Skip to Content

PERJALANAN PEMIKIRAN ACHDIAT KARTA MIHARDJA

Foto SIHALOHOLISTICK

Maman S. Mahayana

Sastra adalah catatan pemikiran. Ia sebuah representasi dari berbagai-bagai gagasan, kegelisahan, idealisme, atau ideologi pengarangnya. Bahwa di dalamnya ada bangunan dunia imajinatif, ia sekadar kemasan, bungkus yang seolah-olah sedemikian rupa dimaksudkan untuk alat menyimpan segenap pemikiran. Sebuah lemari besar yang di dalamnya bertumpuk-tumpuk catatan pemikiran mengenai yang berbagai-bagai itu. Mengingat catatan pemikiran itu berangkat dari sesuatu (pengalaman) yang sudah terjadi, maka sesungguhnya, hakikat sastra tidaklah jauh berbeda dengan sejarah –yang juga mencatat segala peristiwa yang sudah terjadi. Betapapun dunia dalam karya sastra sangat mungkin tidak selalu menggambarkan peristiwa masa lalu, tidaklah berarti catatan itu serta-merta berada di masa depan. Bukankah sastra selalu bersumber dari peristiwa (pengalaman) yang sudah terjadi (masa lalu). Bukankah segala yang sudah tercatat itu seketika itu menjadi masa lalu? Dengan begitu, sastra sesungguhnya juga merupakan rekaman berbagai peristiwa –atau apapun—yang sudah terjadi. Ia merupakan dokumen pemikiran. Folder dengan aneka macam filenya. Bukankah begitu karya itu selesai ditulis, seketika itu pula ia sudah menjadi sebuah dokumen; rekaman pemikiran yang sudah menjadi bagian dari masa lalu.

Mengingat dunia imajinatif dalam karya sastra merupakan tiruan atas kehidupan sehari-hari (imatitation of reality), maka karya sastra itu juga merupakan dokumen yang mencatat realitas yang sudah terjadi (masa lalu) sebagai hasil pemikiran pengarangnya. Dalam hal ini, pengertian sastra sebagai refleksi realitas, tidaklah semata-mata melaporkan realitas itu sendiri, melainkan melaporkan realitas yang sudah mengendap dan memperoleh pemaknaan. Ia menjadi sebuah pemikiran tentang sesuatu. Realitas itu hadir dan dihadirkan untuk kepentingan pemikiran itu sendiri. Dan kita –pembaca—boleh saja menghubungkan atau menafsirkannya dengan pengalamannya sendiri, relevan atau tidak pengalaman itu, tidaklah penting benar.

Dengan begitu, karya sastra bukanlah sekadar pengalaman an sich. Ia tak terlepas dari kreasi imajinatif. Maka, pandangan bahwa karya sastra sebagai dokumen realitas, mesti dimaknai sebagai realitas yang telah mengalami proses panjang pengendapan di dalam pemikiran pengarangnya. Jadi, yang utama adalah pemikiran yang menguasai penciptaan itu; pemikiran yang disampaikan pengarang melalui karyanya. Pemikiran itu sekaligus merupakan pantulan pengalaman pengarang dalam kehidupan masa lalunya. Ia berkaitan erat dengan situasi sosial zamannya saat karya itu sendiri dilahirkan.

Mengingat karya sastra tidak terlepas dari kreasi imajinatif pengarangnya, sebagai sumber sejarah, karya sastra termasuk sumber yang sulit dapat dipertanggungjawabkan secara faktual. Tetapi ada dua hal yang penting yang dapat disumbangkan sastra. Pertama, sastra dapat memberikan pantulan-pantulan tertentu tentang perkembangan pikiran, perasaan dan orientasi. Kedua, sastra dapat pula memperlihatkan bagaimana bekerjanya suatu bentuk struktural dari situasi historis tertentu dari lingkungan penciptanya ….

Dalam konteks itu, menempatkan karya-karya Achdiat Karta Mihardja, khasnya tiga novel penting yang dihasilkannya, sebagai perkembangan pemikiran pengarangnya menjadi sesuatu yang wajar, tak mengada-ada, dan boleh dilakukan. Bukankah penggalian teks dan menghubungkan dengan konteksnya, tidak hanya membuka peluang untuk itu, tetapi juga dapat digunakan sebagai pintu masuk untuk lebih memahami pemikiran pengarang dalam hubungannya dengan sikap, ideologi, dan tanggapannya atas situasi sosial yang terjadi pada zamannya. Bagaimanapun juga, pemahaman terhadap karya sastra hanya mungkin dapat dilakukan secara lebih lengkap jika karya itu sendiri tak dipisahkan dari lingkungan, kebudayaan, atau peradaban yang telah menghasilkannya. Setiap karya sastra adalah hasil pengaruh yang rumit dari faktor-faktor sosial dan kultural.
***

Melihat tarikh penerbitan ketiga novel itu (1949, 1973, dan 2005), serta-merta kita dapat menempatkan ketiga karya itu ke dalam tiga fase perkembangan pemikiran Achdiat Karta Mihardja (AKM). Atheis sebagai fase pertama, Debu Cinta Bertebaran (DCB) sebagai fase kedua, dan Manifesto Khalifatullah (MK) sebagai fase ketiga. Dari sana, sangat mungkin kita dapat mengungkapkan lebih jauh pandangan dan kegelisahan AKM dalam menyikapi problem bangsa ini. Mari kita coba menelusurinya.
***

Atheis (1949) bolehlah dikatakan sebagai buah pemikiran dan kegelisahan seorang Achdiat Karta Mihardja (AKM) atas situasi zaman ketika bangsa ini berada dalam masa transisi. Tokoh-tokoh yang ditampilkan di sana seperti merepresentasikan berbagai golongan masyarakat dalam menyikapi problem Timur—Barat yang belum selesai dalam perdebatan Polemik Kebudayaan. Dalam perdebatan itu, posisi Achdiat jelas: menolak feodalisme (kebudayaan Timur yang lapuk) dan menerima modernisme dengan catatan kritis. Bagi AKM sendiri, pengertian Timur—Barat tidak dalam pengertiannya yang sempit, melainkan dalam pengertian yang lebih luas, yaitu yang menyangkut perbedaan masyarakat dan kebudayaannya –di dalamnya tentu saja termasuk sistem kepercayaan. Perhatikan kutipan berikut yang memperlihatkan sikap AKM mengenai hal tersebut.

Seorang dialektikus Sutan Sjahrir, pernah berkata … bahwa kini tak usah pilih-pilih antara Timur dan Barat, sebab kedua-duanya akan silam dan sekarang ini sedang tenggelam ke masa silam. Maksud Sjahrir ialah Barat yang kapitalistis dan Timur yang feodalistis.
Dengan menyetujui pendapat Sjahrir tersebut, timbullah soal yang hangat bagi kita. Kalau tidak Timur tidak Barat, apakah harus kita pilih?

AKM menyatakan pentingnya sikap kritis dalam memandang persoalan Timur—Barat, yaitu dengan menyelidiki, mengupas, dan memeriksa dengan seksama agar bangsa ini tidak terikat sesuatu dogma, “suatu hal yang menjadi syarat penting untuk perkembangan kebudayaan kita.”

Berbeda dengan Sutan Takdir Alisjahbana yang secara tegas menerima Barat dan menjadikan Barat sebagai orientasinya, AKM justru menerimanya dengan catatan itu tadi, “menyelidiki, mengupas, dan memeriksa dengan seksama agar bangsa ini tidak terikat sesuatu dogma.” Hal itu juga yang dilakukannya dalam menyikapi kebudayaan sendiri. Jadi, jika mencermati pernyataan itu, ada tiga hal yang menurutnya perlu diselidiki, yaitu (1) pengaruh Barat, (2) kebudayaan sendiri, dan (3) dogma. Lalu bagaimanakah gagasan itu bisa diselusupkan ke dalam Atheis, meski novel itu sendiri sesungguhnya tidak sesederhana itu.

Tokoh Rusli yang karena kesadaran politik dan ideologinya, justru berhasil memanfaatkan pengaruh (: pemikiran) Barat untuk kepentingan perjuangannya. Dalam hal kepercayaan, Rusli memang ateistik, tetapi ia menolak kapitalisme. Tentu saja itu berkaitan dengan ideologi yang dianutnya. Jadi, dalam hal ini, Rusli seperti mewakili kelompok atau golongan masyarakat tertentu yang dapat menentukan pilihan apapun atas dasar kesadaran, dan bukan sekadar ikut-ikutan. Citra tokoh Rusli yang cerdas, terpelajar, propagandis, dan konsekuen atas pilihan ideologinya itu, sangat berbeda dengan gambaran ketokohan Anwar yang anarkis, individualis, dan kerap tidak konsekuen antara ucapan dan perbuatan. Ada kesan, Anwar dicitrakan sebagai orang yang sok “kebarat-baratan”. Meskipun demikian, baik Rusli maupun Anwar, keduanya sangat menyadari bahwa itulah ideologi yang dianutnya, itulah pilihan hidupnya.

Pertanyaannya kini: mengapa AKM membiarkan kedua tokoh itu tetap hidup dan tidak mengalami cedera apa-apa, sebagaimana yang terjadi pada diri Hasan –yang mengidap TBC, ditangkap Kempetai, dan mati—dan ayahnya, Raden Wiradikarta –yang kecewa atas perubahan sikap Hasan, dan kemudian juga mati? Sangat mungkin itu merupakan bentuk “penghukuman” atas sikap pembeo, penuh keraguan, dan taklid buta seorang tokoh Hasan. Bahwa Raden Wiradikarta itu juga mati, bolehlah kita tafsirkan sebagai korban keragu-raguan tokoh Hasan atau kekhawatirannya terikat oleh suatu dogma.

Hal lain yang disorot AKM dalam novel itu adalah persoalan tahayul, dogma agama, dan kisah-kisah neraka yang menempatkan agama sebagai sesuatu yang menakutkan. Dan itulah yang terjadi di sebagian besar masyarakat Indonesia. Beribadat bukan lantaran pengabdian atau kecintaan kepada Tuhan, melainkan lantaran ketakutan masuk neraka atau agar kelak bisa masuk surga. Itulah beberapa persoalan yang diangkat AKM dalam Atheis. Meskipun pembicaraan ini sangat simplistis, setidak-tidaknya kita dapat menangkap, bagaimana pemikiran AKM menyikapi persoalan yang terjadi dalam masyarakat Indonesia masa itu. Kenyataannya, tahayul dan cara pengajaran agama yang kerap dihiasai kisah-kisah surga dan neraka itu, sampai kini masih banyak kita jumpai.
***

Berbeda dengan Atheis, persoalan yang diangkat AKM dalam Debu Cinta Bertebaran (DCB), menyangkut konsep cinta yang tidak jarang diterjemahkan secara keliru. Jika perkara teisme—ateisme menyangkut keyakinan manusia akan keberadaan atau ketiadaan Tuhan, maka persoalan cinta menyangkut hubungan dua –atau lebih—manusia yang bisa sejenis bisa juga tidak. Dengan mengambil latar waktu sekitar tahun 1960-an sampai awal pemerintahan Orde Baru dengan latar tempat di Australia, AKM sangat leluasa memasukkan pandangan-pandangannya tentang itu. Hal tersebut dimungkinkan juga oleh cara bertuturnya yang memberi banyak ruang pada dialog.

Dengan memanfaatkan tokoh Rivai, seorang wartawan yang entah mengapa harus meninggalkan istrinya –yang gila—di Indonesia, AKM dapat memasukkan pemikiran dan gagasannya jauh lebih leluasa dibandingkan dengan penggunaan bentuk pencerita “Aku” sebagaimana yang terjadi dalam Atheis. Dengan alasan hendak menulis novel, Rivai banyak berhubungan dengan manusia dari berbagai macam bangsa.

Cinta dengan berbagai definisi dan tafsirnya, ternyata juga bukan persoalan sederhana. Cinta Rivai terhadap istrinya, Fatimah, yang gila, lambat-laun akhirnya berubah menjadi kasih sayang dan belas kasihan. Berpisah selama 15 tahun, ternyata juga tidak harus berakhir dengan perceraian. Sementara itu, cinta Frieda terhadap suaminya, Ulf yang didera penyakit paru-paru, menggiringnya pada pemikiran agar dokter yang merawat suaminya itu melakukan euthanasia atau mercy killing –melepaskan penderitaan seseorang dengan menyegerakan kematiannya.

Pasangan kumpul kebo Janet dan Peter Thomas lain lagi dalam menerjemahkan konsep cinta. Bahwa cinta tidak harus mengorbankan kebebasan individu masing-masing pasangan. Maka, cinta tidak harus diwujudkan dalam ikatan perkawinan, dan masing-masing pasangan bebas pula melakukan hubungan seks dengan siapa pun yang disukainya. Sedangkan tokoh Judy yang bercinta dengan Hermanus, beranggapan bahwa cinta tidak dapat dipisahkan dengan kehadiran dan hubungan badani.

Demikianlah, beraneka ragam pemahaman tentang cinta datang dari kepentingan masing-masing dalam urusan itu. Ia tidak dibatasi oleh suku bangsa, agama atau usia. Tokoh Rivai sendiri akhirnya juga jatuh cinta lagi kepada Deanne Jorgensen, meskipun pada saat-saat tertentu, Rivai harus kalah oleh hasrat seksnya pada Janet atau Frieda.

Satu hal yang tampaknya hendak ditekankan AKM dalam perkara ini adalah ekses yang mungkin ditimbulkannya, yaitu seks bebas. Banyak tokoh dalam novel ini yang cenderung mengusung seks bebas. Tokoh Dr. Ingrid Fry, misalnya, yang sama sekali tidak mementingkan makna kegadisan dan perlunya memahami seks pranikah (sex premarital), seks di luar nikah (sex extramarital), Janet dan Peter Thomas yang bisa seenaknya gonta-ganti pasangan, atau Christine yang akhirnya hamil.

Dalam konteks ini, gagasan AKM –meski dalam DCB—tak memperlihatkan keberpihakannya pada tokoh-tokoh tertentu atau cenderung sekadar memotret fenomena sosial yang terjadi di Australia –yang kebetulan juga banyak dilakukan orang-orang Indonesia di sana— seperti hendak mengingatkan bahaya dari ekses kebebasan seks. Dan persoalan seks bebas itu, kini sangat mungkin benar-benar terjadi di Jakarta.

Jadi, jika ada pertanyaan: Mengapa AKM dalam DCB mengungkapkan berbagai ragam debu cinta yang terjadi di negeri asing, tidak sebagaimana yang dilakukannya dalam Atheis yang berbicara tentang problem masyarakat bangsanya? Apa pula maknanya bagi kemajuan bangsa ini? Justru dalam konteks sekarang inilah novel DCB seperti hendak mengingatkan kita akan bahaya seks bebas. Dan AKM telah mengisyaratkan itu lebih dari 30 tahun yang lalu.
***

Berbeda dengan Atheis dan DCB, dalam novel ketiganya yang berjudul Manifesto Khalifatullah, AKM seperti sengaja menegaskan sikap keseluruhan perjalanan hidupnya selama hampir satu abad ini. Novel setebal 219 halaman ini terdiri dari empat bagian, yaitu (1) Prolog, (2) Fantasi Cerah Menembus Gelita Jahiliah Modern, (3) Manifesto Khalifatullah, dan (4) Epilog.

Di bagian akhir Prolog, si tokoh saya mengatakan, “… setelah banyak merenung dan kedua belah mata saya yang “buta huruf” dapat bantuan tenaga typist komputer yang cukup cerdas dan cekatan orangnya, maka khayal kreatif saya berhasillah menciptakan sebuah kispan …” (hlm. 81). Kembali, pola ini mengingatkan kita pada tokoh “saya” yang menerima naskah otobiografi tokoh Hasan (Atheis) dan tokoh Rivai yang berniat menulis novel (DCB). Batas tipis antara fakta dan fiksi seperti sengaja dihadirkan di sana, dan bentuk penceritaan Atheis laksana terus membayangi pikiran AKM.

Persoalannya sendiri berawal pada penentangan tokoh saya atas ideologi kapitalisme dan sekularisme. Mula-mula ia bertemu dengan pengusaha Amerika yang menganggap Tuhan sekadar persoalan sepele. Kemudian tokoh saya jumpa dengan Rosy Brisley, janda yang belum lama ditinggal mati suaminya. Rosy beranggapan bahwa “Manusia adalah ciptaan alam, dan … tidak ada yang Maha Pencipta kecuali alam sendiri…” Dari sana kemudian cerita bergulir hingga menyinggung persoalan kapitalisme dan sekularisme. Tokoh-tokoh dunia pun bermunculan, mulai tokoh-tokoh pemikir Indonesia seperti Sutan Takdir Alisjahbana, Chairil Anwar, Sjahrir, Bung Karno, para pemikir seperti Nietzshe, Goethe, rohaniawan agung Siddharta dan Pastor Calvinus, ekonom Adam Smith, tokoh-tokoh Komunis macam Karl Marx, Friedrich Engels, dan Lenin, sampai ke tokoh kunci Abah Arifin, Manusia Biasa Saja. Tokoh inilah yang kemudian memproklamasikan manifestonya.

Bahwa kunjungan ekonom Adam Smith dan tokoh-tokoh Komunis macam Karl Marx, Engels, dan Lenin ke tempat Abah dan kemudian Abah membekali mereka dengan sebuah amplop berisi sebuah cerita, secara simbolik menunjukkan pentingnya kapitalisme dan komunisme diisi oleh spiritualitas agama agar terjadi keseimbangan antara individualisme dan nilai-nilai keagamaan. “… agama dan ilmu pengetahuan harus bersatu berbimbingan tangan. Kalau tidak, agama maupun ilmu pengetahuan bisa acak-acakan. … Agama kehilangan akal sehatnya, ketinggalan zaman, bahkan antikemajuan. Sebaliknya, ilmu pengetahuan tanpa iman kepada Yang Maha Esa lebih acak-acakan lagi…” (hlm. 144). Dalam bahasa Einstein: “science without religion is blind; religion without science is lame.” (Ilmu tanpa agama, buta; agama tanpa ilmu, pincang).

Selain itu, kehadiran Pastor Calvinus dan proklamasi Manifesto Khalifatullah yang disampaikan tokoh Manusia Biasa Saja, Abah Arifin, seorang ulama (sufi) di hadapan umat manusia (modern) menegaskan kembali pentingnya makna kerja. Slogan Ora et Labora (berdoalah dan bekerjalah) menunjukkan pentingnya kesadaran akan tugas dan kewajiban manusia di muka bumi ini, yaitu adanya keseimbangan antara urusan dunia dan akhirat. Keduanya sama-sama penting. Keduanya saling melengkapi. Yang satu baru bermakna jika yang satunya lagi tidak diabaikan.
***

Demikianlah, sebagai novel gagasan, Manifesto Khalifatullah tidak hanya menegaskan sikap hidup seorang Achdiat Karta Mihardja dalam memandang Indonesia dan hubungannya dengan berbagai ideologi di dunia, melainkan juga memberi begitu banyak “PR” kepada generasi bangsa ini, bahwa tantangan global tidak dapat dianggap enteng. Ia berkaitan dengan berbagai usaha banyak pihak untuk menyelusupkan ideloginya agar bangsa ini masuk ke dalam barisannya.

Bagi saya, munculnya tokoh Abah Arifin dan istrinya Umi Sakinah seperti reinkarnasi Raden Wiradikarta dan istrinya yang coba memberi penyadaran pada tokoh Hasan atau Rivai, yang kini telah menjadi seorang intelektual yang tak lagi ragu akan keimanannya.

Akhirnya, saya hanya bisa berucap: “Selamat panjang usia, Aki. Sehatlah selalu!”

msm/mkl/akm/7/6/2005

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler