Skip to Content

MENGHADIRKAN KEMBALI PENGARANG

Foto SIHALOHOLISTICK

Maman S Mahayana

Betulkah pengarang tidak penting lagi ketika pembaca berhadapan dengan teks (sastra)? Meskipun perkaranya berbeda dengan kematian tuhan yang diproklamasikan Nietzsche, boleh jadi semangatnya semata-mata hendak merayakan kebebasan pembaca menafsir-maknai teks; atau memang kenyataannya begitu, yakni sesaat setelah teks lepas dari penulis—pengarangnya, seketika itu juga terbentang garis demarkasi yang memisahkan teks dengan pengarang. Teks lalu diperlakukan laksana anak panah yang lepas dari busurnya. Bukankah anak panah yang meluncur dan melenceng atau menancap pada sasarannya tidak lagi berhubungan dengan busurnya? Tetapi bagaimana anak panah itu bisa lepas? Bukankah daya luncur itu juga bergantung pada model busurnya; bergantung pada siapa pemanahnya, Robinhood atau Srikandi?

Merayakan otonomi dan kebebasan pembaca, tidak dapat lain, kecuali mesti memberi garis tegas antara teks dan pengarang. Dari sinilah, konon, hubungan pengarang dengan teks menandai masa perceraian. Teks menjadi milik publik dan pembaca berhak melakukan apa pun terhadapnya. Jika terjadi kesalahan intensional (intentional fallacy)[1] ketika pembaca coba menafsir dan memaknai teks, tidak sepatutnya pula pengarang berteriak histeris memperbaiki kesalahan itu. “Teks adalah satu-satunya sumber makna,” maka pembaca tidak perlu pula bersusah payah bertanya kepada pengarang tentang apa pun yang terdapat dalam teks. Dari sinilah perayaan kebebasan pembaca harus dibayar dengan kematian pengarang. Dengan perkataan lain, pengarang harus dialmarhumkan. Jika pengarangnya sudah almarhum, ia perlu dialmarhumkan lagi. Alasannya: segala makna sudah paripurna berada dalam teks. Lalu, masih perlukah menghadirkan pengarang di sana?

Apa sih perkara sesungguhnya sehingga muncul gagasan seperti itu? Dalam konteks itu, konon lagi, yang memberi makna atas teks tidak lain adalah pembaca. Pada saat itu, pengarang yang sudah almarhum atau yang sedang nongkrong di belakang, tidak punya kekuasaan apa pun untuk memengaruhi penafsiran, penilaian, dan pemaknaan pembaca. Tentu saja, sebagai pembaca, kita bebas melakukan apa pun. Bukankah kita juga punya hak untuk mencampakkan buku itu –selepas kita membacainya—lantaran kita tak beroleh apa-apa dari teksnya? Lalu, apa pula maknanya kita menghadirkan lagi pengarang, padahal pengarang sudah ikhlas melepaskan karyanya untuk dimacam-macami siapa pun pembacanya?

Begitulah, pada akhirnya pembacalah yang berkuasa atas teks. Jadi, tak apa-apa jika ada yang berkomentar, peduli hantu dengan pengarang? Matikan saja pengarang semati-matinya, hingga menyebut namanya pun tak penting lagi! Betulkah begitu? Lalu, apa pula maksud Roland Barthes mengibarkan judul artikelnya, “The Death of the Author”?[2]

***

Mari kita mulai dengan coba merayap ke khazanah cerita rakyat yang segalanya serba anonim. Bukankah dalam cerita-cerita yang anonim itu, keberadaan pengarang sudah raib entah di mana? Meskipun dalam cerita-cerita rakyat itu tak tercantum nama pengarang, bukankah semuanya diterima baik-baik saja. Jika begitu, masih perlukah di sana pengarang dihadirkan untuk menunjukkan betapa pentingnya otoritas itu dalam sebuah teks (sastra)? Dalam sejumlah hal, tentu saja saya perlu menyetujuinya. Tetapi, patut pula kiranya kita melihatnya dari cara pandang yang lain. Meskipun sudah sangat jelas di sana berlaku anonimitas, kita masih dapat mencari cara lain yang memungkinkan kita dapat menelusuri asal-muasal teks itu. Mari kita coba memulai dari cerita-cerita rakyat yang serba-anonim itu?

Siapakah makhluk manusia yang begitu cerdas menghasilkan legenda Candi Sewu? Mengapakah syarat satu malam mengerjakan 1000 candi yang diajukan Roro Jonggrang kepada Bandung Bondowoso, sang pembunuh Raja Baka, ayah Roro Jonggrang, nyaris sama dengan tuntutan Dayang Sumbi pada Sangkuriang? Mungkin ada perkaitannya, boleh jadi juga tidak. Tetapi, sudah barang tentu tidak bakal ada orang Jawa yang nekad mengklaim, bahwa legenda Sangkuriang sebagai buah karya orang Jawa. Pasti pula hal yang sama berlaku pada diri masyarakat Pasundan yang tidak bakal mengklaim, bahwa legenda Candi Sewu sebagai ciptaan orang Sunda.

Anonimitas! Masyarakat sudah membuat konvensi yang disepakati bersama, bahwa kisah tragis Roro Jonggrang dan Bandung Bondowoso atau legenda Sangkuriang adalah karya kolektif masyarakat Jawa dan Pasundan. Legenda-legenda itu sudah dipatenkan begitu saja menjadi milik bersama kedua suku bangsa itu (Jawa dan Sunda). Atau, setidak-tidaknya, generasi dari kedua suku bangsa itu, seperti sudah ditakdirkan menerima begitu saja, take for granted, bahwa ada cerita ajaib tentang laki-laki sakti mandraguna yang gagal lantaran muslihat perempuan merekayasa waktu; menciptakan rembang pagi. Pengarang yang seketika itu pula lesap dan masuk menjadi makhluk kolektif—masyarakat, bukan tidak diperlukan, melainkan sudah menjelma menjadi sekumpulan orang, kolektif, milik bersama sebagai kekayaan tradisi kultural masyarakatnya. Sudah barang tentu masyarakat Pasundan atau Jawa akan melakukan perlawanan ketika ada suku bangsa lain yang mengklaim bahwa kedua legenda itu bukan berasal dari kekayaan khazanah tradisi kultur Jawa dan Sunda.

Andai saja, misalnya, tiba-tiba ada anggota masyarakat Bali mewartakan, bahwa perahu yang ditendang Sangkuriang dan jatuh tertelungkup hingga menjelma Gunung Tangkuban Perahu itu, awalnya dibuat di Bali, tepatnya di kabupaten Badung. Orang Bali itulah yang menendang perahu hingga jatuh di dataran Pasundan. Itu pula asal-muasalnya nama Bandung sebagai penghargaan kepada masyarakat kabupaten Badung, Bali.

Andai lagi, tentang Bandung Bondowoso itu. Legenda Roro Jonggrang sebenarnya buah kreativitas orang Sunda. Buktinya apa? Ya, itu. Bukankah sang pangeran, pembunuh Raja Baka, ayah Roro Jonggrang bernama Bandung. Oleh karena itu, syarat semalam untuk membuat 1000 candi yang diajukan Roro Jonggrang kepada Bandung Bondowoso, itu kisah yang diambil dari legenda Sangkuriang, untuk menunjukkan kreativitas orang Bandung.[3]

Dua pengandaian yang ngawur itu niscaya bakal mendapat perlawanan tiada henti dari masyarakat Pasundan dan Jawa. Seperti sudah ditegaskan: legenda Roro Jonggang adalah harta kekayaan tradisi budaya masyarakat Jawa. Legenda Sangkuriang tak dapat dilenyapkan begitu saja sebagai milik masyarakat Pasundan. Di sini, perkara lokalitas menjadi penting. Roro Jonggrang adalah trademark Jawa; Sangkuriang adalah trademark Pasundan! Titik!

Tetapi bagaimana dengan kasus Jaka Tarub—Nawangwulan yang kehilangan selendang dengan anaknya yang semata wayang (Jawa) dan kisah Bidadari dan Tukang Kayu (Seonnyeo wa Namukun) (Korea) yang kehilangan baju dengan dua anaknya yang terbang ke Kahyangan? Boleh jadi siapa mempengaruhi siapa. Dan perkara pengaruh-mempengaruhi dalam kesusastraan—kebudayaan adalah sebuah kelaziman sebagai hasil interaksi dua budaya; sebagai penanda terjadinya proses akulturasi—inkulturasi makhluk manusia dalam mengembangkan kebudayaannya. Jelas, penanda lokalitas (Jawa dan Korea) kedua cerita rakyat itu yang membedakan dua masyarakat budaya. Dengan begitu, meskipun cerita rakyat itu anonim, kita masih dapat menangkap karakteristik yang khas berkaitan dengan warna tempatan dengan segala lokalitasnya, dan sekaligus masyarakat dengan kebudayaannya.

Perlu pula saya mengajukan dua legenda lain yang berasal dari tanah Minangkabau, yaitu Malin Kundang dan Batu Menangis. Malin Kundang dikutuk jadi batu lantaran tidak mau mengakui ibunya sendiri. Adapun Batu Menangis, konon berasal dari cerita masyarakat di pinggiran Danau Maninjau. Di sana, ada sebongkah batu yang kerap mengeluarkan air. Air itu tak lain adalah air mata seorang gadis yang menyesali perbuatannya yang kerap menganiaya sang ibu. Akibat perbuatannya itu, si gadis ditakdirkan dewataala menjadi batu. Pada saat-saat tertentu, menangislah si gadis menyesali nasibnya. Maka, batu itu pun mengeluarkan air. Itulah sebabnya batu itu disebut Batu Menangis!

Siapakah yang mengarang kedua legenda itu? Tak ada yang tahu. Ada apa pula Minangkabau bikin cerita yang terus hidup dan dihidupkan masyarakatnya dari generasi ke generasi? Betul, si pembuat cerita itu lesap menjadi bagian dari masyarakat Minangkabau. Maka, kisah itu dipercaya sebagai khazanah tradisi masyarakat Minangkabau. Sampai kini dan sampai entah kapan, rasanya tak ada seorang pun yang punya keberanian menafikannya. Di sana, lokalitas menjadi penting dan kedua legenda itu akan tetap hidup sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kultur Minangkabau.

Mengapa Malin Kundang dan si gadis dalam kedua legenda itu mesti mengalami nasib tragis? Jangan lupa: sistem keluarga dalam masyarakat Minangkabau mengikut garis matrilineal. Sistem kekerabatan yang berdasarkan garis keturunan ibu (ninik-mamak) ini menempatkan sosok ibu menjadi sangat penting. Maka, siapa pun yang coba menggerogoti kuasa ibu atau coba menggugat sistem kekerabatan itu, ia perlu mendapat hukuman lebih timpal. Tindak perbuatan apa pun yang dapat menggoyahkan tradisi itu, tidak cuma bakal membahayakan posisi ninik-mamak, tetapi juga akan menggoncangkan berbagai tatanan sosial yang sudah sekian tegak berdiri kokoh di sana. Malin Kundang dan si gadis itu, sungguh-sungguh sudah berkhianat pada ibu dan ninik-mamak. Jika ada pemaafan atas tindakan kedua tokoh legenda itu, sangat mungkin akan terjadi hal yang sama; pengkhianatan pada ninik-mamak bakal terulang kembali. Maka harus ada hukuman lebih timpal, yaitu menjadi batu. Jadi, kedua legenda itu berfungsi sebagai pengingat, sebagai alarm tanda bahaya bagi siapa pun yang mencoba-coba berkhianat pada ninik-mamak.

Kita tidak mengetahui siapa yang membuat kedua legenda itu. Tetapi, kembali, anonimitas tidaklah penting, sebab ia merepresentasikan sebuah kultur dalam satu komunitas yang bermukim dalam wilayah tertentu. Lokalitas bertindak sebagai penanda wilayah budaya. Dalam hal ini, anonimitas tergantikan oleh lokalitas. Dalam sebuah artikel yang bertajuk “What is an Author?”[4] Michel Foucault mengatakan; “Kalau kebetulan teks itu tersaji secara anonim, maka akan ada upaya mati-matian untuk melokasikan penulisnya.”

Kini, coba perhatikan teks berikut. Makhluk apakah gerangan?

            Berakit-rakit ke hulu

            Berenang-renang ke tepian

            Bersakit-sakit dahulu

            Bersenang-senang kemudian

Pisang emas dibawa berlayar

Masak sebiji di atas peti

            Hutang emas boleh dibayar

            Hutang budi dibawa mati

Seketika kita sudah dapat memperoleh jawabannya: pantun Melayu! Dari mana kita tahu, bahwa itu pantun Melayu? Karakteristik pantun Melayu di sana tidak dapat begitu saja dihilangkan atau diganti dengan wilayah budaya lain. Di sana ada ruh budaya bersemayam, mendekam, dan menjadi penanda; menjadi karakteristik. Maka, kita pun terlalu sulit—atau mustahil—memisahkan ruh itu dari teksnya. Jadi, meskipun terjadi anonimitas, tokh lokalitas budayanya masih dapat ditelusuri. Artinya, manakala teks memasuki ruang publik, pembaca tidak serta-merta punya kebebasan mencampakkan ruh budayanya, mengganti lokalitasnya ke wilayah budaya yang lain. Sangkuriang dengan sungai Citarum-nya, Roro Jonggrang dengan Candi Sewu-nya, adalah penanda lokalitas yang tidak dapat melepaskan diri dari kebudayaan dan masyarakat yang mengepung dan mengelilinginya.

Lalu, bagaimanakah duduk perkaranya dengan teks yang di sana tercantum eksplisit nama pengarangnya? Saya kutip lagi pernyataan Michel Foucault: “… wacana ‘sastra’ dapat diterima apabila nama penulisnya dicantumkan, setiap teks puisi atau fiksi berkewajiban untuk mencantumkan penulis, tanggal, tempat dan lingkungan penulisannya. Makna dan nilai yang menempel pada teks tergantung pada informasi inikarya sastra di masa sekarang dianggap sebagai perwujudan kedaulatan penulisnya. ”

Kini mari kita coba mengajukan contoh kasus berdasarkan khazanah kesusastraan Indonesia. Sebut saja misalnya, novel Sitti Nurbaya (1922) karya Marah Rusli. Pentingkah kita (: pembaca) “menghidupkan” kembali pengarangnya untuk (lebih) memahami teks novel itu? Sitti Nurbaya adalah novel yang diterbitkan sebuah lembaga penerbit kolonial Belanda yang bernama Balai Pustaka. Di sana ada tokoh Sitti Nurbaya yang menikah—sebagai pengorbanan kepada sang ayah— dengan Datuk Meringgih. Pertanyaan pertama: siapakah Datuk Meringgih? Lalu, ada pula Samsul Bachri, pemuda cengeng yang belakangan menjadi kaki tangan Belanda dengan nama baru: Kapten Mas. Pertanyaan kedua: mengapa Samsul Bachri dikisahkan sebagai pemuda cengeng yang akhirnya tewas di tangan Datuk Meringgih? Di sana, ada kisah tentang pemberontakan belasting (pajak). Pertanyaan ketiga: ada apa pula dengan fakta sejarah peristiwa pemberontakan pajak di Minangkabau?

Tanpa mengungkapkan biografi pengarang, dapat saja kita sampai pada makna teks. Apa temanya, siapa saja tokoh-tokohnya, dan di mana serta kapan latar cerita berlangsung. Sampai di sini, pemahaman kita tentang makna novel itu hanya sebatas yang terungkap dalam teks. Itulah makna tekstual. Tetapi, bagaimana persoalan di belakang dan di depan teks itu? Dengan “menghidupkan” kembali pengarangnya, sedikitnya kita dapat mengungkapkan lima persoalan, yaitu (1) ideologi pengarang yang berkaitan dengan masalah nasionalisme, (2) kebijaksanaan Balai Pustaka sebagai badan penerbit kolonial, (3) fakta historis yang menjadi bagian cerita, (4) latar kultural yang berada di balik unsur-unsur intrinsik (tema, latar, tokoh) novel itu, dan (5) hubungan novel Sitti Nurbaya dengan karya Marah Rusli lainnya yang terbit kemudian.[5]

Dalam persoalan ini, di belakang Marah Rusli ada Minangkabau yang tidak dapat dihilangkan begitu saja. Bukankah sejarah telah mencatat, bahwa pecahnya pemberontakan pajak di Minangkabau, lantaran Belanda hendak menghancurkan sistem waris berdasarkan  hubungan ninik-mamak dengan sistem perpajakan Belanda. Di samping itu, pemerintah Belanda juga tak mengakui pembayaran berdasarkan ketentuan zakat. Lalu, di depan Marah Rusli, masih ada pula persoalan nasionalisme yang bagaimanapun menjadi bagian dari kesadarannya sebagai kaum terpelajar ketika itu.

Kasus yang sama dapat kita terapkan pada novel Salah Asuhan (1928) Abdoel Moeis. Perlu diketahui, novel itu ditulis Abdoel Moeis ketika berada dalam masa pengasingan di Garut, Jawa Barat. Sebagai tokoh pergerakan, mustahil novel itu tidak berisi muatan ideologi pengarang dalam hubungannya dengan perkara nasionalisme. Atau, setidak-tidaknya, kita (pembaca kritis) perlu mencurigai adanya pesan ideologis. Jadi, usaha “menghidupkan” kembali pengarang akan dapat melengkapi pemahaman kita tentang berbagai aspek yang berada di luar teks. Dalam hal ini, teks sesungguhnya belum lengkap benar, jika kita melepaskannya dari latar budaya dan ideologi pengarang. Dengan begitu, teks terlahir tidak berdiri sendiri. Kehadirannya tidak seperti muslihat para pesulap: simsalabim adakadabra! Maka seketika itu pula, keluarlah bunga, burung, atau kelinci.

Teks terlahir dari sejumlah persoalan di belakangnya dan sekian harapan di depannya. Ada proses panjang dan tidak seketika jadi. Teks bukanlah, jadi maka jadilah, melainkan perjalanan panjang sebuah proses pergulatan pemikiran manusia pengarang dalam kepungan berbagai budaya yang diterima dan sekaligus ditolaknya. Teks menyimpan begitu banyak makna tersembunyi dan itu hanya mungkin dapat ditelusuri dan diungkap lebih lengkap, jika kita melacak jejak pengarangnya. Bukankah Roland Barthes juga menegaskan begini: “Kita tahu kini bahwa sebuah teks bukan hanya rangkaian kata-kata dengan satu makna yang “sakral” (“pesan” dari sang Maha Pengarang), tetapi sebuah ruang multidimensi yang memungkinkan beragam bentuk, tak satu pun yang asli, yang berbaur dan berbenturan. Teks adalah sebuah kutipan yang diambil dari budaya yang tak terhitung jumlahnya.”[6]

Dapatkah kita membayangkan, bagaimana melepaskan Ajo Sidi dari Navis dan Minang? Atau, terterimakah sosok Ajo Sidi sebagai orang Jawa, Sunda atau Melayu? Ini bukan sekadar perkara pengandaian, tetapi selalu ada logika kultural ketika tokoh dalam karya sastra mengangkat fakta sosio-budaya. Akibatnya, tidak dapat lain, teks itu terpaksa dicantelkan kembali ke belakang: siapa pengarangnya. Ajo Sidi adalah prototipe orang Minang yang kecintaannya pada Minang tidak dengan mengobral puja-puji, melainkan dengan kritik. Maka, otokritiknya terkesan lepas begitu saja tanpa beban, lantaran ia merasa telah menyampaikan sesuatu yang diyakininya benar. Peribahasa “Takuruang hendak di luar, tahimpit hendak di atas ‘Terkurung maunya di luar, terhimpit maunya di atas’ menunjukkan  bentuk otokritik orang (Minang) yang cenderung mau enaknya sendiri, meski berada dalam berbagai kesulitan. Mereka menyadari bahwa hal tersebut sebagai sesuatu yang tiada elok.

Sekarang coba periksalah Para Priyayi—“Ahmad Tohari” dan bandingkan dengan Ronggeng Dukuh Paruk—“Umar Kayam”! Seketika Anda akan beranggapan, bahwa itu salah ketik, ketlingsut! Tentu saja tokoh Sastrodarsono (Para Priyayi) tak dibesarkan dalam kepungan budaya Jawa pinggiran yang berdasarkan teori gelombang, termarginalisasikan oleh pusat kekuasaan keraton. Ahmad Tohari tempatnya bukan di sana; bukan di Para Priyayi. Sastrodarsono tidak dekat dengan lokalitas budaya yang mengepung Ahmad Tohari. Hal yang sama berlaku juga pada tokoh Rasus (Ronggeng Dukuh Paruk) jika dikaitkan dengan Umar Kayam.

Dalam hal ini, teks tidak sekadar tumpukan kalimat yang membentuk deretan alinea yang lalu membangun sebuah wacana, melainkan juga sebaran makna yang di sana mendekam ikon budaya. Umar Kayam tidak dapat dihilangkan begitu saja ketika kita mencoba memahami secara lengkap ketokohan Sastrodarsono. Ia representasi sosok seorang Jawa yang berhasil masuk ke dalam lingkungan dunia priayi melalui sebuah proses capaian. Sastrodarsono bukan keturunan bangsawan. Ia meraihnya lewat dunia pendidikan. Seperti juga capaian yang berhasil direngkuh tokoh Lantip. Dengan demikian, Sastrodarsono dan Lantip adalah tokoh priayi rekaan yang berada dalam idealisasi Umar Kayam. Meskipun kedua tokoh itu rekaan, keduanya memperoleh legitimasi kultural ketika Umar Kayam, Sang Pengarang, tidak dibuang dan ditenggelamkan begitu saja.

Begitulah, ketokohan Sastrodarsono, Lantip atau Rasus dan Srintil, sesungguhnya menyimpan lokalitas budaya yang secara laten mengelilingi Umar Kayam dan Ahmad Tohari. Pembaca tidak berhadapan dengan kertas putih atau teks yang di sana-sini boleh dimasuki kebebasan menafsir. Ada sumber terpercaya yang dapat digunakan sebagai referensi atau acuan memasuki medan tafsir, yaitu pengarang.

Dalam lingkup yang lebih luas, sastra Indonesia, penghadiran kembali pengarang menjadi penting, lantaran pengarang Indonesia cenderung tidak dapat melepaskan dirinya dari kebudayaan yang telah melahirkan dan membesarkannya. Empat Serangkai –Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca— misalnya, bukanlah teks yang selesai ketika kita mencoba melakukan penafsiran—pemaknaan. Betul, sebagai teks yang dihasilkan Pramoedya Ananta Toer, mereka—karya-karya itu—selesai: paripurna! Tetapi manakala kita coba menafsir dan memaknainya, tidak dapat lain, idealisasi seorang Pramoedya Ananta Toer mesti dihadirkan lagi di sana. Dalam karya-karya itu, kegelisahan, obsesi, ideologi, dan segala macam pengalaman sejarah, sosio-budaya-politik Pramoedya Ananta Toer sebagai pengarang, menyebar di sana-sini dalam tumpukan kalimat dan alinea. Pemahaman kita pada ketokohan Minke tidak berhenti pada tokoh faktual Tirto Adhi Soerjo, melainkan terus menuju sumbernya: Pramoedya Sang Pengarang.[7] Jadi, teks seperti sebuah muara yang dapat ditelusuri jejaknya sampai ke sumber mata airnya: pengarang!

Betul, bahwa tugas pembaca (biasa) coba memahami dan memaknai teks an sich.  Sampai di situ, pembaca sampai pada pemahaman makna tekstual. Tetapi, jika ia hendak menempatkan diri sebagai pembaca terdidik yang tak cukup puas berhenti di situ, ia seyogianya melakukan penelusuran lebih jauh pada dunia di luar teks. Tugas mulia itu bukan berarti mengganti teks dengan biografi pengarang. Sama sekali tidak! Biografi pengarang bertujuan untuk mencantelkan teks dengan kebudayaan yang mendekam dan bersembunyi di sana. Dengan begitu, teks itu tidak diperlakukan sebagai artefak yang beku, melainkan –seperti dikatakan Roland Barthes—sebuah kutipan yang diambil dari budaya yang tak terhitung jumlahnya.” Teks menjadi sesuatu yang hidup. Di situlah usaha memisahkan teks dengan pengarang dapat dianggap sebagai musibah kebudayaan. Penenggelaman pengarang hakikatnya sama dengan pengerdilan, pembonsaian, dan pemiskinan teks yang menyimpan begitu banyak kekayaan berbagai pesan budaya.

Boleh jadi, cara yang memungkinkan kekayaan teks terungkapkan dengan mengandaikannya sebagai puisi. Dalam hal ini, teks (sastra) diperlakukan sebagai puisi yang pemahamannya pertama-tama berdasarkan makna tekstual, dan selepas itu, melakukan penelusuran berdasarkan makna di sebaliknya, dan selepas itu lagi, konteksnya dalam sebuah wacana besar tentang kebudayaan yang menjadi ruhnya. Begitulah, menghadirkan kembali pengarang dalam teks (sastra) tidak menempatkan fatwa pengarang di atas segala-galanya, melainkan sebagai usaha membongkar kekayaan teks dengan berbagai makna kultural yang mendekam di sana. Dengan demikian, memberi kebebasan seluas-luasnya kepada pembaca tidak berarti pula hendak mematikan pengarang, lantaran teks dianggap sudah lengkap. Secara faktual, benar teks sudah terlepas dari diri pengarangnya. Tetapi, secara kultural, teks itu tetap menyimpan ruh kultural pengarangnya. Oleh karena itu, kebebasan pembaca dalam memahami dan memaknai teks, perlu ditempatkan sebagai langkah awal. Lalu, manakala teks hendak dicantelkan dengan kebudayaan yang mendekam di dalamnya, penghadiran kembali pengarang akan sangat membantu mencapai tujuan tersebut.

Akhirnya, sebagai usaha menegaskan kembali pentingnya menghadirkan pengarang di tengah perayaan kebebasan pembaca, saya kutip kembali pernyataan Roland Barthes berikut ini: “Kita harus memberi ruang pada tulisan dan membuang mitos bahwa lahirnya pembaca harus dibayar dengan matinya sang pengarang.”[8]

Nah, kiranya demikian!


[1] William K. Wimsatt and Monroe C. Beardsley, “The Intentional Fallacy,” Sewanee Review, Vo. 54, 1946: 468-488.

[2] Esai ini pertama kali terbit dalam bahasa Prancis tahun 1967. Kemudian terbit dalam bahasa Inggris yang dimuat dalam American Journal Aspen, No. 5—6, 1967. Roland Barthes, “The Death of the Author,” Image-Music-Text. London: Routledge, 1977.

[3] Jika dikaitkan dengan persoalan pengaruh—mempengaruhi, kasus legenda Sangkuriang dan Candi Sewu ini, meskipun sulit menentukan siapa mempengaruhi siapa, kita dapat menelusurinya berdasarkan tarikh penyebaran Hinduisme di Jawa. Kasus yang sama boleh jadi berlaku pada drama klasik Oedipus Sang Raja karya Sophokles, yang sangat mungkin dipengaruhi kisah Nabi Musa As. Simak juga legenda Ciung Wanara, tampaknya juga diilhami kisah Nabi Musa.

[4] Michel Foucault, “What is an Author?” Donald F. Bouchard and Sherry Simon, Language, Counter-Memory, Practice. Ed. Donald F. Bouchard. Ithaca, New York: Cornell University Press, 1977, p. 124—127.

[5] Maman S Mahayana, Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007.

[6] Roland Barthes, “The Death of the Author,” Image-Music-Text. London: Routledge, 1977.

[7] Periksa Koh Young Hun, Pramoedya Menggugat: Melacak Jejak Indonesia, Jakarta: Gramedia, 2011.

[8] Roland Barthes, “The Death of the Author,” Image-Music-Text. London: Routledge, 1977.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler