rano Karno berujar sebagai yang disebut oleh majalah Mutiara, 1 september 19991---mengatakan bahwa” tanpa bakat, saya nggak yakin akan sukses. Selain bakat, saya termasuk orang yang beruntung. Papa punya andil besar dalam perjalanan hidup saya. Rano berujar (2004:246)----“Saya bisa mandiri karena papa selalu bersaing dengan saya. saya didukung dari belakang, bukan karena fasilitas. Sukarno M Noor berujar; kamu harus jadi Rano Karno. Bukan jadi pengikut Sukarno M Noor.

Memelihara karir tak hanya sekedar jadi bintang idola remaja, saat memainkan hampir semua film dari Novel Eddy D Iskandar, lalu tiba-tiba menjelma sebagai sopir taksi dalam Taksi-nya Arifin C Noor, dan puncaknya menjadi Si Doel dalam Si Doel Anak Sekolahan, yang menurut opini 14 Maret 2012 dalam judul “Jeweran Tuhan Untuk Telinga Rano ‘Si Doel’ Karno” menyebutkan sebuah loncatan sukses dari Film ke Media Televisi. Ia menambahkan bahwa “Mana ada aktor yang sedemikian awet berkarir seperti Rano Karno, jadi Bintang Cilik, Idola Remaja, Idola Ibu-Ibu, jadi Pejabat saat tua. Rekan saya Deddy Mizwar pun tak bisa menyamai, Roy Marten pun , apalagi. Rano Karno, harusnya mensyukuri ulah anak angkatnya ini, yang menjadikannya sadar, tak ada manusia yang sempurna. Selalu ada cacatnya. Sesukses apa pun Rano Karno dalam menjalani karir di dunia artis dan politik. Tuhan sedang menjewer telinga Rano Karno sekarang ini. Setelah memanjakannya dengan sederet kesuksesan melulu. Jadi Si Doel Anak Betawi waktu kecil, menjadikannya bintang film cilik hebat, menjadi Galih dalam film Gita Cinta SMA, menjadikannya Bintang Idola Remaja. Jadi Si Doel versi Sinetron secara tidak langsung menjadikannya Wakil Bupati. Sebuah pencapaian karir yang benar-benar terwujud sebagai mana yang dicita-citakan almarhum papanya Sukarno M Noor; menjadi manusia yang berjasa dan berguna bagi bangsanya; Indonesia Raya.

 

DAYA TAHAN SURVIVAL : “SELAMAT TINGGAL DUKA” 

Puisi Asrul Sani : Laut adalah misteri. Ia memisahkan orang tetapi juga menghubungkan orang.

Kalimat diatas adalah puisi Asrul Sani sebagai bapak skenario Indonesia yang menggambarkan laut dengan sebuah keluasan dan kedalaman.Kalau penulis analogikan cita-cita Sukarno M Noor dalam dunia film ini diibarakan sebuah laut terbentang luas dengan hamparan-hamparan kekayaan mutiara dan ikan bertuah yang mendiaminya.Sukarno M Noor telah pergi meninggalkan kita pada 26 juli 1986 dengan meninggalkan cita-cita besar yang diteruskan putera-puterinya. Tapi haqqul yakin, bahwa perjalanan kembali menghadap Tuhan adalah garis takdir dan perjalanan mulia. Keyakinan itu tergambar dari idealismenya yang terus memancar dalam keluarga Rano Karno. Usmar Ismail (2008:170) menyakatan bahwa “ seorang seniman Indonesia akan tetap menjadi personifikasi hati nurani rakyat yang rindu akan kemerdekaan, keadilan dan kemakmuran lahir dan batin dan dia akan tetap menentang setiap kezaliman baik mental dan fisik, jika dia merasakan secara intens tiap denyut jantung rakyat, jika dia memasang jiwanya sebagai layar-radar yang menanggapi segala kejadian yang berlangsung di sekitarnya.

Hal ini terlihat bahwa berhasil atau tidak seseorang dalam hidup seseorang ketika ia tetap mempertahankan dirinya dan dikenang oleh banyak orang. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Satyagraha Hoerip (1995) bahwa penilaian terhadap seseorang rasanya baru dapat mendekati objektivitas, manakala seseorang yang bersangkutan telah tiada.  Tak seorang meragukan bahwa sukarno M Noor adalah seorang idealis yang konsisten sampai akhir hayatnya. Usmar Ismail (2005), berpandangan bahwa seniman sebagai manusia, pertama-tama adalah individualis dalam menifestasinya yang paling murni, karena ia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa untuk bertanggung jawab secara personal atas segala perbuatannya…..seniman-pun menurut Usmar, pada fitrahnya, individualis dalam manifestasinya yang paling murni. Seniman dengan demikian, identik dengan kamanusiaan dan individualitasnya sendiri karena tanggung jawab personalnya kepada Tuhan.

Satyagraha Hoerip sebagaimana disebutkan Harian Merdeka, 28 Juli 1986 mengatakan bahwa; ada dua sikap almarhum yang perlu diteladani para insan film, yakni Sukarno M Noor sebagai orang terkenal, tidak pernah merasa lebih tinggi dari teman-teman yang lain. Dia tidak sombong, ini perlu dicontoh. Terutama bagi artis baru, yang biasanya suka sombong, padahal baru satu dua film yang diperaninya. Kedua, almarhum selalu ingat latar belakang kehidupannya, serta selalu bersimpati pada orang-orang yang berjuang dari bawah.

Salah satu kesuksesan Sukarno m Noor dalam karir dan profesinya sebagai seniman teater dan film, tidak terlepas dari peran seorang ibu. Sukarno tahu benar. Setiap ia melangkah bekerja selalu menemui ibunya dengan mencium tangannya dan memberikan hasil kerjanya. Karena kasih sayang ibunya inilah Sukarno mengorbankan segalanya agar ibunya menjadi senang. Sebagaimana yang dituturkan isterinya Lily Istiarti “Mas karno itu sabar sekali kepada ibunya, begitu sayang kepadannya. Mas karno benar- benar hormat dan sayang kepada ibunya”.

Ada sesuatu yang bersejarah dalam diri Sukarno ketika ia saling memperebutkan piala citra dengan Deddy Mizwar dalam film (opera Jakarta) karya Sjuman Djaya dan film (Arie Hanggara) karya Arswendo Atmowiloto. Sebuah sejarah karena baru pertama kali terjadi seorang aktor merebut piala dalam kategori utama dan pembantu pada tahun yang sama. Ini merupakan cita-cita Sukarno M Noor untuk mendedikasikan kepada ibunya sebagai salah satu upaya kerja kerasnya. Sukarno berujar: usia manusia terbatas. Yang tidak terbatas itu cita-cita manusia. Ada sebuah petikan pelajaran bahwa harapan dan mimpi-mimpi yang besar mampu menciptakan orang-orang hebat. Hebat dalam menghidupkan mimpi, dan mewujudkan harapan menjadi kenyataan. Hingga saat ini Sukarno M Noor tetap memikat dan dikenang karena daya survivalitasnya membangun makna dan arti’ jendela untuk melihat dunia‘melalui. film.

Sikap kepiawaian dan rasa tanggung jawabnya terhadap keluarganya ditunjukkan dalam sikap pengabdiannya terhadap dunia seni, bahwa untuk menempuh kesuksesan memang dibutuhkan kesabaran, keikhlasan, dan ketelatenan dalam bekerja. Bekerja dengan sungguh-sungguh adalah prinsip yang diwariskan Sukarno kepada anak-anaknya…”warisan iman melampaui zaman” Sebagaimana yang terngiang dalam kalbu Rano Karno dalam syair Ebiet G Ade “ Di wajahmu masih tersimpan selaksa  peristiwa, benturan dan hempasan terpahat di keningmu” benar-benar menjadi awal prolog dan akhir epilog Rano Karno mewujudkan impian dan idealisme sang Ayah Sukarno M Noor yang tak lekang oleh zaman.

 

DAFTAR BACAAN 

 

SM. Ardan dkk, Jejak Seorang Aktor Sukarno M Noor, Jakarta: Aksara Karunia, 2004. 

Soeprobo, Satyagraha Hoerip, Dua Dunia Dalam Djadooeg Djajakoesoema, Jakarta: Dinas Kebudayaan DKI Jakarta 1995.

Choirotun Chisaan, Lesbumi  Strategi Politik Kebudayaan, Yogyakarta: LKiS, 2008. 

Richard Boleslavsky, Terjemahan Asrul Sani, Enam Pelajaran Pertama Bagi Calon Aktor, Jakarta: Usaha Penerbit Djaja Sakti, 1968. 

Yudiaryani, Panggung Teater Dunia: Perkembangan dan Perubahan Konvensi, Yogyakarta: Gondo Suli, 2012. 

Eddie Karsito, Panggung, Film dan Televisi: Sebuah Peristiwa Keaktoran, Jakarta:Ufuk Press, 2008.

 

*Penulis adalah Kreator di Panggung Budaya Nusantara Bogor. Alumnus Seni Urban dan Industri Budaya pada Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler