Skip to Content

REPRESENTASI PEREMPUAN DALAM NOVEL INDONESIA: PASAR DAN POLITIK TUBUH

Foto SIHALOHOLISTICK

Jumat, 08 November 2013 09:52 | Ditulis oleh Dr. Novi Anoegrajekti, M.Hum. |  

 

Kajian tentang perempuan tidak hanya mengantarkan pada kesadaran untuk selalu memproduksi makna sekaligus menakar harga diri. Realitas ini muncul sebagai sikap untuk selalu memberdayakan diri sendiri dan kemampuan untuk mengartikulasikan diri secara konkret. Subjektivikasi yang menganggap perempuan-perempuan dalam Saman, Nayla, dan Perempuan Kembang Jepun sebagai yang tak berdaya, tertindas tanpa resistensi dapat tertepis dan terluruskan dengan subjektivikasi yang menghargai potensi perempuan dalam ruang privat maupun publik.

Para tokoh perempuan dalam novel tersebut menunjukkan stereotip perempuan yang mencarut-marut dalam menyuarakan diri bersama otoritas tubuh keperempuanannya. Mereka melakukan perlawanan total melalui penjungkirbalikan dominasi politik maskulin, bahkan secara blak-blakan menggoyang dan meruntuhkan mainstream melalui keberadaannya sebagai sebagai subaltern. Benarkah tokoh-tokoh perempuan sepenuhnya dilecehkan? Mengapa ia tidak dilihat sebagai subjek yang memandang dan subjek yang mampu menyiasati kekuatan-kekuatan dominan dan hegemoni? Pertama, hegemoni adalah wilayah pertarungan yang berlangsung dinamis dan tidak stabil. Dominasi sebagai posisi terpenting dalam hegemoni akan tidak dikenali ketika penetrasinya semakin meluas dan tekanan dari kekuatan yang lain terus meningkat. Kedua, bahwa representasi identitas merupakan wilayah pertarungan pemaknaan yang kemudian menyebabkan identitas itu sendiri lebih merupakan konstruksi dan proyek (politik) pencitraan. Bagaimana dialektika kekuatan pasar memandang dan menyikapi representasi tokoh perempuan dan pengarang perempuan Indonesia?

Kata kunci: Representasi, pasar, tubuh perempuan, identitas

 

PENDAHULUAN

Tubuh para tokoh perempuan dalam novel Saman, Nayla, dan Perempuan Kembang Jepun merupakan manifestasi kehidupan modern dan kapitalistik. Dari sudut tertentu, kepentingan para perempuan pengarang dianggap sebagai media untuk merebut ruang publik yang sangat mungkin akan berimplikasi luas pada bidang-bidang ekonomi, politik, dan sosial. Tampil dengan keberanian untuk mendekonstruksi pemikiran yang tradisonalistik, seperti persoalan tabu adalah strategi untuk menyuarakan dan merepresentasikan perempuan pengarang melalui tokoh-tokohnya. Pergulatan seksualitas, perselingkuhan, dan eksplorasi hubungan laki-laki dan perempuan terbingkai dalam relasi kuasa dimunculkan sebagai sesuatu yang baru, yang ditemukan kembali dalam wujud yang berbeda.

Tanpa maksud berpihak, tampaknya sebuah peristiwa, kejadian, atau fenomena ketika dipandang ulang akan menjadi semacam pantulan yang tak pernah tunggal, bahkan oleh pelakunya sendiri. Ia menjadi tayangan-tayangan yang bebas direkam, diolah, dan ditafsirkan oleh siapapun yang berbeda motivasi dan latar belakang kelas sosial, ekonomi, politik, dan budaya termasuk intelektual. Pertimbangan moralitas tertentu untuk memaknai sama sekali tidak terlarang, persis seperti pemaknaan atas dasar kepentingan kelangsungan hidup dan akses ruang publik yang sama sekali profan.

Penerbitan novel Saman tahun 1998 sampai sekarang telah mengalami cetak ulang yang ke-27 oleh Gramedia Pustaka Utama. Pada tahun ketiga telah dicetak sebanyak 50.000 eksemplar. Cetak ulang  yang ke-27 kali sudah menembus oplah 86.000 ekslempar.[1] Novel Nayla diterbitkan pada tahun 2005 oleh Gramedia Pustaka Utama dan telah mengalami cetak ulang sebanyak empat kali. Dua novel tersebut tergolong best seller dengan segala pro-kontranya. Beberapa kontroversi atas terbitnya novel ini lebih dikarenakan ketidaksiapan masyarakat dan penguasa dalam menghadapi ekspresi individu yang bertentangan dengan tata nilai kolektif.

Dari sudut keilmuan budaya, justru persinggungan itulah yang lebih penting dan menarik untuk dibidik sebagai pertunjukan beroperasinya relasi kuasa pengetahuan dengan cara dan argumentasinya masing-masing. Dalam bahasa yang lain, pentas semacam itu sering disebut pertarungan dinamis yang menarik ketika ia berlangsung secara seimbang, tanpa ada dominasi oleh salah satu dan subordinate terhadap yang lain. Karena hanya dengan pertarungan dinamis-seimbang seperti itulah kekayaan kultural kita tidak hanya semakin bertambah tetapi juga akan membuktikan signifikansi tertentu dalam kehidupan yang lebih luas.

Mungkin persoalannya terkait dengan kebenaran. Sesuatu yang diimajinasi ada, tunggal, hakiki, dan mutlak. Tidak dipungkiri, kebenaran memang penting, tetapi bagaimana ketika ternyata kebenaran itu sendiri tidak tunggal seperti halnya makna yang diproduksi tentang perempuan? Kesadaran gender menyatakan bahwa yang benar adalah eksploitasi dan penindasan, sementara perempuan pengarang menganggap bahwa gerakan pembebasan sebagai subjek adalah survival strategic keperempuanan dan jalan awal untuk akses ruang publik adalah kebenaran.

Membaca suara perempuan dan representasi identitas perempuan pengarang berkaitan dengan pemikiran ideologinya merupakan kajian yang menarik. Tulisan ini akan mendeskripsikan bagaimana representasi tokoh perempuan dalam novel Saman, Nayla, dan Perempuan Kembang Jepun dan bagaimana ideologi kepengarangannya.

 

TEORI DAN METODE PENELITIAN

Dengan semakin terbukanya ruang proses kreatif bagi perempuan pengarang, semakin terbuka eksplorasi gagasan yang selama ini terbungkam. Para tokoh perempuan dalam novel tersebut menunjukkan stereotip perempuan yang mencarut-marut dalam menyuarakan diri bersama otoritas tubuh keperempuanannya. Mereka melakukan perlawanan total melalui penjungkirbalikan dominasi politik maskulin, bahkan secara blak-blakan menggoyang dan meruntuhkan mainstream melalui keberadaannya sebagai sebagai subaltern.

Penelitian untuk membaca suara perempuan merupakan usaha untuk mengungkap permasalahan perempuan. Penelitian feminis berpihak pada perempuan dan menjadikan gender sebagai alat untuk analisis karena gender dipandang sebagai faktor yang besar pengaruhnya terhadap terhadap hubungan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan.[2] Feminisme sebagai sikap politik yang dipakai untuk melihat relasi kekuasaan antara peremuan dan laki-laki yang dianggap timpang. Ketimpangan hadir dan disadari sebagai bentuk konstruksi sosial yang terus hidup dalam kebudayaan dan ideologi (Noerdin, dkk., 2005: 5).

Ideologi gender merupakan ideology yang didasarkan atas identitas laki-laki dan perempuan atas dasar konstruksi seperangkat institusi sosial, negara, dan agama sehingga menghasilan pelabelan laki-laki dan perempuan berdasarkan kepantasan. Konsep patriarki digunakan Max Weber untuk mengacu pada bentuk sosial politik yang mengagungkan peran dominan ayah dalam lingkup keluarga inti, keluarga luas, dan lingkup publik seperti ekonomi (Luh Ayu, 2000: 40). Patriarkhi digunakan untuk menyebut istilah bahwa keluarga yang dikuasai laki-laki dan memiliki kuasa untuk menentukan.

Adanya kekuasaan yang absolut menjadikan perempuan sebagi pihak yang dipasifkan. Lacan menyebutnya dengan aturan simbolis. Aturan simbolis adalah aturan yang berlaku di masyarakat lewat suatu rangkaian tanda (symbol) yang saling berhubungan, peranan-peranan, dan ritual yang ada di masyarakat. Aturan simbolis juga mengatur masyarakat dan menginternalisasikan aturan-aturan tertentu seperti peranan gender dan peranan kelas. Seperti halnya, kekerasan dalam rumah tangga dapat dikategorikan sebagai kekerasan gender yang antara lain meliputi: a) dalam kasus pemerkosaan terhadap perempuan, termasuk di dalamnya di dalam perkawinan; b) dalam bentuk serangan nonfisik dan pemukulan yang terjadi dalam rumah tangga; c) dalam bentuk penyiksaan organ kelamin; d) dalam prostitusi; e) pelecehan terhadap perempuan; f) kekerasan dalam bentuk pemaksaan sterilisasi dalam keluarga berencana (Mulkan, 2002: 221-223)

Benarkah tokoh-tokoh perempuan sepenuhnya dilecehkan? Mengapa ia tidak dilihat sebagai subjek yang memandang dan subjek yang mampu menyiasati kekuatan-kekuatan dominan dan hegemoni?  Pertama, hegemoni adalah wilayah pertarungan yang berlangsung dinamis dan tidak stabil. Dominasi sebagai posisi terpenting dalam hegemoni akan tidak dikenali ketika penetrasinya semakin meluas dan tekanan dari kekuatan yang lain terus meningkat. Kedua, bahwa representasi identitas perempuan pengarang merupakan wilayah pertarungan pemaknaan yang kemudian menyebabkan identitas itu sendiri lebih merupakan konstruksi dan proyek (politik) pencitraan.

Konsep yang membangun hegemoni adalah budaya dominan (yang sedang berkuasa), budaya residual (unsur budaya yang tersisa dari masa lalu) dan budaya emergent (unsur budaya yang baru muncul). Williams (1977: 122) mengatakan: ”The residual, by definition, has been effectively formed in the past, but it is still active in the cultural process, not only and often not at all as an element of the past, but as an effective element of the present.” Sebagai suatu yang dibentuk pada masa lampau dan masih aktif dalam proses budaya sekarang, budaya residual menampakkan diri sebagai alternatif atau bahkan oposisi terhadap budaya dominan. Oleh karena itu, elemen budaya residual berbeda dan berjarak dari budaya dominan.

Namun demikian, manifestasi beberapa bentuk budaya residual biasanya masuk (inkorporasi) ke dalam budaya dominan. Sebuah peleburan yang seringkali justru mengandung resiko tersendiri bagi budaya dominan terutama ketika terjadi reinterpretasi untuk mengefektifkan kehadirannya. Akan tetapi budaya residual selalu dapat diketahui dengan menyusur kembali makna dan nilai pada masyarakat dan situasi aktual di masa lalu.

Williams (1977: 123) mengartikan emergent sebagai yang serba baru dan selalu diperbaharui (makna, nilai, praktik, dan relasi). Seperti halnya budaya residual, budaya emergent hanya mungkin didefinisikan dalam konteks hubungannya dengan budaya dominan. Perbedaannya, jika budaya residual dapat dideteksi melalui lokasi sosialnya pada fase pembentukan yang lebih dahulu terjadi dalam proses budaya ketika makna dan nilai tertentu terbentuk, maka selain tidak mempunyai lokasi di masa lalu yang terpisah, budaya emergent terbentuk dan muncul di dalam inkorporasi dengan budaya dominan, apalagi budaya emergent dalam praktiknya selalu diperbarui sehingga dapat melampaui inkorporasi itu sendiri.

Pada sisi yang lain, seperti dijelaskan Williams, ketika area penetrasi budaya dominan terhadap keseluruhan proses sosial dan budaya semakin meluas, budaya emergent semakin mempunyai kemungkinan untuk mengaburkan fungsinya sebagai alternatif atau oposisi. Dalam konteks semacam itu, tekanan budaya emergent yang semakin menguat akan mengubahnya menjadi dominan, sementara budaya dominan sendiri, pada tahap tertentu, semakin sulit dikenali. Elemen emergent memang diinkorporasi, tetapi bentuk inkorporasi tersebut merupakan bentuk murni praktik budaya emergent yang bersangkutan. Pada tahap budaya emergent menjadi dominan, maka budaya dominan beralih menjadi residual.

Berbeda dengan residual dan dominan, emergent adalah upaya untuk menemukan bentuk baru atau adaptasi terhadap bentuk yang sudah ada. Williams (1977: 126-127) menganjurkan bahwa suatu hal penting yang harus diamati dari budaya emergent adalah efek awal kemunculan yang aktif dan menekan meskipun tidak sepenuhnya terartikulasi.

Konstruksi dan pilihan penanda tersebut kemudian berwujud dalam representasi, sebuah ”imaji atau penyajian kembali kenyataan dalam bentuk visual dan verbal yang menyiratkan makna dan ideologi tertentu. Representasi bisa dianggap sebagai ’medan perang’ kepentingan atau kekuasaan”(Melani Budianta, 2002: 211). Bentuk visual dan verbal mengartikan bahwa representasi memiliki materialitas tertentu yang bisa dibaca atau dilihat dan materialitas tersebut diproduksi, ditampilkan, digunakan, dan dipahami dalam konteks sosial tertentu. Sebagai suatu yang berawal dari konstruksi dan pemaknaan, representasi yang selalu berkaitan dengan identitas tersebut tidaklah mungkin dipahami sebagai sesuatu yang natural dan given, justru karena adanya ketidaktetapan di dalam representasi itu sendiri.

Sifat identitas yang constructed dan kontekstual tersebut menyebabkan representasi identitas tidak pernah tunggal dan statis. Dalam konteks ini karya-karya  seperti Saman, Nayla, dan Perempuan Kembang Jepun yang mengungkap aktivitas perkelaminan dan  relasi seksualitas merupakan identitas perempuan pengarang dengan konstruksi yang berbeda dengan kepentingan yang merumuskannya.

 

REPRESENTASI  PEREMPUAN DALAM NOVEL INDONESIA  

Saman novel yang terbit tidak lama setelah jatuhnya mantan presiden Soeharto, seakan menjadi penanda perubahan politik di Indonesia. Persoalan tabu dalam masyarakat diurai dengan gaya pengungkapan terbuka dan menjadi bagian fenomena sehari-hari. Kuatnya basis ideology feminis muncul dengan penolakan terhadap cara  pandang patriarkis[3]. Pemeranan tubuh perempuan dalam sistem sosial sangat ditonjolkan dalam novel ini. Pendobrakan konsep hubungan pranikah, perselingkuhan, dan ritual pernikahan diterjemahkan oleh Ayu melalui politik tubuh perempuan. Sumbangan Ayu sebagai novelis perempuan adalah mengangkat tema seksualitas yang pada waktu itu masih tabu untuk diungkap dan juga berada dalam masa kekuasaan Orde Baru.

Ayu Utami berhasil menciptakan representasi seksual yang berbeda. Ide-ide  diungkapkan secara up to date karena sepertinya disesuaikan dengan teori-teori mutakhir. Representasi seksual Ayu Utami memiliki pesan yang cukup eksplisit, seks dengan keterbukaan yang provokatif, memprotes stereotif pasif perempuan, menolak falosentrisme, dan mengakui orientasi seksual yang plural (Bandel, 2006:102). Tindakan seksualitas dideskripsikan sebagai persetubuhan kemitraan antara laki-laki dan perempuan. Tidak mematahkan superioritas laki-laki, dan sebaliknya tidak menggilas laki-laki. Dengan kesadaran bahwa identitas sebagai perempuan adalah duta yang mewakili keperempuanan yang mengusung naluri kelelakian.

 “Tetapi lelaki itu belum habis menghujamkan zakar, dalam pandangan semua binatang di tangan (kelak mereka lalu menirunya, dan anak-anak mendengar dari orang tua mereka sebagai permainan perang-perangan). Pinggulnya bergoyang hingga cair kelenjarnya menyembul di dalam liang yang harum berahi. Ia mengerang, bersama seekor ular yang menyelinap keluar dari benaknya, meninggalkan bisikan: “Nikmat itu dosa. Namun, perempuan itutelah merasakan hukuman” (Saman: 195)

 Novel Nayla karya Djenar Maesa Ayu juga membicarakan persoalan seksualitas dan kekerasan terhadap anak perempuan. Tokoh Nayla dilukiskan sebagai tokoh yang mempunyai problem psikologis. Sejak perceraian kedua orang tuanya, Nayla sering mendapatkan siksaan dari Ibunya. Penyiksaan ibunya antara lain dengan menusukkan peniti keselangkangan Nayla agar tidak mengompol. Usia sembilan tahun Nayla diperkosa Oom Indra, pacar Ibunya. Nayla lari dari rumah saat berusia empat belas tahun mencari Bapaknya, seorang penulis besar yang ternyata sudah kawin lagi dengan seorang perempuan muda bernama Ratu. Semenjak kematian ayahnya, Nayla mengalami perubahan perilaku. Pertemuannya dengan Juli, seorang perempuan karismatik yang bekerja di diskotik banyak membuatnya berubah. Nayla merasakan kehangatan kasih Yuli. Putus dengan Yuli, Nayla menjalin hubungan dengan Ben. Sejak putus dengan Ben, kehidupan Nayla tak menentu arahnya.

 “…Sebagai sahabatnya, saya tahu Juli sudah tidak perawan semenjak remaja ia suka memasukkan benda-benda ke dalam vaginanya sambil membayangkan perempuan yang ia idamkan. Sekarang pun dengan kekasihnya yang seorang model mereka sering bercinta dengan cara saling memasuki vagina satu sama lain dengan jari mereka (Nayla: 5)

 Kepedihan yang mendalam membawanya menjadi lesbian dan dapat bercinta dengan siapa pun. Kegetiran hidup oleh trauma masa kecil membuatnya tidak mempercayai cinta dan kebahagian. Djenar ingin menegaskan kembali bahaya psikologis yang jauh lebih berbahaya dibandingkan luka fisik ketika seseorang pada masa kanak-kanaknya mengalami pelecehan seksual.

Kolonisasi perempuan di zaman kolonial Jepang tidak selamanya menutup resistensi perempuan dalam mempertahankan eksistensi kehidupannya. Melalui tokoh Sulis dan Matsumi, perempuan dalam Perempuan Kembang Jepun karya Lang Fang menunjukkan perlawanan yang berbeda dalam mengkonstruksi ulang identitas sosial mereka. Resistensi dalam wilayah domestik dilakukan oleh Sulis terhadap suaminya. Sedangkan Matsumi meresistensi dalam pandangan sosial berkaitan dengan profesinya sebagai geisha. Dua tokoh perempuan memberikan perlawanan di tengah hegemoni patriarki yang menempatkan perempuan sebagai objek seksual dan marginal.

Falseidentification merupakan teori yang dikemukakan oleh Bhabha yang berkaitan dengan adanya resistensi dari masyarakat terjajah[4]. Dia melihat resistensi dapat terjadi melalui proses peniruan yang dilakukan masyarakat terjajah. Proses peniruan tidak dilakukan dengan penuh kesetiaan, melainkan peniruan untuk mengejek bahkan menyimpang dari model yang ditawarkan.

Wacana kekerasan yang dipilih Sujono sebagai alat untuk menundukkan perempuan justru ditanggapi Sulis sebagai alat untuk memberdayakan keberaniannya. Sulis menganggap kekerasan sebagai sebuah pembiasaan, bahkan ia dapat menikmati kekerasan berupa pemerkosaan sebagai persetubuhan yang memuaskan.

 Terus terang, aku semakin berani padanya. Menurut Mas Sujono, ku semakin kurang ajar. Ia paling tidak suka bila aku mendelik dan melotot kepadanya. Menurutnya, tidak pantas seorang istri berlaku demikian terhadap suami.

Ia memerkosaku!!!

Aku puas! Aku nikmat! (PKJ: 78-79)

 Tokoh Matsumi dalam Perempuan Kembang Jepun adalah gambaran jelas perempuan Jepang yang bertahan sebagai geisha. Sejak dijual oleh ayahnya, kemudian bertemu dengan Yuriko, salah satu geisha terpopuler di Jepang. Sebagai penghibur, seorang geisha harus terampil dalam menyenangkan dan memberikan kepuasan pada laki-laki. Seorang geisha belum tentu sebagai objek seksual laki-laki tetapi ia berada pada posisi pengendali seksual laki-laki, yakni pengatur alur persetubuhan.[5]

Kebenaran menjadi sesuatu yang diskursif dan subjektif. Oleh sebab itu, letak terpenting soalnya bukanlah pada kebenaran itu sendiri melainkan pada bagaimana kebenaran itu dirumuskan atau diproduksi. Proses (menyangkut cara, motivasi, ruang, dan kepentingan) bagaimana sesuatu dirumuskan sebagai benar menjadi paling penting dalam mendiskusikan kebenaran. Dengan demikian, pluralitas pandangan tentang perempuan dan perlunya melihat proses bagaimana kebenaran dibangun, semakin kuat kesadaran kita untuk tidak terjebak dalam oposisi biner.

Proses munculnya novel Saman ke publik melalui seleksi yang cukup ketat. Keputusan Dewan Juri untuk memenangkan Saman sebagi naskah terbaik melalui pro dan kontra. Media massa merupakan langkah utama membangun image tentang Ayu Utami dan Samannya. Penerbit sebagai patronase sangat menentukan untuk kehadiran karya sastra. Penerbit akan mempertimbangkan karya sastra sesuai dengan selera dan pemasaran (marketable). Jika diprediksi laku maka akan dicetak berlipat ganda (Endraswara,2003:84). Penerbit berusaha memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya.[6] Penerbit sebagai produk kapitalis akan mempublikasikan dengan cara-cara yang diinginkan agar laku di pasar. Segmentasi pasar yang menentukan keterlibatan seseorang berdasarkan prasyarat yang ditentukan pasar dan untuk kepentingan pasar merupakan kekuatan baru yang mempengaruhi tata kehidupan (Abdullah, 2008:5; Sugiarti, 2010: 7). Pasar selama ini didominasi oleh penulis laki-laki, kehadiran penulis perempuan membawa angin segar bagi pembaca, mereka menawarkan tema-tema baru yang khas perempuan yang selama ini ditulis oleh laki-laki. Keberadaan perempuan pengarang tersebut sebagai penerus pemikiran-pemikiran NH Dini, Toety Heraty, Umar Kayam, Linus Suryadi, Ahmad Tohari, dan Pramoedya Ananta Toer tentang perempuan yang dimunculkan dengan bahasa yang berbeda.

Sebagai pembanding, keberanian untuk mengungkapkan dimensi kehidupan, termasuk mendekonstruksi pemikiran-pemikiran terungkap juga dalam karya-karya Nawal el Sadawi. Nawal lahir pada tahun 1931 di desa Kafr Tahla di wilayah delta Mesir. Ketika usianya menginjak 13 tahun, ia sudah menulis novel yang berjudul Mudzakkirat tiflahismuha Su’ad (Catatan Harian Seorang Anak Perempuan Bernama Su’ad). Buku pertamanya Untsa didd al-unutsa atau dalam edisi Inggrisnya berjudul Woman Against Her Sex yang dilandaskan pada psikoanalisa Freud dinilai oleh para intelektual Timur Tengah sebagai karya yang sarat muatan politik dan bertentangan dengan hakikat keperempuanan.

Hal yang sangat kontroversial bagi kalangan intelektual Timur Tengah. Perjalanan hidupnya yang meroket memang sangat dimungkinkan mengingat Nawal tumbuh dalam keluarga yang sangat menghargai pendidikan. Ayahnya seorang pejabat tinggi di Departemen Pendidikan Mesir. Pendidikan dasar dan menengah keduanyan ditempuh Nawal di sekolah negeri, sebelum akhirnya ia kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Kairo. Berbeda dengan para intelektual Arab lainnya yang banyak menyelesaikan studinya di luar Mesir, Nawal justru seluruh pendidikannya ditempuh di sekolah-sekolah berbahasa Arab. Pada tahun 1958 ia bekerja pada Departemen Kesehatan. Tak disangka empat belas tahun kemudian, ia diberhentikan oleh instansi tersebut hanya karena tulisannya yang berjudul Woman and Sex berisi lukisan secara apa adanya tentang seksualitas. Bahkan pada tahun 1981, ia dipenjara oleh Presiden Mesir, Anwar Sadat bersamaan dengan penahanan tokoh-tokoh intelektual Mesir lainnya. Di dalam penjara pun ia mampu mengekspresikan pikiran-pikirannya yang kemudian dituangkan dalam Suqut al-Imam (Jatuhnya Sang Penguasa).

Karya-karya kesusasteraannya memperoleh kedudukan yang menonjol dalam tradisi kesusateraan Arab. Sebagai seorang pengarang, ia sering dipandang controversial bagi dunia Arab. Karya-karya Nawal tidak sekedar mempermasalahkan jender dan sistem patriarki saja, melainkan juga permasalahan yang menyangkut penindasan berdasarkan kelas dan budaya. Perbincangkan tentang diskursus perempuan Arab, baik di Timur Tengah maupun di Barat mau tak mau pasti terkait dengan wacana orientalisme, imperialisme, poskolonialisme sampai pada feminisme dan posfeminisme. Hampir semua tulisannya menyingkap misteri bahwa tanpa memandang Barat pun (karena Barat mendasarkan perjuangannya pada penindasan terhadap perempuan sebagai kelompok homogen sehingga muncul satu image tentang perempuan dunia ketiga dengan stereotif: tertindas oleh patriarki, tidak berpendidikan, terikat tradisi, domestik, berorientasi pada keluarga, selalu menjadi korban, dan umumnya miskin) penindasan tetap berlangsung dan tanpa mengabaikan bahwa perbedaan kelas turut terlibat dalam berbagai bentuk penindasan. Bentuk penindasan perempuan, eksploitasi, pelecehan tidak saja menandai masyarakat Arab atau masyarakat Timur Tengah atau bahkan masyarakat Dunia Ketiga. Bahkan persoalan penindasan yang secara sosial cultural berkaitan dengan peran laki-laki-perempuan dan kesetaraan perempuan Arab disingkap tanpa harus bersikap pro Barat.  Kendati Nawal konsisten menolak imperialisme Barat, namun ia tetap saja dikategorikan sebagai “orang luar”di negrinya sendiri. Label simbolis yang ironis dan dilematis.

Karya-karya Nawal hampir sebagian besar mengisahkan tentang kekuasaan dan ketidakadilan terhadap perempuan. Kehadiran buku Nawal menunjukkan bahwa perjuangan perempuan Mesir untuk merebut kedudukan dan hak-hak yang sama, dan lebih penting lagi untuk mendapat perubahan nilai dan sikap laum lelaki Mesir terhadap perempuan masih belum sepenuhnya tercapai (Lihat Mochtar Lubis, "kata Pengantar" dalam Perempuan Di Titik Nol ). Tampak jelas bahwa bagaimana sebuah ideology diciptakan oleh satu pihak untuk untuk mengukuhkan kekuasaan hegemoni pihak lainnya. Dalam hal ini, bagaimana male power dan male knowledge menciptakan dan mengukuhkan ideology patriarki yang meletakkan female pada posisi marginal melalui wacana. Oposisi biner laki-laki rasional, perempuan emosional, kuat-lemah, independen-selalu tergantung, melindungi-dilindungi, publik-domestik, dan ordinat-subordinat selalu dikukuhkan melalui berbagai wacana di dunia Arab atau Timur Tengah dan wacana yang terkuat dalam mengkonstruk image adalah agama, politik, ekonomi, dan sosial budaya.

Melalui sudut pandang aku, dengan tegas Nawal ingin mengekspresikan konsep tentang diri (self) dan memelopori suara-suara perempuan tentang eksistensi, kesadaran, dan kebenaran. Banyak hal yang sifatnya merepresi perempuan sebagai sesuatu yang dikehendaki Tuhan. Dan selama ini diyakini sebagai sesuatu yang sifatnya nature dan bukan nurture (bentukan budaya). Hal ini membuat perempuan yang direpresi beranggapan sebagai sesuatu yang wajar. Ketika sadar, kaum perempuan berusaha menemukan kebenaran-kebenaran dan mencari tahu bentuk pengingkaran dari wacana yang ada. Menurut Nawal kesadaran tentang diri perempuan Arab dapat dilihat “ada” jika kondisi-kondisi yang mendorong terjadinya penindasan dipangkas bersih. Emansipasi sejati berarti kemerdekaan dari segala bentuk eksploitasi baik secara ekonomi, politik, seksual, maupun kultural. Perempuan Arab terakui jika mereka tidak lagi hidup dalam bayang-bayang bahwa kebebasan yang murni akan datang sebagai anugerah dari Surga atau karunia dari kekuasaan laki-laki melainkan sebagai sebuah perjalanan panjang dan berliku.

Beberapa novelnya Perempuan di Titik Nol, Jatuhnya Sang Imam, Tak Ada Kebahagian Baginya, dan Tak Ada Tempat Bagi perempuan di Surga serta sketsanya Wajah Telanjang Perempuan dan Perempuan dalam Budaya Patriarki menawarkan suatu wacana tentang stereotip perempuan Arab yang “mencarut-marut” kode budaya dan konvensi yang ada. Pemaknaan relasi jender, kelas, dan bentuk-bentuk penindasan lainnya dalam karyanya diakui sebagai penjungkirbalikan dominasi politik maskulin.  Tampak bahwa tanpa perlawanan yang jelas terhadap penindasan jender, maka penindasan akan terus berlangsung sampai kapan pun. Bukan Nawal kalau tidak mengungkapkan secara blak-blakan tentang ketimpangan jender dan isu-isu kelas bahkan  menggoyang mainstream. Banyak yang mencela Nawal tentang wacana “perempuan Timur Tengah-nya” yang selalu disuarakan melalui tokoh-tokohnya.

Salah satu kasus tokoh Firdaus (Perempuan di Titik Nol) yang menyuarakan diri melalui politik tubuhnya, representasi perempuan yang independen sekaligus mengekspresikan greget keperempuananya, seakan suara Nawal sendiri. Nawal sadar bahwa maskulinitas tidak akan bermakna, kecuali jika dilihat dalam hubungannya dengan feminitas. Suara Firdaus adalah suara perempuan Arab yang menginginkan kepemilikan atas tubuhnya, menjadi dirinya sendiri. Firdaus adalah duta yang mewakili perempuan dan keperempuanan yang memangku naluri-naluri kelelakian. Firdaus juga tak melihat laki-laki sebagai pihak yang superior dan menguasainya.

Identitas perempuan juga disimbolisasikan melalui tokoh Bintullah (Jatuhnya Sang Imam) sebagai resistensi identitas laki-laki, yang dalam agama Kristiani diakui sebagai anak Tuhan yang berkelamin laki-laki. Sebaliknya, dua figur perempuan dalam cerpen Lelaki dan Lelaki Berjaket (Tak Ada Kebahagiaan Baginya) adalah representasi sosok perempuan yang digambarkan oleh Nawal sebagai perempuan yang menipu diri sendiri untuk mempertahankan sebuah kesakralan perkawinan, yang pada hakikatnya merupakan nilai-nilai yang dibuat oleh laki-laki. Perjuangan perempuan untuk merebut kedudukan dan hak-hak yang sama dan yang lebih penting lagi untuk mendapat perubahan nilai dan sikap kaum lelaki terhadap perempuan belum sepenuhnya tercapai. Hal ini, merupakan dampak serius bagi posisi perempuan dalam masyarakat Islam yang hingga kini masih tunduk pada hukum-hukum yang mendeskriminasikan mereka. Seperti halnya ungkapan Nawal El-Saadawi ketika berkata:

 "Kami, perempuan di negara-negara Arab, menyadari bahwa kami masih ibarat budak, tertindas, bukan karena kami milik Timur, bukan karena kami Arab, atau anggota masyarakat Islam, tetapi akibat dari sistem kelas patriarkal yang telah mendominasi dunia sejak ribuan tahun".

 

SIMPULAN

Karya-karya Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, dan Lang Fang dan perempuan pengarang lainnya tidak mungkin menghindar dari kekuatan-kekuatan hegemoni. Karya-karya yang mengkaji tentang seksualitas dan tubuh perempuan sangat tergantung pada kekuatan eksternal di luar dirinya. Teks maupun pemaknaannya sulit dipastikan, karena hanya kekuatan dominanlah yang mempunyai kemungkinan besar untuk menentukannya. Sementara itu, kekuatan pasar, representasi ideologi kepengarangan, resepsi pembaca akan mengalami instabilitas yang terus-menerus.

 

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Irwan. 2008. ”Titik Balik Peradaban dan Kebangkitan Budaya Baru” makalah yang disampaikan pada Sarasehan Pesta Kesenian Bali di Denpasar.

Anoegrajekti, Novi. “Suara Perempuan dalam Sastra: Kontestasi dan Representasi Identitasdalam Sastra dan Budaya Urban dalam Kajian Lintas Media. Prosiding Konferensi Internasional Kesusasteraan XXI Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia (HISKI, hlm. 419)

Ayu, Djenar Maesa. 2005. Nayla. Jakarta; Gramedis Pustaka Utama.

Bandel, Katrin. 2006. Sastra, Perempuan, Seks. Yogyakarta: Jalasutra.

Endrawara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.

Lang Fang. 2006. Perempuan Kembang Jepun. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Faruk. HT. 2009. Belenggu Pasca-Kolonial: Hegemoni dan Resistensi dalam Sastra Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Mahayana, Maman S. 2007. Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Mandasari, Meilina. 2009. Ideologi Gender dalam Perempuan Kembang Jepun Karangan Lang Fang: Suatu Pendekatan Poskolonial. Skripsi. Jakarta: Universitas Negeri Jakarta.

Melani Budianta. 2005. “Perempuan Seni Tradisi dan Subaltern: Pergulatan di Tengah-tengah Lalu lintas Global-Lokal” dalam Perempuan Multikultural: Negosiasi dan Representasi, Edy Hayat dan Miftahus Surur (ed). Depok: Desantara.

Mohanty, Chandra Talpade. 1993. “Under Western Eyes: Feminist Scholarship and Colonial Discourses” dalam Colonial Discourse and Post-Colonial Theory A Reader. Patric Williams and Laura Chrisman. Maylands Avenue: Harvester Wheatsheaf.

Mulkan, Abdul Munir, dkk. 2002. Membongkar Praktik Kekerasan: Menggagas Kultur Nir-Kekerasan. Malang: Sinergi Press dan PSIF Universitas Muhamadiyah.

Noerdi, Endriana, dkk. 2005. Representasi Perempuan dalam Kebijakan Publik di Era Otonomi Daerah. Jakarta: WomenResearch Institute.

Sugiarti. 2010. Energi Novel Saman, Nayla, dan Petir dalam Industri Penerbitan Sastra. Disertasi. Denpasar: Universitas Udayana.

Utami, Ayu. 1998. Saman. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Williams, Raymond. 1977. Marxism and Literature. Oxford: Oxford University Press.

 

 

Dalam tulisan ini digambarkan representasi tokoh perempuan dalam novel Saman, Nayla, dan Perempuan Kembang Jepun dan ideologi kepengarangan perempuan. Ketiga penulis wanita ini merepresentasikan wanita dengan sudut pandangnya sendiri. Dalam Saman, Ayu Utami menggambarkan bahwa hubunganperempuan dan lelaki sebagai kemitraan. Tidak mematahkan superioritas laki-laki, dan juga tidak meremehkan laki-laki. Novel Nayla karya Djenar Maesa Ayu membicarakan persoalan seksualitas dan kekerasan terhadap anak perempuan. Tokoh Nayla dilukiskan sebagai tokoh yang mempunyai problem psikologis karena berbagai siksaan yang dialami. Kegetiran hidup ini membuat Nayla tidak mempercayai cinta dan kebahagian. Kegetiran kehidupan perempuan juga dialami Matsumi, dalam Perempuan Kembang Jepun, perempuan Jepang yang bertahan sebagai geisha.

 

[1] Ada lima faktor utama yang dan mengangkat Saman menjadi monumen. Pertama, secara tematik novel ini menawarkan tema baru yang dalam novel-novel sebelumnya kurang mendapatkan penggarapan yang mendalam. Kedua, masalah seksualitas yang berkaitan dengan kesucian keperawanan—virgunitas, tabu dalam hubungan seks pra nikah, keagungan konsep perkawinan, dan penilaian buruk atas hubungan perselingkuhan, coba ditabrak dan dihancurkan. Ketiga, pembalikan stigma cultural yang dilekatkan pada posisi dan peran perempuan. Keempat, secara umum mencoba membalikkan posisi perempuan dalam hubungannya dengan dunia laki-laki. Kelima, novel ini terbit pada momen yang tepat. Ketika pelecehan terhadap perempuan terjadi di mana-mana, ketika saluran pemberontakan mampat oleh kekuasaan represif Orde Baru, sastra menjadi pilihan. Maka, ketika Saman terbit, ia seperti mewakili hasrat terpendam kaum perempuan untuk melakukan pemberontakan. Jadilah terbitnya Saman menjadi fenomena. Selanjunya lihat, Maman S. Mahayana. Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), hal 62.

[2] Masalah yang dihadapi para feminis dunia ketiga bisa dikatakan lebih rumit karena terdiri dari gabungan dua macam penindasan: penindasan sebagai wanita dan penindasan sebagai bangsa kulit berwarna. Penindasan pertama umumnya juga merupakan “warisan” budaya patriarki yang dibawa para wanita dari negeri asalnya. Barangkali pernyataan Chandra Tapalde Mohanty dalam Third world Women and The Politics of Feminism yang mengatakan bahwa wanita dunia ketiga bersikap kritis terhadap feminisme Barat. Feminisme Barat dianggap memusatkan perhatian kepada masalah seksisme dan jender dalam sistem patriarki, dan buta terhadap persoalan rasialisme dan problem social yang dihadapi kulit berwarna.

[3] Patriarki berarti suatu sistem otoritas laki-laki yang menindas perempuan melalui institusi sosial, politik, dan ekonomi. Dalam bentuk historis masyarakat patriarki baik yang feodal, kapitalis, maupun sosialis, sebuah sistem berdasarkan gender dan jenis kelamin serta diskriminasi ekonomi beroperasi secara stimultan (Humm, 2002: 332). Hal ini berarti semua keputusan atau kekuasaan berada di tangan laki-laki, perempuan yang dianggap sebagai gender kedua, tidak memiliki hak untuk berkuasa dan memutuskan suatu perkara. Budaya patriarki adalah halangan bagi perempuan untuk mengaktualisasikan diri secara maksimal.

[4] Resistensi adalah suatu bentuk perlawanan yang diberikan oleh kaum tertindas sebagai balasan dari berlangsungnya sebuah penindasan atau penjajahan. Resistensi muncul ketika sistem pengetahuan Barat melakukan pencitraan terhadap Timur dengan praktik-praktik politik imperialisme dan kolonialisme bangsa-bangsa Barat di Timur. Menurut Bhaba, Timur melakukan sebuah peniruan terhadap model-model kehidupan yang ditawarkan oleh wacana kolonial. Model peniruan yang dilakukan bersifat ambigu, polisemi, yang pemaknaannya dapat pula menjadi suatu ejekan terhadap penjajah. Istilah Bhaba adalah mimikri kolonial. Selanjutnya lihat Faruk, Belenggu Pasca-Kolonial: Hegemoni dan Resistensi dalam Sastra Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hal. 6; Meilina Mandasari, Ideologi Gender dalam Perempuan Kembang Jepun Karangan Lang Fang: Suatu Pendekatan Poskolonial, Skripsi (Jakarta: Universitas Negeri Jakarta), 2009.

[5] Relasi seksualitas antara laki- laki dan perempuan juga tampak dalam novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Dalam arena pentas, seorang lelaki dapat dengan mudah mencolek pipi dan pantat Srintil ketika sedang menari. Setiap lelaki berhak menikmati sepuas-puasnya seluruh goyangan dan pacak gulu Srintil, maka Srintil pun memiliki hak yang sama untuk memperoleh imbalan yang sesuai. Sebaliknya, apabila Srintil tidak menanggapi  lelaki mana pun dapat blingsatan menahan malu maupun merengek-rengek ketika keinginannya ditolak. Ternyata lelaki kuat sekaligus lemah, keperkasaannya menjadi berarti ketika Srintil dengan kesadarannya ikut bertanggung jawab menjadi media aktualisasi kelelakian. Realita ini membuatnya tidak pernah merasa menjadi pelacur kendati telah berpuluh-puluh lelaki tidur berSamanya. Namun, Srintil merasa gagal menjadi pemangku kelelakian ketika ia tidak mampu membangkitkan kelelakian Waras yang ternyata impoten. Seperti diungkapkan oleh Tohari bahwa, “impotensi seorang lelaki adalah penafian makna keperempuanan. Dan sebagai pengampu kelelakian Srintil merasa kehilangan arti di hadapan lelaki yang kehilangan kelelakiannya.” Selanjutnya lihat Novi Anoegrajekti, “Suara Perempuan dalam Sastra: Kontestasi dan Representasi Identitas” dalam Sastra Dan Budaya Urban dalam Kajian Lintas Media. Prosiding Konferensi Internasional Kesusasteraan XXI Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia (HISKI), 2010, hal. 419.

[6] Setelah dipotong royalty untuk penulis (12%), biaya cetak, gudang, promosi, dan distribusi, maka keuntungan yang diraih KPG lebih kurang 7% dari per judul buku dari cetakan pertama. Tidak besar. Karena itu, dunia penerbitan baru mendapatkan untung besar jika bukunya cetak ulang, karena ada cost-cost yang tidak dimasukkan lagi, seperti plat cetak. Tanggapan pembaca baik. Sebagai gambaran: Saman cetak ulang 27 kali dengan oplah 86.000 eks., Larung cetak 5 kali dengan oplah 55.000, dan Bilangan Fu (2008) dengan oplah cetakan pertama 20.000 eks Dalam kasus novel terbitan KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), pangsa pasarnya adalah kelas menengah atas. Mereka dari kalangan usia 23-55 tahun.(Candra Gautama dalam Sugiarti, 2010:219)

Sumber:

http://horisononline.or.id/esai/representasi-perempuan-dalam-novel-indonesia-pasar-dan-politik-tubuh

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler